Oleh: Jannerson Girsang
Penampilan Ebiet G Ade malam ini di acara Bukan Empat Mata Trans-7 malam ini (7 Mei 2014) menambah kekagumanku padanya. Selain menampilkan keempat anaknya yang berprestasi dan berkarakter baik, juga memuji istrinya Yayuk Soegianto, bangga dengan anak-anaknya.
Semua tampil bersama malam ini.
Kepopuleran, harta tidak membuat karakter baik keluarga ini luntur. Tetap sederhana, bersahaja, menjadi keluarga teladan. Hal yang langka ditemukan dalam keluarga artis abad ini! .
Bukan hanya menjadi salah seorang penyanyi "terlaris dan terbaik" dinegeri ini, tetapi Ebiet juga seorang ayah yang berhasil mewariskan nilai-nilai baik kepada keempat anak-anaknya. Dia adalah ayah yang sempurna!
Ebiet, adalah pencipta lagu "Camelia" yang ngetop di akhir 70-an, dan masih penyanyi laris manis hingga saat ini. Pria sederhana dan rendah hati, jauh dari kemewahan seorang artis beken, ternyata menempatkan prioritas masa depan dan pewarisan nilai baik bagi anak-anaknya.
Aku kagum: Kagum sekali. Dia mengasihi dan mencintai hanya satu orang istri. Menghasilkan anak-anak yang luar biasa. .
Beruntung sekali keempat anaknya, Abietyasakti "Abie" Ksatria Kinasih, Aderaprabu "Dera" Lantip, Trengginas, Byatriasa "Yayas" Pakarti Linuwih, Segara "Dega" Banyu Bening, memiliki ayah seperti Ebiet. Berbahagialah Yayuk Soegianto yang memiliki suami genius, populer, tetapi tetap menjadikannya sebagai "permata" satu-satunya yang harus dipelihara.
Ebiet mempersiapkan anak-anaknya dengan pendidikan yang baik, mendapat pekerjaan yang baik. Satu-satunya cewek, "Yayas" adalah lulusan
sebuah universitas di Jerman. Anak bontotnya Dega lulus dari sekolah
bisnis dari salah satu universitas terkemuka.
Kalaupun waktu kemudian membuat anak-anaknya meniru kebiasaan baik ayahnya: bermusik, menulis lagu atau menyanyi di sela-sela pekerjaan mereka.
Mereka berbakat seperti ayahnya, dan bakat itu sempat seperti seolah dibendung, karena Ebiet tidak suka anak-anaknya seperti dirinya. Ebiet tidak tertarik, ketika seorang anaknya menulis cita-citanya di catatan hariannya: :"menjadi penyanyi"
Tokh sikap Ebiet fleksibel. "Mereka memiliki hak untuk memilih sendiri yang mereka sukai untuk dilakukan,"ujarnya bijak.
Si cewek, Yayas memainkan organ mengiringi ayahnya menyanyikan lagu "Nyanyian Rindu untuk Ayah", di lain episoda si bungsu "Dera" berduet dengan sang ayah menyanyikan "Kandas Di rerumputan". Saat menyanyi, dari bangku undangan khusus, terlihat istrinya, saling bertatapan dengan anak tertuanya "Abie" tanda rasa bangganya.
Kekaguman juga pantas diarahkan kepada istrinya yang setia, Yayuk Soegianto, mantan penyanyi Pop Indonesia yang tampil berkerudung, malam ini.
Yayuk adalah adik kandung Iis Soegianto, penyanyi "Jangan Sakiti Hatinya", idola saya dan anak-anak muda di era 80-an.
Ebiet menyebut istrinya "Penyemangat" di keluarga. "Ibunya anak-anak adalah permata yang harus dipelihara dengan baik. Saya berterima kasih dia Ikhlas dan rela mencintai saya. Dia mengorbankan banyak hal. Mungkin bagi sebagian orang itu seperti saya terlalu memuji istri saya. Intinya bayangkan seorang istri yang punya kehidupan sendiri, dan ikut saya yang beda pola pikir,"ujar Ebiet.
Menyaksikan Bukan Empat Mata malam ini, merupakan berkah bagi saya. Berada di tengah Keluarga Impian Artis Indonesia Abad 21. Impian Keluarga Indonesia.
"Anak-anak rindu ayah, sayang ibu, ayah ibu yang memperhatikan dan membimbing anak-anaknya hingga berhasil dan berkarakter."
Beda dengan citra keluarga artis yang banyak ditampilkan di televisi saat ini. Suami istri bercerai, anak terlantar, saling menuntut hak, saling menjelekkan dan bangga menjadi tontonan buruk bagi jutaan pemirsa.
Keluarga Pria kelahiran, Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah, 21 April 1954 ini sudah tigapuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga dengan Yayauk. Tak pernah sekalipun terdengar rumor atau isu miring seperti banyak artis yang keluarganya hancur lebur.
Pasangan Ebiet dan Yayuk adalah keluarga ideal, memikirkan masa depan pewarisan nilai baik kepada anak-anaknya.
Ebiet dikenal dengan lagu-lagunya yang bertemakan alam dan duka derita kelompok yang tersisih. Lewat lagu-lagunya yang ber-genre balada, pada awal kariernya, ia 'memotret' suasana kehidupan Indonesia pada akhir tahun 1970-an hingga sekarang.
Tema lagunya beragam, mulai dari tema cinta, alam, sosial-politik, bencana, religius, keluarga, dll. Sentuhan musiknya mendorong pembaruan pada dunia musik pop Indonesia.
Semua lagu ditulisnya sendiri, ia tidak pernah menyanyikan lagu yang diciptakan orang lain, kecuali lagu Surat dari Desa yang ditulis oleh Oding Arnaldi dan Mengarungi Keberkahan Tuhan yang ditulis bersama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Malam ini saya juga berbahagia!.
Saya akan mendapat hadiah berupa album baru dari Ebiet. Putri saya, baru menelepon bahwa Ebiet menyerahkan album barunya melalui anak saya Clara Girsang.
"Album ini diserahkan kepada orangtuanya yah Clara," demikian Ebiet memesankan kepada anak saya, Clara yang bekerja di Trans-7. Senangnya bukan main!
Terima kasih putriku Clara. Bagi orang tua lain, peran putri seperti ini mungkin kecil, tetapi sangat berharga buatku. Ebiet adalah simbol karakter ayah teladan, simbol penulis lagu genius. Apa salahnya ya membanggakan anak sendiri. Ebiet juga begitu.
Memang tidak baik, kalau membuat anak seperti tidak punya prestasi apa-apa. Sekecil apapun karya mereka, mereka punya hak untuk dipuji, untuk diangkat, supaya termotivasi.
Dulu, saya pernah mengatakan melalui Clara, ketika Ebiet tampil di Bukan Empat Mata beberapa tahun lalu, bahwa saya penggemar berat Ebiet.
Malam ini, ternyata berbalas budi baik Mas Ebiet. Terima kasih Mas Ebiet atas albumnya. Mudah-mudahan albumnya segera tiba di Medan, dan saya menikmatinya.
Aku bersyukur karena punya putri yang bisa dekat dengan penyanyi idolaku. Berkatnya mengalir.
Semoga keluarga Ebiet menginspirasi keluargaku, keluarga kita semua. Suami dengan satu istri, fokus anak-anak dan karier.
2010, saking kagumnya, saya juga menuliskan isi hati saya buat Ebiet. http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/08/menonton-ebit-g-ade-di-metro-tv.html
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Kamis, 08 Mei 2014
Selasa, 06 Mei 2014
Banyak Perkara yang Tak Dapat Kumengerti (1): Selamat Jalan Inang Berti br Girsang (Ny Pdt Kitaman Manihuruk, STh)
Oleh: Jannerson Girsang
17 April 2014. Para ibu yang tergabung dalam tumpuan Dorkas berkumpul di rumah inang Berti br Girsang, selesai acara ibadah di Raya GKPS Pdt.J.Wismar Saragih. Mereka mengunjungi Pdt Kitaman Saragih STh yang masih dalam pemulihan kesehatannya. Mereka begitu senang bertemu dengan keluarga itu. Inang Berti yang ramah (pakai baju kunung di tengah, disamping suaminya berpakaian T-Shirt kerah). 3 Mei, 16 hari kemudian inang Berti br Girsang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. (Terima kasih atas foto kiriman inang Sortha Situmorang).
