My 500 Words

Senin, 28 April 2014

Orang Termiskin di Dunia

Oleh: Jannerson Girsang

Suatu ketika di sebuah kedai kopi di daerah Perumnas Simalingkar seorang Bapak dari kampung terlibat pembicaraan dengan seorang tukang becak yang baik hati.

Ternyata, mereka sudah pernah bertemu. Tukang becak itulah yang mengantarkannya ke rumah anaknya.

"Bapak kaya sekali ya,"ujar si Bapak berkelakar, dan membuat tukang becak itu terkejut.

"Bapak ini kok ngeledek saya. Saya cuma punya satu becak. Tahun depan sudah masuk kandang dan minta ganti" ujar tukang becak balik bertanya.

"Ya, tapi bapak sudah melayani banyak orang. bapak baik hati. Ribuan orang sudah menikmatinya"

"Yang kaya itu adalah mereka bagi-bagi duit waktu Caleg. Mobilnya banyak, uangnya banyak, rumah dan tanah punya dimana-mana".

"Mereka hanya punya uang, mobil, punya banyak rumah. Tapi selain itu mereka tidak punya apa-apa".

"Oh...begitu ya...". Tukang becak terdiam.

"Kalau sebelum mencaleg mereka ramah, suka memberi uang, setelah itu, datang ke kedai inipun tak mau lagi".

"Akh....saya narik dulu lae" kata tukang becak sambil mengambil handuk penyapu keringatnya menuju becak yang diparkir di depan kedai.

Dia merenungkan kembali percakapan mereka barusan.

"Orang termiskin itu, hanya punya uang, tanah, rumah, mobil. Selain itu dia tidak punya apa-apa". 


"Apa semua Caleg seperti itu?. Tidak juga akh!."

Medan 25 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Rumah dalam Sengketa

Oleh: Jannerson Girsang

“Peace begins with a smile..” (Mother Teresa)

Pagi ini, saat jalan pagi menempuh jarak 4.3 kilometer di Perumnas Simalingkar, di depan dua atau tiga rumah saya membaca "spanduk" yang terbuat dari kayu atau karton: 'RUMAH INI DALAM SENGKETA".

Artinya, pemiliknya sedang "tidak damai". Saya sudah melihatnya beberapa hari sebelumnya. Tetapi, hingga pagi ini, keadaannya tidak berubah. Pemiliknya semua larut dalam kebenciannya masing-masing.

Kata Mother Theresia damai dimulai dari senyum. Mengeluarkan senyum kepada orang yang dibenci, memang bukan pekerjaan mudah. Padahal, itulah pintu masuk perdamaian.

“Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.” (Martin Luther King Jr).

Orang yang hidup dalam kegelapan, tidak bisa membebaskan orang dari kegelapan, hanya "terang" yang dapat melakukannya. Orang yang memilki rasa kebencian tidak bisa membebaskan  orang dari kebencian. Hanya kasih yang dapat melakukannya.

Kasih, cinta, itulah yang dapat menciptakan damai, membebaskan orang dari sengketa.Pengadilan?. Kalau boleh dihindari. Karena hasilnya, "Yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu"

Semoga malam ini semuanya sadar dan memandang manfaat yang lebih besar. Berdamai itu datang dari hati yang tulus, saling memaafkan.

Semoga para pemilik rumah-rumah sengketa itu mampu memulai senyum di pagi hari esok, dan spanduk bertuliskan "RUMAH INI DALAM SENGKETA" tidak kutemui lagi.  .

Perlu waktu (tapi jangan lama-lama) bagi setiap orang untuk menemukan damai di hati. Perenungan, aksi, perenungan aksi. “Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding.” (Albert Einstein). Perdamaian tidak bisa dipaksakan, karena perdamaian hanya dapat dicapai melalui saling pengertian.

Medan, 23 April 2014

Perempuan di Abad 21: Bersama Suami Mempersiapkan Anak

Oleh: Jannerson Girsang

Sehari setelah Peringatan Hari Kartini, saya bertanya kepada istri saya.

"Menurutmu sebagai ibu rumah tangga, apa yang kau harapkan dalam hidup bersama dengan suami dan anak-anak, dan hidup bermasyarakat?"

"Bisa mengikuti acara di gereja, menjenguk orang sakit, melayat orang yang meninggal, sekali-sekali cuci mata ke mall, kalau tidak ada uang (kalau punya uang bisa beli barang baru yang diinginkan), mengikuti acara keluarga, bisa membimbing anak-anak, suatu ketika bisa berkumpul (karena 3 putri dan satu putra saya sudah jauh dari rumah), bisa memasak makanan untuk suami, bisa jalan-jalan sekali-sekali. Aku bahagia melihat anak-anakku mampu mandiri dan bisa mewariskan kebaikan yang kami peroleh dari orang tua, senang banyak kegiatan bersama dengan suami, bangga dengan suami."

Mungkin istri saya hanya seorang perempuan yang berfikiran sederhana saja. Tetapi tanpa dia, rumah tangga akan hampa. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa. Hati yang tulus, melayani keluarga, mempersiapkan keluarga baru masa depan, serta berbuat hal-hal yang sederhana bagi keluarganya dan masyarakat sekelilingnya.

Mungkin dia tidak seperti Kartini, Helen Keler atau Ibu Theresia. Tapi dia tetap perempuan yang beremansipasi.

Anak-anak lebih suka bertemu dengan ibunya dari ayahnya. Saya kadang iri juga!. "Ini untuk mama!. Untuk bapak apa. Bapak kan udah punya"...

"Kok mama nggak ikut Pak?", serta pertanyaan-pertanyaan lain yang menunjukkan betapa ibunya segalanya bagi anak-anak.

Dia setara dengan laki-laki, sama-sama melayani sesama dengan baik. Memperoleh penghargaan dari sesamanya, menerima kasih yang sempurna dari anak-anaknya, perlindungan dan kenyamanan dari suaminya.

Dia bahagia dengan posisinya seperti itu. Bukankah itu ideal bagi dirinya, dan mungkin juga bagi sebagian wanita lain?

