Oleh : Jannerson Girsang
Karya Foto Edward Sinaga (2003)
Pagi hari, Senin 8 Nopember lalu, tak lama setelah bangkit dari peraduan, sebuah pesan pendek masuk ke telepon genggam saya. Pengirimnya J.Anto, Direktur Kippas, Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Surat Kabar, sebuah organisasi non profit yang bergerak di bidang penelitian, pendidikan dan penerbitan.
"Telah meninggal dunia kawan kami tercinta Edward HP Sinaga (Edu KIPPAS), hari Minggu Malam sekitar pukul 21.00 WIB". Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Berdoa menenangkan pikiran sejenak, saya berseru dalam hati: "Oh Tuhan mengapa demikian cepat Edu dipanggil?"
Edu yang dikenal luas di kalangan jurnalis, mahasiswa, para fotografer, sebagai fotografer andalan daerah ini serta fasilitator berbagai training di bidang media dan jurnalisitik. Dia pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya secara tiba-tiba akibat serangan jantung di Rumah Sakit Elizabeth 7 Nopember 2010. Karya fotonya menghiasi beberapa buku, dan media yang beredar luas di tengah-tengah masyarakat.
Penyelenggaraan "Seminar Hasil Riset Berita Utama dan Berita Kasus-kasus Korupsi di surat kabar Analisa, Waspada, Sumut Pos, Sinar Indonesia Baru dan Serambi Indonesia" yang digelar KIPPAS di Garuda Plaza, 27 Oktober lalu, adalah pengabdian terakhir baginya. Bagi para peserta, itulah pertemuan mereka yang terakhir kalinya. Seyogianya Senin itu, menurut J.Anto, mereka akan menggelar rapat membahas sebuah rencana penelitan dimana Edward terlibat di dalamnya.
***
Di tempat bekerjanya KIPPAS, pria yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta (1977-1981) ini adalah analis media, serta fotografer andalan. Sebelum bergabung dengan KIPPAS pada 1999, Edu pernah bekerja sebagai wartawan harian ibu kota Pos Kota. Dia juga terlibar di berbagai kegiatan pencita alam dan fotografi.
Keluarga besar KIPPAS, tempatnya berkiprah selama sebelas tahun terakhir dikenal memiliki kemampuan human relation yang baik. J.Anto mengungkapkan, dalam pelaksanaan program seminar atau training yang memakan waktu berhari-hari, Edu selalu ditempatkan sebagai fasilitator. "Edu mampu memperlakukan peserta sebagai anak-anaknya sendiri, sehingga mereka tidak bosan mengikuti program hingga selesai", ujar J.Anto dalam perbincangan di kantor KIPPAS. J. Anto, usai melayat Senin itu, dan menambahkan: "Edu adalah teman yang menyenangkan dan memiliki human relation yang baik".
Edu adalah salah seorang pendiri KIPPAS bersama rekan-rekannya yang lain seperti Ned R Poerba, Sofyan Tan, Stanley Adi Prasetyo, Veven Sp, Wardhana dan Janto, Hasby Ansyori. (http://kippas.wordpress.com/about/). Menurut J. Anto, selama menjadi partnernya sejak 1999, pria yang masih melajang sampai akhir hidupnya itu, terlibat dalam berbagai program KIPPAS di antaranya Workshop Pelatihan Pelaksana Pengawasan Media (Media Watch) yang diadakan LP3Y (1999), Pelatihan Analisis Media Metode Kuantitatif yang diadakan LP3Y (2000); Penanggungjawab workshop Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai kerjasama dengan Yayasan TIFA Penanggungjawab workshop Peningkatan Kapasitas Profesionalisme Jurnalis Radio di Aceh dan Sumut kerjasama dengan Internwes cabang Indonesia (2004-2005). Penanggungjawab workshop Jurnalisme Damai untuk Liputan Reintegrasi Aceh kerjasama dengan Uni Eropa (program EIDHR Micro Project) (2006), Riset berita Pilkada Sumut 2008 pada lima surat kabar Medan (2008) dan Asisten Trainer Pelatihan Jurnalisme Radio Dasar dan Lanjutan yang diadakan IOM di Takengon (2009).
