Pria ini adalah temanku sejak SMP di Saribudolok (1974-1976). Pria yang selalu memberi inspirasi, menyenangkan dan menambah kekuatan. Great lae Japorman Saragih Simarmata.
Foto ini dibuat saat kami sudah berusia 53 tahun di Lapangan Merdeka Saribudolok, Sabtu 15 Nopember 2014, saat Acara Syukuran Dr Junimart Girsang SH, anggota DPR-RI utusan Dapil III Sumatera Utara. .
Kami sudah bersama-sama duduk dalam Pimpinan Majelis GKPS Simalingkar selama 10 tahun belakangan ini. Kini saya menjadi Pimpinan Majelis dan beliau menjadi Wakil saya, yang mengawasi dan membina tugas-tugas Sekretaris (St JE Purba) dan Bendahara (St Sudiaman Sinaga), serta Ketua-ketua Sektor dan seksi-seksi.
Tugas-tugas kami laksanakan bersama, tanpa menunggu satu sama lain. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, saling mengisi, saling mendoakan satu sama lain.
Tidak mudah menjalin pertemanan sedemikian lama, apalagi duduk dalam kepengurusan yang saling mendukung dan satu langkah..
Binalah Long Life Friendship, yang tidak lapuk karena politik, ekonomi, atau kepentingan dunia lainnya. Itulah inti dari sebuah kepemimpinan kolektif. Bukan berteman atau ramah "musiman", kalau lagi suka, kalau lagi butuh!.
Terima kasih untuk jemaat GKPS Simalingkar yang terus mendoakan kami setiap saat, sehingga kami mampu melaksanakan tugas-tugas kami yang cukup berat. Terima kasih kepada semua majelis dan seksi-seksi, khususnya para ketua sektor.
Mari lanjutkan yang baik, hindari hal-hal yang tidak menyenangkan antara satu dengan yang lain. "Jangan biarkan iblis menang dalam setiap gerakmu. Biarlah Dia pemilik bumi ini yang selalu menang, sehingga semua merasa bahagia. Saling mendoakanlah setiap saat",
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Jumat, 21 November 2014
Wanita Pemimpin Desa
Oleh: Jannerson Girsang
Siapa bilang perempuan di desa terus dibawah kungkungan laki-laki?. Wanita ini membuktikan wanita juga bisa memimpin. Mengalahkan lawannya saat Pilkades dengan skor: 700:300!
St Hilderia Damanik (59 tahun), pegiat gender menjadi Kepala Desa Saranpadang, Kec Dolok Silau Kab Simalungun sejak 2008 dan memimpin sekitar 9000 jiwa rakyatnya.
Selain menjadi Kades Dia juga Wakil Pengantar Jemaat GKPS Saranpadang. "Kalau laki laki bisa kenapa perempuan tidak bisa?," katanya. ,
"Saya adalah binaan Pelpem GKPS. Kalau saya tidak bertemu Pelpem, saya tidak seberani sekarang ini." ujarnya.
Sebelumnya mantan guru SMP GKPS Saranpadang ini pernah menjadi Ketua Wanita GKPS Resort Saranpadang selama dua periode dan menjadi dirigen koor wanita dan gemende koor selama bertahun-tahun.
Putrinya kini menjadi seorang pendeta GKPS dan melayani di Medan, putranya lulusan salah satu perguruan tinggi di Medan, kini sudah bekerja dan anak bungsunya kini menjadi petani jeruk di desanya.
Bahagia...bahagia benar!. Senang bertemu dan berbincang dengan orang yang berbahagia. Waktunya kurang......he..he.
Siapa bilang perempuan di desa terus dibawah kungkungan laki-laki?. Wanita ini membuktikan wanita juga bisa memimpin. Mengalahkan lawannya saat Pilkades dengan skor: 700:300!
St Hilderia Damanik (59 tahun), pegiat gender menjadi Kepala Desa Saranpadang, Kec Dolok Silau Kab Simalungun sejak 2008 dan memimpin sekitar 9000 jiwa rakyatnya.
Selain menjadi Kades Dia juga Wakil Pengantar Jemaat GKPS Saranpadang. "Kalau laki laki bisa kenapa perempuan tidak bisa?," katanya. ,
"Saya adalah binaan Pelpem GKPS. Kalau saya tidak bertemu Pelpem, saya tidak seberani sekarang ini." ujarnya.
Sebelumnya mantan guru SMP GKPS Saranpadang ini pernah menjadi Ketua Wanita GKPS Resort Saranpadang selama dua periode dan menjadi dirigen koor wanita dan gemende koor selama bertahun-tahun.
Putrinya kini menjadi seorang pendeta GKPS dan melayani di Medan, putranya lulusan salah satu perguruan tinggi di Medan, kini sudah bekerja dan anak bungsunya kini menjadi petani jeruk di desanya.
Bahagia...bahagia benar!. Senang bertemu dan berbincang dengan orang yang berbahagia. Waktunya kurang......he..he.
Jumat, 14 November 2014
Panggilan Rohaniwan untuk Menggarami (Harian Analisa 14 November 2014)
Oleh: Yusrin.
Tulisan S. Sahala Tua Saragih yang berjudul: “Rohaniwan Mesti Menulis di Media? di Harian ini (6/11/2014) sangat menggelitik penulis untuk mengapresiasi opini tersebut. Sebagaimana yang sering dikatakan salah seorang penatua GKPS, Jannerson Girsang, seorang penulis biografi tokoh-tokoh gereja dan biografi tokoh-tokoh terkenal di Sumatera Utara bahwa betapa minimnya rohaniwan-rohaniwan yang menulis di media massa. Yang dimaksud dengan media disini, demikian Sahala Tua Saragih, adalah surat kabar Harian atau koran Harian misalnya Harian Analisa, Medan Bisnis, atau SIB dan lain-lan. Sedangkan tulisan yang dimaksud lebih berfokus pada tulisan opini, bukan tulisan berupa renungan atau khotbah pada kolom “Mimbar Agama”.
Apa hendak dibidik oleh Sahala Tua Saragih dalam tulisannya sangat sesuai dengan pergumulan yang selalu digumuli oleh penatua tersebut, Bapak Girsang. Dalam beberapa kesempatan baik bertatap muka, melalui handphone atau melalui jejaring sosial, biografer tersebut sering “mengeluhkan permasalahan tersebut kepada penulis”.
Namun, penulis tidak menafikan atau menyederhanakan sebuah persoalan seakan-akan yang dimaksud dengan menulis adalah menulis “opini” di koran-koran Harian. Banyak pendeta-pendeta, hamba-hamba Tuhan baik yang melayani di gereja atau di Sekolah Tinggi Teologi (STT) termasuk mahasiswa STT yang rajin menulis di majalah-majalah gereja dan jurnal-jurnal Teologi baik jurnal kampus maupun jurnal yang diterbitkan oleh LAI atau lembaga-lembaga lainnya. Diantaranya yang penulis ketahui adalah Bapak Jontor Situmorang, Jan Jahaman Damanik, Jonhriaman Sipayung, Agusjetron Saragih, Jon Renis Saragih untuk sekadar menyebutkan beberapa dosen teologi dari GKPS yang rajin menulis di jurnal. Demikian pula Ephorus GKPS Bapak Jaharianson Saragih yang telah membuahkan sebuah buku di tengah kesibukan melayani sebagai Ephorus dan dosen di berbagai STT di Sumatera Utara.
Mengapa Menulis di Koran Harian?
Sahala Tua Saragih dalam judul tulisan mempertanyakan: Rohaniwan Mesti Menulis di Media? Atau kalau pun tidak mempertanyakan, penulis menafsir judul tersebut seperti kalimat retoris yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat tersebut adalah sebuah refleksi, “otokritik” atau “gugatan” terhadap aktivitas atau kegiatan para rohaniwan yang sangat minim menulis di harian-harian di Sumatera Utara.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang tidak jauh dari seorang rohaniwan. Sebagai mana kita ketahui bahwa kata “rohaniwan” dibentuk dari kata dasar “rohani” ditambah dengan “wan” yang bermakna orang yang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan yang mengurus masalah-masalah kerohanian. Keseharian seorang rohaniwan, sekadar menyebutkan beberapa hal, adalah berkhotbah, berceramah, melakukan konseling terhadap jemaatnya yang bermasalah. Di dalam segala aktivitas itu, para rohaniwan merenung, berefleksi dan membaca serta menuangkan konsep-konsep, misalnya khotbah, dalam bentuk tulisan kemudian baru disampaikan dalam bentuk lisan di atas mimbar. Maka kegiatan menulis sesungguhnya adalah sesuatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh para rohaniwan. Persoalannya adalah mengapa para rohaniwan tidak menggunakan koran harian untuk menggarami? Apa esensi dasar dan kebutuhan untuk menulis di harian?
Dalam beberapa kesempatan penulis sering berdiskusi dengan beberapa rohaniwan seperti Estomihi Hutagalung, seorang rohaniwan yang produktif menggarami melalui Harian-harian di Sumatera Utara. Sebelumnya, Bapak Hutagalung adalah seorang penulis yang menggunakan media “Majalah gereja” untuk mempublikasi gagasan, ide dan buah pikirannya. Dan boleh dikatakan tidak pernah atau jarang mempublikasikan tulisan di koran-koran Harian. Setelah penulis mengemukkan pandangan dan alasan tentang pentingnya menulis di Harian, beliau mengamini pandangan penulis.