Bagaimana seharusnya seorang wanita yang ideal?. Menurut saya: wanita ideal adalah bersama suami, bisa mewariskan hal-hal yang baik bagi keturunannya, menciptakan suasana damai di dalam rumah tangga, berbuat hal-hal yang mampu kepada lingkungannya, serta menciptakan kenyamanan dengan lingkungannya. (Saya hanya membahas wanita yang memiliki suami, karena saya memiliki istri)

Mudah-mudahan pembahasan tentang perempuan tidak semakin rumit di abad 21 ini. Emansipasi wanita meningkat, hasinya mestinya: perceraian menurun, anak-anak makin berkualitas, rumah tangga dan lingkungan makin nyaman dan damai. Emansipasi bukan hanya enak diucapkan, tetapi orang yang mendengungkannya bisa mempraktekannya dan menciptakan suasana rumah tangganya yang semakin baik.

No gain without pain!. Tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan masing-masing pasangan. Bahagia dinikmati bersama, kesulitan dihadapi bersama. 


Jangan hanya memandang enaknya saja, apalagi saling menghakimi. Salah sedikit cerai, masalah ekonomi, cerai. 

Medan, 22 April 2014 

Sabtu, 19 April 2014

RENUNGAN PASKAH: BERDOA

Oleh: Jannerson Girsang

Di hari-hari Passion ini, saya mengingat hari-hari sedih dan pahit, ketika adikku Parker menuju maut, empat tahun lalu.

Maret 2010 lalu, adikku sakit parah. Dokter memvonis dia mengidap kanker nasoparing dan memperkirakan usianya hanya tinggal 15 bulan lagi. Mendengar itu, saya menelepon dia sambil menangis. 


Kenapa Tuhan?. Rasa kemanusian, pengalaman saya lebih dominan membawa saya dalam pikiran dan tindakan sendiri.

Kemudian dia dirawat di Rumah Sakit Cikini Jakarta. Saya mendampinginya sekitar dua minggu. Ratusan teman, keluarga dekat yang mengunjungi dia, semua berdoa. Ada yang berdoa sambil menangis, bersujud.

Inti doa-doa kami: "Tuhan kasihanilah kami, sembuhkanlah saudara kami".

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Dia kemudian meninggalkan kami untuk selama-lamanya, hanya 3 bulan setelah vonis dokter itu, 16 Juni 2010.

Sedihnya tak terlukiskan. Saat itu usianya memasuki 49 tahun dan menyusul istrinya yang meninggal 4 tahun sebelumnya.

Semua hati tertuju, trenyuh pada nasib tiga putrinya yang cantik-cantik dan pintar-pintar. Saat itu yang tertua baru berusia 19 tahun dan memasuki semester I di FISIP UI, putri keduanya memasuki Kelas I SMA, dan si bungsu baru SMP Kelas I.

Kenapa Tuhan begitu kejam? Itulah respon kemanusiaan saya paling pertama muncul.

Waktu kemudian menguatkan putri-putri kami yang ditinggal kedua orang tuanya. Tuhan tidak pernah memberikan beban lebih besar dari apa yang mampu kita tanggung.

Saya mengumpulkan ketiganya beberapa hari sepeninggal adikku. Kita berdiskusi soal harapan. Semua menetapkan cita-citanya, harapannya dan melupakan semua kepahitan.

Di akhir diskusi, yang tertua dengan tangkas berkata: "Adik-adikku, kita harus kuat, kita harus menatap ke depan".

Keluarga (keluarga istri adikku, keluarga kami dan beberapa teman yang mau membantu) berembuk untuk pembiayaan mereka bertiga. Semua suka cita dan memberikan apa yang dapat diberikan semampunya.

Empat tahun peristiwa itu sudah berlalu. Semua berjalan dengan baik, ketiga putri almarhum tumbuh dan yakin sepenuhnya mereka tidak dipelihara uang, gaji, atau orang tuanya, tetapi mereka dilindungi dan dipelihara Tuhan.

Sebuah renungan di hari Passion ini : untuk apa kita berdoa?. Jesus mengajarkan: "Berdoalah agar kamu tidak jatuh ke dalam pencobaan".

Kita tidak berdoa untuk sesuatu yang kita cita-citakan harus tercapai, tetapi berdoa agar Tuhan menguatkan kita menuju rencana Tuhan yang terbaik bagi kita. Berdoa adalah menguatkan kita menghadapi peristiwa apa saja dalam hidup kita agar kita mampu bersyukur atas apapun yang terjadi.

Jesus tidak berdoa agar Dia diberikan harta, kekuasaan dll yang bersifat duniawi. Tetapi Dia meminta kekuatan menghadapi maut. Maut yang telah direncanakan bagiNya. Jesus sendiri, secara kedagingan, tidak menginginkan kematian atas dirinya.

Katanya: "Ya Abba, Ya Bapa-Ku, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."

Beda Jesus yang berdoa dan murid-muridnya yang tertidur adalah sikap mereka menghadapi maut. Jesus mampu menjalaninya, sementara murid-muridnya lari tunggang langgang. Malah Petrus ketakutan dan menyangkal mengenal Jesus sampai tiga kali.

Menyambut Hari Raya Paskah ini, melalui khotbah-khotbah pendeta, Pdt Enida Girsang (Kamis Putih) dan Pdt CHE Purba (Jumat Agung), saya bersyukur karena kemudian diberi pemahaman yang lebih dalam memaknai soal berdoa.

Sekali lagi, berdoa adalah agar kita diberi kekuatan menghadapi semua persoalan hidup. Bukan "memaksa" Tuhan memenuhi keinginan kita. Rencana Tuhan jauh lebih indah dan lebih baik dari keinginan, cita-cita dan harapan kita.

Ketiga putri kami dari almarhum Parker sedang merajut masa depan mereka menjalani rencana Tuhan yang terbaik bagi mereka : Yani Christin Girsang (kini kuliah di extension UI, S1 melanjutkan studinya, setelah memperoleh D3 Sekretaris, sambil bekerja), Hilda Valeria Girsang (kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Trisha Melanie Girsang, (Siswa SMA Negeri 1 Bekasi). I love you all!.

Mereka mengarungi kehidupan dengan harapan yang cerah. Jauh dari kekhawatiran kami sebelumnya. Jauh lebih baik dari apa yang kami pikirkan dan doakan

Doaku setiap hari: Tuhan kuatkan ketiga putriku agar mereka mampu menjalani dan menerima hari-hari yang telah Tuhan rencanakan dengan rasa syukur.

