Oleh : Jannerson Girsang.
Minggu sore 21 Agustus 2011, setelah menonton beberapa tokoh Indonesia yang menginspirasi di sebuah televisi swasta, saya tertarik dengan sebuah berita di www.jejaringnews.com, sebuah situs berita online. Judulnya cukup menarik. "Saksi Kedaulatan RI Meninggal di Belanda".
Bagi saya nama itu begitu asing. Sama seperti saya, mungkin banyak pembaca artikel ini setali tiga uang. Meski sudah melewati usia 50-an, secara jujur saya mengakui belum pernah mendengar nama itu, sebelumnya.
Saya menjadi sadar, dan ingat kata pepatah lama: Good Work No Name. Perbuatan baik sering tak disebut, sebelum orangnya meninggal. Sama halnya dengan Charles Breijer. Barangkali, sejak kepulangannya ke Belanda 1953, tidak banyak karyanya diperbincangkan. Maklum, kita terhanyut oleh berita-berita korupsi, dan asyik membicarakan Nazaruddin, Gayus, Century. Publikasi meninggalnya Breijerpun tidak banyak di media kita. Entah kenapa.
Siapa sebenarnya Charles Breijer, sehingga sebagai bangsa yang dikatakan mampu menghargai karya-karya manusia tidak bisa begitu saja melupakannya? Mari bersama-sama mengikuti kisahnya, dan mengambil pelajaran darinya.
Mengungkap Kebenaran Lewat Foto
"Photography is truth", ungkapan Jean-Luc Godard, pendiri bioskop French New Wave, dengan film kontroversialnya, Breathless (1960), dan Hail Mary (1985) barangkali cocok menggambarkan aktivitas dan karya-karya Breijer.
Biografi yang diterbitkan RNW mengungkapkan, Breijer memulai karirnya sebagai fotografer profesional untuk De Arbeiderspers, pada tahun 1937. Dia mengerjakan, antara lain, laporan foto untuk Wij. Ons werk ons leven, sebuah jurnal dengan desain modern, yang menyediakan banyak ruang untuk fotografi dan photomontase.
Segera setelah invasi Jerman, pers di Belanda mengalami sensor yang ketat. Fotografer dipaksa menjadi anggota Verbond van Nederlandsche Journalisten (Persatuan Wartawan Belanda), yang diawasi oleh Bereau Fotopers (Foto Kantor Pers). Breijer mendaftar sebagai syarat untuk dapat terus bekerja sebagai fotografer dan berada di garis depan kegiatan bawah tanah.
Pada tahun-tahun awal pendudukan, ia menggunakan kartu persnya untuk membuat foto-foto yang menggambarkan aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang tidak diterima tentara pendudukan. Dia adalah salah satu dari sedikit orang, misalnya, yang membuat foto penutupan Kantor Pusat Yahudi di Amsterdam.
Dalam perjalanan tahun 1944 ia bertemu Fritz Kahlenberg dan terlibat dengan De Ondergedoken Camera (Kamera Tersembunyi), kelompok fotografer di Amsterdam yang mengambil gambar tahun terakhir pendudukan Jerman. Dalam biografinya dikisahkan tidak kurang dari 260 foto itu, sebagian diambil dari kantong pelana sepedanya di mana ia menyembunyikan kameranya. Dibandingkan dengan foto-foto dari anggota lainnya di De Ondergedoken Camera, gambar-gambar ilegal Charles Breijer penting terutama karena menunjukkan berbagai aspek perlawanan bersenjata.
Pada tahun 1947, Breijer berangkat ke Indonesia sebagai seorang juru kamera hingga 1953. Terdorong oleh idealismenya, sebagaimana diberitakan RNW, ia ikut membantu membangun Indonesia sebagai negeri berdaulat. Ia bekerja untuk perusahaan milik negara Multifilm-Batavia dan bekerja mandiri untuk pemerintahan baru Indonesia.
Selepas penyerahan kekuasaan Belanda ke Indonesia pada 1949, Breijer banyak membuat foto kehidupan sehari-hari, arsitektur, alam. dan potret. Pada 1953, Breijer memutuskan untuk kembali ke Belanda. Setelah kembali ke Belanda, Breijer berfokus terutama pada syuting dan hampir tidak menyibukkan diri dengan fotografi lagi.
