My 500 Words

Senin, 28 April 2014

Malam Minggu Memasuki Usia 54

Oleh: Jannerson Girsang

Malam Minggu!
.
Istriku baru saja lewat mejaku menuju tempat cuci membawa piring kotor bekas makanan kami barusan. Terdengar suara air dan gesekan busa cuci-piring-sabun Sun Light. Sekali-sekali terdengar bunyi kertakan, karena ada piring jatuh, atau bergesek.

Kembali berdua, meski sudah punya empat orang anak. Semua anak-anak tinggal di luar kota Medan. Sudah tiga tahun rumah sepi dengan anak-anak.

Saya membayangkan malam minggu anak-anak yang sudah menikah, yang lajang. Pasti berbeda-beda. Malam minggu kami sebelum menikah dulu juga berbeda.

Malam ini kami baru saja selesai makan kecil (karena sebentar lagi ada undangan makan dari teman).

KDI baru saja dinikmati. Kini tidak ada musik, tidak ada suara di rumah. TV sudah dimatikan barusan. Saya menulis dan istri mencuci piring.

Rumah senyap......sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Kita keluar yuk," kata saya barusan.

"Akh bentar lagi aja, satu jam lagi kita berangkat," ujar istri.

Menunggu satu jam, aku buat aja artikel ini, mana tau suatu ketika berguna.

Membayangkan malam Minggu di masa muda, rasanya Malam Minggu di masa tua ini kurang gregetnya. Tak banyak sensasi.

Kegiatan kebanyakan pergi berdua ke rumah keluarga atau teman, ke gereja atau menghadiri rapat, atau menulis saja.

Memutar memori malam minggu ke era 80-an. Sore hari, sepulang praktikum, saya berangkat dari Bogor ke Jakarta. Menumpang bus lewat Jagorawi dengan tiket langganan.

Macet menjelang Jakarta. Merambat hingga terminal Cililitan (Sekarang PGCC).

Sampai di rumah "mantan pacar" di Kramat Jati, Jakarta, istirahat sebentar, langsung menuju Ancol. Naik bus juga!. Tak ada AC, penuh sesak, tapi nyaman, karena CINTA.

Ancol, pantai indah dengan jejeran pohon kelapa dan lampu-lampu yang redup dan membuat suasana sedikit remang.

Deburan ombak Teluk Jakarta serta angin laut yang terasa asin di pipi, membuat kenangan tak terlupakan. Dingin, tapi terasa hangat, miskin tapi terasa kaya.

Menikmati suasana malam Minggu yang sangat romantis selama berjam-jam.

Pulang tengah malam. Almarhum mertua batuk-batuk!

Bogor juga merupakan tempat yang sangat indah dan sejuk dan romantis untuk pasangan kami dulu.

Malam Minggu di masa muda, memang sungguh indah. Rasanya seminggu berlangsung begitu lambat. Kini, malam minggu seperti itu tak akan terulang lagi.

Satu hal yang tidak berubah, aku dan mantan pacarku (istri) tetap bersama di Malam Minggu malam ini.

Bercanda dengan teman-teman, dan mempersiapkan diri untuk kebaktian Minggu esok pagi, dan tugas-tugas gereja di siang hingga sore hari.

Tak ada sensasi, tetapi tetap bahagia. Hampa kemewahan tetapi tetap bersahaja.

Bentar lagi, kami akan keluar berdua.....kembali berdua. Tanpa anak-anak.

Mudah-mudahan Malam Minggu kali ini berkesan. Selamat Malam Minggu teman-teman. Apapun keluhan Anda tadi siang, buatlah malam ini bahagia bersama pasangan, teman Anda!

Medan 26 April 2014.

Wisuda, Kasih Sayang, Syukuran dan Tamasya

Oleh: Jannerson Girsang

Pulang dari menghadiri wisuda Universitas HKBP Nommensen (UHN) di Gedung Serba Guna Pemprovsu, Jalan Pancing Medan, sebuah gedung baru milik Pemprovsu yang mampu menampung 15-20 ribu pengunjung.

Saya sangat terkesan dengan pemandangan menarik usai wisuda gelombang pertama UHN yang melepas 647 orang terdiri dari S2. S1 dan D3 dan dihadiri Sekjen HKBP, Pdt Mori Sihombing dan para undangan lainnya.

Saat mau pulang, di samping gedung, seorang ibu sedang menyuapi putrinya--yang masih berpakaian wisuda. Bersama anggota keluarga yang lain, mereka duduk santai di atas tikar, tak peduli orang lalu lalang di samping mereka.

Sang ibu menyuapi putrinya dan sang putri menikmati betul kasih sayang ibunya, seperti seorang bayi kecil. Sebuah pemandangan wujud kasih sayang yang tulus, ungkapan kebahagiaan sang ibu di hari bersejarah. Mereka telah menyelesaikan tanggungjawabnya setahap.