Anak-anak dan menantuku Clara Girsang, Anja Novalianto Saragih, Patricia GirsangFrederick Simanjuntak, Bernard Patralison Girsang, Devee Girsang. Berdoalah agar kita mampu menghadapi maut sekalipun!

Semoga pengalaman ini bisa menjadi renungan bagi teman-teman. Selamat Paskah!.

Semoga teman-teman yang sedang merawat saudara-saudaranya tetap dikuatkan. Kemaren, saya dan teman-teman mengunjungi teman-teman se gereja, St Wilmar Saragih yang sedang menunggui istrinya Sy Asima Lubis yang sedang sakit di RS Adam Malik, Mama Heru yang sedang menunggui anaknya, Heru yang sakit, di RS Adam Malik, Saudaraku Hadomuan Sinaga dan Br Tarigan yang baru kehilangan bayi mereka. Juga buat Rodear Stp, yang sedang menjaga suaminya (bpk Ronald) yang masuk rumah sakit Mitra Sejati kemaren.

Juga buat Eni Ramayanti JAwak, yang baru kehilangan mamanya, temanku semasa kecil, beberapa waktu yang lalu dalam usia 54 tahun. Juga saudaraku Jon Parman yang baru beberapa minggu lalu kehilangan ayah tercinta di usia 61 tahun.

Semoga kalian membaca artikel ini
.

Jumat, 18 April 2014

CIUMAN PENGKHIANATAN JUDAS

Ciuman yang secara normal digunakan mengekspresikan kasih sayang, justru Judas menggunakannya menyerahkan Jesus, gurunya ke Kayu Salib.

Uang, bisa bikin orang buta. Dengan 30 keping perak, salah seorang murid Jesus, Judas mengkhianatiNya, dengan ciuman.

Sebelum Perjamuan Terakhir yang diselenggarakan Yesus kepada murid-muridNya, Yudas, salah seorang murid Jesus dan pemegang kas, secara sembunyi-sembunyi menemui para pemimpin Jahudi, sehubungan dengan rencana mereka membunuh Jesus.

Dia menerima uang 30 keping perak, sebagai upahnya untuk melakukan tugas khusus. Pekerjaan Judas tidak rumit, hanya memberitahu tanda ketika para penangkapnya sudah dekat.

Tanda itu adalah: Judas akan mendekati Yesus untuk mencium-Nya.  "Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia."

Sesudah persekongkolan jahat itu, Judas bergabung lagi dengan murid-muridNya. Dia turut dalam Perjamuan Terakhir. Jesus menyindir niat jahat Judas. Tapi dasar Judas buta, dia masih melanjutkan niatnya. 

Persis seperti yang sudah dijanjikan, ketika para penangkapNya datang, Judas  segera maju mendapatkan Yesus dan berkata: "Salam Rabi," lalu mencium Dia.

Jesus mengetahui niat Judas. Maka kata Yesus kepadanya: "Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?". Matius mencatat ucapan Yesus itu: "Hai teman, untuk itukah engkau datang?".

Jesus kemudian ditangkap, lalu diadili. Disiksa bahkan disalibkan, mati dan dikuburkan.

Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Judas mengira, Yesus akan menggunakan kuasaNya menghindar dari maut.

Ternyata kuasa yang dimiliki Yesus bukan digunakan seperti yang dibayangkan Judas. Yesus bukan anggar kekuasaan, tetapi Dia setia kepada yang mengutusNya.  Dia tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan untukNya.

Perjanjian Lama menubuatkan bahwa Anak manusia itu akan menderita. Jesus sendiri telah memberitahu murid-muridNya tentang maut yang akan dihadapinya, tetapi mata mereka buta dan telinga mereka tuli.

Melihat kejadian yang menimpa Jesus, Judas kecewa berat. Dia mengembalikan uang 30 keping perak kepada pemimpin Jahudi. Bahkan saking kecewanya, dia akhirnya bunuh diri.

Sadarlah kita, setiap penipuan, korupsi, manipulasi akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Judas, sama seperti kita manusia biasa seringkali menyalahgunakan kekuasaan untuk memperoleh sesuatu yang "kelihatan": uang, harta, dan kemewahan lain untuk dirinya sendiri. 


Penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan di Indonesia adalah pengkhianatan kepada rakyat (mahluk yang paling dikasihi Tuhan, suaranya adalah suara Tuhan) yang memilih dan memberi mandat.

Rakyat mengutus para pejabat atau pemimpin bukan untuk korupsi, menghianati tetapi untuk membahagiakan rakyatnya. 

Orang yang mengkhianati kepercayaan itu, akan menghadapi nasib seperti Judas. Hidup tidak nyaman, bahkan mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak wajar. .

Masihkah penipuan, korupsi, dan pengkhianatan  kita lanjutkan?

Selamat merayakan Jumat Agung.
Medan, 18 April 2014

Kamis, 17 April 2014

RENUNGAN MENYAMBUT PASKAH

Oleh: Jannerson Girsang

Libur kantor mulai hari ini hingga Senin mendatang. Terima kasih bagi kantorku yang menyediakan masa panjang bagiku untuk merenungkan arti penderitaan Yesus menuju Kayu Salib.

Hari ini adalah sebuah momen terindah sepanjang 53 tahun hidupku menjelang Paskah. Belum pernah aku memperoleh waktu begini indah, merenungkan Paskah, kisah perjalanan Via Dolorosa.

Kematian adalah sesuatu yang sangat menyeramkan dan tidak seorangpun ingin mengalaminya. Manusia sangat sayang pada nyawanya. Masalahnya, saking sayangnya, manusia memiliki sikap egois, bahkan tidak peduli nyawa orang lain.

Tetapi ada satu jiwa yang rela dirinya mati untuk orang lain. Meski Perjanjian Baru mencatat bagaimana Yesus mengalami pergulatan batin yang luar biasa menghadapi kematian. Berdoa semalam suntuk, hingga mampu mengatakan: "Bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi".

Yesus memberikan teladan yang luar biasa, tentang contoh mengasihi sesama, dengan tunduk kepada perintah yang mengutusNya.

