Oleh: Jannerson Girsang
JUTAAN penggemar Rinto Harahap dimanapun berada
diliputi rasa sedih ksrena kehilangan idolanya seorang pencipta lagu
yang menghibur dan melembutkan hati selama puluhan tahun, Meski
Rinto pergi, lagu-lagu ciptaannya akan terus melegenda.
Rinto Harahap, meninggalkan kita untuk selama-lamanya, di Rumah
Sakit Elizabeth, Singapura, 9 Pebruari 2015, kurang lebih satu bulan
menjelang usianya memasuki 65 tahun. Media mnyiarkan, Rinto meninggal
karena sakit kanker sumsum tulang belakang dan infeksi paru-paru.
Membaca berita kepergian pria kelahiran Sibolga 10 Maret 1949 itu di
media sosial Kamis siang, memutar memoriku di masa-masa muda. Tak tahan
rasanya untuk tidak menggoreskannya sebagai bentuk penghormatan untuk
seorang yang dikagumi.
Telinga Tak Bisa Luput dari Lagu Rinto
Menyaksikan Eddy Silitonga di televisi menangis sedih disamping
jenazahnya, membawa saya larut ke nostalgia, kenangan pribadi saya, ke
era 70an.
Sejak. 1976, di akhir masa SMP. Saya mengenal karya Rinto melalui
lagu "Biarlah Sendiri", yang saya dengar dari tape recorder tetangga
saya ketika itu. Penyanyinya Eddy Silitonga belum dikenal luas sebelum
menyanyikan lagu itu.
Suara Eddy Silitonga yang melengking tapi menyejukkan hati itu adalah
awal saya mencintai lagu-lagu ciptaan Rinto Harahap. Lagu itu "tidak
lekang oleh panas dan tidak tidak lapuk oleh hujan".
Sebelum menulis artikel ini, 38 tahun kemudian, bahkan setelah saya
punya cucu, lagu itu, rasanya masih seperti baru saja ngetop, dan
telinga saya masih merindukan lagu itu meski hanya melalui youtube.
Sesudah itu, setiap gerak hidup saya tak terlepas dari lagu ciptaan
Rinto. Keberangkatan saya ke Jakarta pada 1978, diantar oleh lagu “Benci
Tapi Rindu”, sebuah lagu ciptaan Rinto Harahap yang dipopulerkan Diana
Nasution. Penyanyi wanita Band Kapal Tampomas melantunkan lagu balada
itu dengan sangat menyentuh perasaan, menghantar kapal berjalan lambat
meninggalkan dermaga pelabuhan Belawan, memisahkan saya dan keluarga
yang terlihat kepanasan di terpa matahari di pinggir dermaga.
Di masa-masa SMA di Jakarta hingga kuliah di Bogor, lagu-lagu Rinto
Harahap adalah idolaku, idola jutaan remaja, mahasiswa. Siapa yang
tidak terlena dengan Rita Butar-butar yang melantunkan lagu Seandainya
Aku Punya Sayap, Iis Soegianto dengan lagu Jangan Sakiti Hatinya.
Dimasa-masa kuliah, saya menikmati lagu Christine Panjaitan yang
popular dengan lagunya Sudah Kubilang, Betharia Sonata (Kau Tercipta
Hanya Untukku), Nia Daniati (Gelas-gelas Kaca), Nur Afni Oktavia (Bila
Kau Seorang Diri). Tentu akan sangat panjang kalau disebut satu per
satu.
Telinga saya, mungkin telinga jutaan rakyat Indonesia tidak pernah
bisa terhindar dari lagu-lagu ciptaan Rinto. Lagu ciptaannya yang
dinyanyikan Eddy Silitonga, Iis Soegianto, Nias Daniati, Christin
Panjaitan, Nur Afni Octavia dan lain-lain, mendominasi lagu-lagu di TVRI
Rinto bukan hanya dikenang sebagai pencipta lagu, tetapi juga
seorang penyanyi yang handal, baik dalam grup band The Mercy’s maupun
menyanyi solo. .
Siapa tidak kagum menyaksikan Grup Band The Mercy’s yang saat itu
kerap muncul di TVRI. Instrumentalia lagu Mama The Mercy’s senantiasa
menjadi santapan pulang kebaktian Minggu mengantar Film Little Town
in Prairie yang sangat ngetop saat itu.
Lagu “Ayah” terus melegenda hingga sekarang karena acapkali
dinyanyikan setiap ada ayah teman yang meninggal. Band ini paling banyak
mengisi acara di TVRI di akhir era 1970-an.
Sederhana, Jujur dan Lembut
Saya beruntung sempat bertemu muka dengan Rinto Harahap pada sebuah
Seminar Nasional Pariwisata, 1988 ketika saya menjabat Rektor di
Universitas Simalungun, dan saat itu saya menjadi Ketua Pelaksana
Seminar, yang diselenggarakan dalam menyambut Pesta Danau Toba.
Pembicaraan selama beberapa menit di lobby Siantar Hotel 26 tahun
lalu itu, begitu mengesankan. Rinto begitu menyenangkan dalam pergaulan.
Sosoknya low profile, bicaranya lembut dan sangat sopan.
Rizaldi Siagian, seorang seniman Sumut mendampingi beliau ketika itu, karena mereka diundang sebagai pembanding.
Senada dengan Addie MS, konduktor dan pencipta lagu klasik terkemuka
di negeri ini mengaku hal yang sama. “Rinto mengajarkan kami kekuatan
kejujuran dan kesederhanaan,” kata Addie MS, sepeti dikutip The Jakarta
Post.