Ada beberapa alasan mengapa seorang rohaniwan perlu menulis atau mempublikasikan tulisannya di media. Pertama, jumlah pembaca di Harian jauh lebih besar dari kalau tulisan itu dipublikasikan di majalah. Misalnya, kalau tulisan kita dipublikasikan di Majalah gereja milik denominasi tertentu, contohnya Suara Methodist Indonesia (SMI) tentu yang membaca hanya kalangan Methodist saja. Seandainya, tulisan kita dipublikasikan di Majalah “Nasional” Oikumene, pembacanya akan lebih luas tetapi terbatas hanya dikalangan agama tertentu saja. Tetapi kalau tulisan kita dipublikasikan di Koran Kompas, berapa banyak jumlah pembaca yang akan membaca tulisan kita. Yang pasti adalah jangkauan pembaca lebih luas, meskipun tidak semua pembaca Kompas akan membaca rubrik “Opini”, umpamanya. Kedua, tulisan-tulisan di koran Harian yang bersifat umum dan bukan milik kalangan agama tertentu, tentu merupakan kegiatan “Oikumene” dalam rangka dialog-dialog dengan agama-agama lain. Ketiga, peluang buah pikiran kita untuk membentuk opini di masyarakat atau menggarami lebih luas dibandingkan melalui buku atau majalah. Keempat, menulis di Harian yang memiliki daya jelajah dan jangkau yang lebih luas serta oplah yang lebih banyak akan membuat penulisnya lebih cepat terkenal. Meskipun alasan keempat ini bukan merupakan tujuan dari seseorang menulis atau mempublikasikan tulisannya. Tetapi mau tidak mau, diakui atau tidak, hal ini akan terjadi apabila seorang rohaniwan sering mempublikasikan buah pikiran melalui Harian maka kesempatan dia untuk dikenal dan tidak dilupakan akan jauh lebih besar.
Beberapa rohaniwan atau tokoh yang acapkali menulis tulisan yang religius-kontemplatif, yang sangat terkenal atau setidaknya kita merasa ‘familiar” dengan nama-nama mereka karena - salah satu faktor yang membuat mereka terkenal – menulis, misalnya Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Franz Magnis-Suseno, F. Budi Hardiman, YB. Mangun Wijaya, K. Bertens, Yongky Karman dan Martin L. Sinaga. Untuk daerah Sumatera Utara, kita dapat menyebutkan beberapa nama misalnya Estomihi Hutagalung, Robert Sihombing, Roy Naldi Simare-simare yang terakhir merupakan calon rohaniwan dan sejarawan gereja yang produktif menulis di Harian, Jurnal dan majalah.
Rohaniwan Dan Sastrawan
Lebih jauh lagi, media bagi seorang rohaniwan untuk menuangkan gagasan, pikiran dan ide dapat diperluas dari sekadar tulisan teologis ilmiah di jurnal-jurnal, setengah ilmiah populer berupa tulisan opini di Harian atau tulisan refleksi/renungan di rubrik “Mimbar Agama” atau majalah keagamaan tertentu. Rohaniwan juga dan boleh menulis genre sastra baik berupa puisi, cerpen dan esai.
Beberapa contoh sastrawan-rohaniwan yang terkenal di Indonesia, misalnya Romo YB. Mangun Wijaya yang terkenal dengan Novelnya “Burung-burung Manyar” yang memenangkan salah satu satu sayembara. Mudji Soetrisno yang telah mempublikasikan beberapa kumpulan puisinya. A. Mustofa Bisri, seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren yang cukup getol dan rajin menyarankan agar para kiai bukan hanya berceramah tetapi dapat pula menulis cerpen, puisi dan novel.
Pemilihan media dan jenis media apakah yang akan digunakan untuk mempublikasikan ide dan buah pikiran dari rohaniwan dalam menyampaikan pesan adalah merupakan hak prerogatif dari seorang penulis, dalam hal ini rohaniwan. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba mempublikasi tulisan kita melalui Harian. Karena tugas rohaniwan baik dari agama apa pun adalah untuk menggarami, mengajak umat merenung, berefleksi dan berkontemplasi dan tentu saja untuk mempraktekkan firman Tuhan yang diajarkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dan tentu saja, tulisan melalui Harian pasti bersifat universal dan tidak sektarian, meskipun masing-masing rohaniwan dalam menyampaikan pesan pasti menggunakan simbol, lambang atau bahkan menggunakan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebagaimana yang mereka imani. Namun, pesan universal dari setiap rohaniwan dapat dilaksanakan dalam kehidupan setiap umat beragama. ***
Penulis sedang studi lanjut di Program Pasca Sarjana STT Abdi Sabda Medan
Tulisan S. Sahala Tua Saragih yang berjudul: “Rohaniwan Mesti Menulis di Media? di Harian ini (6/11/2014) sangat menggelitik penulis untuk mengapresiasi opini tersebut. Sebagaimana yang sering dikatakan salah seorang penatua GKPS, Jannerson Girsang, seorang penulis biografi tokoh-tokoh gereja dan biografi tokoh-tokoh terkenal di Sumatera Utara bahwa betapa minimnya rohaniwan-rohaniwan yang menulis di media massa. Yang dimaksud dengan media disini, demikian Sahala Tua Saragih, adalah surat kabar Harian atau koran Harian misalnya Harian Analisa, Medan Bisnis, atau SIB dan lain-lan. Sedangkan tulisan yang dimaksud lebih berfokus pada tulisan opini, bukan tulisan berupa renungan atau khotbah pada kolom “Mimbar Agama”.
Apa hendak dibidik oleh Sahala Tua Saragih dalam tulisannya sangat sesuai dengan pergumulan yang selalu digumuli oleh penatua tersebut, Bapak Girsang. Dalam beberapa kesempatan baik bertatap muka, melalui handphone atau melalui jejaring sosial, biografer tersebut sering “mengeluhkan permasalahan tersebut kepada penulis”.
Namun, penulis tidak menafikan atau menyederhanakan sebuah persoalan seakan-akan yang dimaksud dengan menulis adalah menulis “opini” di koran-koran Harian. Banyak pendeta-pendeta, hamba-hamba Tuhan baik yang melayani di gereja atau di Sekolah Tinggi Teologi (STT) termasuk mahasiswa STT yang rajin menulis di majalah-majalah gereja dan jurnal-jurnal Teologi baik jurnal kampus maupun jurnal yang diterbitkan oleh LAI atau lembaga-lembaga lainnya. Diantaranya yang penulis ketahui adalah Bapak Jontor Situmorang, Jan Jahaman Damanik, Jonhriaman Sipayung, Agusjetron Saragih, Jon Renis Saragih untuk sekadar menyebutkan beberapa dosen teologi dari GKPS yang rajin menulis di jurnal. Demikian pula Ephorus GKPS Bapak Jaharianson Saragih yang telah membuahkan sebuah buku di tengah kesibukan melayani sebagai Ephorus dan dosen di berbagai STT di Sumatera Utara.
Mengapa Menulis di Koran Harian?
Sahala Tua Saragih dalam judul tulisan mempertanyakan: Rohaniwan Mesti Menulis di Media? Atau kalau pun tidak mempertanyakan, penulis menafsir judul tersebut seperti kalimat retoris yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat tersebut adalah sebuah refleksi, “otokritik” atau “gugatan” terhadap aktivitas atau kegiatan para rohaniwan yang sangat minim menulis di harian-harian di Sumatera Utara.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang tidak jauh dari seorang rohaniwan. Sebagai mana kita ketahui bahwa kata “rohaniwan” dibentuk dari kata dasar “rohani” ditambah dengan “wan” yang bermakna orang yang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan yang mengurus masalah-masalah kerohanian. Keseharian seorang rohaniwan, sekadar menyebutkan beberapa hal, adalah berkhotbah, berceramah, melakukan konseling terhadap jemaatnya yang bermasalah. Di dalam segala aktivitas itu, para rohaniwan merenung, berefleksi dan membaca serta menuangkan konsep-konsep, misalnya khotbah, dalam bentuk tulisan kemudian baru disampaikan dalam bentuk lisan di atas mimbar. Maka kegiatan menulis sesungguhnya adalah sesuatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh para rohaniwan. Persoalannya adalah mengapa para rohaniwan tidak menggunakan koran harian untuk menggarami? Apa esensi dasar dan kebutuhan untuk menulis di harian?
Dalam beberapa kesempatan penulis sering berdiskusi dengan beberapa rohaniwan seperti Estomihi Hutagalung, seorang rohaniwan yang produktif menggarami melalui Harian-harian di Sumatera Utara. Sebelumnya, Bapak Hutagalung adalah seorang penulis yang menggunakan media “Majalah gereja” untuk mempublikasi gagasan, ide dan buah pikirannya. Dan boleh dikatakan tidak pernah atau jarang mempublikasikan tulisan di koran-koran Harian. Setelah penulis mengemukkan pandangan dan alasan tentang pentingnya menulis di Harian, beliau mengamini pandangan penulis.
Ada beberapa alasan mengapa seorang rohaniwan perlu menulis atau mempublikasikan tulisannya di media. Pertama, jumlah pembaca di Harian jauh lebih besar dari kalau tulisan itu dipublikasikan di majalah. Misalnya, kalau tulisan kita dipublikasikan di Majalah gereja milik denominasi tertentu, contohnya Suara Methodist Indonesia (SMI) tentu yang membaca hanya kalangan Methodist saja. Seandainya, tulisan kita dipublikasikan di Majalah “Nasional” Oikumene, pembacanya akan lebih luas tetapi terbatas hanya dikalangan agama tertentu saja. Tetapi kalau tulisan kita dipublikasikan di Koran Kompas, berapa banyak jumlah pembaca yang akan membaca tulisan kita. Yang pasti adalah jangkauan pembaca lebih luas, meskipun tidak semua pembaca Kompas akan membaca rubrik “Opini”, umpamanya. Kedua, tulisan-tulisan di koran Harian yang bersifat umum dan bukan milik kalangan agama tertentu, tentu merupakan kegiatan “Oikumene” dalam rangka dialog-dialog dengan agama-agama lain. Ketiga, peluang buah pikiran kita untuk membentuk opini di masyarakat atau menggarami lebih luas dibandingkan melalui buku atau majalah. Keempat, menulis di Harian yang memiliki daya jelajah dan jangkau yang lebih luas serta oplah yang lebih banyak akan membuat penulisnya lebih cepat terkenal. Meskipun alasan keempat ini bukan merupakan tujuan dari seseorang menulis atau mempublikasikan tulisannya. Tetapi mau tidak mau, diakui atau tidak, hal ini akan terjadi apabila seorang rohaniwan sering mempublikasikan buah pikiran melalui Harian maka kesempatan dia untuk dikenal dan tidak dilupakan akan jauh lebih besar.