Kitab-kitab Perjanjian Lama menggambarkan seorang yang diurapi (bahasa Ibrani: Mesias; bahasa Yunani: Kristus) oleh Allah akan menderita sengsara dan mati sebagai penebus dosa umat manusia.
Sejumlah nubuat berfokus pada peristiwa ini, dan menurut keyakinan saya sebagai orang Kristen digenapi dalam kematian Yesus Kristus.

Yesus menunjukkan teladan, bagaimana sikap atau respons seorang yang tidak bersalah, disiksa, dihukum, malah dibunuh. Saya, dicolek atau diremehkan sedikit aja sudah marah. Dikatakan tidak hebat, marah. Teman kalah Pileg, menyalahkan saya, saya marah juga!.

Dewasa ini, orang-orang Kristen (Gereja Kristen Protestan Simalungun) merenungkan Peristiwa penderitaan Yesus melalui Kamis Putih (nanti malam, 17 April 2014, pukul 20.00), Jumat Agung (Jumat pukul 12.00) , kemudian kebaktian peringatan kebangkitan dari kubur pada hari ketiga (Minggu Pagi), dilanjutkan dengan Kebaktian Tuntunan (lanjutan) hari Senin.

Tentu, ada perenungan pribadi di luar kebaktian-kebaktian di atas, seperti yang saya tuliskan ini. 53 tahun peristiwa seperti ini saya alami, saya masih terus berlatih dan berlatih, meminta pertolongan, karena kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, dalam diri saya masih muncul bibit tidak baik: suka marah, iri hati, senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang, belum tahan diremehkan, acapkali lemah ketika menerima kegagalan, belum bekerja dengan tulus.

Berdoa, terus berdoa dan berusaha menghilangkan sikap negatif itu, seiring bertambahnya usia. Saya dan setiap orang Kristen, sepanjang hidupnya harus terus menerus merenungkan kata-kata yang keluar dari mulut Yesus selama dalam penderitaan.

Dari kayu salib, dengan mahkota duri di kepala, tubuh yang bergelimang darah karena terluka, Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (* Lukas 23:34 ).

Kalimat pendek dan inti dari ajaran Kristen. Mengasihi setiap orang, bahkan musuh sekalipun, karena Yesus telah mengasihi saya dan Anda lebih dahulu.

Mampukah kita mengeluarkan kata-kata yang demikian saat menderita, saat orang dengan sengaja menghabisi nyawa kita?. Bukankah kita sering membalas air susu dengan air tuba. Mampukah kita membalas air tuba dengan air susu?.

Paskah mengajar kita menyikapi secara positif, ketika orang membalas dengan kejahatan bagi perbuatan kita yang baik dan benar, mengambil makna yang baik dari seuatu yang buruk. "Kalau kamu hanya mengasihi orang yang mengasihimu, apakah upahmu?".

Saya belum mampu melaksanakannya. Jangan munafik!. Kalau jujur, Andapun belum mampu, bahkan mungkin sampai kita berakhir di liang kubur.

Saya dan Anda masih lebih sering menginginkan orang lain lebih dulu berbuat baik, baru kita mau berbuat baik.

Mari saling mengisi, bukan saling menghakimi. Mari merendahkan diri, bukan menganggap diri paling hebat. Mari merenungkan, memaknai dan mempraktekkan sikap, ucapan, dan tindakan Yesus ketika dalam penderitaan hebat:

Memperingati Paskah setiap tahun, merupakan masa perenungan menuju ke kesempurnaan hidup. Meski tidak pernah mencapainya, karena hanya Dia yang dapat menyempurnakannya.

Peristiwa ini tidak bisa dimaknai dengan logika dan penjelasan kata-kata. Mengasihi adalah pekerjaan iman. Dia tidak pernah datang dari dunia ini.

Mintalah pertolongan, hayati suara Tuhan, alami dan latihlah iman secara terus menerus. Jangan harapkan sekali mendengar khotbah langsung berubah total. Biasakan kuping rindu mendengar hal-hal yang baik.

Tujulah peningkatan pemahaman dan kemampuan mengasihi istri, anak-anak, teman dan manusia di lingkungan dimanapun dia berada. Paskah bukan sekedar seremoni!

Minggu, 13 April 2014

JOKOWI MENDAHULUI BERBUAT BAIK


Oleh: Jannerson Girsang

Jokowi melakoni teladan seorang pemenang!. Tidak sombong dengan posisi Partainya sebagai jawara di Pileg 2014. Dia menghormati orang yang lebih tua, lebih senior dari dirinya.

Jokowi kecil--Capres PDI Perjuangan, berinisiatif lebih dahulu menemui para Pemimpin Partai Golkar, Nasdem, tak lama setelah Pileg 2014 selesai. Padahal, partainya adalah pemenang Pileg 2014.

Kebaikan Jokowi sangat dihormati Bakrie dan Suryo Paloh. Dua tokoh yang bukan orang orang biasa di negeri ini. Mereka tokoh partai, pengusaha terkenal dan memiliki media terbesar di negeri ini. 
Kedua tokoh ini tidak melihat Jokowi secara fisik. Fisiknya kecil, kekayaannya mungkin hanya senilai  "sayap kiri" pesawat jet pribadi Suryo Paloh dan Bakrie. Di mata mereka  Jokowi sebagai tokoh, pemimpin.

Senyum kehangatan dalam pertemuannya dengan Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar menjanjikan persatuan dan perdamaian. Hal yang ditunggu dan diharapkan seluruh rakyat Indonesia.

"Siapapun yang menang, kami saling mendukung" kata Bakrie yang disiarkan TV-One berkali-kali. Sebuah statemen yang sangat menyejukkan hati.

Sebelumnya, Jokowi juga sudah menemui Partai Nasdem. Pertemuannya dengan Suryo Paloh juga disiarkan oleh Metro TV dengan citra: Jokowi pantas menjadi presiden.

Menanam kebaikan menabur kebahagiaan. Mungkin itulah yang sedang dilakoni Jokowi.

Kebaikan Jokowi membuat orang-orang yang ditemuinya, secara tidak sadar sedang membesarkannya. 

Pertemuannya dengan Bakrie dan Suryo Paloh ditonton jutaan pemirsa Metro TV dan TVOne, dua televisi terbesar di Indonesia.

Kebaikan membuat semua orang senang dan bahagia. Semua mendapat citra yang baik, baik bagi Bakrie, maupun Suryo Paloh! Bagi penonton televisi, menyejukkan dan pembelajaran atas tokoh yang bersaing secara benar.