Mungkin selama ini dia kos, dan melepas rindu suapan sang ibu, khususnya di hari bersejarah ini. "Ibu, oh ibu,kasihmu sungguh tak tergantikan. Meskipun aku sudah sarjana, aku rindu suapan tangan lembutmu yang tak tergantikan oleh siapapun"

Mereka, keluarga yang berasal dari luar kota Medan, menggelar tikar bersama keluarga, beberapa adik dan kakak sang wisudawan turut serta. Semuanya pada senang, makan ala kadarnya, serasa dunia seluas tikar itu milik mereka.

Keluarga ini adalah keluarga sederhana. Mereka membawa makanan dalam rantang dari kampung. Hanya pindah makan siang di tempat yang gratis pula. Tidak usah melakukan syukuran ke restoran yang mahal.

Wisuda sambil tamasya, dan menikmati kebahagiaan. Adik-adik dan saudaranya, mungkin selama ini tidak pernah melihat gedung megah dan kota metropolitan Medan, hari ini mereka menikmatinya.

"Ma, nanti kita singgah ke Carfour ya. Kan dari kampung sudah janji" ujar seorang adiknya, dengan mulut penuh makanan. Mungkin sesudah makan mereka akan jalan-jalan, melihat kota.


Bahagianya mereka. Tidak seperti Caleg yang namanya timbul tenggelam di koran. Jantungan!. Hari ini diberitakan lolos, besoknya tidak muncul lagi! Padahal, sudah merayakannya di keluarga.

Keluarga ini mensyukuri berkat dengan kesederhanaan Merayakan hasil yang sudah pasti, menikmati keberadaannya, dan melakoninya dengan hati yang tulus.

Semoga sang putri cepat dapat pekerjaan dan bisa memberi kebahagiaan baru bagi keluarga sederhana ini. 


26 April 2014 

Orang Termiskin di Dunia

Oleh: Jannerson Girsang

Suatu ketika di sebuah kedai kopi di daerah Perumnas Simalingkar seorang Bapak dari kampung terlibat pembicaraan dengan seorang tukang becak yang baik hati.

Ternyata, mereka sudah pernah bertemu. Tukang becak itulah yang mengantarkannya ke rumah anaknya.

"Bapak kaya sekali ya,"ujar si Bapak berkelakar, dan membuat tukang becak itu terkejut.

"Bapak ini kok ngeledek saya. Saya cuma punya satu becak. Tahun depan sudah masuk kandang dan minta ganti" ujar tukang becak balik bertanya.

"Ya, tapi bapak sudah melayani banyak orang. bapak baik hati. Ribuan orang sudah menikmatinya"

"Yang kaya itu adalah mereka bagi-bagi duit waktu Caleg. Mobilnya banyak, uangnya banyak, rumah dan tanah punya dimana-mana".

"Mereka hanya punya uang, mobil, punya banyak rumah. Tapi selain itu mereka tidak punya apa-apa".

"Oh...begitu ya...". Tukang becak terdiam.

"Kalau sebelum mencaleg mereka ramah, suka memberi uang, setelah itu, datang ke kedai inipun tak mau lagi".

"Akh....saya narik dulu lae" kata tukang becak sambil mengambil handuk penyapu keringatnya menuju becak yang diparkir di depan kedai.

Dia merenungkan kembali percakapan mereka barusan.

"Orang termiskin itu, hanya punya uang, tanah, rumah, mobil. Selain itu dia tidak punya apa-apa". 


"Apa semua Caleg seperti itu?. Tidak juga akh!."

Medan 25 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Rumah dalam Sengketa

Oleh: Jannerson Girsang

“Peace begins with a smile..” (Mother Teresa)

Pagi ini, saat jalan pagi menempuh jarak 4.3 kilometer di Perumnas Simalingkar, di depan dua atau tiga rumah saya membaca "spanduk" yang terbuat dari kayu atau karton: 'RUMAH INI DALAM SENGKETA".

Artinya, pemiliknya sedang "tidak damai". Saya sudah melihatnya beberapa hari sebelumnya. Tetapi, hingga pagi ini, keadaannya tidak berubah. Pemiliknya semua larut dalam kebenciannya masing-masing.

Kata Mother Theresia damai dimulai dari senyum. Mengeluarkan senyum kepada orang yang dibenci, memang bukan pekerjaan mudah. Padahal, itulah pintu masuk perdamaian.

“Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.” (Martin Luther King Jr).

Orang yang hidup dalam kegelapan, tidak bisa membebaskan orang dari kegelapan, hanya "terang" yang dapat melakukannya. Orang yang memilki rasa kebencian tidak bisa membebaskan  orang dari kebencian. Hanya kasih yang dapat melakukannya.