Beberapa rohaniwan atau tokoh yang acapkali menulis tulisan yang religius-kontemplatif, yang sangat terkenal atau setidaknya kita merasa ‘familiar” dengan nama-nama mereka karena - salah satu faktor yang membuat mereka terkenal – menulis, misalnya Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Franz Magnis-Suseno, F. Budi Hardiman, YB. Mangun Wijaya, K. Bertens, Yongky Karman dan Martin L. Sinaga. Untuk daerah Sumatera Utara, kita dapat menyebutkan beberapa nama misalnya Estomihi Hutagalung, Robert Sihombing, Roy Naldi Simare-simare yang terakhir merupakan calon rohaniwan dan sejarawan gereja yang produktif menulis di Harian, Jurnal dan majalah.
Rohaniwan Dan Sastrawan
Lebih jauh lagi, media bagi seorang rohaniwan untuk menuangkan gagasan, pikiran dan ide dapat diperluas dari sekadar tulisan teologis ilmiah di jurnal-jurnal, setengah ilmiah populer berupa tulisan opini di Harian atau tulisan refleksi/renungan di rubrik “Mimbar Agama” atau majalah keagamaan tertentu. Rohaniwan juga dan boleh menulis genre sastra baik berupa puisi, cerpen dan esai.
Beberapa contoh sastrawan-rohaniwan yang terkenal di Indonesia, misalnya Romo YB. Mangun Wijaya yang terkenal dengan Novelnya “Burung-burung Manyar” yang memenangkan salah satu satu sayembara. Mudji Soetrisno yang telah mempublikasikan beberapa kumpulan puisinya. A. Mustofa Bisri, seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren yang cukup getol dan rajin menyarankan agar para kiai bukan hanya berceramah tetapi dapat pula menulis cerpen, puisi dan novel.
Pemilihan media dan jenis media apakah yang akan digunakan untuk mempublikasikan ide dan buah pikiran dari rohaniwan dalam menyampaikan pesan adalah merupakan hak prerogatif dari seorang penulis, dalam hal ini rohaniwan. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba mempublikasi tulisan kita melalui Harian. Karena tugas rohaniwan baik dari agama apa pun adalah untuk menggarami, mengajak umat merenung, berefleksi dan berkontemplasi dan tentu saja untuk mempraktekkan firman Tuhan yang diajarkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dan tentu saja, tulisan melalui Harian pasti bersifat universal dan tidak sektarian, meskipun masing-masing rohaniwan dalam menyampaikan pesan pasti menggunakan simbol, lambang atau bahkan menggunakan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebagaimana yang mereka imani. Namun, pesan universal dari setiap rohaniwan dapat dilaksanakan dalam kehidupan setiap umat beragama. ***
Penulis sedang studi lanjut di Program Pasca Sarjana STT Abdi Sabda Medan
Masalah Pelik, Latihan Mengucapkan , "Terima Kasih Tuhan"
Oleh: Jannerson Girsang
Waktu melahirkan anak, menurut pengalaman beberapa orang ibu yang kudengar usai kebaktian rumah-rumah minggu lalu, merupakan keadaan paling sulit dalam kehidupan mereka.
Saat-saat genting dan menyakitkan itu adalah suasana pasrah, berjuang sendirian dan hanya bisa mengucap: "Aduh......sakit...Tuhan tolonglah saya". Perjuangan antara hidup dan mati.
Seorang ibu akan fokus proses berhasilnya persalinan, dan melupakan masalah hidup yang lain. Karena itulah penderitaan terberat mereka.
Belum ada manusia yang bisa menghilangkan rasa sakit seorang wanita yang sedang menjalani proses persalinan normal.
Sebaliknya, setelah melewati masa-masa sulit itu, sang ibu akan berbahagia menyaksikan bayi yang baru dilahirkannya, dan melupakan semua rasa sakit itu.
"Terima kasih Tuhan..." itulah yang biasa terucap dari mulut seorang wanita yang baru melahirkan.
Sama seperti seorang ibu yang melahirkan. orang yang berani menghadapi masalah, maka setelah melewati kesulitan dengan meminta pertolongan kepada Dia Yang Maha Kuasa, maka dia akan meraih kebahagiaan.
Hidup yang bermakna adalah sikap atau tindakan ketika kita menjalani masalah-masalah pelik. Ada saatnya Anda dihadapkan kepada masalah pelik, otak dan semua sumberdaya yang Anda miliki, rasanya tidak bisa menyelesaikannya.
Ada yang menghadapinya dengan penuh pengharapan, tetapi ada juga yang lari menghindari masalah dengan mengambil jalan pintas, menghindari berkat.
Hadapilah masalah atau tantangan sepelik apapun dengan pengharapan kepada Dia yang Maha Kuasa, karena itu adalah berkat, sumber kekuatan baru. Latihan meminta pertolongan dari yang paling berkuasa, dan meraih kebahagiaan demi kebahagiaan!
Menjalani masalah yang pelik adalah latihan mengucapkan "Terima kasih Tuhan", latihan mememaknai arti kebahagiaan. Jadi, jangan takut menghadapinya. Bersyukurlah Anda pernah dan akan menghadapi masalah pelik dalam kehidupan ini.
Renungan Pagi, 14 Nopember 2014
Senin, 10 November 2014
KEJARLAH KUALITAS, BUKAN JATAH-JATAHAN.
Oleh: Jannerson Girsang
Warga Simalungun di Indonesia pantas berbangga dan bersyukur di alam era demokrasi saat ini. 54 orang tokohnya berhasil memperoleh kursi di DPD-RI,DPR-RI, DPRD Provinis, DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Sekitar tigapuluhan dari mereka berkumpul di Lapangan Adam Malik Pematangsiantar, Sabtu, 8 Nopember lalu, dalam sebuah acara yang disponsori oleh seorang tokoh Simalungun, Yan Santoso Purba, SH.
Dari 132 anggota DPD-RI, tiga diantaranya adalah suku Simalungun, yakni Parlindungan Purba, SH, MM utusan Sumut, Jasarmen Purba, utusan Riau Kepulauan dan Rosti Uli Purba, utusan Riau Daratan.
Khusus buat Rosti Uli Purba, anggota DPR-RI uturan Riau dan Frida Damanik, anggota DPRD Kota Pematangsiantar, terima kasih sudah memberi inspirasi bagi para wanita Simalungun bangkit menjadi petarung yang tangguh!
Prestasi lain dari Suku yang penduduknya tergolong kecil (jumlahnya di seluruh dunia kurang dari 1 juta orang) ini memiliki dua anggota DPR-RI yakni Dr Junimart Girsang, SH (Sumut) dan Marsiaman Saragih, SH (Riau).
Di seluruh Indonesia, sekitar 54 orang putra putri Simalungun berhasil memenangkan kursi legislatif mulai dari DPD-RI, DPR-RI, DPRD Provinsi dan Kota. Mereka tidak hanya memperjuangan Simalungun, tetapi terutama daerah pemilihan dimana dia terpilih.
Indonesia kini berada di era demokrasi. Jiwa petarung diperlukan menjadi anggota legislatif. "Kita adalah petarung-petarung yang tangguh,"ujar Junimart Girsang, dalam sambutannya pada acara Mambere Hiou Pamonting Hubani Anggota Legislatif DPR-RI, DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di Lapangan Adam Malik, Pematangsiantar, Sabtu 8 Nopember 2014.
Junimart menambahkan agar generasi muda Simalungun meneladani kemampuan dan keberanian mereka bertarung di tengah-tengah persaingan di manapun mereka berkarya.
Jangan lagi percaya jatah-jatahan. "Kita mengejar kualitas, bukan jatah-jatahan" kata Jasarmen Purba, anggota DPR-RI utusan Riau Kepulauan ketika berbicara dalam sambutannya.
Jadilah petarung yang hebat melayani masyarakat pemilihnya dengan kualitas tinggi, serta memiliki filosofi: Habonaron do Bona, memberi warna demokrasi di Indonesia. Berbakti, melayani rakyat bukan hanya di daerah sendiri, bukan hanya untuk orang Simalungun, tetapi juga di daerah lain untuk seluruh bangsa Indonesia.
BAHAYA KEDUNIAWIAN
Oleh: Jannerson Girsang
"There is a danger that threatens everyone in the church, all of us. The danger of worldliness. It leads us to vanity, arrogance and pride". (Pope Francis).
Terjemahannya kira-kira demikian: "Ada bahaya yang mengancam semua orang di gereja, kita semua. Bahaya keduniawian (harta, jabatan/kekuasaan, pengetahuan). Ini membawa kita pada kesombongan, arogansi dan kebanggaan".
Peringatan Pope Francis ini menggugah saya menuliskan renungan ini untuk kita renungkan bersama.
Memang, seharusnyalah semua hal-hal duniawi yang melekat pada diri kita, serta kegiatan yang dilakukan diarahkan menghasilkan buah-buah roh: Kasih, Suka cita, Damai Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, Penguasaan diri.
Bukan sebaliknya mencari siapa yang terbesar, seperti sikap Petrus. Siapa yang paling berjasa, siapa yang sumbangannya terbesar. Sementara kita sudah diingatkan "kalau tangan kiri memberi, jangan dilihat tangan kanan", karena apa yang ada pada kita bukanlah hasil karya kita sendiri, dan bukan untuk diri kita sendiri, dan bukan untuk menjadi kesombongan yang memisahkan kita istimewa dari yang lainnya...
Semua pujian, Sanjungan, Kerajaan, Kekuasaan dan Kemuliaan hanya kepada Tuhan di tempatNya yang Maha tinggi sekarang dan sampai selama lamanya.