J Anto mengatakan bahwa Edu telah berperan besar dalam memperkenalkan KIPPAS ke berbagai kalangan melalui keterlibatannya dalam berbagai organisasi fotografi serta pencita alam, serta kedekatannya dengan kalangan mahasiswa.
"Dia sangat banyak berperan dalam mendorong etnis China mengenal politik, setelah memfasilitasi beberapa pertemuan," ujar J.Anto.
***
Di kalangan fotografer, Edu dikenal sebagai guru dan fotografer kawakan yang banyak mengabadikan berbagai latar belakang kehidupan , budaya dan alam.
Tarmizi Harva, seorang fotografer free lance untuk media asing mengaku Edu sebagai guru fotografinya. Tarmizi Harva adalah pemegang Mention Honorable, World Press Photo, Holland, 2004, Honorable Prize dan berbagai penghargaan internasional lainnya,
"Menjelang akhir 1996, seorang teman Tarmizy menjual kamera Pentax K1000. Harga barang second itu sekitar Rp 250 ribu. Ini salah satu kamera yang direkomendasikan Edu. Namun Tarmizy tak gegabah. Sebelum membelinya, ia mesti memeriksa kualitas barang itu lebih dulu. Apalagi, ia masih awam soal kamera. Tarmizy kembali mendatangi rumah Edu dan menunjukkan kamera bekas itu. Setelah mendengar komentar kamera kaleng cebok, Tarmizy menganggap Edu seperti dokter kamera baginya," seperti dikutip dari http://www.hinamagazine.com/index.php/2008/03/31/profil-tarmizi-harva, situs pribadi Tarmizi Harva,
Meski Edu memiliki kemampuan dalam fotografi, tetapi dia hanya menganggap profesi itu sebagai penyaluran hobby. J.Anto mengaku telah mengusulkan beberapa kali agar Edu menjadi fotografer profesional. Tetapi bagi Edu keahliannya itu hanya diabdikan untuk seni. "Edu adalah fotografer idealis. Menghasilkan foto hanya untuk seni," ujarnya.
Satu hal lain yang perlu ditiru dari Edu menurut Anto adalah kejujurannya. "Edu adalah orang yang sangat jujur, khususnya dalam hal keuangan. Dia tidak pernah mengharapkan lebih dari haknya," ujarnya. Sesuatu yang perlu ditiru para koruptor yang kini marak di Indonesia.
Beberapa foto-foto yang dihasilkannya menghiasi kalender Fund Rising, Lions Club Medan, 2010. Kini beberapa karyanya bisa disaksikan di situs: http://banuafoto.multiply.com/Edward. Berbagai tema dari berbagai tempat menunjukkan perhatiannya atas berbagai kehidupan yang diabadikan melalui foto. Kini anda bisa menyaksikan melalui situs itu sebagian foto-foto pilihannya. Panguni Utiram, Satwa, Chinese Opera, Rawa Singkil, Ikan Asin Desa Patek, Budaya Deli, Sipaha Lima, Kabut Toba, Kuta, Banjir Lumpur di Tamiang, Kerbau di Pantai Manggeng, Kejurnas Spirit-Rally, Operas Danau Toba, Istana Maimoon Medan, Kota Semarang Lama, Bursa Ayam, Sawah, Lansekap, Sejuta Pelita. Berbagai hasi karyanya pernah dimuat di berbagai media lokal maupun dalam publikasi-publikasi internasional.
Edward juga dikenal di kalangan mahasiswa pencinta alam di Sumatera Utara. Berbagai kegiatan pencinta alam diabadikannya dalam beberapa koleksi fotonya.