Kasih, cinta, itulah yang dapat menciptakan damai, membebaskan orang dari sengketa.Pengadilan?. Kalau boleh dihindari. Karena hasilnya, "Yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu"

Semoga malam ini semuanya sadar dan memandang manfaat yang lebih besar. Berdamai itu datang dari hati yang tulus, saling memaafkan.

Semoga para pemilik rumah-rumah sengketa itu mampu memulai senyum di pagi hari esok, dan spanduk bertuliskan "RUMAH INI DALAM SENGKETA" tidak kutemui lagi.  .

Perlu waktu (tapi jangan lama-lama) bagi setiap orang untuk menemukan damai di hati. Perenungan, aksi, perenungan aksi. “Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding.” (Albert Einstein). Perdamaian tidak bisa dipaksakan, karena perdamaian hanya dapat dicapai melalui saling pengertian.

Medan, 23 April 2014

Perempuan di Abad 21: Bersama Suami Mempersiapkan Anak

Oleh: Jannerson Girsang

Sehari setelah Peringatan Hari Kartini, saya bertanya kepada istri saya.

"Menurutmu sebagai ibu rumah tangga, apa yang kau harapkan dalam hidup bersama dengan suami dan anak-anak, dan hidup bermasyarakat?"

"Bisa mengikuti acara di gereja, menjenguk orang sakit, melayat orang yang meninggal, sekali-sekali cuci mata ke mall, kalau tidak ada uang (kalau punya uang bisa beli barang baru yang diinginkan), mengikuti acara keluarga, bisa membimbing anak-anak, suatu ketika bisa berkumpul (karena 3 putri dan satu putra saya sudah jauh dari rumah), bisa memasak makanan untuk suami, bisa jalan-jalan sekali-sekali. Aku bahagia melihat anak-anakku mampu mandiri dan bisa mewariskan kebaikan yang kami peroleh dari orang tua, senang banyak kegiatan bersama dengan suami, bangga dengan suami."

Mungkin istri saya hanya seorang perempuan yang berfikiran sederhana saja. Tetapi tanpa dia, rumah tangga akan hampa. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa. Hati yang tulus, melayani keluarga, mempersiapkan keluarga baru masa depan, serta berbuat hal-hal yang sederhana bagi keluarganya dan masyarakat sekelilingnya.

Mungkin dia tidak seperti Kartini, Helen Keler atau Ibu Theresia. Tapi dia tetap perempuan yang beremansipasi.

Anak-anak lebih suka bertemu dengan ibunya dari ayahnya. Saya kadang iri juga!. "Ini untuk mama!. Untuk bapak apa. Bapak kan udah punya"...

"Kok mama nggak ikut Pak?", serta pertanyaan-pertanyaan lain yang menunjukkan betapa ibunya segalanya bagi anak-anak.

Dia setara dengan laki-laki, sama-sama melayani sesama dengan baik. Memperoleh penghargaan dari sesamanya, menerima kasih yang sempurna dari anak-anaknya, perlindungan dan kenyamanan dari suaminya.

Dia bahagia dengan posisinya seperti itu. Bukankah itu ideal bagi dirinya, dan mungkin juga bagi sebagian wanita lain?

Bagaimana seharusnya seorang wanita yang ideal?. Menurut saya: wanita ideal adalah bersama suami, bisa mewariskan hal-hal yang baik bagi keturunannya, menciptakan suasana damai di dalam rumah tangga, berbuat hal-hal yang mampu kepada lingkungannya, serta menciptakan kenyamanan dengan lingkungannya. (Saya hanya membahas wanita yang memiliki suami, karena saya memiliki istri)

Mudah-mudahan pembahasan tentang perempuan tidak semakin rumit di abad 21 ini. Emansipasi wanita meningkat, hasinya mestinya: perceraian menurun, anak-anak makin berkualitas, rumah tangga dan lingkungan makin nyaman dan damai. Emansipasi bukan hanya enak diucapkan, tetapi orang yang mendengungkannya bisa mempraktekannya dan menciptakan suasana rumah tangganya yang semakin baik.

No gain without pain!. Tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan masing-masing pasangan. Bahagia dinikmati bersama, kesulitan dihadapi bersama. 


Jangan hanya memandang enaknya saja, apalagi saling menghakimi. Salah sedikit cerai, masalah ekonomi, cerai. 

Medan, 22 April 2014 

Sabtu, 19 April 2014

RENUNGAN PASKAH: BERDOA

Oleh: Jannerson Girsang

Di hari-hari Passion ini, saya mengingat hari-hari sedih dan pahit, ketika adikku Parker menuju maut, empat tahun lalu.

Maret 2010 lalu, adikku sakit parah. Dokter memvonis dia mengidap kanker nasoparing dan memperkirakan usianya hanya tinggal 15 bulan lagi. Mendengar itu, saya menelepon dia sambil menangis. 