Kecelakaan
maut itu terjadi di depan Terminal Parluasan (persis di depan
Alfamart), Pematangsiantar. Tak masuk akal, perkara yang tak dapat
kumengerti, kalau sebuah kecelakaan maut terjadi di sana. Kenderaan
umumnya berjalan lambat, karena lalu lintas padat, dekat terminal.
Tapi justru di tempat itulah maut itu datang! Bahkan merenggut nyawa orang yang sangat kami cintai. Jalan yang terlihat mulus, kenderaan berjalan perlahan, ternyata begitu kejam.
Pasir penutup bekas darah korban masih terlihat menumpuk ketika kami melintasi lokasi itu saat mengantar jenazah ke acara pemberangkatan di GKPS Jalan Sisingamangaraja, Pematangsiantar Senin sore, 5 Mei 2014.
Dua hari sebelumnya, Berti br Girsang (61), wanita malang yang kami kasihi itu, baru saja membeli sarapan tak jauh dari lokasi itu, hendak pulang ke rumahnya di Rambung Merah dengan mengendarai sepeda motor, berharap keluarganya menikmati makanan lezat untuk sarapan di pagi itu.
Di titik itu, beliau mendahului truk yang berada di depannya (demikian menurut pemberitaan Pos Metro Siantar). Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul truk lain.
Menurut saksi mata yang dikutip media lokal itu, pengemudi sepeda motor gugup, stang tidak stabil dan menyambar truk. Sepeda motor oleng. Sepeda motor dan pengendaranya masuk ke kolong truk. Ban belakang truk yang tak punya perikemanusiaan itu menggilas punggung (sedikit di bawah tengkuk) ibu dari Vento (tinggal di Depok) dan Septa (tinggal di Pontianak). Haruskah begitu kejamnya?. Sungguh aku tak mengerti.
Semuanya berlangsung dalam hitungan detik, tanpa ada kekuatan yang mampu mencegahnya. Oh Tuhan, tak adakah kekuatan yang bisa menepis tubuhnya berguling, rem yang pakem menghindari gilasan ban truk yang ganas itu?. Tak bisakah, tak adakah......tak adakah.....! Akh...!. Makin banyak aku yang tak mengerti.
(Pos Metro Minggu, menyajikan foto korban dengan posisi telungkup dan kepala ditutupi helm, celana panjang warna hitam dan baju panjang tangan berwarna merah. Darah berserakan di sekitarnya.).
Riwayat putri pensiunan pendeta tentara di Bandung itu, berakhir di tempat kotor itu. Tragis dan sulit kumengerti!
Keluarga yang menunggu di rumah gelisah dan mulai lapar. Sarapan yang dibelinya, serta orang yang membelinya tak kunjung tiba.
Sejak keluarga menyaksikannya berangkat dari rumah hingga peristiwa tragis itu, hanya berselang sekitar 50 menit.
Jawaban dari harapan sungguh di luar dugaan!. Keluarga di rumah mendengar berita yang mengejutkan. Kabar pertama: kecelakan dan kritis, kabar berikutnya: meninggal dunia.
Kabar duka itupun kemudian sampai ke telinga keluarga yang lain dan meledaklah tangis di segala penjuru.
Vento, anak tertuanya, yang seyogianya sore itu akan pulang ke Jakarta, terpaksa menunda keberangkatannya. Wanita yang begitu mengasihinya, sudah pergi menghadap yang kuasa, tanpa pesan apapun. Dia tak menyangka pagi itu akan menjadi pertemuannya yang terakhir. Membeli sarapan, itulah kebaikan terakhir yang dialaminya dari ibunya yang sangat dihasihi itu. Lalu pergi begitu saja!.
Di Medan kabar duka ini kami terima dari adik istriku Dr Ratna, sekitar pukul 08.30 pagi Sabtu, 3 Mei 2014.
Beberapa jam kemudian Pdt Enida Girsang (Sekum PGI Wilayah Sumut) memberitahu kejadian itu dan menjelaskan melalui telepon tentang peristiwa itu secara detil. Beliau saat itu kebetulan sedang berada di Siantar. "Sedih sekali boto" katanya. Enida selama kuliah di STT Jakarta, sering berkunjung ke rumah almarhum, ketika suaminya menjadi Pendeta GKPS Resort Cikoko, Jakarta . Sebuah sms saya terima kemudian dari Pdt Jadasri Saragih, STh, Ketua Yayasan Pendidikan GKPS.
Sebuah peristiwa yang kalau ditanya mengapa, sampai kapanpun tidak akan ada jawabnya.
"Banyak perkara yang tak dapat kumengerti......Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini. ................Tiada sesuatu kan terjadi, Tanpa Allah Peduli", kata Ephorus GKPS Pdt Dr Jaharianson Saragih mengutip syair lagu "Allah Peduli" dalam pengantar khotbahnya, saat upacara pemberangkatan jenazah.
Selamat jalan inang Berti br Girsang (istri Pdt Kitaman Saragih Manihuruk, STh). Nanturang yang baik itu mengakhiri perbuatan baiknya di usia 61 tahun. Berat sekali melepas kepergianmu, sulit sekali kumengerti pengalaman pahitmu di hari terakhir hidupmu.
Istriku tidak akan pernah lagi menerima teleponmu, nasehatmu serta kata-katamu yang memberi semangat. Tidak akan pernah lagi dia mendengar sapaanmu setiap minggu yang menyenangkan, membuat istriku dan membuatku tetap bersemangat, meski sesulit apapun situasi yang kami hadapi. Berti adalah seorang pelipur di kala duka, sahabat sejati! :
"Apa kabar kalian di Medan inang. Bagaimana Bapak Clara. Salam ya sama bapak Clara, Nanturang dan tulang sehat-sehat saja".
Suara itu hanya ada dalam kenangan. Tidak akan mungkin terdengar lagi, setelah jasadmu kaku, mulutmu tertutup rapat, karena peristiwa maut itu.
Nanturang Berti memberi kesan terakhir yang sangat indah saat martumpol pahompunya (cucu), putriku Patricia Girsang dan Frederick Simanjuntak, di Gedung Sekolah Minggu HKBP Simalingkar, Oktober, 2013 lalu. Salah seorang cucu kebanggaannya.
"Bagaimana Clara?". Saat itu Clara, putri tertuaku tidak bisa hadir karena bayinya baru berusia tiga bulan. Itulah saat terakhir, aku menyaksikan kelincahanmu, keramahanmu, kepedulianmu kepada kami, kepada semua orang di sekelilingmu.
"Kok nanturang yang selalu telepon kami," ucapan istri yang sering saya dengar, kalau beliau bertelepon. Hanya menanyakan kabar, menjaga silaturahmi.
Jawabannya sederhana. "Siapa yang bisa duluan aja nang," katanya ringan. Itu kudengar seminggu sebelum beliau meninggal.
Inang yang cantik dan hangat ini selalu memanggil aku "boto bapak Clara", (meski tutur dari istriku aku memanggilnya nanturang). Beliau salah seorang boru Girsang terbaik dan sangat berkesan, sejak kukenal 30 tahun yang lalu.
Nanturang tidak akan pernah lagi mengatakan: "Pak Clara, saya mau mampir ke rumah ya Pa!" Kita tidak akan pernah lagi ngobrol tentang cucu-cucumu, tentang Septa, tentang Vento, tentang Tulang, tentang Kita.
Tapi justru di tempat itulah maut itu datang! Bahkan merenggut nyawa orang yang sangat kami cintai. Jalan yang terlihat mulus, kenderaan berjalan perlahan, ternyata begitu kejam.
Pasir penutup bekas darah korban masih terlihat menumpuk ketika kami melintasi lokasi itu saat mengantar jenazah ke acara pemberangkatan di GKPS Jalan Sisingamangaraja, Pematangsiantar Senin sore, 5 Mei 2014.
