Oleh:
Jannerson Girsang
Baru saja seorang ibu mengantarkan ketiga anaknya ke mobil jemputan
sekolah di depan rumahnya. Memberi senyum kepada buah hatinya itu.
Lantas dia masuk ke ruang cuci piring. Sedang mencuci piring tiba-tiba
dia mendengar suara yang tidak hanya membuat telinganya bising, tetapi
sangat menyaktkan hatinya. .
"Kamu tidak bisa diharapkan
apapun. Udah tinggal di rumah aja, baju ke kantorpun tidak licin
gosokannya," ujar sang Bapak bertolak pinggang.
Hanya persoalan
sepele begini, sang suami yang bekerja sebagai manajer di sebuah
perusahaan swasta nasional itu sudah memarahi, membentak istrinya.
Tidak puas, sang suami mendekati istrinya yang sedang cuci piring di
ruang cuci dekat kamar mandi. Istrinya diam saja, tak menjawab.
Suara yang lebih menusuk dan serasa menembus jantung sang istri keluar lagi dari mulut suaminya.
"Kalau minta uang kamu nomor satu. Kalau dulu aku milih si Waty jadi istriku, mungkin aku tidak sesusah ini!".
Sikap suaminya pagi itu tak mampu lagi dliawannya dengan kesabaran. Bukan sekali dua kali suaminya melecehkannya.
Dia sangat menyesali sikap suaminya yang selalu meremehkannya. Dia juga
ingat kata-kata pelecehan dari mertua dan saudara-saudara suaminya.
Kadang hinaan itu tidak hanya untuk dirinya. Kadang sampai ke ibu
bapak, bahkan kakek neneknya yang tak bersalah, ikut kena damprat dan
makian suaminya.
Belum lagi semburan suaminya yang masih terngiang beberapa waktu sebelumnya.
"Dasar, kamu tidak beda dengan ibu dan ayahmu. Kakek nenekmu juga
sama," kata suaminya dengan emosi yang meluap-luap, hanya karena
istrinya membeli I-Pad..
Dia teringat lagi seminggu sebelumnya
sang mertua berkunjung ke rumahnya. Masih terngiang di telinganya saat
mertuanya menyindirnya.
"Cuma mengurus anak-anak dan rumah aja tidak bisa. Menantu macam apa ini?," kata mertuanya.
Pasalnya, hanya karena kamar mandi yang licin dan mertuanya terjatuh.
Saat itu, sang istri belum sempat mencucinya, karena baru saja selesai
menjemur pakaian. .
Semua membuatnya kalap. Tak kuasa menahan
kesabarannya, karena ucapan suaminya benar-benar meruntuhkan harga
dirinya pagi itu , sang istri ambil sikap yang tak biasa. .
Kali ini sang istri tidak sabar. Pemberontakan dalam hatinya tak bisa
ditahan lagi. Sambil menunjuk hidung suaminya, dia bersuara keras,
seperti berteriak.
"Kalau Bapak terus menerus memarahi mama, saya lebih baik keluar dari rumah ini. Aku sudah nggak tahan lagi," ujarnya nekat.
Sambil menangis dia berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu, keluar dari rumah dengan hanya memakai pakaian tidurnya. .
Marah dan geram!. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain berfikir lari.
Setiap hari dari subuh dia sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk suami dan anak-anaknya.
Siang, malam juga demikian,
Malam mempersiapkan makanan, mendampingi anak-anaknya makan malam dan
belajar. Lantas memeriksa jam tidurnya supaya tidak terlambat ke sekolah
besok paginya. Ketiga anaknya sudah duduk di SD dan SMP.
Bertahun-tahun dia mengurusi rumah tangganya, bahkan berkorban
melepaskan pekerjaannya di kala kelahiran anak bontotnya, demi ketiga
anak-anaknya dan keluarganya.
Namun, sebaliknya, sikap suaminya
justru terlalu sering memarahinya, melecehkannya. Hanya kadang karena
kurang pelayaanan sepele.
Mungkin karena dia tidak menghasilkan uang lagi!.
Pagi itu dia kalap dan sudah tidak peduli lagi. Perasaan menyesal, benci bercampur baur.
Di tengah jalan akhirnya dia memutuskan pergi ke tempat teman akrabnya semasa SD, beberapa kilometer dari rumahnya.
Sang suami hanya bisa tertegun setelah istrinya pergi, tanpa
menghalanginya. Seolah dia bisa hidup, mengurusi rumah dan membesarkan
anaknya sendiri.
Lalu dia memungut pakaian dinasnya, yang hanya sedikit kusut itu. Lalu berpakaian dan berangkat ke kantor.
Di kantorpun dia mulai merasa tidak nyaman dan mengkhawatirkan anak-anaknya.
Siapa yang jemput, siapa nanti yang kasi makan, siapa yang mengajari anak-anaknya
Sorenya, setiba di rumah. Anak-anaknya menangis. Karena tidak tau
mamanya berada di mana. Tidak tau persoalan mengapa mamanya pergi.
"Pak. Mana Mama?," ujar anaknya tertua. Mereka sejak siang mencari mamanya tetapi tidak ada.
Mereka yang terbiasa ditemani mamanya, bahkan untuk makan siang. Sejak
siang mereka tidak makan. Tidak tidur siang. Pekerjaan rumah juga tidak
disentuh. Tidak ada yang ikut les.
Sang suami menyaksikan rumah
yang berantakan. Dia masuk ke ruang cuci Cucian piring yang terbengkalai
tadi pagi, masih berserak tak karuan.Rumah seperti kapal pecah.
Si bapak tadi, sedih. "Dia merangkul ke tiga anaknya".
Dia berusaha menelepon istrinya tetapi HPnya tidak diangkat. Dia
mencari ke rumah beberapa keluarga dekatnya, tak kunjung ketemu.
Temannya menasehatinya supaya kembali ke rumah. "Kasihan anak-anak" katanya.
Akhirnya, hati seorang ibu luluh juga. Tidak tega juga membiarkan anak-anaknya terlantar.
Sakit karena pelecehan suaminya, mengalahkan sayangnya kepada ketiga anaknya.
Hingga dua hari kemudian, barulah teman akrabnya mengantar ke rumah.
Ketika mereka memasuki gerbang rumah, semua anak-anak berteriak!
"Mama....mama. mama. Kami sayang mama......dari mana sih mama"
Mamanya merangkul dan menciumi ketiga anaknya satu persatu,
Hanya menangis, tanpa suara. Lalu dia memandang suaminya yang berdiri loyo di pintu rumahnya.
Sang suami hanya berharap istrinya mau kembali baikan,Muncul rasa
penyesalan di hatinya, terus-terusan memarahi istrinya. Padahal istrinya
sudah berkorban banyak, dan tidak sadar bahwa ketiga anaknya sehat,
berprestasi di sekolah, karena istrinya mendidik mereka. .
Dia mengambil sapu tangan, menghapus air matanya mengalir menyaksikan peristiwa haru itu.
Lantas, mendekati istrinya dan meminta maaf.
"Maafkan aku ya Ma!" katanya, sambil mendekati istrinya. Mereka berpelukan
".
Pekerjaan istri di rumah memang sepele. Tapi tidak ada yang bisa
menggantikan. Pekerjaan mereka tak ternilai dengan apapun! Kalau sudah
tidak ada baru terasa!
Medan, dini hari, 29 Mei 2015