Kenapa Tuhan?. Rasa kemanusian, pengalaman saya lebih dominan membawa saya dalam pikiran dan tindakan sendiri.

Kemudian dia dirawat di Rumah Sakit Cikini Jakarta. Saya mendampinginya sekitar dua minggu. Ratusan teman, keluarga dekat yang mengunjungi dia, semua berdoa. Ada yang berdoa sambil menangis, bersujud.

Inti doa-doa kami: "Tuhan kasihanilah kami, sembuhkanlah saudara kami".

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Dia kemudian meninggalkan kami untuk selama-lamanya, hanya 3 bulan setelah vonis dokter itu, 16 Juni 2010.

Sedihnya tak terlukiskan. Saat itu usianya memasuki 49 tahun dan menyusul istrinya yang meninggal 4 tahun sebelumnya.

Semua hati tertuju, trenyuh pada nasib tiga putrinya yang cantik-cantik dan pintar-pintar. Saat itu yang tertua baru berusia 19 tahun dan memasuki semester I di FISIP UI, putri keduanya memasuki Kelas I SMA, dan si bungsu baru SMP Kelas I.

Kenapa Tuhan begitu kejam? Itulah respon kemanusiaan saya paling pertama muncul.

Waktu kemudian menguatkan putri-putri kami yang ditinggal kedua orang tuanya. Tuhan tidak pernah memberikan beban lebih besar dari apa yang mampu kita tanggung.

Saya mengumpulkan ketiganya beberapa hari sepeninggal adikku. Kita berdiskusi soal harapan. Semua menetapkan cita-citanya, harapannya dan melupakan semua kepahitan.

Di akhir diskusi, yang tertua dengan tangkas berkata: "Adik-adikku, kita harus kuat, kita harus menatap ke depan".

Keluarga (keluarga istri adikku, keluarga kami dan beberapa teman yang mau membantu) berembuk untuk pembiayaan mereka bertiga. Semua suka cita dan memberikan apa yang dapat diberikan semampunya.

Empat tahun peristiwa itu sudah berlalu. Semua berjalan dengan baik, ketiga putri almarhum tumbuh dan yakin sepenuhnya mereka tidak dipelihara uang, gaji, atau orang tuanya, tetapi mereka dilindungi dan dipelihara Tuhan.

Sebuah renungan di hari Passion ini : untuk apa kita berdoa?. Jesus mengajarkan: "Berdoalah agar kamu tidak jatuh ke dalam pencobaan".

Kita tidak berdoa untuk sesuatu yang kita cita-citakan harus tercapai, tetapi berdoa agar Tuhan menguatkan kita menuju rencana Tuhan yang terbaik bagi kita. Berdoa adalah menguatkan kita menghadapi peristiwa apa saja dalam hidup kita agar kita mampu bersyukur atas apapun yang terjadi.

Jesus tidak berdoa agar Dia diberikan harta, kekuasaan dll yang bersifat duniawi. Tetapi Dia meminta kekuatan menghadapi maut. Maut yang telah direncanakan bagiNya. Jesus sendiri, secara kedagingan, tidak menginginkan kematian atas dirinya.

Katanya: "Ya Abba, Ya Bapa-Ku, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."

Beda Jesus yang berdoa dan murid-muridnya yang tertidur adalah sikap mereka menghadapi maut. Jesus mampu menjalaninya, sementara murid-muridnya lari tunggang langgang. Malah Petrus ketakutan dan menyangkal mengenal Jesus sampai tiga kali.

Menyambut Hari Raya Paskah ini, melalui khotbah-khotbah pendeta, Pdt Enida Girsang (Kamis Putih) dan Pdt CHE Purba (Jumat Agung), saya bersyukur karena kemudian diberi pemahaman yang lebih dalam memaknai soal berdoa.

Sekali lagi, berdoa adalah agar kita diberi kekuatan menghadapi semua persoalan hidup. Bukan "memaksa" Tuhan memenuhi keinginan kita. Rencana Tuhan jauh lebih indah dan lebih baik dari keinginan, cita-cita dan harapan kita.

Ketiga putri kami dari almarhum Parker sedang merajut masa depan mereka menjalani rencana Tuhan yang terbaik bagi mereka : Yani Christin Girsang (kini kuliah di extension UI, S1 melanjutkan studinya, setelah memperoleh D3 Sekretaris, sambil bekerja), Hilda Valeria Girsang (kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Trisha Melanie Girsang, (Siswa SMA Negeri 1 Bekasi). I love you all!.

Mereka mengarungi kehidupan dengan harapan yang cerah. Jauh dari kekhawatiran kami sebelumnya. Jauh lebih baik dari apa yang kami pikirkan dan doakan

Doaku setiap hari: Tuhan kuatkan ketiga putriku agar mereka mampu menjalani dan menerima hari-hari yang telah Tuhan rencanakan dengan rasa syukur.