Dia menambahkan bahwa Rinto menginspirasinya karena dia membuktikan
teknik yang tinggi sendiri tidak cukup dalam memproduksi karya seni
yang hebat. Rinto memiliki talenta khusus yang membuatnya mampu
mengekspresikan cinta dan penderitaan dengan caranya sendiri.
Masyarakat Indonesia tentu tidak asing lagi mendengar ungkapan “Muka
Rambo, Hati Rinto”. Maksudnya biarpun muka seram seperti Rambo,
tetapi hatinya selembut hari Rinto Harahap. Rinto simbol orang berhati
yang lembut!
Pengamat Mengritiknya Cengeng
Selama hidupnya, pria yang hijrah ke Jakarta pada medio 1970 itu
adalah seorang penyanyi, pencipta lagu, dan producer. Tahun 1970-an ia
mendirikan grup band The Mercy's yang terdiri Charles Hutagalung, Erwin
Harahap, Reynold Panggabean dan Rinto Harahap sendiri. Rinto adalah
seorang seniman yang bernaluri bisnis. Di samping seorang komposer ia
juga pemilik perusahaan recording bernama Lolypop di era 1970-an.
Sebagai pencipta lagu, sejak mengawali kariernya di Band The Mercys
pada 1969, Rinto diberitakan sudah menggubah sedikitnya 500 buah lagu.
Sebagai pencipta lagu, Rinto mengungkapkan kegalauannya dengan cara
Rinto. Namanya menjadi simbol Balada Melankolis Indonesia.
Mengutip ungkapan Kalu Ndukwe Kalu, “The things you do for yourself
are gone when you are gone, but the things you do for others remain as
your legacy.” Rinto sudah pergi, tetapi karya-karyanya akan dikenang
sepanjang masa
Sementara beberapa kritikus dengan sinis menilai karya Rinto yang
berlebihan melodramatis. Mendengar irama dan lirik lagu-lagu Rinto,
banyak orang tersentuh. Rinto bahkan sempat dijuluki sebagai musisi
spesialis lagu-lagu cengeng. CNN Indonesia mencatat: “Oleh pemerintahan
Orde baru, Menteri Penerangan saat itu Harmoko sempat melarang lagu
Rinto dinyanyikan di televisi.
Alasannya, lagu Rinto dianggap kurang
memberikan semangat. Namun toh, karier Rinto tak lantas kandas, banyak
orang yang terus menantikan karya-karyanya”.
Rinto sendiri mengatakan bahwa lagu-lagunya menyentuh sesuatu yang
lebih dari sakit hati dan kesedihan. "Lagu cengeng itu konotasinya
enggak bagus, yang kalau kita dengar seperti dilecehkan. Itu yang
membuat saya menentang," ujar Rinto dalam jumpa pers peluncuran album
The Masterpiece of Rinto Harahap with Tohpati di Jakarta, Rabu
(3/11/2010), seperti dikutip Kompas.com.
Menurut Rinto, lagunya bukanlah cengeng, melainkan lebih berkesan
sedih. "Kesan air mata itu yang bagus daripada cengeng. Kalau air mata
itu ada sebabnya keluar. Kalau saya lebih condong ke sedih dan air
mata," tandas Rinto.
Sebagian pengamat di era 80an, menyebut lagu-lagu karya Rinto sebagai
lagu kacangan yang tak perlu menguras energi tinggi untuk membuatnya,
karena hanya menggunakan musik tiga jurus (tiga kord), dan tema yang
itu-itu saja. Gampang dicerna dan disukai oleh masyarakat yang
ramai-ramai membeli karya Rinto bak kacang goreng.
Pengamat, penguasa tentu tidak sama dengan penggemarnya. “Mereka
boleh saja memandang sinis karya-karya Rinto, tapi sebagai seorang
seniman, Rinto juga berhak untuk cerdas bersiasat agar hidupnya sebagai
seniman bisa sejahtera,” ungkap Kompas.com.
Penganut Pluralis
11 Pebruari 2015, Rinto Harahap sudah dimakamkan di TPU, Kampung Kandang, Jagakarsa, Pasar Minggu Jakarta.
Dari siaran televisi saya menyaksikan Istri Rinto, Lily Kuslolita,
mengenakan kerudung. Saya juga menyaksikan ketiga putrinya tak kuasa
menahan tangis saat jenazah ayah tercinta dikebumikan. Tangis Claudia
Harahap, putrid tertua Rinto adalah tangis kami semua penggmar Rinto.
Rinto adalah contoh keluarga pluralis Indoensia. Dia menikah dengan
Lily yang berasal dari Solo pada tanggal 9 November 1973 silam. Hubungan
itu tetap bertahan di tengah perbedaan keyakinan, hingga maut
memisahkan. “Papa selalu hidup rukun dan tak pernah mempesoalkan
perbedaan agama mereka”ujar Claudia Harahap, melalui siaran sebuah
televisi swasta.
Rinto adalah seorang Kristen Protestan dan bahkan ayahnya pernah
berharap ia menjadi seorang pendeta. Sementara itu istrinya Lily
merupakan seorang Muslim dan berasal dari keluarga Muslim.
Almarhum Rinto meninggalkan seorang istri bernama Lily Kuslolita, dan
tiga orang anak yaitu Cindy Claudia Harahap, Ratna Harahap dan Astrid
Harahap.
Saya sedih menghantarkanmu, jutaan penggemarmu turut sedih.
"Biar, biarlah sedih asalkan kau bahagia. Biar, biarlah sedih usah
kau kenang lagi. Biarlah kini...hidupku sendiri". Tapi lagumu Biarlah
Sendiri akan selalu kukenang.
Medan, 12 Pebruari 2015