Sikap ini tidak banyak dimiliki pemimpin. Kebanyakan sombong dengan kemenangan dan cenderung melecehkan yang kecil. Mengeluarkan statemen-statemen yang buat hati panas, menghakimi, mabok kebesaran. Akhirnya, lupa mengambil  inisiatif berbuat langkah-langkah  baik dan sangat strategis, seperti dilakoni Jokowi.  

Jokowi telah menang selangkah. Dia lebih dahulu menunjukkan sikap melayani. Meski dia pemenang, tetapi lebih dulu menemui partai yang peroleh suaranya lebih kecil dari partainya sendiri. 

Itulah sikap seorang pemimpin. Pemimpin adalah melayani, bukan dilayani. Melakukan hal yang terbaik lebih dahulu. Berlomba-lombalah membuat yang terbaik. 

Kalau mau jadi pemimpin besar: Melayanilah lebih dahulu, jangan tunggu dilayani.

Mari kita ingat statemen Aburizal Bakrie: "Kita bersaing di Pilpres. Siapapun pemenangnya, kita akan saling mendukung"

Jumat, 11 April 2014

SEANDAINYA AKU TIDAK MENCALEG!

(Kisah ini Hanyalah Khayalanku Belaka, bukan Peristiwa Nyata)

Usai Pileg kemaren, aku sadar, setelah suara yang masuk di TPS begitu mengecewakanku. Dengan suara tidak sampai 1000 dari TPS andalanku pasti aku tidak lolos ke DPRD Tingkat I.

Uang yang sudah kukeluarkan Rp 1 miliar itu rupanya banyak. Begitu mudahnya aku membelanjakannya hanya dalam waktu sepuluh bulan. Aku taburkan uang rata-rata Rp 100 juta per bulan.

Seandainya tidak jadi Caleg, aku bisa gunakan uang Rp 1 miliar itu buat belanja anak namboruku yang akhirnya putus sekolah. Padahal mereka sudah datang ke rumahku meminta tolong. Sayangnya, saat itu semua tim suksesku butuh biaya. Jadi tidak tersedia uang kas lagi di tanganku. Di mataku Caleg adalah segala-galanya.

Uang itu bisa kupakai untuk membelanjai tiga putri saudaraku yang yatim piatu, sampai tamat kuliah. Caleg, memang segala-galanya, sehingga aku buta melihat keluargaku yang miskin. Kini, baru aku sadar, merekalah sebenarnya suara Tuhan itu. "Menolong orang yang berkekurangan".

Aku lebih suka memalingkan telingaku dan mendengar para tim suksesku yang meski hanya suara "kosong". "Kita pasti menang, kita pasti menang". Tapi entah kenapa, aku selalu yakin. Suara mereka selalu kuyakini, seperti Suara Tuhan!

Aku malah mengabaikan nasehat teman-temanku, yang selama ini cukup bijak. Mereka beberapa kali mengatakan tidak usah mencalon, karena biayanya besar dan persaingan sangat ketat dan tidak mungkin menang. Aku benci nasehat mereka. Padahal, merekalah yang seharusnya kudengar. Banyak diantara mereka sangat berpengalaman mengelola kampanye.

Aku banyak menipu mereka. Berkali-kali mereka datang, tak pernah sekalipun kuhargai, bahkan tak memberinya transport. Padahal ide-ide merekalah yang kucuri dan kupakai dalam kampanyeku. Soalnya di dalam timku, tidak ada yang berpengalaman.

Aku selalu sindir teman-temanku yang ahli kampanye itu dengan kata-kata, "jangan banyak teorilah". Padahal, aku hanya menghindari supaya jangan membayar honor atas ide mereka mahal itu. Aku hanya mau membayar tim yang selalu memujiku, meskipun mereka tidak punya pengalaman apa-apa.

Aku malah tidak kasihan melihat beberapa temanku yang karena idealis mereka hanya bisa naik sepeda motor, datang menemuiku di panas matahari. Bahkan aku sering mengejek mereka, tidak bisa cari duit. Dengan uang segitu banyak, aku seharusnya bisa menolong mereka dengan membeli mobil sederhana agar tugas pelayanannya lancar.

Aku tidak sedikitpun peduli temanku yang sudah 4 tahun hanya naik sepeda motor, setelah mobilnya dijual untuk membelanjai anaknya. Aku butuh mereka yang punya mobil, supaya tidak menyediakan lagi biaya transportnya. Itu sebabnya, di depan centerku selalu parkir mobil-mobil mewah.

Kini aku sadar, bahwa mereka hanyalah kontraktor-kontraktor yang tak punya massa, bahkan tak punya teman. Mereka hanyalah para pragmatis yang mengharapkan aku bisa menang. Mereka akan mendapatkan proyek dengan mudah menggunakan namaku kelak. Mereka memang membantuku, tetapi bukanlah bantuan yang tulus.

Ah, anakku lagi. Selama kampanye untuk ngasi uang jajannya saja kadang aku lupa. Angan-angannnya sekolah di Amerika seringkali kuabaikan. Dengan uang Rp 1 miliar, aku tidak usah pusing lagi menyekolahkan anak saya ke Singapura, Australia, atau cita-citanya sekolah ke Amerika.

Kalung istriku, kebanggaannya kalau duduk di gereja. Gelang yang melekat di tangannya, rante mas yang melingkar di lehernya, liontin berlian mempercantik dirinya, kini semua sudah lenyap.

Utangku...oh utangku. Kuharapkan bisa lunas, kalau aku jadi Caleg. Kemaren petugas bank sudah datang dan menyegel rumahku. Aku jadi malu. Selama ini aku dikenal sebagai orang yang suka menyumbang, khususnya rumah ibadah. Kemana mukaku, kalau besok dia datang lagi.

Tetangga akan mengejek aku. "Hari gini nggak bisa bayar utang?". Aku mau bilang apa?

Kini aku hanya bisa berandai-andai. Uang satu miliar lenyap. Orang menyalahkanku. Semua teman-teman menjauhiku. Padahal, beberapa hari sebelumnya, mereka masih menerima uang ratusan juta untuk mengawasi TPS.

Bahkan smspun sudah hampir tidak masuk lagi. Dulu ribuan sms masuk ke HPku: "Kita pasti menang bos. Lanjut".