Anak-anak dan menantuku Clara Girsang, Anja Novalianto Saragih, Patricia GirsangFrederick Simanjuntak, Bernard Patralison Girsang, Devee Girsang. Berdoalah agar kita mampu menghadapi maut sekalipun!

Semoga pengalaman ini bisa menjadi renungan bagi teman-teman. Selamat Paskah!.

Semoga teman-teman yang sedang merawat saudara-saudaranya tetap dikuatkan. Kemaren, saya dan teman-teman mengunjungi teman-teman se gereja, St Wilmar Saragih yang sedang menunggui istrinya Sy Asima Lubis yang sedang sakit di RS Adam Malik, Mama Heru yang sedang menunggui anaknya, Heru yang sakit, di RS Adam Malik, Saudaraku Hadomuan Sinaga dan Br Tarigan yang baru kehilangan bayi mereka. Juga buat Rodear Stp, yang sedang menjaga suaminya (bpk Ronald) yang masuk rumah sakit Mitra Sejati kemaren.

Juga buat Eni Ramayanti JAwak, yang baru kehilangan mamanya, temanku semasa kecil, beberapa waktu yang lalu dalam usia 54 tahun. Juga saudaraku Jon Parman yang baru beberapa minggu lalu kehilangan ayah tercinta di usia 61 tahun.

Semoga kalian membaca artikel ini
.

Jumat, 18 April 2014

CIUMAN PENGKHIANATAN JUDAS

Ciuman yang secara normal digunakan mengekspresikan kasih sayang, justru Judas menggunakannya menyerahkan Jesus, gurunya ke Kayu Salib.

Uang, bisa bikin orang buta. Dengan 30 keping perak, salah seorang murid Jesus, Judas mengkhianatiNya, dengan ciuman.

Sebelum Perjamuan Terakhir yang diselenggarakan Yesus kepada murid-muridNya, Yudas, salah seorang murid Jesus dan pemegang kas, secara sembunyi-sembunyi menemui para pemimpin Jahudi, sehubungan dengan rencana mereka membunuh Jesus.

Dia menerima uang 30 keping perak, sebagai upahnya untuk melakukan tugas khusus. Pekerjaan Judas tidak rumit, hanya memberitahu tanda ketika para penangkapnya sudah dekat.

Tanda itu adalah: Judas akan mendekati Yesus untuk mencium-Nya.  "Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia."

Sesudah persekongkolan jahat itu, Judas bergabung lagi dengan murid-muridNya. Dia turut dalam Perjamuan Terakhir. Jesus menyindir niat jahat Judas. Tapi dasar Judas buta, dia masih melanjutkan niatnya. 

Persis seperti yang sudah dijanjikan, ketika para penangkapNya datang, Judas  segera maju mendapatkan Yesus dan berkata: "Salam Rabi," lalu mencium Dia.

Jesus mengetahui niat Judas. Maka kata Yesus kepadanya: "Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?". Matius mencatat ucapan Yesus itu: "Hai teman, untuk itukah engkau datang?".

Jesus kemudian ditangkap, lalu diadili. Disiksa bahkan disalibkan, mati dan dikuburkan.

Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Judas mengira, Yesus akan menggunakan kuasaNya menghindar dari maut.

Ternyata kuasa yang dimiliki Yesus bukan digunakan seperti yang dibayangkan Judas. Yesus bukan anggar kekuasaan, tetapi Dia setia kepada yang mengutusNya.  Dia tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan untukNya.

Perjanjian Lama menubuatkan bahwa Anak manusia itu akan menderita. Jesus sendiri telah memberitahu murid-muridNya tentang maut yang akan dihadapinya, tetapi mata mereka buta dan telinga mereka tuli.

Melihat kejadian yang menimpa Jesus, Judas kecewa berat. Dia mengembalikan uang 30 keping perak kepada pemimpin Jahudi. Bahkan saking kecewanya, dia akhirnya bunuh diri.

Sadarlah kita, setiap penipuan, korupsi, manipulasi akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Judas, sama seperti kita manusia biasa seringkali menyalahgunakan kekuasaan untuk memperoleh sesuatu yang "kelihatan": uang, harta, dan kemewahan lain untuk dirinya sendiri. 


Penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan di Indonesia adalah pengkhianatan kepada rakyat (mahluk yang paling dikasihi Tuhan, suaranya adalah suara Tuhan) yang memilih dan memberi mandat.

Rakyat mengutus para pejabat atau pemimpin bukan untuk korupsi, menghianati tetapi untuk membahagiakan rakyatnya. 

Orang yang mengkhianati kepercayaan itu, akan menghadapi nasib seperti Judas. Hidup tidak nyaman, bahkan mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak wajar. .

Masihkah penipuan, korupsi, dan pengkhianatan  kita lanjutkan?