Dua hari sebelumnya, Berti br Girsang (61), wanita malang yang kami kasihi itu, baru saja membeli sarapan tak jauh dari lokasi itu, hendak pulang ke rumahnya di Rambung Merah dengan mengendarai sepeda motor, berharap keluarganya menikmati makanan lezat untuk sarapan di pagi itu.
Di titik itu, beliau mendahului truk yang berada di depannya (demikian menurut pemberitaan Pos Metro Siantar). Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul truk lain.
Menurut saksi mata yang dikutip media lokal itu, pengemudi sepeda motor gugup, stang tidak stabil dan menyambar truk. Sepeda motor oleng. Sepeda motor dan pengendaranya masuk ke kolong truk. Ban belakang truk yang tak punya perikemanusiaan itu menggilas punggung (sedikit di bawah tengkuk) ibu dari Vento (tinggal di Depok) dan Septa (tinggal di Pontianak). Haruskah begitu kejamnya?. Sungguh aku tak mengerti.
Semuanya berlangsung dalam hitungan detik, tanpa ada kekuatan yang mampu mencegahnya. Oh Tuhan, tak adakah kekuatan yang bisa menepis tubuhnya berguling, rem yang pakem menghindari gilasan ban truk yang ganas itu?. Tak bisakah, tak adakah......tak adakah.....! Akh...!. Makin banyak aku yang tak mengerti.
(Pos Metro Minggu, menyajikan foto korban dengan posisi telungkup dan kepala ditutupi helm, celana panjang warna hitam dan baju panjang tangan berwarna merah. Darah berserakan di sekitarnya.).
Riwayat putri pensiunan pendeta tentara di Bandung itu, berakhir di tempat kotor itu. Tragis dan sulit kumengerti!
Keluarga yang menunggu di rumah gelisah dan mulai lapar. Sarapan yang dibelinya, serta orang yang membelinya tak kunjung tiba.
Sejak keluarga menyaksikannya berangkat dari rumah hingga peristiwa tragis itu, hanya berselang sekitar 50 menit.
Jawaban dari harapan sungguh di luar dugaan!. Keluarga di rumah mendengar berita yang mengejutkan. Kabar pertama: kecelakan dan kritis, kabar berikutnya: meninggal dunia.
Kabar duka itupun kemudian sampai ke telinga keluarga yang lain dan meledaklah tangis di segala penjuru.
Vento, anak tertuanya, yang seyogianya sore itu akan pulang ke Jakarta, terpaksa menunda keberangkatannya. Wanita yang begitu mengasihinya, sudah pergi menghadap yang kuasa, tanpa pesan apapun. Dia tak menyangka pagi itu akan menjadi pertemuannya yang terakhir. Membeli sarapan, itulah kebaikan terakhir yang dialaminya dari ibunya yang sangat dihasihi itu. Lalu pergi begitu saja!.
Di Medan kabar duka ini kami terima dari adik istriku Dr Ratna, sekitar pukul 08.30 pagi Sabtu, 3 Mei 2014.
Beberapa jam kemudian Pdt Enida Girsang (Sekum PGI Wilayah Sumut) memberitahu kejadian itu dan menjelaskan melalui telepon tentang peristiwa itu secara detil. Beliau saat itu kebetulan sedang berada di Siantar. "Sedih sekali boto" katanya. Enida selama kuliah di STT Jakarta, sering berkunjung ke rumah almarhum, ketika suaminya menjadi Pendeta GKPS Resort Cikoko, Jakarta . Sebuah sms saya terima kemudian dari Pdt Jadasri Saragih, STh, Ketua Yayasan Pendidikan GKPS.
Sebuah peristiwa yang kalau ditanya mengapa, sampai kapanpun tidak akan ada jawabnya.
"Banyak perkara yang tak dapat kumengerti......Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini. ................Tiada sesuatu kan terjadi, Tanpa Allah Peduli", kata Ephorus GKPS Pdt Dr Jaharianson Saragih mengutip syair lagu "Allah Peduli" dalam pengantar khotbahnya, saat upacara pemberangkatan jenazah.
Selamat jalan inang Berti br Girsang (istri Pdt Kitaman Saragih Manihuruk, STh). Nanturang yang baik itu mengakhiri perbuatan baiknya di usia 61 tahun. Berat sekali melepas kepergianmu, sulit sekali kumengerti pengalaman pahitmu di hari terakhir hidupmu.
Istriku tidak akan pernah lagi menerima teleponmu, nasehatmu serta kata-katamu yang memberi semangat. Tidak akan pernah lagi dia mendengar sapaanmu setiap minggu yang menyenangkan, membuat istriku dan membuatku tetap bersemangat, meski sesulit apapun situasi yang kami hadapi. Berti adalah seorang pelipur di kala duka, sahabat sejati! :
"Apa kabar kalian di Medan inang. Bagaimana Bapak Clara. Salam ya sama bapak Clara, Nanturang dan tulang sehat-sehat saja".
Suara itu hanya ada dalam kenangan. Tidak akan mungkin terdengar lagi, setelah jasadmu kaku, mulutmu tertutup rapat, karena peristiwa maut itu.
Nanturang Berti memberi kesan terakhir yang sangat indah saat martumpol pahompunya (cucu), putriku Patricia Girsang dan Frederick Simanjuntak, di Gedung Sekolah Minggu HKBP Simalingkar, Oktober, 2013 lalu. Salah seorang cucu kebanggaannya.
"Bagaimana Clara?". Saat itu Clara, putri tertuaku tidak bisa hadir karena bayinya baru berusia tiga bulan. Itulah saat terakhir, aku menyaksikan kelincahanmu, keramahanmu, kepedulianmu kepada kami, kepada semua orang di sekelilingmu.
"Kok nanturang yang selalu telepon kami," ucapan istri yang sering saya dengar, kalau beliau bertelepon. Hanya menanyakan kabar, menjaga silaturahmi.
Jawabannya sederhana. "Siapa yang bisa duluan aja nang," katanya ringan. Itu kudengar seminggu sebelum beliau meninggal.
Inang yang cantik dan hangat ini selalu memanggil aku "boto bapak Clara", (meski tutur dari istriku aku memanggilnya nanturang). Beliau salah seorang boru Girsang terbaik dan sangat berkesan, sejak kukenal 30 tahun yang lalu.
Nanturang tidak akan pernah lagi mengatakan: "Pak Clara, saya mau mampir ke rumah ya Pa!" Kita tidak akan pernah lagi ngobrol tentang cucu-cucumu, tentang Septa, tentang Vento, tentang Tulang, tentang Kita.
17 April 2014. Para ibu yang tergabung dalam tumpuan Dorkas berkumpul di rumah inang Berti br Girsang, selesai acara ibadah di Raya GKPS Pdt.J.Wismar Saragih. Mereka mengunjungi Pdt Kitaman Saragih STh yang masih dalam pemulihan kesehatannya. Mereka begitu senang bertemu dengan keluarga itu. Inang Berti yang ramah (pakai baju kunung di tengah, disamping suaminya berpakaian T-Shirt kerah). 3 Mei, 16 hari kemudian inang Berti br Girsang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. (Terima kasih atas foto kiriman inang Sortha Situmorang).
Oh
sedihnya!. Ribuan orang mungkin mengalami hal serupa, ini terlihat dari
ribuan pelayat yang memenuhi rumahnya di Jalan Haji Ulakma Sinaga
Pematangsiantar, saat acara adat dan pemberangkatan ke tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Terlihat hadir dalam acara di rumah duka, tokoh-tokoh penting di Siantar Simalungun. Hadir juga dari Jakarta, Dr Junimart Girsang, SH pengacara dan bakal anggota DPR-RI periode 2014-2019. Beliau, yang semasa kuliah di Bandung sering berkunjung ke rumah orang tua almarhum mengungkapkan rasa dukanya dalam sambutan mewakili keluarga Girsang.
Inang Berti adalah teladan seorang istri pendeta. Beliau peduli keluarga, peduli sesama, tak peduli apakah orang lain memperdulikannya. Kebaikannya akan kekal selamanya.