Sadarlah aku arti peribahasa ini: "Arang habis, besi binasa"

Oh seandainya aku tidak Mencaleg!

Medan, 10 April 2014
Jannerson Girsang

Jumat, 04 April 2014

Blusukan dan Kebijakan Pro-Rakyat (Harian Analisa, 4 April 2014)


Oleh: Jannerson Girsang.

Pejabat di daerah kami suka blusukan bah, hebat kali dia, dekat dengan rakyat. Tunggu dulu!.

Jangan buru-buru menilai. Blusukan yang dilakukan seorang pejabat Negara itu mahal dan dibayar rakyat.

Blusukan, istilah yang sangat popular dan banyak dilakoni pejabat belakangan ini bukanlah sekedar jalan-jalan mencitrakan diri dekat dengan rakyat, tetapi harus bermanfaat bagi perumusan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Banyak pejabat melakukan blusukan bahkan memasuki rumah-rumah kumuh, berfoto di depan jembatan-jembatan yang rusak, jalan-jalan rusak, petani-petani miskin, diliput dan disiarkan media.


Kalau pejabat itu, besoknya dan bulan-bulan berikutnya, terus melakukan blusukan, bahkan sampai lima tahun periode jabatannya, tanpa menghasilkan kebijakan atau memuluskan kebijakan yang sudah ada, maka itu namanya pencitraan menggunakan uang negara.


Mari dengar apa kata pejabat yang suka blusukan dan menjadi terkenal di Jakarta. Istilah Jokowi, esensi blusukan adalah melatih mental dan spiritual karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Bahkan, menurut dia, cara seperti ini ampuh dalam membantu membuat kebijakan. Kata kuncinya, kebijakan. Bukan sekedar jalan-jalan semata dan mencitrakan diri dekat dengan rakyat.


Blusukan dilakukan, “Agar kita nyambung dengan rakyat, bisa merasakan getaran rakyat. Kalau bersalaman saja nggak pernah, bersentuhan kulit saja nggak pernah. Bagaimana mata batin kita bisa terlatih, kalau kita tidak pernah berdekatan dengan rakyat yang menderita,” ujar Jokowi saat seminar kepemimpinan di kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (30/1


Seorang tokoh masyarakat Frans Magnis Soeseno, yang juga Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menilai meninjau ke daerah-daerah di Indonesia memang menjadi salah satu tugas Presiden Indonesia. Namun bukan berarti permasalahan Indonesia dapat selesai dengan melakukan blusukan. (http://www.merdeka.com/peristiwa/franz-magnis-blusukan-itu-tidak-menyelesaikan-masalah.html).


Kebijakan yang Pro-Rakyat


Rakyat yang ditemui pejabat umumnya senang. Bisa bersalaman dengan Presiden, Gubernur, atau Bupati adalah sebuah kehormatan bagi merekat. Tiba di kedai kopi bisa bercerita kepada temannya. Atau tiba di rumah bercerita kepada keluarganya. Pertemuan yang bisa menjadi mimpi masa depan.


Untuk jangka pendek mereka puas. Tapi sesudah itu, got di sekitar rumahnya, air PAM yang tidak mengalir dalam jam-jam tertentu, listrik yang mati, harga sarana produksi petani yang meroket, serta berbagai kebutuhan vital mereka tidak kunjung terpenuhi. Blusukan itu menjadi tidak berarti dan mengecewakan, menurunkan kepercayaan masyarakat.


Blusukan harusnya memastikan persoalan yang dirumuskan sesuai fakta, kebijakan yang diambil menyelesaikan persoalan yang dirumuskan itu dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Bukan sekedar cium-ciuman atau salam-salaman dengan penduduk, sekedar menjalin hubungan emosional. Memang, rakyat butuh itu, tetapi bukan satu-satunya.


Blusukan seorang pejabat misalnya, Presiden, Gubernur atau Bupati adalah proses merumuskan permasalahan untuk membuat kebijakan atau memuluskan pelaksanaan kebijakan yang sudah ada. Kebijakan yang dibutuhkan rakyat untuk merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.


Secara umum, Said Zainal Abidin dalam bukunya Kebijakan Publik (Said Zainal Abidin,2004:31-33) membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan: Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang dan Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.


Idealnya, menurut Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dalam era otonomi daerah, ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seluruhnya tidak ditangani oleh pemerintah pusat. “Dengan blusukan, idealnya kebijakan yang diambil bisa dilakukan secara cepat dan tepat guna, karena sudah melihat permasalahan yang terjadi. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak mubajir,”. (www.harianterbit.com. 21 Maret 2014)


Jadi, blusukan adalah mempertajam kebijakan seorang pejabat sesuai dengan levelnya masing-masing. Blusukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang belum terjamah ketika merumuskan sebuah kebijakan, sehingga pelaksanaan di lapangan berhasil. Jadi, blusukan adalah tugas pejabat untuk memastikan sebuah kebijakan yang dikeluarkannya benar-benar bermanfaat dan menyentuh kepentingan rakyat banyak.


Blusukan itu Mahal


Blusukan seorang pejabat menyerap dana yang tidak sedikit, tergantung pejabatnya. Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, lurah. Bayangkan kalau seorang presiden blusukan, biaya transportasi, biaya pengawalan, biaya lapangan dan lain-lain cukup besar.

Blusukan yang dilakukan Jokowi di berbagai lokasi di Solo, atau Jakarta sekarang ini memang banyak menghasilkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat, walau tentunya bukan hal yang baik bagi mereka yang merasa dirugikan.


Kebijakan blusukan Jokowi bukan tidak mendapat kritikan dari masyarakat. Sesuai dengan release LSM Fitra, anggaran blusukan Jokowi mencapai Rp 26 miliar, sementara anggaran blusukan pendahulunya hanya Rp 17, 64 miliar.


Soal anggaran ini tentu terpulang pada hasil blusukan itu yang tercermin dalam manfaatnya bagi rakyat banyak. Masyarakat tidak akan memperdulikan anggaran yang dikeluarkan asalkan hasil blusukan itu mampu memberi manfaat bagi rakyat.