Selamat merayakan Jumat Agung.
Medan, 18 April 2014

Kamis, 17 April 2014

RENUNGAN MENYAMBUT PASKAH

Oleh: Jannerson Girsang

Libur kantor mulai hari ini hingga Senin mendatang. Terima kasih bagi kantorku yang menyediakan masa panjang bagiku untuk merenungkan arti penderitaan Yesus menuju Kayu Salib.

Hari ini adalah sebuah momen terindah sepanjang 53 tahun hidupku menjelang Paskah. Belum pernah aku memperoleh waktu begini indah, merenungkan Paskah, kisah perjalanan Via Dolorosa.

Kematian adalah sesuatu yang sangat menyeramkan dan tidak seorangpun ingin mengalaminya. Manusia sangat sayang pada nyawanya. Masalahnya, saking sayangnya, manusia memiliki sikap egois, bahkan tidak peduli nyawa orang lain.

Tetapi ada satu jiwa yang rela dirinya mati untuk orang lain. Meski Perjanjian Baru mencatat bagaimana Yesus mengalami pergulatan batin yang luar biasa menghadapi kematian. Berdoa semalam suntuk, hingga mampu mengatakan: "Bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi".

Yesus memberikan teladan yang luar biasa, tentang contoh mengasihi sesama, dengan tunduk kepada perintah yang mengutusNya.

Kitab-kitab Perjanjian Lama menggambarkan seorang yang diurapi (bahasa Ibrani: Mesias; bahasa Yunani: Kristus) oleh Allah akan menderita sengsara dan mati sebagai penebus dosa umat manusia.
Sejumlah nubuat berfokus pada peristiwa ini, dan menurut keyakinan saya sebagai orang Kristen digenapi dalam kematian Yesus Kristus.

Yesus menunjukkan teladan, bagaimana sikap atau respons seorang yang tidak bersalah, disiksa, dihukum, malah dibunuh. Saya, dicolek atau diremehkan sedikit aja sudah marah. Dikatakan tidak hebat, marah. Teman kalah Pileg, menyalahkan saya, saya marah juga!.

Dewasa ini, orang-orang Kristen (Gereja Kristen Protestan Simalungun) merenungkan Peristiwa penderitaan Yesus melalui Kamis Putih (nanti malam, 17 April 2014, pukul 20.00), Jumat Agung (Jumat pukul 12.00) , kemudian kebaktian peringatan kebangkitan dari kubur pada hari ketiga (Minggu Pagi), dilanjutkan dengan Kebaktian Tuntunan (lanjutan) hari Senin.

Tentu, ada perenungan pribadi di luar kebaktian-kebaktian di atas, seperti yang saya tuliskan ini. 53 tahun peristiwa seperti ini saya alami, saya masih terus berlatih dan berlatih, meminta pertolongan, karena kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, dalam diri saya masih muncul bibit tidak baik: suka marah, iri hati, senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang, belum tahan diremehkan, acapkali lemah ketika menerima kegagalan, belum bekerja dengan tulus.

Berdoa, terus berdoa dan berusaha menghilangkan sikap negatif itu, seiring bertambahnya usia. Saya dan setiap orang Kristen, sepanjang hidupnya harus terus menerus merenungkan kata-kata yang keluar dari mulut Yesus selama dalam penderitaan.

Dari kayu salib, dengan mahkota duri di kepala, tubuh yang bergelimang darah karena terluka, Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (* Lukas 23:34 ).

Kalimat pendek dan inti dari ajaran Kristen. Mengasihi setiap orang, bahkan musuh sekalipun, karena Yesus telah mengasihi saya dan Anda lebih dahulu.

Mampukah kita mengeluarkan kata-kata yang demikian saat menderita, saat orang dengan sengaja menghabisi nyawa kita?. Bukankah kita sering membalas air susu dengan air tuba. Mampukah kita membalas air tuba dengan air susu?.

Paskah mengajar kita menyikapi secara positif, ketika orang membalas dengan kejahatan bagi perbuatan kita yang baik dan benar, mengambil makna yang baik dari seuatu yang buruk. "Kalau kamu hanya mengasihi orang yang mengasihimu, apakah upahmu?".

Saya belum mampu melaksanakannya. Jangan munafik!. Kalau jujur, Andapun belum mampu, bahkan mungkin sampai kita berakhir di liang kubur.

Saya dan Anda masih lebih sering menginginkan orang lain lebih dulu berbuat baik, baru kita mau berbuat baik.

Mari saling mengisi, bukan saling menghakimi. Mari merendahkan diri, bukan menganggap diri paling hebat. Mari merenungkan, memaknai dan mempraktekkan sikap, ucapan, dan tindakan Yesus ketika dalam penderitaan hebat:

Memperingati Paskah setiap tahun, merupakan masa perenungan menuju ke kesempurnaan hidup. Meski tidak pernah mencapainya, karena hanya Dia yang dapat menyempurnakannya.