Tidak sedikit pencapaian atau kegagalan keduniawian yang dimaknai secara salah menimbulkan perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.
Mari sama-sama merendah, sama-sama merasa berkekurangan, saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling mengasihi. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu yaitu, supaya kamu saling mengasihi sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:34-35).
Jangan abaikan, apalagi meremehkan sekecil apapun status yang dimiliki orang lain, usaha atau kemampuan yang lain.
Kalau mereka tidak ada, kita tidak berarti apa-apa. Kalau jemaat miskin. bodoh tidak ada, padahal merekalah yang terbesar diantara jemaat, maka siapakah kita? Kalau jemaat kaya, pintar tidak ada, kita juga tidak maju-maju.
Kita tidak bermartabat, tidak memiliki status apa-apa di antara binatang. Binatang tidak bisa membedakan manusia pintar atau bodoh, kaya atau pintar. Kita bermartabat jika ada manusia di sekitar kita, kaya atau miskin, pintar atau bodoh.
Sikap yang paling berbahaya terjadi, kalau sampai seseorang merasa : "Kalau saya tidak ada semua tidak berjalan". Atau karena kegagalan kita menata kehidupan, dengan frustrasi mengatakan, "Biarlah mereka yang kaya-kaya itu, yang punya jabatan itu di situ, kalau awak ini apalah, manalah mungkin awak mampu".
Inilah tantangan berat gereja sepanjang masa. Sikap buruk itu ada pada kita semua.
Semua harus menyadari, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi dalam ketidaksempurnaan itu, kita semua memiliki kewajiban: melakukan pelayanan dan mengasihi sesama, memupuk kebersamaan.
Sekecil, semiskin apapun kita. Sekaya dan sehebat apapun kita, inilah tugas terbesar kita hadir di dunia ini. Tidak melayani, tidak mengasihi sesama: hidup kita tak berarti apa-apa.
Mari memupuk persamaan, tidak mencari-cari perbedaan untuk membuat pengkotak-kotakan karena status keduniaan. Mari terus menerus meminta kekuatan agar kita mampu dan terus berusaha menuju ut omnes un um sint, supaya semua menjadi satu, tidak terkotak-kotak karena perbedaan harta/jabatan, karena perbedaan berkat yang dianugerahkan Tuhan.
Gunakanlah itu menjadi berkat bagi kita dan sekitar, bukan mendatangkan bencana bagi diri sendiri dan orang lain! Kehadiran kita bukan membuat orang merasa lebih kecil, minder, tetapi membuat mereka apapaun statusnya lebih bersemangat, merasa hidupnya lebih hidup.
Renungan malam, 6 Nopember 2014
"There is a danger that threatens everyone in the church, all of us. The danger of worldliness. It leads us to vanity, arrogance and pride". (Pope Francis).
Terjemahannya kira-kira demikian: "Ada bahaya yang mengancam semua orang di gereja, kita semua. Bahaya keduniawian (harta, jabatan/kekuasaan, pengetahuan). Ini membawa kita pada kesombongan, arogansi dan kebanggaan".
Peringatan Pope Francis ini menggugah saya menuliskan renungan ini untuk kita renungkan bersama.
Memang, seharusnyalah semua hal-hal duniawi yang melekat pada diri kita, serta kegiatan yang dilakukan diarahkan menghasilkan buah-buah roh: Kasih, Suka cita, Damai Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, Penguasaan diri.
Bukan sebaliknya mencari siapa yang terbesar, seperti sikap Petrus. Siapa yang paling berjasa, siapa yang sumbangannya terbesar. Sementara kita sudah diingatkan "kalau tangan kiri memberi, jangan dilihat tangan kanan", karena apa yang ada pada kita bukanlah hasil karya kita sendiri, dan bukan untuk diri kita sendiri, dan bukan untuk menjadi kesombongan yang memisahkan kita istimewa dari yang lainnya...
Semua pujian, Sanjungan, Kerajaan, Kekuasaan dan Kemuliaan hanya kepada Tuhan di tempatNya yang Maha tinggi sekarang dan sampai selama lamanya.
Tidak sedikit pencapaian atau kegagalan keduniawian yang dimaknai secara salah menimbulkan perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.
Mari sama-sama merendah, sama-sama merasa berkekurangan, saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling mengasihi. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu yaitu, supaya kamu saling mengasihi sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:34-35).
Jangan abaikan, apalagi meremehkan sekecil apapun status yang dimiliki orang lain, usaha atau kemampuan yang lain.
Kalau mereka tidak ada, kita tidak berarti apa-apa. Kalau jemaat miskin. bodoh tidak ada, padahal merekalah yang terbesar diantara jemaat, maka siapakah kita? Kalau jemaat kaya, pintar tidak ada, kita juga tidak maju-maju.
Kita tidak bermartabat, tidak memiliki status apa-apa di antara binatang. Binatang tidak bisa membedakan manusia pintar atau bodoh, kaya atau pintar. Kita bermartabat jika ada manusia di sekitar kita, kaya atau miskin, pintar atau bodoh.
Sikap yang paling berbahaya terjadi, kalau sampai seseorang merasa : "Kalau saya tidak ada semua tidak berjalan". Atau karena kegagalan kita menata kehidupan, dengan frustrasi mengatakan, "Biarlah mereka yang kaya-kaya itu, yang punya jabatan itu di situ, kalau awak ini apalah, manalah mungkin awak mampu".
Inilah tantangan berat gereja sepanjang masa. Sikap buruk itu ada pada kita semua.
Semua harus menyadari, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi dalam ketidaksempurnaan itu, kita semua memiliki kewajiban: melakukan pelayanan dan mengasihi sesama, memupuk kebersamaan.
Sekecil, semiskin apapun kita. Sekaya dan sehebat apapun kita, inilah tugas terbesar kita hadir di dunia ini. Tidak melayani, tidak mengasihi sesama: hidup kita tak berarti apa-apa.
Mari memupuk persamaan, tidak mencari-cari perbedaan untuk membuat pengkotak-kotakan karena status keduniaan. Mari terus menerus meminta kekuatan agar kita mampu dan terus berusaha menuju ut omnes un um sint, supaya semua menjadi satu, tidak terkotak-kotak karena perbedaan harta/jabatan, karena perbedaan berkat yang dianugerahkan Tuhan.
Gunakanlah itu menjadi berkat bagi kita dan sekitar, bukan mendatangkan bencana bagi diri sendiri dan orang lain! Kehadiran kita bukan membuat orang merasa lebih kecil, minder, tetapi membuat mereka apapaun statusnya lebih bersemangat, merasa hidupnya lebih hidup.
Renungan malam, 6 Nopember 2014
Rabu, 29 Oktober 2014
Penyuara Listrik Setajam “Ayam Kinantan” (Harian Analisa, 29 Oktober 2014)
Oleh: Jannerson Girsang.
Pagi hari, 18 Oktober 2014, saya sedang menulis dan artikelnya ingin dikirim, tiba-tiba listrik mati. Wah…..batal deh. Teman yang menunggu di seberang pulau terpaksa ngedumel. “Kenapa sih listrik di Sumut mati, seperti jadwal makan obat?”. Saya keluar rumah, riuh suara genset khususnya rumah usaha terdengar dimana-mana.
Saya maklum dan tidak akan pernah protes dengan kekerasan, tapi hati saya sungguh tersiksa. Berbeda dengan masyarakat lainnya dan sangat berbahaya kedepan adalah masyarakat yang sudah bereaksi sampai merusak kantor PLN di berbagai tempat. Krisis listrik di provinsi Sumatera Utara sudah berlangsung sejak 2005.
Dalam hati saya berfikir, untuk apa kami memiliki 100 orang anggota DPRD tingkat I dan ratusan lainnya di Kabupaten/Kota?. Bukankan mereka wakil rakyat, wakil kami, penyuara jeritan kami, sahabat kami?. Mereka harus memiliki lidah setajam taji “ayam kinantan”. Mereka yang baru saja dilantik seharusnya merasakan dan mampu menjembatani jeritan rakyat soal listrik.
Dua Pemilu Hidup Padam, Masih Ku Maafkan!
Kelangkaan listrik yang dialami masyarakat Sumatera Utara di era teknologi informasi ini sudah dan akan menimbulkan dampak negatif besar, karena dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan ekonomi yang terus meningkat akan meningkatkan kebutuhan listrik.
Pemadaman listrik bergilir di wilayah ini sudah sangat meresahkan masyarakat, pengusaha, dengan perlakuan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memadamkan listrik bukan sekali sehari, bahkan sudah seperti memakan obat 3x1 hari.
Listrik bukan lagi sekedar alat penerangan, tetapi telah menjadi darah bagi berbagai kegiatan vital masyarakat dan dunia bisnis. Mulai dari memasak, setrika, mengoperasikan komputer dan peralatan elektronik lainnya, semua butuh listrik.
Pemadaman listrik menimbulkan aktivitas warga terganggu, ibu rumah tangga mengeluh kegiatan di rumah sering terbengkalai karena listrik padam sembarangan. Begitu juga dunia usaha industri rumah tangga menjadi terhenti. Kota menjadi gelap gulita dan lalu lintas menjadi semrawut.
Konsumen adalah raja, tidak berlaku di daerah ini. Dengan sistem penyediaan listrik sekarang, rakyat sebagai konsumen, seharusnya diperlakukan sebagai raja. Ini sudah terbalik. Jadi, perlu wakil-wakil rakyat yang mampu mengembalikan hak mereka sebagai pelanggan.
Sejak 2005, masyarakat Sumatera Utara sudah mengalami krisis listrik, tetapi hingga saat ini pemenuhan kebutuhannya tetap tersendat-sendat.
Saya masih ingat saat itu sedang bekerja di Tsunami dan Gempa Nias dan berkantor di daerah Medan Baru. Di tengah-tengah pekerja asing kita sedikit malu karena negeri ini tidak mampu menyediakan listrik yang cukup bagi warganya. Kantor kami terpaksa membeli genset, karena pemadaman listrik bergilir.