Rakyat dewasa ini memang suka pejabat dekat dengan mereka. Seorang tokoh partai di Jakarta, bahkan menganjurkan pejabat-pejabat melakukan blusukan. "Terlepas anggaran yang harus dipertanggung jawabkan semua perangkat struktur pemerintah daerah harus ikut blusukan juga. Serta efek blusukan itu harus demi semua warga Jakarta dan kota Jakarta," demikian diungkapkan seorang tokoh partai PKB di Jakarta.


Bagaimana blusukan yang dilakukan pejabat di daerah kita?. Rakyat harus menuntut blusukan seorang pejabat dengan sebuah pertanggungjawaban. Mereka bukan hanya jalan-jalan, bagi-bagi bantuan sekedar pencitraan untuk periode berikutnya.


Masyarakat harus kritis mempertanyakan apakah sesudah blusukan, pejabat yang bersangkutan memiliki kebijakan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, kata Frans Magnis Soeseno, blusukan tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan di lapangan.


Dan, jangan pula sembarangan menilai, seorang pejabat yang suka blusukan itu baik. Tergantung!. Apakah sesudah itu ada kebijakan yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak!.



Artikel ini bisa diakses di http://analisadaily.com/news/read/blusukan-dan-kebijakan-pro-rakyat/18943/2014/04/04

Selasa, 01 April 2014

Mengenang Sembilan Tahun Gempa Nias: “Bencana Lepas, Jangan Selepas Itu Dilupakan”



Oleh: Jannerson Girsang[1]
Sembilan tahun peristiwa tragis dan memilukan itu berlalu. Mengisahkan kembali Gempa terbesar lima puluh tahun terakhir dengan 8.7 Skala Richter yang menerjang Nias dan menewaskan ratusan penduduk, ribuan rumah penduduk hancur dan bangunan pemerintah, serta fasilitas umum lainnya rusak parah, mengingatkan kita bagaimana bangsa ini pernah memiliki pengalaman keluar dari bencana dahsyat itu.  Penderitaan penduduk, karya-karya ratusan lembaga-lembaga internasional/dalam negeri, dan pemerintah dalam menangani bencana menghasilkan sesuatu peradaban manusia untuk menaklukkan alam dan diwariskan ke generasi berikutnya. 

Catatan Pribadi

28 Maret 2005, sekitar pukul 23.00. Saat penduduk Medan bersiap-siap ke peraduan, tiba-tiba merasakan goncangan hebat. Lampu listrik di kamar bergoyang-goyang, terdengar bunyi krek..krek di atas atap dan dinding. Semua anggota keluarga berhamburan ke luar rumah.  Malam itu, penduduk Medan bisa tidur lelap. 
Ternyata, saat yang sama penduduk Nias semalama tidak bisa tidur. Mereka kehilangan sanak saudara tewas tertimpa runtuhan bangunan, menjerit meminta pertolongan dan berlarian ketakutan menuju ke perbukitan akibat terjarang gempa berskala 8,7 Skala Richter, dan khawatir disusul tsunami. 

Sehari sesudah gempa, sebagai Information Officer untuk sebuah kantor lembaga donor, saya ditugaskan ke lokasi bencana. Penerbangan regular masih tertutup, karena bandara Binaka rusak berat. Kalaupun ada sangat terbatas, karena hanya pesawat khusus.  Dengan menumpang  Ferry dari Sibolga dan mengarungi Samudera Hindia selama dua belas jam, saya tiba di pelabuhan Gunungsitoli, pagi hari sekitar pukul 06.00, 30 Maret 2005.

Ketika menyusuri jalan  dengan ojek—saat itu satu-satunya alat transportasi yang tersedia, dari pelabuhan pusat kota, saya menyaksikan kerusakan hebat di sepanjang jalan. Di sebelah kanan jalan, Bank BRI—kantor perbankan satu-satunya di sana ketika itu,  rubuh. Di pusat kota, hotel-hotel berlantai dua-empat rata dengan tanah, ratusan rumah penduduk rusak berat. Sedih melihat rombongan yang baru saja kembali dari pemakaman mengantar mayat. Saya kamum melihat  beberapa sukarelawan sedang melakukan penggalian bangunan untuk mencari mayat yang belum ditemukan.

Saya meninjau lokasi korban di sekitar daerah Pelita, rumah-rumah rubuh dan penduduk mengungsi. Di sebuah mesjid dekat lapangan Pelita terdapat ratusan pengungsi yang tertidur dan sebagian memasak indo mie, mungkin persediaan makanan terakhir mereka. Sangat menyedihkan!.

Malam pertama saya di sana suasana begitu menyeramkan. Saya sendiri menginap di kompleks kampus Sunderman, sebuah bangunan terbuat dari kayu yang tahan gempa. Malam hari kota itu begitu mencekam. Gelap gulita, karena jaringan listrik rusak, rumah-rumah kosong karena penduduk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar Gunungsitoli, seperti Mega View dll. Di tengah kegelapan, terkadang di daerah tertentu saya mencium bau mayat.  Mungkin masih ada mayat yang belum sempat diangkut dari reruntuhan bangunan.

Kembali ke penginapan, di depan tempat saya menginap di Kompleks STT Sundherman, saya kisah-kisah menyedihkan dari beberapa korban yang mengunsi di sana. Ada yang keluarganya patah kaki, atau kehilangan anak-anak mereka karena tewas tertimpa bangunan. 

Telekomunikasi tidak sepenuhnya berfungsi (hanya beberapa oprator yang bisa terhubung), lapangan terbang rusak, jalan-jalan rusak dan sebagian tidak bisa dilalui kenderaan roda empat.  Transportasi laut dengan kapal Ferry menjadi alat transportasi vital. Akibatnya, kebutuhan sehari-hari penduduk, terutama makanan langka.

Pulau ini benar-benar terisolasi. Sudah tertimpa  bencana, akses masuk terbatas pula. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula. Masyarakat yang tertimpa gempa hanya  menggantungkan diri kepada bantuan dari luar pulau. Mereka memerlukan kebutuhan pokok, obat-obatan, serta penghiburan.

