Oleh: Jannerson Girsang
Sudah menjadi kegiatan rutin, setiap acara Ulang Tahun Gereja atau
menjelang Natal, gereja GKPS Simalingkar melakukan aksi sosial dengan
kunjungan ke rumah-rumah oleh tim yang terdiri dari Panitia, Pengurus
Sektor serta Pimpinan Majelis.
Salah seorang anggota jemaat GKPS
Simalingkar yang kami kunjungi tadi malam adalah seorang ayah dari dua
anak--yang tertua SD, dan yang bungsu masih TK, sudah 4,5 tahun
menjalani cuci darah dua kali seminggu di RS Adam Malik.
Sudah empat Natal berjalan, keluarga St Mangasi Girsang menjadi salah satu sasaran aksi sosial gereja kami.
Selain St Mangasi tim yang lain juga mengunjungi beberapa keluarga
lain yang juga mengalami sakit menahun. (Saya menunggu kisah jemaat yang
mengalami nasib yang sama).
Menoleh ke Belakang
Sang
ayah, St Mangasi Girsang adalah seorang petani kecil di sebuah desa di
Simalungun. Di masa mudanya, Mangasi pernah jadi dirigen Koor Pemuda
GKPS Tangerang.
Kemudian dia kembali ke kampung halamannya di
Situri-turi dan setelah berkeluarga dia diangkat menjadi seorang sintua
di GKPS. Dia aktif menjadi dirigen di gerejanya, dan dirigen Tim Koor
GKPS Resort Tugarunggu dalam Pesparawi Bapa GKPS di Balei Bolon,
Pematangsiantar, 2007.
Empat setengah tahun yang lalu, keluarga
ini menghadapi masalah berat. Dokter memvonisnya harus mengalami cuci
darah. Sayang negeri ini belum menjangkau pelayanan cuci darah hingga ke
desa-desa. Rumah sakit yang mampu menolongnya hanya ada di Medan.
Semua kalang kabut. Keluarga ini beruntung karena setelah berhasil
mendapat "surat miskin" mendapat pelayanan gratis dari pemerintah.
Sebelumnya sekali cuci darah, mereka harus membayar Rp 600.000.
Mereka harus pindah ke kota terbesar di Sumatera Itu dan mendaftar
sebagai anggota Jemaat GKPS Simalingkar. Dua anaknya ketika itu masih
kecil-kecil. Putri bungsunya baru berusia delapan bulan dan sempat
dititip beberapa lama di kampung
Menjelang Natal 2014
Empat setengah tahun kemudian, istrinya yang dulu seorang petani, kini
sudah memiliki sebuah kios di Pajak Jahe dan menjadi pedagang kecil
sayur mayur.
Padahal, awalnya sang ayah sudah mulai frustrasi.
"Ketika mulai cuci darah, saya hanya bisa berdoa. Tuhan, tolonglah
saya, hingga putri bungsu saya bisa memanggil saya "ayah", baru Tuhan
memanggil saya,"ujarnya mengenang peristiwa empat setengah tahun lalu
itu.
Kami mendengarkan pengalaman sang ayah yang kini berusia
46 tahun itu selama setahun ini dan dengan lancar sang ayah bercerita.
"Setelah empat setengah tahun menjalani cuci darah tubuh saya terasa
semakin melemah dan aktivitas yang bisa saya lakukan makin berkurang.
Nafsu makan sudah menurun. Kalau sebelumnya saya masih bisa memasak,
sekarang tidak lagi. Saya kadang terpikir, terserah Tuhan kapan saya
akan dipanggil, saya sudah siap," ujarnya pasrah.
"Cuma, kadang
muncul juga rasa khawatir tentang masa depan kedua anak saya," lanjutnya
dengan wajah sedikit menunduk dan kemudian menerawang ke atas atap
rumah kontrakannya yang terletak di pinggir sungai.
Semua
anggota tim terharu mendengarnya!. Saya, istriku, St Weldy Saragih dan
istrinya, Sy Asima br Lubis, Mama Vika br Siregar hanyut dalam pikiran
kami masing-masing. Andai saya seperti dia!
Bersyukur dan Berharap, Mengarungi Gelombang
Tahun ini, mereka sempat menghadapi masalah besar. Istri yang kini jadi
penopang kehidupan mereka dengan berjualan di Pajak Jahe, Simalingkar,
sempat berhenti berjualan selama dua minggu, karena "lumpuh". Konon
sejenis nyamuk Cikungunya.