Hampir sepuluh tahun kemudian, ketika Dahlan Iskan menjabat sebagai Dirut PLN, saya dan jutaan penduduk provinsi ini berharap listrik akan beres. Harapan itu ternyata masih mimpi. Hingga beliau diangkat menjadi Menteri BUMN, krisis tak kunjung berhenti. Malah semakin sering mati.
Beliau rajin memang datang ke Sumut, tetapi kunjungan-kunjungan beliau belum memberikan hasil yang signifikan.
Rumah saya masih mengalami pemadaman listrik, hampir setiap hari. Kita selalu berkata, hayo-hayo cepat ngetiknya, nanti listrik mati. Kalau ada kebaktian malam, hayo siapkan lilin, bentar lagi listrik mati!
Kita juga terbelalak, ketika suatu kali beliau berkunjung, membaca berita di media di harian-harian lokal bahwa PLN harus membayar Rp 700 miliar per bulan menyewa genset untuk menghindari pemadaman. Logika saya berfikir, dalam satu tahun PLN di provinsi ini sebenarnya mampu membangun 2 proyek listrik berkapasitas 2 x 200 MW.
Pertanyaan saya, mengapa tidak membangun pembangkit listrik yang baru saja. Kebijakan penyewaan genset senilai Rp 700 miliar per bulan untuk memenuhi defisit listrik di Sumatera Utara (Sumut) dikritik oleh Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, karena dinilai bukan merupakan solusi yang tepat.
Saya membaca komentar Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Chaidir Harahap SH, kepada para wartawan Hari Senin, (3 Pebruari 2014) mengatakan, kebijakan tersebut malah makin menambah beban anggaran negara dan LBH Medan beranggapan penggunaan dana negara untuk penyewaan genset itu adalah sia-sia.
“Menurut kita, penyewaan genset dengan biaya yang cukup signifikan dan sangat besar tentu dapat berdampak kepada pemborosan biaya anggaran belanja negara yang memakai dana negara sebesar Rp700 miliar perbulan hanya untuk penyewaan genset saja. Seharusnya Pemprov Sumatera Utara dalam mengambil kebijakan dilandasi dengan pertimbangan ekonomis dan efisiensi, jangan terlalu dipaksakan,” ucap Chaidir, seperti dikutip sebuah harian lokal terbitan Medan.
Baiklah kalau itu memang memecahkan masalah. Namun, kenyataannya, meski sudah menerapkan kebijakan yang terkesan pemborosan itu, kenyataan di lapangan, hingga Jumat dan Sabtu 17 dan 18 Oktober 2014, listrik masih mengalami pemadaman tanpa pemberitahuan di rumah saya dan tentunya ribuan pelanggan PLN di Perumnas Simalingkar. Mungkin juga di berbagai wilayah kota Medan dan daerah lain di Sumut.
Rakyat sudah terlalu lama bersabar dan harus mengambil langkah sendiri mengatasi kesulitannya berupa penyediaan genset yang cukup mahal, khususnya rumah-rumah atau pertokoan untuk menjaga kelangsungan usahanya atau rasa nyaman di rumah-rumah karena pemadaman listrik terjadi tanpa pemberitahuan.
Tak heran kalau beberapa tahun ini pelanggan unjuk gigi. Protes masyarakat yang merusak kantor PLN muncul di berbagai tempat, seperti yang dilakukan Pancurbatu, Binjai, atau Nias Utara, dan tempat tempat lain di provinsi ini adalah bentuk keresahan yang sudah terjadi, dan bukan diharapkan oleh siapapun, termasuk PLN.
Selain kebijakan yang terkesan boros, saya dan jutaan rakyat di daerah ini juga membaca di media soal isu korupsi di kalangan pejabat PLN di provinsi ini, hingga beberapa pejabatnya ditahan. Sungguh sebuah ironi. Oknum-oknum pegawai PLN yang melakukan korupsi jelas tidak memiliki sense of crisis.
Selain itu pelayanan di tingkat pelanggan seperti rekening listrik yang sering naik mendadak, seperti dianggap anjing menggonggong kafilah berlalu.
Pelayanan distribusi listrik, sistem pendataan pemakaian listrik, pencatatan jumlah pembayaran listrik yang sering tidak sesuai dengan pemakaian sudah banyak dikeluhkan masyarakat, harus secara bertahap di atasi.
Alangkah eloknya, kalau kerusakan tidak terjadi lebih parah. Rakyat merindukan wakil-wakilnya yang mampu menyuarakan jeritan mereka. Taji wakil-wakil rakyat di DPR RI, DPRD Tingkat I , DPRD Tingkat II selama ini belum setajam taji ayam kinantan.
Untuk mengawasi dan menyadarkan PLN, rakyat di daerah ini butuh wakil-wakil yang berani dan bertaji tajam, mampu memahami, memonitor, mengevaluasi dan menyuarakan listrik ke publik dan mendesak pengambil keputusan mengatasi krisis listrik.
Mereka harus memahami jumlah kebutuhan, persediaan listrik dan kebutuhan pengembangan untuk memenuhi pelayanan listrik ke masyarakat dengan standar kualitas yang dijanjikan PLN..
Okelah. Pemadaman, korupsi di PLN dan pelayanan yang belum memadai dalam dua pemilu terakhir kita maafkan deh!.
Jangan Sampai Tiga Kali
Barangkali analogi lagu Ciptaan Tagor Pangaribuan berjudul “Jangan Sampai Tiga Kali” perlu disimak dan dinyanyikan untuk PLN. “Satu kali pemilu kau sakiti, masih kumaafkan, dua pemilu kau sakiti hati ini juga kumaafkan, tapi jangan kau Coba sampai tiga pemilu…..jangan oh jangan…………….”
Kondisi perlistrikan di provinsi ini dalam dua periode Pemilu terakhir rasanya masih kurang disuarakan dengan keras. Kita butuh anggota legislatif yang menjadi pahlawan kelistrikan dan memiliki taji setajam taji ayam kinantan. Provinsi ini membutuhkan tokoh yang menjadi icon pengaduan listrik rakyat. Parlemen listrik!.
Mereka adalah penyuara-penyuara yang dengan sigap memaparkan data yang benar dan mampu memberi masukan, mempengaruhi bahkan menekan para pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan penyedia listrik, dan para regulator kelistrikan yang pro rakyat. Program-program yang sudah dicanangkan dikawal dan harus berjalan dengan baik.
Seorang pahlawan kelistrikan harus mampu menyuarakan bagaimana kelangkaan kebutuhan listrik bisa dipenuhi. Dia rajin dan mampu mengikuti dan mengawal tahapan-tahapan pelaksanaannya, serta hingga sampai diujung, yakni pemenuhan kebutuhan listrik, tidak lagi byar pet.
Mereka harus paham proyek yang sedang berjalan seperti PLTU di Pangkalan Susu misalnya. Pembangunannya sudah dimulai sejak 2008, tetapi hingga sekarang belum dapat berjalan karena berbagai masalah. Anggota legislatif hendaknya menyuarakan persoalan untuk menyelesaikan persoalan, bukan justru menimbulkan masalah baru. Kalau kedua pembangkit ini bisa beroperasi, sedikit banyak dapat mengatasi kelangkaan listrik di Sumatera Utara.
Dalam lima tahun ke depan, Pembangkit Listrik Tenaga Air Lau Renun yang tidak mampu beroperasi dengan kapasitas maksimumnya 2 x 42 MW tentu masih bisa diatasi dengan penghijauan di hulunya.
Anggota DPRD juga perlu mengawal pelaksanaan proyek-proyek PLT Panas Bumi di Sarulla, PLTA Asahan III dan lain-lain. Kalau ini bisa berjalan baik, tentu masyarakat akan menilai DPRD periode ini sebagai pahlawan.
Proyek-proyek itu sudah berjalan bertahun-tahun. Harus ada orang yang terus menerus mendesak proyek-proyek ini bisa selesai lima tahun ke depan.
Rakyat sangat berharap anggota-anggota DPRD yang baru dilantik ini memiliki sense of crisis dan terus menerus menyuarakannya. Rakyat sudah bosan dengan anggota parlemen yang meributkan listrik hanya untuk popularitas, kemudian hilang tanpa ujung yang jelas.
Janganlah kiranya suara anggota parlemen layaknya iklan mobil Panther, “Hampir tak terdengar”, dilakukan pula secara sporadik dan tidak substansial.
Selamat buat anggota parlemen yang baru dilantik. Hayo… muncullah jadi pahlawan, berani bersuara untuk memenuhi kebutuhan vital rakyat: LISTRIK! Jadilah penyuara listrik dengan lidah setajam ayam kinantan. ***
Pagi hari, 18 Oktober 2014, saya sedang menulis dan artikelnya ingin dikirim, tiba-tiba listrik mati. Wah…..batal deh. Teman yang menunggu di seberang pulau terpaksa ngedumel. “Kenapa sih listrik di Sumut mati, seperti jadwal makan obat?”. Saya keluar rumah, riuh suara genset khususnya rumah usaha terdengar dimana-mana.
Saya maklum dan tidak akan pernah protes dengan kekerasan, tapi hati saya sungguh tersiksa. Berbeda dengan masyarakat lainnya dan sangat berbahaya kedepan adalah masyarakat yang sudah bereaksi sampai merusak kantor PLN di berbagai tempat. Krisis listrik di provinsi Sumatera Utara sudah berlangsung sejak 2005.
Dalam hati saya berfikir, untuk apa kami memiliki 100 orang anggota DPRD tingkat I dan ratusan lainnya di Kabupaten/Kota?. Bukankan mereka wakil rakyat, wakil kami, penyuara jeritan kami, sahabat kami?. Mereka harus memiliki lidah setajam taji “ayam kinantan”. Mereka yang baru saja dilantik seharusnya merasakan dan mampu menjembatani jeritan rakyat soal listrik.