Foto-foto Kenangan Breijer di Indonesia
Ciri khas karya Charles Breijer dalam konteks Indonesia menurut RNW adalah koleksi fotonya yang memperlihatkan penyerahan kedaulatan di Indonesia. Selain menunjukkan situasi tegang seputar tahun-tahun terakhir kolonisasi menuju merdeka, karya-karyanya juga menjadi saksi sejarah terkait orang-orang miskin Indonesia yang baru saja merdeka.
Kini, situs http://www. geheugenvannederland.nl, menyimpan ribuan foto karya Charles Breijer.
Di antaranya adalah gambar sebuah masjid di Pontianak di Kalimantan, vila di pusat liburan, percakapan Abdul Kadin dan Hatta selama konferensi Kali Urang, Indonesia (1948). Dalam situs ini anda bisa melihat objek foto-foto yang dibuatnya dalam kurun waktu 1947-1953
Kita juga dapat menyaksikan foto-foto menarik dan bersejarah, seperti "Slogan-slogan Protes Yogyakarta, Pengendara Becak yang membawa dua Orang Kulit Putih, Kompleks Candi Borobudur 1949, Bekas Rumah Gubernur Yogyakarta, 1949, Bagian Belakang Rumah Ketua Serikat Buruh Pak Wongso, 1948. Breijer juga mengabadikan beberapa foto olah raga seperti atraksi sepeda BMX di stadion Solo pada 1948.
Sebuah foto yang sangat menyentuh berjudul "Seorang Ibu di Jakarta, 1947". Di sebuah jalur ijau, seorang wanita berbadan kurus, dengan pakaian yang compang-camping sedang duduk dengan tangan bertumpu dikakinya. Dia menghadap kaleng (tempat memasak) yang ditutup dengan setengah terbuka di atas tungku yang terdiri dari tiga buah batu. Di bawahnya, kayu bakar yang terdiri dari sebatang kayu dan beberapa batang semak belukar yang mungkin dipungut di pinggir jalan. Gambaran kesulitan hidup di masa transisi kemerdekaan.
Foto: Penting dan Harus Disimpan dengan Baik
Melepas kepergiaan Charles kami teringat kepada ungkapan Aaron Siskind, seorang fotografer ekspresionis abstrak Amerika yang meninggal pada 1991 di usia 88 tahun. Aaron mengatakan: "Apa yang telah Anda rekam di film akan disimpan selamanya ... ia mengingat hal-hal kecil, lama setelah Anda sudah lupa segalanya"
Breijer telah mencatat berbagai objek yang mungkin sudah terlupakan oleh kita semua. Tetapi foto-fotonya kembali mengingatkan kita tentang wajah wajah manusia, kehidupan mereka, keindahan dan kekayaan bumi dan langit Indonesia.
Seorang pengunjung situs http://www.geheugenvannederland.nl menuliskan kesannya dalam situs itu sebagai berikut: "His photographs are a model of reality, and vigorous. He was a real blessed artist and professional".
Breijer telah merekam realitas kehidupan masa-masa transisi dekolonisasi Indonesia dan penyerahan kedaulatan. Kini karya-karya Charles Breijer tersimpan di museum foto Belanda Het Nederlands Fotomuseum di Rotterdam.
Ada dua renungan penting hasil kegiatan Breijer semasa hidupnya. Pertama demikian pentingnya pekerjaan fotografer. Foto-fotonya menjadi model realitas suatu peristiwa di suatu masa. Kedua, tidak kurang penting adalah penyimpanan foto itu sendiri, sehingga dapat dengan mudah ditemukan dan dipergunakan untuk mengungkap kebenaran, realitas di masa lalu.
Kalau museum Het Netherland Fotomuseum menyimpan foto-foto Breijer tentang Indonesia, bagaimana dengan perhatian museum kita atas foto-foto karya bangsa sendiri?.
Penulis adalah penulis Biografi, tinggal di Medan.
Aartikel ini dimuat di Harian Analisa Cetak 3 September 2011.