Ephorus GKPS, Pdt Dr Jaharianson Saragih, yang mengaku pernah satu tahun menumpang di rumahnya saat masih studi, menggambarkan inang ini sebagai seorang yang ramah, peduli, mengorbankan dirinya untuk pelayanan suaminya sebagai pendeta dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai apoteker. Bahkan beliau menyebut inang Berti adalah orang sangat banyak berperan dalam pernikahannya di GKPS teladan beberapa tahun yang lalu.
"Para istri pendeta harus banyak belajar dari kakakku yang baik ini," ujar Pendeta Jaharianson mengakhiri khotbahnya.
Semoga adik kami Septa dan Vento memahami peristiwa ini sebagai rancangan Tuhan yang terindah, walau beberapa saat ke depan memang masih sangat pahit.
Kami semua yakin, demikian pula kedua adik kami dan tulang Kitaman Manihuruk kuat menghadapi kehidupan yang berbeda ke depan, tanpa orang yang mereka sayangi, Berti br Girsang.
"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Mazmur 23:4" (Khotbah Pdt Jaharianson Saragih).
Pagi ini saya menulis kisah sedih ini dari meja tempat mendengar kabar duka, Hari Sabtu, 3 Mei 2014, pukul 08.30.
Medan, 6 Mei 2014
Julinda Sipayung, Pdt Hotim Sinaga, Jahenos Saragih, Jaharianson Saragih Vindariana Saragih Manihuruk, Febry Saragih, Dearliany Purba, Sortha Situmorang, Risma Sitorus, Saur Pardomuan Saragih, Grace Christiane, Enida Girsang, Clara Girsang.
Terlihat hadir dalam acara di rumah duka, tokoh-tokoh penting di Siantar Simalungun. Hadir juga dari Jakarta, Dr Junimart Girsang, SH pengacara dan bakal anggota DPR-RI periode 2014-2019. Beliau, yang semasa kuliah di Bandung sering berkunjung ke rumah orang tua almarhum mengungkapkan rasa dukanya dalam sambutan mewakili keluarga Girsang.
Inang Berti adalah teladan seorang istri pendeta. Beliau peduli keluarga, peduli sesama, tak peduli apakah orang lain memperdulikannya. Kebaikannya akan kekal selamanya.
Ephorus GKPS, Pdt Dr Jaharianson Saragih, yang mengaku pernah satu tahun menumpang di rumahnya saat masih studi, menggambarkan inang ini sebagai seorang yang ramah, peduli, mengorbankan dirinya untuk pelayanan suaminya sebagai pendeta dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai apoteker. Bahkan beliau menyebut inang Berti adalah orang sangat banyak berperan dalam pernikahannya di GKPS teladan beberapa tahun yang lalu.
"Para istri pendeta harus banyak belajar dari kakakku yang baik ini," ujar Pendeta Jaharianson mengakhiri khotbahnya.
Semoga adik kami Septa dan Vento memahami peristiwa ini sebagai rancangan Tuhan yang terindah, walau beberapa saat ke depan memang masih sangat pahit.
Kami semua yakin, demikian pula kedua adik kami dan tulang Kitaman Manihuruk kuat menghadapi kehidupan yang berbeda ke depan, tanpa orang yang mereka sayangi, Berti br Girsang.
"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Mazmur 23:4" (Khotbah Pdt Jaharianson Saragih).
Pagi ini saya menulis kisah sedih ini dari meja tempat mendengar kabar duka, Hari Sabtu, 3 Mei 2014, pukul 08.30.
Medan, 6 Mei 2014
Julinda Sipayung, Pdt Hotim Sinaga, Jahenos Saragih, Jaharianson Saragih Vindariana Saragih Manihuruk, Febry Saragih, Dearliany Purba, Sortha Situmorang, Risma Sitorus, Saur Pardomuan Saragih, Grace Christiane, Enida Girsang, Clara Girsang.
Rabu, 30 April 2014
Blog: Menyimpan Sekaligus Menebar Gagasan
Oleh: Jannerson Girsang
Blog adalah media yang sangat
bagus untuk mendokumentasikan sekaligus menebar hasil karya tulis,
gagasan dan ide kita. Dia tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh
hujan. Tanpa mengeluarkan dana sepeserpun, ide-ide dan gagasan tersebar
ke seluruh dunia.
Lima tahun menjadi blogger, saya telah menyimpan lebih dari 300 artikel, tanpa takut kena banjir, terbakar, digigit tikus, atau hilang. Artikel-artikel tersebut tersimpan dengan baik dan aman, mudah digandakan atau dikopi, saat menulis kembali ide-ide yang berkembang, terpublikasi 24 jam dan dibaca puluhan ribu orang dari seluruh dunia.
Sebelum internet hadir, saya menyimpan artikel-artikel bentuk kliping. Bisa rusak karena lapuk, digigit tikus, kena banjir. Hanya dibaca secara terbatas, puluhan atau ratusan orang.
Membaca di blog lebih mudah dan praktis dibanding kita membaca kliping, apalagi jumlahnya sudah ratusan.
Sekitar 300 artikel yang saya simpan sejak lima tahun lalu telah dinikmati sekitar 40-an ribu pengunjung dan membuka lebih dari 65 ribu halaman (pageviews). Sebuah artikel ada yang dibaca hampir 3000 kali dan akan terus dibaca. Pembacanya berasal dari 91 negara.
Selain itu puluhan website atau blog yang lain juga mempublikasikan artikel-artikel yang berasal dari blog ini. Media cetak kadang mengutip berita yang menarik dari blog untuk dibaca lebih banyak orang.
Jangan biarkan artikel-artikel Anda berserakan di mana-mana. Simpanlah di blog.
Anda bisa menilai artikel-artikel Anda yang paling banyak dibaca orang dan menulis topik-topik serupa.
Dari seluruh artikel di blog ini, ada empat artikel yang paling banyak dibaca, di atas 2000 kali (1 Mei 2014).
Dari sinilah saya belajar, menulis artikel sejenis, yang diminati pembaca.
1. Menyimak Prestasi Andrea Hirata (Pernah dimuat Harian Analisa, 26 Nopember 2010). Dibaca 2803 kali.
http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/11/menyimak-prestasi-andrea-hirata.html
2. Selamat Jalan SK Trimurti. Pernah dimuat di Harian Analisa, Mei 2008. Dibaca 2273 kali
http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/03/selamat-jalan-sk-trimurti.html
3. Belajar Biografi Para Penulis Terkenal Dunia. Dibaca 2052 kali
http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/01/belajar-biografi-para-penulis-terkenal.html
4. Anda Mau Membuat Otobiografi Sendiri?. Dibaca 2007 kali.
http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/10/anda-ingin-membuat-otobiografi-sendiri.html
Mulailah menyimpan artikel-artikel Anda dalam blog. Gratis dan simple pemeliharaannya.
Pengalaman saya selama lima tahun ini menunjukkan, blog membuktikan kehebatannya menyebarkan ide dan gagasan.
Andaikan satu juta, dua juta blogger Indonesia dengan serius menebar ratusan bahkan ribuan gagasan dan ide menginspirasi bagi bangsa dan dunia ini, niscaya negeri kita akan dikenal sebagai negeri yang damai, cinta sesama, tidak saling menyakiti.
Lima tahun menjadi blogger, saya telah menyimpan lebih dari 300 artikel, tanpa takut kena banjir, terbakar, digigit tikus, atau hilang. Artikel-artikel tersebut tersimpan dengan baik dan aman, mudah digandakan atau dikopi, saat menulis kembali ide-ide yang berkembang, terpublikasi 24 jam dan dibaca puluhan ribu orang dari seluruh dunia.
Sebelum internet hadir, saya menyimpan artikel-artikel bentuk kliping. Bisa rusak karena lapuk, digigit tikus, kena banjir. Hanya dibaca secara terbatas, puluhan atau ratusan orang.
Membaca di blog lebih mudah dan praktis dibanding kita membaca kliping, apalagi jumlahnya sudah ratusan.