Peristiwa ini tidak bisa dimaknai dengan logika dan penjelasan kata-kata. Mengasihi adalah pekerjaan iman. Dia tidak pernah datang dari dunia ini.

Mintalah pertolongan, hayati suara Tuhan, alami dan latihlah iman secara terus menerus. Jangan harapkan sekali mendengar khotbah langsung berubah total. Biasakan kuping rindu mendengar hal-hal yang baik.

Tujulah peningkatan pemahaman dan kemampuan mengasihi istri, anak-anak, teman dan manusia di lingkungan dimanapun dia berada. Paskah bukan sekedar seremoni!

Minggu, 13 April 2014

JOKOWI MENDAHULUI BERBUAT BAIK


Oleh: Jannerson Girsang

Jokowi melakoni teladan seorang pemenang!. Tidak sombong dengan posisi Partainya sebagai jawara di Pileg 2014. Dia menghormati orang yang lebih tua, lebih senior dari dirinya.

Jokowi kecil--Capres PDI Perjuangan, berinisiatif lebih dahulu menemui para Pemimpin Partai Golkar, Nasdem, tak lama setelah Pileg 2014 selesai. Padahal, partainya adalah pemenang Pileg 2014.

Kebaikan Jokowi sangat dihormati Bakrie dan Suryo Paloh. Dua tokoh yang bukan orang orang biasa di negeri ini. Mereka tokoh partai, pengusaha terkenal dan memiliki media terbesar di negeri ini. 
Kedua tokoh ini tidak melihat Jokowi secara fisik. Fisiknya kecil, kekayaannya mungkin hanya senilai  "sayap kiri" pesawat jet pribadi Suryo Paloh dan Bakrie. Di mata mereka  Jokowi sebagai tokoh, pemimpin.

Senyum kehangatan dalam pertemuannya dengan Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar menjanjikan persatuan dan perdamaian. Hal yang ditunggu dan diharapkan seluruh rakyat Indonesia.

"Siapapun yang menang, kami saling mendukung" kata Bakrie yang disiarkan TV-One berkali-kali. Sebuah statemen yang sangat menyejukkan hati.

Sebelumnya, Jokowi juga sudah menemui Partai Nasdem. Pertemuannya dengan Suryo Paloh juga disiarkan oleh Metro TV dengan citra: Jokowi pantas menjadi presiden.

Menanam kebaikan menabur kebahagiaan. Mungkin itulah yang sedang dilakoni Jokowi.

Kebaikan Jokowi membuat orang-orang yang ditemuinya, secara tidak sadar sedang membesarkannya. 

Pertemuannya dengan Bakrie dan Suryo Paloh ditonton jutaan pemirsa Metro TV dan TVOne, dua televisi terbesar di Indonesia.

Kebaikan membuat semua orang senang dan bahagia. Semua mendapat citra yang baik, baik bagi Bakrie, maupun Suryo Paloh! Bagi penonton televisi, menyejukkan dan pembelajaran atas tokoh yang bersaing secara benar.

Sikap ini tidak banyak dimiliki pemimpin. Kebanyakan sombong dengan kemenangan dan cenderung melecehkan yang kecil. Mengeluarkan statemen-statemen yang buat hati panas, menghakimi, mabok kebesaran. Akhirnya, lupa mengambil  inisiatif berbuat langkah-langkah  baik dan sangat strategis, seperti dilakoni Jokowi.  

Jokowi telah menang selangkah. Dia lebih dahulu menunjukkan sikap melayani. Meski dia pemenang, tetapi lebih dulu menemui partai yang peroleh suaranya lebih kecil dari partainya sendiri. 

Itulah sikap seorang pemimpin. Pemimpin adalah melayani, bukan dilayani. Melakukan hal yang terbaik lebih dahulu. Berlomba-lombalah membuat yang terbaik. 

Kalau mau jadi pemimpin besar: Melayanilah lebih dahulu, jangan tunggu dilayani.

Mari kita ingat statemen Aburizal Bakrie: "Kita bersaing di Pilpres. Siapapun pemenangnya, kita akan saling mendukung"

Jumat, 11 April 2014

SEANDAINYA AKU TIDAK MENCALEG!

(Kisah ini Hanyalah Khayalanku Belaka, bukan Peristiwa Nyata)

Usai Pileg kemaren, aku sadar, setelah suara yang masuk di TPS begitu mengecewakanku. Dengan suara tidak sampai 1000 dari TPS andalanku pasti aku tidak lolos ke DPRD Tingkat I.

Uang yang sudah kukeluarkan Rp 1 miliar itu rupanya banyak. Begitu mudahnya aku membelanjakannya hanya dalam waktu sepuluh bulan. Aku taburkan uang rata-rata Rp 100 juta per bulan.