"Saya tidak mampu menggerakkan kaki
saya, tidak bisa melakukan apa-apa. Wah, inilah akhir kehidupan keluarga
kami. Bapak kami sakit, saya juga sakit," kata sang istri.
Kemudian dia melanjutkan "Kami sangat bersyukur, karena menjelang Hari
Natal ini saya sudah sehat kembali dan bisa berjualan lagi,"
Dulu sang ibu br Saragih yang hebat ini adalah petani di kampung, tak
memiliki sedikitpun pengalaman berdagang. Namun sejak suaminya sakit
4,5 tahun lalu harus berubah haluan menjual sayur mayur dan buah di
Pajak Jahe Simalingkar.
Meski dalam penderitaan yang berat,
keluarga ini tetap menunjukkan sikap bersyukur. Kami masih disuguhi teh
manis serta kue-kue yang dipersiapkan.
"Maaflah saya baru pulang
dan hanya bisa menyuguhkan ala kadarnya," ujar sang istri yang baru
saja kembali dari berjualan di Pajak Jahe, yang berjarak satu kilometer
dari rumah mereka.
Setiap hari, sang istri harus keluar rumah
sekitar pukul 03.00 pagi, membeli bahan jualannya ke Pajak Sambu naik
angkot, dan berjualan seharian penuh, sementara suami dan anak-anaknya
ditinggal di rumah. Sang suami dua kali seminggu harus cuci darah ke
rumah sakit yang berjarak 3 kilometer dari rumah mereka.
"Saya
kadang merasa kurang berbuat kepada Tuhan, karena sibuk bekerja
memikirkan kebutuhkan keluarga. Saya kadang tidak ke pertonggoan, karena
pulang bekerja sudah jam 19.00 dan harus menyiapkan semuanya bagi
keluarga," ujar istrinya senyum tanpa kesan mengeluh.
"Dulu,
ketika saya mulai cuci darah, putri saya masih berusia delapan bulan,
dan saya berdoa kepada Tuhan agar diberi umur agar` putri saya bisa
memanggil ayah kepada saya sebelum dipanggil Tuhan. Kini putri saya
sudah TK, puji Tuhan" kata sang ayah.
Saat kondisi tubuh yang
melemah, Mangasi masih menjadi berkat bagi para pasien yang menjalani
cuci darah, khususnya mereka yang baru saja memulainya. "Satu hari, kami
ada sekitar 20 orang yang cuci darah. Mereka yang baru memulainya
banyak bertanya pengalaman kami, Saya menceritakan pengalaman saya dan
mereka tambah semangat,"katanya.
Dia juga berdoa agar negeri ini
aman dan pelayanan kesehatan tidak pernah terganggu. "Orang seperti
kamilah yang paling menderita kalau negara tidak aman. Satu kali saja
kami tidak mendapat pelayanan cuci darah, kami gamelah (tamat),"
katanya.
Peneguh dan Perhatian
Kami hanya bisa
mengatakan bahwa tim kami tidak mampu berkhotbah untuk mereka. Merekalah
khotbah yang hidup. Dalam penderitaan yang beratpun mereka tetap rukun
di rumah tangga, anak-anak sehat dan masih terus bersekolah.
Kami menitipkan ayat Alkitab dari Panitia sebagai bahan renungan bagi mereka. Yakobus 5:15-16.
"Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan
Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka
dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku
dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar,
bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya"
Ketika tim kami memberikan bantuan ala kadarnya, sang ayah berujar:
"Saya sebenarnya berat sekali menerimanya, karena setiap tahun gereja
tetap menjenguk kami, memperhatikan kami, dan memberi bantuan. Keluarga
kami belum berbuat apa-apa. Saya banyak berhutang kepada gereja. Kami
akan berusaha datang ke Natal Bapa/Inang," katanya terharu.
Semoga keluarga ini mendapat lawatan Tuhan di hari Natal ini. Mereka
mendapat keluatan baru!.
Kami semua berdoa kiranya Tuhan tetap
menguatkan mereka dan memberi kesehatan dan ketabahan kepada ibu yang
kini menjadi tulang punggung keluarga.
Medan, 11 Desember 2014