Sekitar 300 artikel yang saya simpan sejak lima tahun lalu telah dinikmati sekitar 40-an ribu pengunjung dan membuka lebih dari 65 ribu halaman (pageviews). Sebuah artikel ada yang dibaca hampir 3000 kali dan akan terus dibaca. Pembacanya berasal dari 91 negara.
Selain itu puluhan website atau blog yang lain juga mempublikasikan artikel-artikel yang berasal dari blog ini. Media cetak kadang mengutip berita yang menarik dari blog untuk dibaca lebih banyak orang.
Jangan biarkan artikel-artikel Anda berserakan di mana-mana. Simpanlah di blog.
Anda bisa menilai artikel-artikel Anda yang paling banyak dibaca orang dan menulis topik-topik serupa.
Dari seluruh artikel di blog ini, ada empat artikel yang paling banyak dibaca, di atas 2000 kali (1 Mei 2014).
Dari sinilah saya belajar, menulis artikel sejenis, yang diminati pembaca.
1. Menyimak Prestasi Andrea Hirata (Pernah dimuat Harian Analisa, 26 Nopember 2010). Dibaca 2803 kali.
http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/11/menyimak-prestasi-andrea-hirata.html
2. Selamat Jalan SK Trimurti. Pernah dimuat di Harian Analisa, Mei 2008. Dibaca 2273 kali
http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/03/selamat-jalan-sk-trimurti.html
3. Belajar Biografi Para Penulis Terkenal Dunia. Dibaca 2052 kali
http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/01/belajar-biografi-para-penulis-terkenal.html
4. Anda Mau Membuat Otobiografi Sendiri?. Dibaca 2007 kali.
http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/10/anda-ingin-membuat-otobiografi-sendiri.html
Mulailah menyimpan artikel-artikel Anda dalam blog. Gratis dan simple pemeliharaannya.
Pengalaman saya selama lima tahun ini menunjukkan, blog membuktikan kehebatannya menyebarkan ide dan gagasan.
Andaikan satu juta, dua juta blogger Indonesia dengan serius menebar ratusan bahkan ribuan gagasan dan ide menginspirasi bagi bangsa dan dunia ini, niscaya negeri kita akan dikenal sebagai negeri yang damai, cinta sesama, tidak saling menyakiti.
Selasa, 29 April 2014
In Memoriam Idris Sardi (1938-2014): Si Biola Maut, Sang Inspirator (Harian Analisa 29 April 2014)
Oleh: Jannerson Girsang.
Dunia musik Indonesia, penggemar Idris Sardi berduka. Maestro biola Indonesia itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya, Senin, 28 April 2014, pukul 07.25. Kita tidak bisa lagi menyaksikannya pesonanya beraksi memainkan biolanya melantunkan lagu-lagu pahlawan, lagu-lagu romantik yang menyentuh dan melembutkan hati, kita tidak lagi menikmati karya-karya barunya.
“Tiada lagi kata mesra, tiada lagi gelak tawa” sebuah cuplikan lagu Christina karya Idris Sardi melukiskan kepergiannya, kesedihan karena kehilangan seorang idola.
Pria kelahiran Jakarta 7 Juni 1938 ini menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Meilia, Cibubur, Jakarta. Berita kematiannya dengan cepat beredar di berbagai media sekitar pukul 08.00 pagi. Televisi, mediaonline secara serentak memberitakan kabar duka itu.
Idris Sardi begitu istimewa di hati bangsa ini. Dia dikenal sebagai maestro biola. Selain dikenal sebagai pemain biola, dia juga adalah seorang komponis dan illustrator musik film yang memenangi 10 Piala Citra. Penghargaan tertinggi atas aktor-aktris film terbaik Indonesia.
Dengan biolanya ayah Lukman Sardi, Santi Sardi, Ajeng Sardi ini memainkan lagu-lagu nasional dan lagu-lagu romantik. Rasa sebuah lagu begitu berbeda, ketika gesekan biolanya mengalunkan sebuah lagu. Gesekan biolanya banyak memainkan lagu-lagu perjuangan yang begitu melekat di hati bangsa ini. Dia acapkali memainkan lagu-lagu perjuangan “Gugur Pahlawan”, atau lagu-lagu lain.
Ciri keindonesiaannya dan rasa nasionalisnya yang tinggi. Produk suara dari gesekan biola Idris Sardi begitu dekat di hati dan menginspirasi bangsa ini mencintai biola.
“Anak ajaib” itu, adalah pemusik luar biasa, sang inspirator yang “tenar” dan terus “laris manis” sepanjang usianya. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
“Saya main untuk orang lain, saya tidak pernah bisa main yang saya mau. Saya belum puas. ……..Saya ingin membahagiakan banyak orang. PR saya adalah bagaimana berkomunikasi dengan hadirin penikmat,” ujarnya seperti dikutp dalam buku 5 Langkah Mahakarya, tulisan Muhammad Musrofi.
Terinspirasi Biola dari Idris Sardi
Ratusan ribu, mungkin jutaan anak-anak muda Indonesia terinspirasi biola dari Idris Sardi. Idris Sardi yang gemar melantunkan lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu romantis pop nasional melalui gesekan biolanya membangkitkan kebanggaan dan dekat di hati. Lagu-lagu nasional kita begitu berwibawa dan enak didengar melalui gesekan biolanya.
Saya sangat terkesan ketika menonton wawancara Idris Sardi di stasion televisi swasta TVOne. Seorang pengamen jalanan yang memainkan alat musik biola mengaku terinspirasi memainkan biola dari Idris Sardi. “Inspirator saya adalah Pak Idris Sardi,” katanya.
Usia pengamen itu 20-30 tahun dan itu terjadi di tahun 2013. Artinya, hingga akhir khayatnya, pengaruh permainan biola Idris Sardi masih mendominasi bangsa ini Dia masih menjadi inspirator musik biola bagi generasi yang jauh di bawah usianya.
Memutar memori 30-an tahun lalu, saat masih menjadi siswa SMA 22 Jakarta akhir 1970-an, nama Idris Sardi begitu melekat di kalangan anak muda di kota Metropolitan itu, karena permainan biolanya. Selain permainan biolanya, semasa kuliah di era 80-an, lagu Sound Track Film Christina, menjadi pembicaraan di rumah-rumah kos, di tempat kuliah maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Saya mengenal dan mencintai suara biola dari Idris Sardi. Hingga kini bunyi biola yang saya kenal dimainkan di Indonesia adalah biola Idris Sardi. Saya suka biola, tetapi hanya biola yang dimainkan Idris Sardi. Saya tidak mengenal banyak pemain biola yang memiliki ciri khas sendiri di negeri ini. Mungkin banyak orang seperti saya. Hanya menggambarkan betapa istimewanya biola Idris Sardi.
Hingga akhir khayatnya, 2014, Idris Sardi masih menampilkan permainan prima. Idris Sardi dengan biolanya masih mewarnai hidup saya, terutama sejak youtube ditemukan dan menikmati musiknya melalui youtube. Bisa menyaksikan beberapa produk musik atau konsernya di berbagai tempat.
Misalnya menikmati video konsernya di Gedung Perpustakaan Nasional, Desember 2013.
Idris Sardi selalu di hati penggemarnya hingga akhir hayatnya. Legendaris. Bahkan menurut cerita putri tertuanya Santi Sardi kepada media televisi, ayahnya yang berusia 75 tahun itu masih memiliki beberapa jadwal konser di Malaysia. Luar biasa.
Pemain biola Indonesia yang khas di hati saya adalah Idris Sardi. Bahkan ketenaran seorang pemain biola seperti Maylaffayza Wiguna, yang terkenal kepiawaiannya memainkan alat musik biola belum mampu menggaet hati seluas pengaruh gesekan biola Idris Sardi. Maylaffayza Wiguna adalah salah seorang pemain biola polesan Idris Sardi. Mungkin saya terlalu subjektif, tapi itulah kenyataannya.
Bermain Biola Sejak Usia 6 Tahun
Idris Sardi lahir dari keluarga seniman. Ayahnya Mas Sardi adalah violis pertama dari Orkes RRI Studio Jakarta pimpinan pemusik terkenal Saiful Bachri. Ayahnya belajar musik dari para pemusik Eropa. Sang Sang ayah mengajarnya sangat keras bermain biola. Belajar sejak pukul lima pagi, dilakoni dengan disiplin, ketekunan dan kecintaan terhadap biola itu sendiri.