Seandainya tidak jadi Caleg, aku bisa gunakan uang Rp 1 miliar itu buat belanja anak namboruku yang akhirnya putus sekolah. Padahal mereka sudah datang ke rumahku meminta tolong. Sayangnya, saat itu semua tim suksesku butuh biaya. Jadi tidak tersedia uang kas lagi di tanganku. Di mataku Caleg adalah segala-galanya.

Uang itu bisa kupakai untuk membelanjai tiga putri saudaraku yang yatim piatu, sampai tamat kuliah. Caleg, memang segala-galanya, sehingga aku buta melihat keluargaku yang miskin. Kini, baru aku sadar, merekalah sebenarnya suara Tuhan itu. "Menolong orang yang berkekurangan".

Aku lebih suka memalingkan telingaku dan mendengar para tim suksesku yang meski hanya suara "kosong". "Kita pasti menang, kita pasti menang". Tapi entah kenapa, aku selalu yakin. Suara mereka selalu kuyakini, seperti Suara Tuhan!

Aku malah mengabaikan nasehat teman-temanku, yang selama ini cukup bijak. Mereka beberapa kali mengatakan tidak usah mencalon, karena biayanya besar dan persaingan sangat ketat dan tidak mungkin menang. Aku benci nasehat mereka. Padahal, merekalah yang seharusnya kudengar. Banyak diantara mereka sangat berpengalaman mengelola kampanye.

Aku banyak menipu mereka. Berkali-kali mereka datang, tak pernah sekalipun kuhargai, bahkan tak memberinya transport. Padahal ide-ide merekalah yang kucuri dan kupakai dalam kampanyeku. Soalnya di dalam timku, tidak ada yang berpengalaman.

Aku selalu sindir teman-temanku yang ahli kampanye itu dengan kata-kata, "jangan banyak teorilah". Padahal, aku hanya menghindari supaya jangan membayar honor atas ide mereka mahal itu. Aku hanya mau membayar tim yang selalu memujiku, meskipun mereka tidak punya pengalaman apa-apa.

Aku malah tidak kasihan melihat beberapa temanku yang karena idealis mereka hanya bisa naik sepeda motor, datang menemuiku di panas matahari. Bahkan aku sering mengejek mereka, tidak bisa cari duit. Dengan uang segitu banyak, aku seharusnya bisa menolong mereka dengan membeli mobil sederhana agar tugas pelayanannya lancar.

Aku tidak sedikitpun peduli temanku yang sudah 4 tahun hanya naik sepeda motor, setelah mobilnya dijual untuk membelanjai anaknya. Aku butuh mereka yang punya mobil, supaya tidak menyediakan lagi biaya transportnya. Itu sebabnya, di depan centerku selalu parkir mobil-mobil mewah.

Kini aku sadar, bahwa mereka hanyalah kontraktor-kontraktor yang tak punya massa, bahkan tak punya teman. Mereka hanyalah para pragmatis yang mengharapkan aku bisa menang. Mereka akan mendapatkan proyek dengan mudah menggunakan namaku kelak. Mereka memang membantuku, tetapi bukanlah bantuan yang tulus.

Ah, anakku lagi. Selama kampanye untuk ngasi uang jajannya saja kadang aku lupa. Angan-angannnya sekolah di Amerika seringkali kuabaikan. Dengan uang Rp 1 miliar, aku tidak usah pusing lagi menyekolahkan anak saya ke Singapura, Australia, atau cita-citanya sekolah ke Amerika.

Kalung istriku, kebanggaannya kalau duduk di gereja. Gelang yang melekat di tangannya, rante mas yang melingkar di lehernya, liontin berlian mempercantik dirinya, kini semua sudah lenyap.

Utangku...oh utangku. Kuharapkan bisa lunas, kalau aku jadi Caleg. Kemaren petugas bank sudah datang dan menyegel rumahku. Aku jadi malu. Selama ini aku dikenal sebagai orang yang suka menyumbang, khususnya rumah ibadah. Kemana mukaku, kalau besok dia datang lagi.

Tetangga akan mengejek aku. "Hari gini nggak bisa bayar utang?". Aku mau bilang apa?

Kini aku hanya bisa berandai-andai. Uang satu miliar lenyap. Orang menyalahkanku. Semua teman-teman menjauhiku. Padahal, beberapa hari sebelumnya, mereka masih menerima uang ratusan juta untuk mengawasi TPS.

Bahkan smspun sudah hampir tidak masuk lagi. Dulu ribuan sms masuk ke HPku: "Kita pasti menang bos. Lanjut".

Sadarlah aku arti peribahasa ini: "Arang habis, besi binasa"

Oh seandainya aku tidak Mencaleg!

Medan, 10 April 2014
Jannerson Girsang