Dua Pemilu Hidup Padam, Masih Ku Maafkan!
Kelangkaan listrik yang dialami masyarakat Sumatera Utara di era teknologi informasi ini sudah dan akan menimbulkan dampak negatif besar, karena dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan ekonomi yang terus meningkat akan meningkatkan kebutuhan listrik.
Pemadaman listrik bergilir di wilayah ini sudah sangat meresahkan masyarakat, pengusaha, dengan perlakuan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memadamkan listrik bukan sekali sehari, bahkan sudah seperti memakan obat 3x1 hari.
Listrik bukan lagi sekedar alat penerangan, tetapi telah menjadi darah bagi berbagai kegiatan vital masyarakat dan dunia bisnis. Mulai dari memasak, setrika, mengoperasikan komputer dan peralatan elektronik lainnya, semua butuh listrik.
Pemadaman listrik menimbulkan aktivitas warga terganggu, ibu rumah tangga mengeluh kegiatan di rumah sering terbengkalai karena listrik padam sembarangan. Begitu juga dunia usaha industri rumah tangga menjadi terhenti. Kota menjadi gelap gulita dan lalu lintas menjadi semrawut.
Konsumen adalah raja, tidak berlaku di daerah ini. Dengan sistem penyediaan listrik sekarang, rakyat sebagai konsumen, seharusnya diperlakukan sebagai raja. Ini sudah terbalik. Jadi, perlu wakil-wakil rakyat yang mampu mengembalikan hak mereka sebagai pelanggan.
Sejak 2005, masyarakat Sumatera Utara sudah mengalami krisis listrik, tetapi hingga saat ini pemenuhan kebutuhannya tetap tersendat-sendat.
Saya masih ingat saat itu sedang bekerja di Tsunami dan Gempa Nias dan berkantor di daerah Medan Baru. Di tengah-tengah pekerja asing kita sedikit malu karena negeri ini tidak mampu menyediakan listrik yang cukup bagi warganya. Kantor kami terpaksa membeli genset, karena pemadaman listrik bergilir.
Hampir sepuluh tahun kemudian, ketika Dahlan Iskan menjabat sebagai Dirut PLN, saya dan jutaan penduduk provinsi ini berharap listrik akan beres. Harapan itu ternyata masih mimpi. Hingga beliau diangkat menjadi Menteri BUMN, krisis tak kunjung berhenti. Malah semakin sering mati.
Beliau rajin memang datang ke Sumut, tetapi kunjungan-kunjungan beliau belum memberikan hasil yang signifikan.
Rumah saya masih mengalami pemadaman listrik, hampir setiap hari. Kita selalu berkata, hayo-hayo cepat ngetiknya, nanti listrik mati. Kalau ada kebaktian malam, hayo siapkan lilin, bentar lagi listrik mati!
Kita juga terbelalak, ketika suatu kali beliau berkunjung, membaca berita di media di harian-harian lokal bahwa PLN harus membayar Rp 700 miliar per bulan menyewa genset untuk menghindari pemadaman. Logika saya berfikir, dalam satu tahun PLN di provinsi ini sebenarnya mampu membangun 2 proyek listrik berkapasitas 2 x 200 MW.
Pertanyaan saya, mengapa tidak membangun pembangkit listrik yang baru saja. Kebijakan penyewaan genset senilai Rp 700 miliar per bulan untuk memenuhi defisit listrik di Sumatera Utara (Sumut) dikritik oleh Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, karena dinilai bukan merupakan solusi yang tepat.
Saya membaca komentar Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Chaidir Harahap SH, kepada para wartawan Hari Senin, (3 Pebruari 2014) mengatakan, kebijakan tersebut malah makin menambah beban anggaran negara dan LBH Medan beranggapan penggunaan dana negara untuk penyewaan genset itu adalah sia-sia.
“Menurut kita, penyewaan genset dengan biaya yang cukup signifikan dan sangat besar tentu dapat berdampak kepada pemborosan biaya anggaran belanja negara yang memakai dana negara sebesar Rp700 miliar perbulan hanya untuk penyewaan genset saja. Seharusnya Pemprov Sumatera Utara dalam mengambil kebijakan dilandasi dengan pertimbangan ekonomis dan efisiensi, jangan terlalu dipaksakan,” ucap Chaidir, seperti dikutip sebuah harian lokal terbitan Medan.
Baiklah kalau itu memang memecahkan masalah. Namun, kenyataannya, meski sudah menerapkan kebijakan yang terkesan pemborosan itu, kenyataan di lapangan, hingga Jumat dan Sabtu 17 dan 18 Oktober 2014, listrik masih mengalami pemadaman tanpa pemberitahuan di rumah saya dan tentunya ribuan pelanggan PLN di Perumnas Simalingkar. Mungkin juga di berbagai wilayah kota Medan dan daerah lain di Sumut.
Rakyat sudah terlalu lama bersabar dan harus mengambil langkah sendiri mengatasi kesulitannya berupa penyediaan genset yang cukup mahal, khususnya rumah-rumah atau pertokoan untuk menjaga kelangsungan usahanya atau rasa nyaman di rumah-rumah karena pemadaman listrik terjadi tanpa pemberitahuan.
Tak heran kalau beberapa tahun ini pelanggan unjuk gigi. Protes masyarakat yang merusak kantor PLN muncul di berbagai tempat, seperti yang dilakukan Pancurbatu, Binjai, atau Nias Utara, dan tempat tempat lain di provinsi ini adalah bentuk keresahan yang sudah terjadi, dan bukan diharapkan oleh siapapun, termasuk PLN.
Selain kebijakan yang terkesan boros, saya dan jutaan rakyat di daerah ini juga membaca di media soal isu korupsi di kalangan pejabat PLN di provinsi ini, hingga beberapa pejabatnya ditahan. Sungguh sebuah ironi. Oknum-oknum pegawai PLN yang melakukan korupsi jelas tidak memiliki sense of crisis.
Selain itu pelayanan di tingkat pelanggan seperti rekening listrik yang sering naik mendadak, seperti dianggap anjing menggonggong kafilah berlalu.
Pelayanan distribusi listrik, sistem pendataan pemakaian listrik, pencatatan jumlah pembayaran listrik yang sering tidak sesuai dengan pemakaian sudah banyak dikeluhkan masyarakat, harus secara bertahap di atasi.
Alangkah eloknya, kalau kerusakan tidak terjadi lebih parah. Rakyat merindukan wakil-wakilnya yang mampu menyuarakan jeritan mereka. Taji wakil-wakil rakyat di DPR RI, DPRD Tingkat I , DPRD Tingkat II selama ini belum setajam taji ayam kinantan.
Untuk mengawasi dan menyadarkan PLN, rakyat di daerah ini butuh wakil-wakil yang berani dan bertaji tajam, mampu memahami, memonitor, mengevaluasi dan menyuarakan listrik ke publik dan mendesak pengambil keputusan mengatasi krisis listrik.
Mereka harus memahami jumlah kebutuhan, persediaan listrik dan kebutuhan pengembangan untuk memenuhi pelayanan listrik ke masyarakat dengan standar kualitas yang dijanjikan PLN..
Okelah. Pemadaman, korupsi di PLN dan pelayanan yang belum memadai dalam dua pemilu terakhir kita maafkan deh!.
Jangan Sampai Tiga Kali
Barangkali analogi lagu Ciptaan Tagor Pangaribuan berjudul “Jangan Sampai Tiga Kali” perlu disimak dan dinyanyikan untuk PLN. “Satu kali pemilu kau sakiti, masih kumaafkan, dua pemilu kau sakiti hati ini juga kumaafkan, tapi jangan kau Coba sampai tiga pemilu…..jangan oh jangan…………….”
Kondisi perlistrikan di provinsi ini dalam dua periode Pemilu terakhir rasanya masih kurang disuarakan dengan keras. Kita butuh anggota legislatif yang menjadi pahlawan kelistrikan dan memiliki taji setajam taji ayam kinantan. Provinsi ini membutuhkan tokoh yang menjadi icon pengaduan listrik rakyat. Parlemen listrik!.
Mereka adalah penyuara-penyuara yang dengan sigap memaparkan data yang benar dan mampu memberi masukan, mempengaruhi bahkan menekan para pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan penyedia listrik, dan para regulator kelistrikan yang pro rakyat. Program-program yang sudah dicanangkan dikawal dan harus berjalan dengan baik.
Seorang pahlawan kelistrikan harus mampu menyuarakan bagaimana kelangkaan kebutuhan listrik bisa dipenuhi. Dia rajin dan mampu mengikuti dan mengawal tahapan-tahapan pelaksanaannya, serta hingga sampai diujung, yakni pemenuhan kebutuhan listrik, tidak lagi byar pet.
Mereka harus paham proyek yang sedang berjalan seperti PLTU di Pangkalan Susu misalnya. Pembangunannya sudah dimulai sejak 2008, tetapi hingga sekarang belum dapat berjalan karena berbagai masalah. Anggota legislatif hendaknya menyuarakan persoalan untuk menyelesaikan persoalan, bukan justru menimbulkan masalah baru. Kalau kedua pembangkit ini bisa beroperasi, sedikit banyak dapat mengatasi kelangkaan listrik di Sumatera Utara.
Dalam lima tahun ke depan, Pembangkit Listrik Tenaga Air Lau Renun yang tidak mampu beroperasi dengan kapasitas maksimumnya 2 x 42 MW tentu masih bisa diatasi dengan penghijauan di hulunya.
Anggota DPRD juga perlu mengawal pelaksanaan proyek-proyek PLT Panas Bumi di Sarulla, PLTA Asahan III dan lain-lain. Kalau ini bisa berjalan baik, tentu masyarakat akan menilai DPRD periode ini sebagai pahlawan.
Proyek-proyek itu sudah berjalan bertahun-tahun. Harus ada orang yang terus menerus mendesak proyek-proyek ini bisa selesai lima tahun ke depan.