Dia memulai bermain biola sejak usia 6 tahun. Setelah dipoles ayahnya selama setahun, dan kemudian dijari guru-gurunya, di usia sepuluh tahun, Idris Sardi sudah mendapat sambutan hangat dalam pemunculan pertamanya di Yogyakarta npada 1949.
Peraih penghargaan Life Time Chief Award dari RRI (2009) ini digambarkan seorang anak ajaib. Karena kehebatannya bermain musik, Idris Sardi diterima sebagai siswa Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di usia 14 tahun, padahal persyaratan masuk ke sekolah itu harus lulus SMP. Dia bisa duduk bersanding dalam sebuah concert yang rata-rata di atas usianya dua tahun.
Di Yogyakarta, guru biola Idris Sardi adalah George Setet. Selain itu dia juga belajar dari musikus asing seperti Nikolai Varvolomijeff (Rusia), Hendrick Tordasi dan Frank Sabo (Hongaria), Boomer (Jerman), Keney (inggeris), Madanie Renee Tovanos (Prancis), dan Henk Te Straake (Belanda).
Ketika ayahnya meninggal pada 1954, Idris dalam usia 16 tahun harus menggantikan kedudukan itu, sebagai violis dari Orkes RRI Studio Jakarta.
Pada 1962, Idris Sardi bersama Bing Slamet membentuk Grup Band Eka Sapta. Grup Band itu pernah dikirim Soekarno dalam missi kesenian ke Irian Jaya.
Selama kariernya di dunia musik, Idris Sardi tidak hanya bermain musik tetapi juga menggubah lagu. Sejak 1960, Idrsis Sardi menghasilkan lebih dari 300 karya, beberapa film seperti Pesta Musik La bana (1960), Bernafas dalam Lumpur (1984), Doea Tanda Mata (1985), Tjoet Nyak Dhien (1988), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1990). Idris juga sudah membuat lebih dari 130 episode sinetron. (5 Langkah Melahirkan Mahakarya, Muhammad Musrofi). .
Beberapa lagu yang diciptakannya misalnya Christina yang dinyanyikan penyanyi Pop Indonesia Rafika Duri dan menjadi sound track film Christina (1984).
Pro Deo et Patria: Untuk Tuhan dan Indonesia
Pemimpin Orchestra TNI Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel CAJ ini lebih memilih Indonesia sebagai tempatnya berkarya. Meski banyak tawaran-tawaran dari berbagai negara agar dia mengajar atau bermain musik di sana.
“Saya masih belajar dan di sini masih butuh pelajaran, ngapain saya harus pergi ke sana (ke luar negeri)”, kata Idris Sardi. Sebuah sikap seniman yang pantas menjadi teladan dari Idris Sardi.
Menurut Idris Sardi, berkarya itu hanya untuk dua hal, untuk Tuhan dan bangsa ini, yang dalam bahasa Latin disebut Pro Deo et Patria. “Berkarya itu hanya untuk dua hal, yakni untuk Tuhan dan Indonesia” kata Idris Sardi di TVOne.
Berkarya adalah sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. “Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan talenta besar kepada saya….” Katanya.
Seniman memang butuh uang. Tetapi harus memiliki karya. “Beda karya dengan cari uang. Karya itu akan selalu diingat. Itu mungkin membuat ayah terus berkarya hingga usia tua”, ujar Lukman Sardi dalam wawancara di TVOne mendamping ayahnya.
Itulah keistimewaan pria yang menjalani kariernya lebih dari 50 tahun di dunia musik. Permainan musiknya telah mendidik negeri ini mencintai musik, khususnya biola, menghasilkan karya-karya yang bisa kita nikmati, menelurkan pemain-pemain musik, penyanyi-penyanyi baru.
Kesedihan mengantarkan Idris Sardi ke peristirahatannya yang terakhir. Kita semua bersedih, sesedih perasaannya di dalam lagu Christina ciptaan Idris Sardi. Berikut cuplikan lagu Christina mengakhiri artikel ini.
……………………………
Di ujung malam yang kelabu
Kini embun kering di mentari pagi
Sekering Air Mata hari ini
Kubiarkan hari berlalu
Berganti hari sepi
Namun kasihmu adalah kasihku
Cintamu adalah cintaku
……………………………….
Cinta kita adalah satu, Cinta Indonesia.
Sayang, keinginanmu menggelar konser di Malaysia, keinginan bermain musik bareng dengan anak-anakmu tidak akan pernah kesampaian. Kini sang Maestro beristirahat di TPU Menteng Pulo Jakarta. Penggemarmu, orang-orang yang mencintaimu tidak lagi bisa menikmati karya-karya barumu.
Selamat Jalan Idris Sardi, terima kasih atas keteladanan serta karya biolamu yang masih dapat kami nikmati setiap hari. Semoga muncul Idris Sardi-Idris Sardi baru di bumi pertiwi kita ini. ***
http://analisadaily.com/news/read/si-biola-maut-sang-inspirator/25698/2014/04/29
Dunia musik Indonesia, penggemar Idris Sardi berduka. Maestro biola Indonesia itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya, Senin, 28 April 2014, pukul 07.25. Kita tidak bisa lagi menyaksikannya pesonanya beraksi memainkan biolanya melantunkan lagu-lagu pahlawan, lagu-lagu romantik yang menyentuh dan melembutkan hati, kita tidak lagi menikmati karya-karya barunya.
“Tiada lagi kata mesra, tiada lagi gelak tawa” sebuah cuplikan lagu Christina karya Idris Sardi melukiskan kepergiannya, kesedihan karena kehilangan seorang idola.
Pria kelahiran Jakarta 7 Juni 1938 ini menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Meilia, Cibubur, Jakarta. Berita kematiannya dengan cepat beredar di berbagai media sekitar pukul 08.00 pagi. Televisi, mediaonline secara serentak memberitakan kabar duka itu.
Idris Sardi begitu istimewa di hati bangsa ini. Dia dikenal sebagai maestro biola. Selain dikenal sebagai pemain biola, dia juga adalah seorang komponis dan illustrator musik film yang memenangi 10 Piala Citra. Penghargaan tertinggi atas aktor-aktris film terbaik Indonesia.
Dengan biolanya ayah Lukman Sardi, Santi Sardi, Ajeng Sardi ini memainkan lagu-lagu nasional dan lagu-lagu romantik. Rasa sebuah lagu begitu berbeda, ketika gesekan biolanya mengalunkan sebuah lagu. Gesekan biolanya banyak memainkan lagu-lagu perjuangan yang begitu melekat di hati bangsa ini. Dia acapkali memainkan lagu-lagu perjuangan “Gugur Pahlawan”, atau lagu-lagu lain.
Ciri keindonesiaannya dan rasa nasionalisnya yang tinggi. Produk suara dari gesekan biola Idris Sardi begitu dekat di hati dan menginspirasi bangsa ini mencintai biola.
“Anak ajaib” itu, adalah pemusik luar biasa, sang inspirator yang “tenar” dan terus “laris manis” sepanjang usianya. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
“Saya main untuk orang lain, saya tidak pernah bisa main yang saya mau. Saya belum puas. ……..Saya ingin membahagiakan banyak orang. PR saya adalah bagaimana berkomunikasi dengan hadirin penikmat,” ujarnya seperti dikutp dalam buku 5 Langkah Mahakarya, tulisan Muhammad Musrofi.
Terinspirasi Biola dari Idris Sardi
Ratusan ribu, mungkin jutaan anak-anak muda Indonesia terinspirasi biola dari Idris Sardi. Idris Sardi yang gemar melantunkan lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu romantis pop nasional melalui gesekan biolanya membangkitkan kebanggaan dan dekat di hati. Lagu-lagu nasional kita begitu berwibawa dan enak didengar melalui gesekan biolanya.
Saya sangat terkesan ketika menonton wawancara Idris Sardi di stasion televisi swasta TVOne. Seorang pengamen jalanan yang memainkan alat musik biola mengaku terinspirasi memainkan biola dari Idris Sardi. “Inspirator saya adalah Pak Idris Sardi,” katanya.