***
Secara pribadi, kami mengenal Edu sejak awal 1990-an, saat bersama-sama menjadi wartawan. Saat bertemu di loby-loby hotel, kantor-kantor pemerintah, di kedai-kedai atau kantin, Edu suka berdebat soal hal-hal yang diyakininya benar. Terbayang kritikan-kritikannya tentang keadaan atas otoriternya penguasa Orde Baru dalam beberapa pertemuan-pertemuan saat masih sama-sama menjadi wartawan di awal 1990-an. Saat itu dia menjadi wartawan Pos Kota, sebuah harian ibukota.
Sejak 2004, Edu menjadi fotografer beberapa buku biografi yang saya tulis. Terkenang wajahnya yang begitu ceria tatkala mengamati foto tokoh hasil jepretannya dalam buku "Berkarya di Tengah Gelombang", biografi Rudolf Pardede, mantan Gubernur Sumatera Utara. Foto itu menjadi illustrasi di setiap bab buku itu. Saya mengamati foto di sampul buku "Anugerah Tuan yang Tak Terhingga" yang selalu terletak di atas mejaku. Di sana terbayang wajah Edu, ketika suatu siang saya mendampinginya melakukan pemotretan untuk cover sebuah buku enam tahun yang lalu. Dia menghasilkan foto seorang pria gembala rohani berkaca mata yang tersenyum lebar. Edward puas kalau hasil karyanya membuat orang lain senang. Foto-fotonya memiliki karakter yang kuat.
Keindahan adalah kepuasannya, tanpa pernah mempertimbangkan jasa atas atas karya-karyanya. Tarmizi Harva, seorang fotografer free lance untuk media asing mengaku Edward adalah guru fotonya.
***
Bargabung dengan rekan-rekan dari KIPPAS, Pesada, dan beberapa rekan Edu sesama fotografer dalam acara penghiburan terasa kesedihan atas perginya Edu. Air mata dan isak tangis kemudian mewarnai suasana rumah duka.
"Hari Jumat abang Edu masih masuk kantor, dan kami tinggalkan sendirian di kantor," ujar Pily Pardede, yang didampingi Dian Butar-butar dan J.Anto. J Anto sendiri yang beberapa waktu lalu kesehatannya terganggu, dengan terbata-bata mengungkapkan rasa sedih kehilangan teman andalan mereka.
Lagu kesayangan Edu "Tiap Langkahku diatur Oleh Tuhan" yang mengumandang dalam acara, menambah kesedihan hingga J.Anto, Pily Pardede, dan hadirin lainnya tak kuasa menahan linangan air mata. Belasan keluarga hanyut dalam kesedihan.
Berkunjung ke kantor KIPPAS di bilangan Jalan Serayu Medan sepeninggal Edu, rasanya ada yang hilang. Di ruangan itu, biasanya ada Edu yag menyambut dengan hangat dan bau asap rokoknya yang mengepul, kini hanya diisi komputer yang menyimpan ribuan foto hasil jepretannya, bersih tanpa asap rokok. Kursinya sudah kosong. Di dinding ruang kerjanya terpampang sebuah foto besar hasil karyanya. Tidak ada lagi pria yang suka berada di kantor sampai larut malam itu.
"Saya sangat sedih. Edu adalah teman yang baik dan salah seorang staf andalan kami," ujar Muhammad Yazid, mantan ketua PWI Sumut yang juga pembina KIPPAS dalam perbincangan melalui telepon.
Edward telah mengabdikan dirinya sebagai fotografer, sebagai trainer, advisor bagi banyak orang dalam bidangnya. Hidup memang bukan miliknya, tetapi Dia sang Pencipta, yang bisa berakhir kapan dan dimana saja. Selamat jalan Edward, semangat dan karya-karyamu akan menginspirasi kami semua
Dimuat di Harian Analisa Medan, 13 Nopember 2010 hal 29.
(Note: Foto saya yang tampil di blog ini (saya ganti tanggal 23 November 2010) adalah hasil jepretan Edward Sinaga, Desember 2006).