Rakyat sangat berharap anggota-anggota DPRD yang baru dilantik ini memiliki sense of crisis dan terus menerus menyuarakannya. Rakyat sudah bosan dengan anggota parlemen yang meributkan listrik hanya untuk popularitas, kemudian hilang tanpa ujung yang jelas.
Janganlah kiranya suara anggota parlemen layaknya iklan mobil Panther, “Hampir tak terdengar”, dilakukan pula secara sporadik dan tidak substansial.
Selamat buat anggota parlemen yang baru dilantik. Hayo… muncullah jadi pahlawan, berani bersuara untuk memenuhi kebutuhan vital rakyat: LISTRIK! Jadilah penyuara listrik dengan lidah setajam ayam kinantan. ***
Sabtu, 25 Oktober 2014
IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAÓ¦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)
Oleh Jannerson Girsang [1]
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaƶ di video ini.https://www.youtube.com/watch?v=YPKhnGB48L4.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawƶmataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawƶmataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawƶmataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaƶ dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawƶmataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaƶ memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaƶ adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawƶmataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaƶ sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaƶ menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawƶmataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawƶmataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaƶ.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaƶ dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawƶmataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaƶ kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawƶmataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaƶ dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaƶ di video ini.https://www.youtube.com/watch?v=YPKhnGB48L4.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawƶmataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawƶmataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawƶmataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaƶ mengungkapkan kuncinya agar dia terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini, para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaƶ dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawƶmataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaƶ memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaƶ adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawƶmataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaƶ sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaƶ tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi penyuara suara rakyat Bawƶmataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaƶ menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawƶmataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawƶmataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaƶ.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaƶ dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaƶ adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanƶ Raya”.Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaƶ menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawƶmataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaƶ kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawƶmataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaƶ dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaƶ, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaƶ yang dimuat di NBC, Maret 2011]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf
IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAÓ¦ (1958-2014)
“Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)
Oleh Jannerson Girsang [1]
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaƶ di video ini.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawƶmataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawƶmataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawƶmataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaƶ dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawƶmataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaƶ memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaƶ adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawƶmataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaƶ sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaƶ menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawƶmataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawƶmataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaƶ.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaƶ dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawƶmataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaƶ kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawƶmataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaƶ dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaƶ di video ini.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di Bawƶmataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawƶmataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional. Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”, seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawƶmataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaƶ mengungkapkan kuncinya agar dia terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini, para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaƶ dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawƶmataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaƶ memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas. Hikayat Manaƶ adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias. Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawƶmataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya. Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaƶ sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaƶ tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi penyuara suara rakyat Bawƶmataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir: “Elefu”
Hikayat Manaƶ menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawƶmataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawƶmataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaƶ.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaƶ dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaƶ adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanƶ Raya”. Selama ini,Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaƶ menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawƶmataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaƶ kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawƶmataluo, sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaƶ dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaƶ, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaƶ yang dimuat di NBC, Maret 2011]
IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAÓ¦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 1)
http://nias-bangkit.com, 23 Oktober 2014.
Oleh Jannerson Girsang [1]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
NBC — Berita kepergian Hikayat Manaƶ Minggu, 12 Oktober 2014, sekitar pukul 15.10, mengagetkan banyak pihak. Pria yang dikenal sebagai koreografer, konduktor, pencipta lagu sekaligus penyanyi Nias ini kukenal sangat energik, perkasa, dan tak pernah terdengar sakit.
“Seminggu sebelum dikabarkan meninggal, saya ngobrol lama dengan beliau lewat telepon,”’ujar Apolonius Lase, penulis buku Kamus Li Niha yang sering berbincang dengan Hikayat Manaƶ.
Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ
Saat mendengar berita duka itu saya sedang berada di Bekasi, Jawa Barat, mengunjungi saudara saya yang bermukim di sana. Melalui status Facebook Reny (Markom NBC), saya menyaksikan foto seorang pria yang sangat kukenal. Saya teperanjat, Hikayat Manaƶ meninggal!
Tentu, sama dengan saya, ribuan penduduk Nias, khususnya Desa Bawƶmataluo, para sahabatnya, pencinta budaya NIas, para pengamat budaya, kita semua kehilangan pria kelahiran 12 Juli 1958 itu.
Beberapa menit saya termenung dan berdoa bagi keluarga yang ditinggalkannya. Kepergiannya membuatku kehilangan seorang “guru” yang selama ini menjadi sumber informasi dalam menulis budaya dan wisata Nias.
Perpustakaanku terbakar! Tak mungkin lagi saya menggali ribuan file yang tersimpan dalam pikirannya yang belum terpublikasi. Mustahil kugali ungkapan-ungkapan dan emosi khas dari pria yang selama puluhan tahun menggeluti budaya dan menguasai banyak hal tentang budaya Nias.
Kenangan Tiga Tahun Lalu
Memutar memori ke belakang, terkenang kembali suatu hari padaFebruari 2011, pertemuan pertama kami di rumahnya di Bawƶmataluo, saat NBC mengutus saya dan Reny (Ketjel Zagƶtƶ) melakukan wawancara dengan Hikayat untuk sebuah publikasi selama tiga jam lebih.
Sore itu, dari gerbang sebelah Timur, saya dan Reny menapaki 86 anak tangga menuju puncak Desa Bawƶmataluo yang terletak 250 meter di atas permukaan laut. Di tangga akhir, saya menyaksikan kehebatan rumah-rumah adat peninggalan era megalitik.
Menyusuri perkampungan peninggalan megalitik ibarat masuk ke ruangan masa lalu yang belum pernah terbayang. Sebelah kiri dan kanan terdapat deretan rumah adat yang dihuni masyarakat (Omo Hada) berjejer rapi. Salah satu rumah di jejeran sebelah kiri berbentuk unik yang dikenal sebagai rumah raja (Omo Sebua).
Reny kemudian menunjukkan sebuah rumah sejajar Omo Sebua, hanya beberapa rumah dari sana. Itulah rumah Hikayat Manaƶ. Di sanalah budayawan yang kesohor itu menunggu kami. Awalnya, saya membayangkan wajahnya yang seram dan bicaranya agak kasar. Sambutan yang hangat dan tutur katanya yang lembut membuyarkan bayangan. Initoh yang disebut Panglima itu.
Ternyata, dia bukan pria seseram yang saya bayangkan. Kesan pertama saya, Hikayat adalah orang yang cepat akrab, humoris. Meski baru pertama kali bertemu, pria ini mampu menciptakan suasana seolah kami sudah lama saling kenal, menghubungkan orang-orang yang dikenalnya dekat dengan tamunya.
Hikayat dengan rendah hati mengoreksi dengan sabar dan sopan kalau ada kesalahan-kesalahan kata yang saya ucapkan dalam bahasa Nias, kalau ada istilah yang saya kurang mengerti.
Budaya adalah darah dagingnya. Membicarakan budaya adalah salah satu sumber kebahagiaannya. Dia tidak kenal waktu dan tak mengenal lelah. Kata-kata keluar dari mulutnya bak air mengalir.
Bukan saya sendiri. Jodhi Yudhono, wartawan Kompas.com, dan dua penulis Nias yang saya kenal, Apolonius Lase dan Etis Nehe, juga mengakui hal yang sama. Beliau adalah sumber berita yang hangat tentang budaya Nias. “Dari pembicaraan saya dengan beliau seperti biasa saya menangkap aura dan semangat yang berkobar-kobar tatkala bicara soal budaya dan tradisi-tradisi kami Ono Niha.”
Orangnya enak diajak bicara dan terbuka menjelaskan semua pertanyaan. Jawaban-jawabannya jelas, sekali-sekali dia menikmati (afo) sirih khas Nias. Sore itu, kami mengakhir pembicaraan yang sudah berlangsung hampir tiga jam karena matahari memerah di ufuk barat Desa Bawomataluo yang juga dikenal sebagai “Bukit Matahari” itu dan harus kembali ke Gunungsitoli.
***
Pertemuan pertama itu menyusul kebersamaan kami selama tiga hari dalam Pagelaran Budaya Nias, 13-15 Maret 2011, memungkinkan saya mengamati kegiatanHikayat dari dekat. Pagi-pagi keluar rumah langsung mengatur puluhan anak buahnya untuk mempersiapkan beberapa pertunjukan tari, serta permainan-pemainan tradisional lainnya. Dia aktif mengoordinasikan semua kegiatan, bahkan ikut sebagai pemain.
Lantas dia dikerumuni wartawan. Dia berperan sebagai humas, menjadi sumber informasi bagi wartawan televisi yang saat itu saya catat hadir, antara lain TVOne dan Trans-7, serta media nasional lainnya. Dia menjadi penyuara budaya desanya, Bawƶmataluo, ke luar Nas sehingga diketahui jutaan orang di luar desanya.
Sesudah acara itu, saya tidak pernah bertemu lagi dan berkomunikasi hanya melalui telepon.
Suatu ketika, saya sudah janji akan bertemu sesudah ia kembali dari sebuah pergelaran budaya di Jakarta.Namun, karena sesuatu hal pertemuan itu urung berlangsung. Janji terakhir dan tidak mungkin terwujud seperti pertemuan di rumahnya tiga tahun lalu.
***
Bertemu dengan Hikayat Manaƶ seolah masuk ke sebuah perpustakaan besar yang didalamnya semua serba komplet, khususnya budaya Nias. Dia adalah sumber inspirasi tentang seorang pencinta budaya. Kegigihan, ketulusan, tanpa pamrih serta semangatnya mewariskan pentingnya budaya dilestarikan adalah sebuah sikap yang langka di zaman hedonisme sekarang ini.