Minggu sore 21 Agustus 2011, setelah menonton beberapa tokoh Indonesia yang menginspirasi di sebuah televisi swasta, saya tertarik dengan sebuah berita di www.jejaringnews.com, sebuah situs berita online. Judulnya cukup menarik. "Saksi Kedaulatan RI Meninggal di Belanda".
Bagi saya nama itu begitu asing. Sama seperti saya, mungkin banyak pembaca artikel ini setali tiga uang. Meski sudah melewati usia 50-an, secara jujur saya mengakui belum pernah mendengar nama itu, sebelumnya.
Saya menjadi sadar, dan ingat kata pepatah lama: Good Work No Name. Perbuatan baik sering tak disebut, sebelum orangnya meninggal. Sama halnya dengan Charles Breijer. Barangkali, sejak kepulangannya ke Belanda 1953, tidak banyak karyanya diperbincangkan. Maklum, kita terhanyut oleh berita-berita korupsi, dan asyik membicarakan Nazaruddin, Gayus, Century. Publikasi meninggalnya Breijerpun tidak banyak di media kita. Entah kenapa.
Siapa sebenarnya Charles Breijer, sehingga sebagai bangsa yang dikatakan mampu menghargai karya-karya manusia tidak bisa begitu saja melupakannya? Mari bersama-sama mengikuti kisahnya, dan mengambil pelajaran darinya.
Mengungkap Kebenaran Lewat Foto
"Photography is truth", ungkapan Jean-Luc Godard, pendiri bioskop French New Wave, dengan film kontroversialnya, Breathless (1960), dan Hail Mary (1985) barangkali cocok menggambarkan aktivitas dan karya-karya Breijer.
Biografi yang diterbitkan RNW mengungkapkan, Breijer memulai karirnya sebagai fotografer profesional untuk De Arbeiderspers, pada tahun 1937. Dia mengerjakan, antara lain, laporan foto untuk Wij. Ons werk ons leven, sebuah jurnal dengan desain modern, yang menyediakan banyak ruang untuk fotografi dan photomontase.
Segera setelah invasi Jerman, pers di Belanda mengalami sensor yang ketat. Fotografer dipaksa menjadi anggota Verbond van Nederlandsche Journalisten (Persatuan Wartawan Belanda), yang diawasi oleh Bereau Fotopers (Foto Kantor Pers). Breijer mendaftar sebagai syarat untuk dapat terus bekerja sebagai fotografer dan berada di garis depan kegiatan bawah tanah.
Pada tahun-tahun awal pendudukan, ia menggunakan kartu persnya untuk membuat foto-foto yang menggambarkan aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang tidak diterima tentara pendudukan. Dia adalah salah satu dari sedikit orang, misalnya, yang membuat foto penutupan Kantor Pusat Yahudi di Amsterdam.
Dalam perjalanan tahun 1944 ia bertemu Fritz Kahlenberg dan terlibat dengan De Ondergedoken Camera (Kamera Tersembunyi), kelompok fotografer di Amsterdam yang mengambil gambar tahun terakhir pendudukan Jerman. Dalam biografinya dikisahkan tidak kurang dari 260 foto itu, sebagian diambil dari kantong pelana sepedanya di mana ia menyembunyikan kameranya. Dibandingkan dengan foto-foto dari anggota lainnya di De Ondergedoken Camera, gambar-gambar ilegal Charles Breijer penting terutama karena menunjukkan berbagai aspek perlawanan bersenjata.
Pada tahun 1947, Breijer berangkat ke Indonesia sebagai seorang juru kamera hingga 1953. Terdorong oleh idealismenya, sebagaimana diberitakan RNW, ia ikut membantu membangun Indonesia sebagai negeri berdaulat. Ia bekerja untuk perusahaan milik negara Multifilm-Batavia dan bekerja mandiri untuk pemerintahan baru Indonesia.
Selepas penyerahan kekuasaan Belanda ke Indonesia pada 1949, Breijer banyak membuat foto kehidupan sehari-hari, arsitektur, alam. dan potret. Pada 1953, Breijer memutuskan untuk kembali ke Belanda. Setelah kembali ke Belanda, Breijer berfokus terutama pada syuting dan hampir tidak menyibukkan diri dengan fotografi lagi.