Selama berada di sana, saya menyaksikan helikopter menjadi alat transportasi yang sangat efektif, menunggu bandara selesai direhab. Lapangan sepakbola di Jalan Pelita seolah menjadi bandara oengganti yang menghubungkan Nias dengan bandara Polonia Medan dan Meulaboh. Berkali-kali saya menyaksikan Helikopter Xinox milik Singapura  mendarat di lapangan Pelita, membawa relawan dan pejabat (termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah berada di Nias beberapa hari setelah gempa), serta mengangkut kembali para korban yang luka-luka dan membutuhkan perawatan ke rumah sakit di Medan.  

Saat seperti itu, informasi atau laporan situasi menjadi  sangat penting, dan harus segera sampai kepada mereka yang bisa memberi bantuan. Beberapa information officer lembaga-lembaga internasional, wartawan asing hadir di sana. Saya bertemu beberapa wartawan asing (Reuter, AFP dll), serta wartawan-wartawan lokal.   Peran mereka sangat strategis dalam mengisahkan kejadian itu ke luar Nias. Muncul solidaritas nasional dan internasional membantu Nias!

Pasca Bencana: Nias dengan Wajah  Baru

Hari ini, sembilan tahun peristiwa itu berlalu. Akibat gempa itu, pulau ini mendapat kucuran dana yang cukup besar, dan belum pernah dialami sepanjang sejarah pulau itu. Ratusan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri dan pemerintah pusat dan daerah mengulurkan tangan melalui bantuan keuangan,  fisik dll.

Pemerintah kemudian menetapkan tahapan-tahapan penanganan  bencana Nias, mulai dari Tahap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Tiga tahapan yang memiliki karakteristik penanganan yang berbeda.  Rehabilitas dan rekonstruksi wilayah yang terkena bencana gempa besar seperti di Nias dan Aceh, memerlukan koordinasi yang baik.

Setelah melalui masa darurat, pemerintah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) yang mencakup wilayah bencana Aceh dan Nias (PP No 2/2005, dan Kepres No 30/2005). Badan ini bertugas membangun kembali masyarakatAceh dan Nias, membangun kembali infrastruktur dan fisik, membangun kembali ekonomi agar bisnis berjalan normal, membangun kembali pemerintahan untuk melayani masyarakat.  

Dengan dana yang bersumber dari APBN, Negara-negara/Lembaga-lembaga Donor (multilateral dan bilateral), Palang Merah Internasional/Negara Indonesia/Indonesia, NGO/LSM (Internasional dan local). Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu. 
BRR Aceh-Nias membangun kembali berbagai fasilitas misalnya jalan, pelabuhan, perkantoran dan pembangunan kembali rumah-rumah yang rusak, serta berbagai bidang kehidupan masyarakat lainnya. Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu.

Saat ini, kemajuan Nias secara fisik dengan mudah bisa disaksikan pada jalan-jalan mulus yang dibangun pasca gempa. Nias sebelumnya tidak pernah memiliki jalan semulus itu. Lapangan terbang diperluas dan kini menjadi lapangan terbang kedua terbesar di Sumatera Utara setelah Kuala Namu, Medan. Bangunan-bangunan yang rusak sudah kembali diperbaiki dan di banyak tempat lebih baik dari sebelumnya. Penduduk mendapat peningkatan kapasitas, mengenal  teknik-teknik baru bercocok tanam dan berbagai usaha baru membangun kembali mata pencaharian mereka.  

Pada kunjungan terakhir ke Nias, Maret 2012, saya menyaksikan kemajuan ekonomi yang luar biasa di pulau ini. Perbankan kini sudah menyebar ke berbagai kota. Kantor BRI berdiri megah, demikian pula kantor BNI menjadi bangunan kebanggan kota itu. SPBU yang dimasa sebelum tsunami hanya terdapat di Gunungsitoli, kini memiliki beberapa SPBU, termasuk di Teluk Dalam, Nias Selatan, restoran-restoran di tepi pantai Gunungsitoli lebih ramai.

Jembatan No yang hancur oleh gempa, kini berganti menjadi jembatan yang kokoh memperindah wajah Gunungsitoli. Pasar Yahowu yang hancur, kini berubah menjadi parasa modern di pusat kota. Pasar Yahowu yang hancur akibat gempa, kemudian berubah wajah dengan pasar yang modern dan  kini berdiri megah menghiasi kota itu. 

Kalau sebelum gempa, kapasitas pemerintah, LSM dan masyarakat Nias dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan masih jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Sumatera Utara, kehadiran  BRR, lembaga-lembaga donor, maupun NGO asing memberikan pengalaman berharga bagi pulai ini merancang dan melaksanakan sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Belakangan, pemerintahanpun dimekarkan dari dua Kabupaten menjadi 5 Kabupaten dan Kota.

Kesiapsigaan Bencana

“Tahun demi tahun negeri ini tak lepas dari bencana. Namun, selepas bencana itu datang, selepas itu orang lupa. Tak berubah cara berfikir masyarakat maupun pengelola pemerintah,” kata buku Jurnalisme Bencana dan Bencana Jurnalisme yang ditulis Ahmad Arif, seorang wartawan senior.

Sebuah potongan kritik atas penyakit lupa bangsa ini terhadap peristiwa bencana, padahal kita berada di lingkungan bencana. Pengalaman kita mengelola bencana seharusnya menjadi kearifan yang bisa digunakan pada gempa berikutnya dan bahkan bisa berguna bagi dunia lainnya yang mengalami bencana. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana pengelolaan bencana di negeri ini. Bangsa ini masih perlu belajar menggunakan pengalaman sebagai guru yang baik.  

Bayi yang lahir pada 28 Maret 2005, kini sudah berusia 9 tahun. Mereka mungkin sudah kelas dua atau tiga SD. Sekolah-sekolah di Nias seharusnya memiliki muatan lokal pelajaran tentang Gempa besar itu. Anak-anak balita ketika gempa terjadi  kini sudah remaja atau menjelang dewasa juga perlu pengetahuan tentang peristiwa ini. Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) daerah harus lebih gesit ke depan.  
  
Semoga peristiwa 28 Maret 2005 membawa pelajaran bagi bangsa ini di masa datang. Jangan sampai, “Bencana Lepas, Selepas itu pula Kita Lupa”.


[1] Mantan Information Officer untuk Action by Churches Together (ACT-Intl) dan Program Manager Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (2005-2006). Keduanya donor dan Implementing Partner untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Pernah menjadi konsutan media website http://www.nias-bangkit.com dan beberapa kali mengunjungi Nias hingga 2012.