Kini, bertemu dengan Hikayat Manaƶ mustahil bagi saya terjadi lagi. Kerinduan menggali informasi tentang budaya Nias dari dirinya hanyalah mimpi di siang bolong. Itulah kesedihan pribadi saya atas kepergiannya, kesedihan para penulis lainnya. Perpustakaanku terbakar, ribuan file turut lenyap bersama kepergiannya.Kehidupan masa kecil Hikayat Manaƶ menarik diungkap mengingat saat ini banyak keluhan soal fasilitas dalam mengembangkan budaya. Hikayat Manaƶ telah membuktikan, dengan fasilitas yang terbatas, tempat yang terisolasi, beliau mampu melakukan pengembangan dan pembaharuan budaya Bawƶmataluo.
Desa Bawƶmataluo yang terkenal dengan nilai budaya tinggi peninggalan era megalitik itu bukan sebuah desa yang mencerminkan kemakmuran kehidupan penduduknya. Tidak sehebat popularitas yang disandangnya.
Pada masa kecil Hikayat, penduduk desa berada di bawah garis kemiskian. Mungkin hingga kini, penduduknya masih terbelakang dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera. Di desa seperti inilah Hikayat dilahirkan dan dibesarkan.
***
Sejak kecil Hikayat sudah terbiasa hidup dengan seni, bahkan ketika duduk di sekolah dasar menjadi dirigen di sekolahnya. Darah seni mengalir di tubuhnya di tengah lingkungannya hidup dalam kemiskinan.
Dia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di desa kelahirannya. Karena SMP belum ada di sekitar desanya, setelah lulus SD Katolik Bawƶmataluo, Hikayat melanjutkan sekolahnya ke SMP Bintang Laut di Telukdalam dan tinggal di asrama sekolah itu.
Di asrama itu dia menjadi pemukul lonceng gereja hanya untuk mendapatkan sepotong ikan kecil. “Pekerjaan saya di asrama adalah membunyikan lonceng. Habis itu saya dikasih hadiah sepotong ikan kecil oleh Zr Lumbertin,”ujarnya suatu ketika.
seusai menamatkan SMP, Hikayat melanjutkan SMA ke Gunungsitoli. Dia pernah bercerita bahwa transportasi saat itu di Nias masih sulit. “Saat itu, bepergian ke Gunungsitoli, layaknya berangkat ke luar negeri. Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Telukdalam. Kapal itu memuat 60 penumpang dan barang,”ujarnya, dalam sebuah wawancara NBC.
Waktu tempuh dari Telukdalam ke Gunung Sitoli bisa mencapai 9 jam. Bandingkan sekarang jarak itu bisa ditenpuh dalam 2-3 jam dan perjalanan dapat dilakukan setiap saat.
Masa-masa SMA-nya di Gunungsitoli dijalaninya dengan penuh keprihatinan. Hikayat harus memasak sendiri dan kos di rumah sebuah keluarga, hanya berbekal beras dari Bawƶmataluo. Untuk membeli kecap penyedap nasi putihnya, Hikayat harus bekerja membuat batubata dengan upah Rp 3 per buah. Bahkan, karena hanya memiliki sepasang pakaian seragam, ia jarang ke gereja.
Mungkin pembukaan lapangan terbang Binaka di Gunungsitoli barangkali sebuah kebahagiaannya yang menonjol, di tengah keprihatinan hidupnya.
“Kami pernah cabut (bolos-red) dari sekolah berjalan kaki dari Gunungsitoli hanya untuk melihat pesawat Capung di Bandara Binaka,”ujarnya tertawa, suatu sore di rumahnya.
Menyelesaikan SMA selama tiga tahun Hikayat berpindah-pindah sekolah. Dia pernah putus sekolah dan memburuh ke Balige di Tapanuli, Pulau Sumatera, kemudian menjadi penjual sepatu di Pematangsiantar.
Akhirnya dengan bantuan mantan kepala sekolahnya di Gunungsitoli Hikayat mendapat kesempatan menyelesaikan SMA-nya di Gunungsitoli melalui jalur ekstraner selama enam bulan.
“Hombo Batu”: Mengubah Nasib
Hombo batu menjadi tonggak perubahan kehidupan Hikayat. Seperti pernah dikisahkannya, para pengunjung yang menonton hombo batu ternyata tidak hanya melihat olahraga tradisional terkenal Nias itu sebagai hiburan belaka.
Awal 1980-an, tak lama berselang setelah Hikayat lulus dari SMA, Pangdam II Bukit Barisan Soesilo Soedarman ketika itu berkunjung ke Bawƶmataluo. Dia menunjukkan kehebatannya di depan panglima.
Kehebatan para pria, termasuk Hikayat Manaƶ, mengundang decak kagum Panglima TNI dan menawarkan anak-anak muda seperti Hikayat dididik menjadi tentara. Panglima mengajak dirinya dan dua temannya.
Meski akhirnya tidak menjadi tentara, ajakan Panglima TNI itu telah mengubah kehidupannya. Niatnya menjadi tentara itu urung terwujud setelah membaca berita tentang nasib para tentara di Timor Timor. “Saya akhirnya memutuskan tidak menjadi tentara,” ujarnya.
Namun, Hikayat tetap dihargai dan seorang pejabat di Kodam I Bukit Barisan memberi ongkosnya kembali ke Nias. Akan tetapi, Hikayat tidak kembali ke Nias, justru memilih berangkat ke Jakarta.
Di Jakarta, Hikayat mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Pendapatannya cukup lumayan sehingga mampu membelanjai dirinya dan biaya perkuliahan. Sambil bekerja, dia kuliah seusai bekerja di Akademi Teknik Komputer di Matraman, Jakarta. Sayangnya, dia tidak sampai menyelesaikan perkuliahannya. Perusahaan tempatnya bekerja juga akhirnya melakukan perampingan pegawai.
“Saya akhirnya keluar karena yang diajarkan cuma teori melulu, tidak pernah memegang computer,” katanya tiga tahun lalu. [Bersambung]
[1] Jannerson Girsang, Penulis Biografi, tinggal di Medan. Dia juga menulis Profil Hikayat Manao yang dimuat di Nias-Bangkit.com, Maret 2011. - See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Rabu, 22 Oktober 2014
REVOLUSI MENTAL: Mimpi Merubah Dunia, Awali Perubahan Diri Sendiri
Oleh: Jannerson Girsang
Bermimpi merubah orang lain, merubah negara?.
Jangan kawan, tidak usah mengharapkan orang lain berubah, apalagi memaksakan mereka berubah. Kitalah yang lebih dulu berubah.
Ayat emas kita mengatakan: "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka, sebab itulah hukum tertinggi dari taurat dan hukum para nabi"
Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berubah, berubahlah seperti perubahan yang Anda harapkan. Kalau Anda ingin orang lain berubah, maka ubahlah diri Anda lebih dahulu. Jadilah teladan!. Sebab yang lain menginginkan teladan, bukan perintah atau kata-kata.
Itulah Jokowi kita. Dia yang merubah diri lebih dahulu, memberi teladan dan orang lain mengikutinya.
Jokowi tidak meminta Prabowo atau Abu Rizal Bakrie berubah, tetapi Jokowilah yang terlebih dahulu memberi teladan. Memaafkan, merajut kembali luka lama.Menyembuhkan!
Tindakan-tindakan kecil yang baru menuju kebaikan., kejujuran sekecil apapun yang kita lakukan, akan menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Ingat!. Anda hanya bisa menjadi diri Anda, tidak bisa menjadi orang lain.
Anda bisa mencaplok kata-kata orang lain, perbuatan orang lain menjadi perbuatan Anda, tetapi pada akhirnya Anda akan kecewa. Sebab itu bukan diri Anda, bukan perbuatan Anda. Anda sendiri tidak menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur!
Ketika Anda merasa sudah berhasil, Anda sendiri tidak akan menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur! Kecewa melihat diri sendiri, kecewa melihat orang lain.
Berbuat satu kebaikan yang jujur dengan identitas Anda sendiri, lebih berharga dari seribu kata-kata kebaikan, kejujuran milik orang lain.
Jangan bermimpi merubah orang lain, merubah bangsa, merubah dunia. Lakukan perubahan dari diri sendiri.
Revolusi Mental.
Medan, 22 Oktober 2014
Bermimpi merubah orang lain, merubah negara?.
Jangan kawan, tidak usah mengharapkan orang lain berubah, apalagi memaksakan mereka berubah. Kitalah yang lebih dulu berubah.
Ayat emas kita mengatakan: "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka, sebab itulah hukum tertinggi dari taurat dan hukum para nabi"
Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berubah, berubahlah seperti perubahan yang Anda harapkan. Kalau Anda ingin orang lain berubah, maka ubahlah diri Anda lebih dahulu. Jadilah teladan!. Sebab yang lain menginginkan teladan, bukan perintah atau kata-kata.
Itulah Jokowi kita. Dia yang merubah diri lebih dahulu, memberi teladan dan orang lain mengikutinya.
Jokowi tidak meminta Prabowo atau Abu Rizal Bakrie berubah, tetapi Jokowilah yang terlebih dahulu memberi teladan. Memaafkan, merajut kembali luka lama.Menyembuhkan!
Tindakan-tindakan kecil yang baru menuju kebaikan., kejujuran sekecil apapun yang kita lakukan, akan menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Ingat!. Anda hanya bisa menjadi diri Anda, tidak bisa menjadi orang lain.
Anda bisa mencaplok kata-kata orang lain, perbuatan orang lain menjadi perbuatan Anda, tetapi pada akhirnya Anda akan kecewa. Sebab itu bukan diri Anda, bukan perbuatan Anda. Anda sendiri tidak menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur!
Ketika Anda merasa sudah berhasil, Anda sendiri tidak akan menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur! Kecewa melihat diri sendiri, kecewa melihat orang lain.
Berbuat satu kebaikan yang jujur dengan identitas Anda sendiri, lebih berharga dari seribu kata-kata kebaikan, kejujuran milik orang lain.
Jangan bermimpi merubah orang lain, merubah bangsa, merubah dunia. Lakukan perubahan dari diri sendiri.
Revolusi Mental.
Medan, 22 Oktober 2014
Langganan:
Postingan (Atom)