Usia pengamen itu 20-30 tahun dan itu terjadi di tahun 2013. Artinya, hingga akhir khayatnya, pengaruh permainan biola Idris Sardi masih mendominasi bangsa ini Dia masih menjadi inspirator musik biola bagi generasi yang jauh di bawah usianya.
Memutar memori 30-an tahun lalu, saat masih menjadi siswa SMA 22 Jakarta akhir 1970-an, nama Idris Sardi begitu melekat di kalangan anak muda di kota Metropolitan itu, karena permainan biolanya. Selain permainan biolanya, semasa kuliah di era 80-an, lagu Sound Track Film Christina, menjadi pembicaraan di rumah-rumah kos, di tempat kuliah maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Saya mengenal dan mencintai suara biola dari Idris Sardi. Hingga kini bunyi biola yang saya kenal dimainkan di Indonesia adalah biola Idris Sardi. Saya suka biola, tetapi hanya biola yang dimainkan Idris Sardi. Saya tidak mengenal banyak pemain biola yang memiliki ciri khas sendiri di negeri ini. Mungkin banyak orang seperti saya. Hanya menggambarkan betapa istimewanya biola Idris Sardi.
Hingga akhir khayatnya, 2014, Idris Sardi masih menampilkan permainan prima. Idris Sardi dengan biolanya masih mewarnai hidup saya, terutama sejak youtube ditemukan dan menikmati musiknya melalui youtube. Bisa menyaksikan beberapa produk musik atau konsernya di berbagai tempat.
Misalnya menikmati video konsernya di Gedung Perpustakaan Nasional, Desember 2013.
Idris Sardi selalu di hati penggemarnya hingga akhir hayatnya. Legendaris. Bahkan menurut cerita putri tertuanya Santi Sardi kepada media televisi, ayahnya yang berusia 75 tahun itu masih memiliki beberapa jadwal konser di Malaysia. Luar biasa.
Pemain biola Indonesia yang khas di hati saya adalah Idris Sardi. Bahkan ketenaran seorang pemain biola seperti Maylaffayza Wiguna, yang terkenal kepiawaiannya memainkan alat musik biola belum mampu menggaet hati seluas pengaruh gesekan biola Idris Sardi. Maylaffayza Wiguna adalah salah seorang pemain biola polesan Idris Sardi. Mungkin saya terlalu subjektif, tapi itulah kenyataannya.
Bermain Biola Sejak Usia 6 Tahun
Idris Sardi lahir dari keluarga seniman. Ayahnya Mas Sardi adalah violis pertama dari Orkes RRI Studio Jakarta pimpinan pemusik terkenal Saiful Bachri. Ayahnya belajar musik dari para pemusik Eropa. Sang Sang ayah mengajarnya sangat keras bermain biola. Belajar sejak pukul lima pagi, dilakoni dengan disiplin, ketekunan dan kecintaan terhadap biola itu sendiri.
Dia memulai bermain biola sejak usia 6 tahun. Setelah dipoles ayahnya selama setahun, dan kemudian dijari guru-gurunya, di usia sepuluh tahun, Idris Sardi sudah mendapat sambutan hangat dalam pemunculan pertamanya di Yogyakarta npada 1949.
Peraih penghargaan Life Time Chief Award dari RRI (2009) ini digambarkan seorang anak ajaib. Karena kehebatannya bermain musik, Idris Sardi diterima sebagai siswa Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di usia 14 tahun, padahal persyaratan masuk ke sekolah itu harus lulus SMP. Dia bisa duduk bersanding dalam sebuah concert yang rata-rata di atas usianya dua tahun.
Di Yogyakarta, guru biola Idris Sardi adalah George Setet. Selain itu dia juga belajar dari musikus asing seperti Nikolai Varvolomijeff (Rusia), Hendrick Tordasi dan Frank Sabo (Hongaria), Boomer (Jerman), Keney (inggeris), Madanie Renee Tovanos (Prancis), dan Henk Te Straake (Belanda).
Ketika ayahnya meninggal pada 1954, Idris dalam usia 16 tahun harus menggantikan kedudukan itu, sebagai violis dari Orkes RRI Studio Jakarta.
Pada 1962, Idris Sardi bersama Bing Slamet membentuk Grup Band Eka Sapta. Grup Band itu pernah dikirim Soekarno dalam missi kesenian ke Irian Jaya.
Selama kariernya di dunia musik, Idris Sardi tidak hanya bermain musik tetapi juga menggubah lagu. Sejak 1960, Idrsis Sardi menghasilkan lebih dari 300 karya, beberapa film seperti Pesta Musik La bana (1960), Bernafas dalam Lumpur (1984), Doea Tanda Mata (1985), Tjoet Nyak Dhien (1988), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1990). Idris juga sudah membuat lebih dari 130 episode sinetron. (5 Langkah Melahirkan Mahakarya, Muhammad Musrofi). .
Beberapa lagu yang diciptakannya misalnya Christina yang dinyanyikan penyanyi Pop Indonesia Rafika Duri dan menjadi sound track film Christina (1984).
Pro Deo et Patria: Untuk Tuhan dan Indonesia
Pemimpin Orchestra TNI Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel CAJ ini lebih memilih Indonesia sebagai tempatnya berkarya. Meski banyak tawaran-tawaran dari berbagai negara agar dia mengajar atau bermain musik di sana.
“Saya masih belajar dan di sini masih butuh pelajaran, ngapain saya harus pergi ke sana (ke luar negeri)”, kata Idris Sardi. Sebuah sikap seniman yang pantas menjadi teladan dari Idris Sardi.
Menurut Idris Sardi, berkarya itu hanya untuk dua hal, untuk Tuhan dan bangsa ini, yang dalam bahasa Latin disebut Pro Deo et Patria. “Berkarya itu hanya untuk dua hal, yakni untuk Tuhan dan Indonesia” kata Idris Sardi di TVOne.
Berkarya adalah sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. “Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan talenta besar kepada saya….” Katanya.
Seniman memang butuh uang. Tetapi harus memiliki karya. “Beda karya dengan cari uang. Karya itu akan selalu diingat. Itu mungkin membuat ayah terus berkarya hingga usia tua”, ujar Lukman Sardi dalam wawancara di TVOne mendamping ayahnya.
Itulah keistimewaan pria yang menjalani kariernya lebih dari 50 tahun di dunia musik. Permainan musiknya telah mendidik negeri ini mencintai musik, khususnya biola, menghasilkan karya-karya yang bisa kita nikmati, menelurkan pemain-pemain musik, penyanyi-penyanyi baru.
Kesedihan mengantarkan Idris Sardi ke peristirahatannya yang terakhir. Kita semua bersedih, sesedih perasaannya di dalam lagu Christina ciptaan Idris Sardi. Berikut cuplikan lagu Christina mengakhiri artikel ini.
……………………………
Di ujung malam yang kelabu
Kini embun kering di mentari pagi
Sekering Air Mata hari ini
Kubiarkan hari berlalu
Berganti hari sepi
Namun kasihmu adalah kasihku
Cintamu adalah cintaku
……………………………….
Cinta kita adalah satu, Cinta Indonesia.
Sayang, keinginanmu menggelar konser di Malaysia, keinginan bermain musik bareng dengan anak-anakmu tidak akan pernah kesampaian. Kini sang Maestro beristirahat di TPU Menteng Pulo Jakarta. Penggemarmu, orang-orang yang mencintaimu tidak lagi bisa menikmati karya-karya barumu.
Selamat Jalan Idris Sardi, terima kasih atas keteladanan serta karya biolamu yang masih dapat kami nikmati setiap hari. Semoga muncul Idris Sardi-Idris Sardi baru di bumi pertiwi kita ini. ***
http://analisadaily.com/news/read/si-biola-maut-sang-inspirator/25698/2014/04/29
Senin, 28 April 2014
Dokter di Penang dan Medan Menyerah
Oleh: Jannerson Girsang
Sang suami menunggu istri yang hanya dibantu alat pernafasan dan infus. Lelah sudah menjalani pengobatan berbulan-bulan, bahkan hingga ke Penang.