Foto-foto Kenangan Breijer di Indonesia
Ciri khas karya Charles Breijer dalam konteks Indonesia menurut RNW adalah koleksi fotonya yang memperlihatkan penyerahan kedaulatan di Indonesia. Selain menunjukkan situasi tegang seputar tahun-tahun terakhir kolonisasi menuju merdeka, karya-karyanya juga menjadi saksi sejarah terkait orang-orang miskin Indonesia yang baru saja merdeka.
Kini, situs http://www. geheugenvannederland.nl, menyimpan ribuan foto karya Charles Breijer.
Di antaranya adalah gambar sebuah masjid di Pontianak di Kalimantan, vila di pusat liburan, percakapan Abdul Kadin dan Hatta selama konferensi Kali Urang, Indonesia (1948). Dalam situs ini anda bisa melihat objek foto-foto yang dibuatnya dalam kurun waktu 1947-1953
Kita juga dapat menyaksikan foto-foto menarik dan bersejarah, seperti "Slogan-slogan Protes Yogyakarta, Pengendara Becak yang membawa dua Orang Kulit Putih, Kompleks Candi Borobudur 1949, Bekas Rumah Gubernur Yogyakarta, 1949, Bagian Belakang Rumah Ketua Serikat Buruh Pak Wongso, 1948. Breijer juga mengabadikan beberapa foto olah raga seperti atraksi sepeda BMX di stadion Solo pada 1948.
Sebuah foto yang sangat menyentuh berjudul "Seorang Ibu di Jakarta, 1947". Di sebuah jalur ijau, seorang wanita berbadan kurus, dengan pakaian yang compang-camping sedang duduk dengan tangan bertumpu dikakinya. Dia menghadap kaleng (tempat memasak) yang ditutup dengan setengah terbuka di atas tungku yang terdiri dari tiga buah batu. Di bawahnya, kayu bakar yang terdiri dari sebatang kayu dan beberapa batang semak belukar yang mungkin dipungut di pinggir jalan. Gambaran kesulitan hidup di masa transisi kemerdekaan.
Foto: Penting dan Harus Disimpan dengan Baik
Melepas kepergiaan Charles kami teringat kepada ungkapan Aaron Siskind, seorang fotografer ekspresionis abstrak Amerika yang meninggal pada 1991 di usia 88 tahun. Aaron mengatakan: "Apa yang telah Anda rekam di film akan disimpan selamanya ... ia mengingat hal-hal kecil, lama setelah Anda sudah lupa segalanya"
Breijer telah mencatat berbagai objek yang mungkin sudah terlupakan oleh kita semua. Tetapi foto-fotonya kembali mengingatkan kita tentang wajah wajah manusia, kehidupan mereka, keindahan dan kekayaan bumi dan langit Indonesia.
Seorang pengunjung situs http://www.geheugenvannederland.nl menuliskan kesannya dalam situs itu sebagai berikut: "His photographs are a model of reality, and vigorous. He was a real blessed artist and professional".
Breijer telah merekam realitas kehidupan masa-masa transisi dekolonisasi Indonesia dan penyerahan kedaulatan. Kini karya-karya Charles Breijer tersimpan di museum foto Belanda Het Nederlands Fotomuseum di Rotterdam.
Ada dua renungan penting hasil kegiatan Breijer semasa hidupnya. Pertama demikian pentingnya pekerjaan fotografer. Foto-fotonya menjadi model realitas suatu peristiwa di suatu masa. Kedua, tidak kurang penting adalah penyimpanan foto itu sendiri, sehingga dapat dengan mudah ditemukan dan dipergunakan untuk mengungkap kebenaran, realitas di masa lalu.
Kalau museum Het Netherland Fotomuseum menyimpan foto-foto Breijer tentang Indonesia, bagaimana dengan perhatian museum kita atas foto-foto karya bangsa sendiri?.
Penulis adalah penulis Biografi, tinggal di Medan.
Aartikel ini dimuat di Harian Analisa Cetak 3 September 2011.