Faktanya, tidak ada perubahan. Hingga tadi malam, nafsu makan istri hampir sirna. Susah bernafas, dan bicara. Tidak lagi mengenal orang yang datang menjenguknya.
Keluarga sudah membawanya ke rumah, karena dokter di Penang atau di Medan sudah menyerah,
Saya membayangkan dirinya kalau menerawang akan hal terburuk terjadi terhadap istrinya.
Itulah suasana yang dihadapi teman saya, Sehat Jawak tadi malam, saat menemuinya di rumahnya di daerah Lona, Medan, menjelang tengah malam (31 Maret 2014).
Tapi saya salut melihatnya tetap tegar. Padahal dia masih mengurus anak-anak yang sebagian belum berkeluarga, menjaga keutuhan keluarga yang sudah lelah merawat selama berbulan-bulan.
Yang jelas, uang berobat selama berbulan-bulan sudah menguras tabungan selama ini. Sementara pemasukan tidak seperti sediakala.
Kalau sendirian tidur tengah malam, tentu tidak bisa tidak, pasti kadang muncul suasana ngeri atau susah tidur. Saat waktu makan tiba, mungkin harus menyediakan makan sendiri. Makan tidak teratur.
Tetapi dia tampak tabah. "Saya sudah pasrah lae. Tapi kekuatan doa membuat saya mampu,"ujarnya.
Andaikata saya menghadapi situasi demikian, belum tentu juga sekuat teman saya.
Hidup tidak bisa sendiri, harus saling menopang, saling mendukung. Tuhan juga meminta kita demikian. Itulah pelajaran kita dalam hidup ini. Kita saling membutuhkan.
Saya bersyukur, dia meminta Pendeta dan rekan-reman melakukan Perjamuan Kudus (HBN) untuk istrinya, sekitar pukul 00.00. Menyerahkan istrinya--teman saya bermain di masa kecil, yang sedang sakit parah. Berserah kepada Tuhan, situasi sulit yang sedang di depan mata.
Itulah tindakan yang tepat, saat kita tidak memiliki apa-apa lagi, saat kita buntu melakukan tindakan. Mungkin akan ada inspirasi baru sesudah itu.
Suasana-suasana seperti ini, merupakan pelajaran berharga bagi saya, mungkin juga bagi kita semua, kalau suatu ketika menghadapi masalah yang sama.
Berkali-kali saya menjenguk orang sakit, melihat situasi di sekitarnya, menjadikannya infus rohani yang saling menguatkan.
Setegar-tegarnya kita sekarang ini akan menghadapi masalah yang hampir sama. Kita membutuhkan pertolongan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi perhatian.
Saya salut melihatnya tetap tegar dan anak-anaknya dengan segala kemampuan masing-masing mendukungnya setiap saat.
Salut melihat keluarga muda Sy Enni Jawak--putri tertua mereka yang sejak muda sudah sangat aktif mengajar anak-anak, membina pemuda, dan suaminya Hendra Sipayung yang semasa mudanya adalah aktivis pemuda.
Mereka adalah contoh anak Tuhan yang dengan tulus memberi kasih sayang kepada orang tuanya, memberi kekuatan baru bagi ayahnya yang sedang susah.
Semoga doa-doa kami diterima, keluarga tetap tabah dan senantiasa bersukacita dalam Tuhan.
Ketika semuanya sudah hilang, dokter sudah menyerah, maka jangan takut.
Masih ada kekuatan lain yang setiap saat bersedia menolong kita. Jangan melupakan kekuatan itu ketika kita masih segar bugar, bukan hanya ketika suasana kita lemah.
Latihan rohani diperlukan setiap hari, setiap saat. Karena setiap saat situasi demikian bisa menimpa kita juga.
Eni Ramayanti JAwak, Patricia Girsang, Clara Girsang, Devee Girsang, Hendra Tasmanda
Note: Akhirnya Usmirita br Purba, meninggal di Rumah Sakit Adam Malik, 2 April 2014 malam. Selamat jalan boto.
Semoga laeku Sehat Jawak dan semua anak-anak tabah menghadapi situasi sedih ini. Saya hanya sempat menyalami kalian sesudah botoku di Ambulance dan sudah dalam perjalanan keluar dari gerbang RS Adam Malik, pukul 20.45.
Sedih melihat anak-anakmu, menantumu, laeku yang sudah berbulan-bulan tidak tenang menghadapi penyakitmu boto.
Saya belum melihat wajahmu yang sudah tenang, matamu yang tak berkedip, tidak lagi mengeluh kesakitan seperti malam terakhir saya menemuimu. Tidak ada lagi emosimu seperti malam terakhir menyambutku kalau saya datang nanti menemuimu. Ingat wajah lugumu saat kita bermain puluhan tahun yang lalu.
Malam ini kau akhiri semuanya. Kau meninggalkan kami menjelang minggu tenang Pileg 2014. Kau tidak sudi melihat para caleg yang akan kita pilih. Mungkin kau benci karena banyak money politik.
Selamat jalan temanku, selamat meninggalkan dunia yang penuh tipi daya ini. Tenanglah bersama Tuhan sang Penciptamu di tempat terbaik yang diberikanNya.
Rita akhirnya dikebumikan 4 April 2014 di desa Rakutbesi, 110 km sebelah Selatan Medan. Saya bersama teman-teman gereja menghadiri acara penghormatan terakhir temanku itu.
Sang suami menunggu istri yang hanya dibantu alat pernafasan dan infus. Lelah sudah menjalani pengobatan berbulan-bulan, bahkan hingga ke Penang.
Faktanya, tidak ada perubahan. Hingga tadi malam, nafsu makan istri hampir sirna. Susah bernafas, dan bicara. Tidak lagi mengenal orang yang datang menjenguknya.
Keluarga sudah membawanya ke rumah, karena dokter di Penang atau di Medan sudah menyerah,
Saya membayangkan dirinya kalau menerawang akan hal terburuk terjadi terhadap istrinya.
Itulah suasana yang dihadapi teman saya, Sehat Jawak tadi malam, saat menemuinya di rumahnya di daerah Lona, Medan, menjelang tengah malam (31 Maret 2014).
Tapi saya salut melihatnya tetap tegar. Padahal dia masih mengurus anak-anak yang sebagian belum berkeluarga, menjaga keutuhan keluarga yang sudah lelah merawat selama berbulan-bulan.
Yang jelas, uang berobat selama berbulan-bulan sudah menguras tabungan selama ini. Sementara pemasukan tidak seperti sediakala.
Kalau sendirian tidur tengah malam, tentu tidak bisa tidak, pasti kadang muncul suasana ngeri atau susah tidur. Saat waktu makan tiba, mungkin harus menyediakan makan sendiri. Makan tidak teratur.
Tetapi dia tampak tabah. "Saya sudah pasrah lae. Tapi kekuatan doa membuat saya mampu,"ujarnya.
Andaikata saya menghadapi situasi demikian, belum tentu juga sekuat teman saya.
Hidup tidak bisa sendiri, harus saling menopang, saling mendukung. Tuhan juga meminta kita demikian. Itulah pelajaran kita dalam hidup ini. Kita saling membutuhkan.
Saya bersyukur, dia meminta Pendeta dan rekan-reman melakukan Perjamuan Kudus (HBN) untuk istrinya, sekitar pukul 00.00. Menyerahkan istrinya--teman saya bermain di masa kecil, yang sedang sakit parah. Berserah kepada Tuhan, situasi sulit yang sedang di depan mata.
Itulah tindakan yang tepat, saat kita tidak memiliki apa-apa lagi, saat kita buntu melakukan tindakan. Mungkin akan ada inspirasi baru sesudah itu.
Suasana-suasana seperti ini, merupakan pelajaran berharga bagi saya, mungkin juga bagi kita semua, kalau suatu ketika menghadapi masalah yang sama.
Berkali-kali saya menjenguk orang sakit, melihat situasi di sekitarnya, menjadikannya infus rohani yang saling menguatkan.
Setegar-tegarnya kita sekarang ini akan menghadapi masalah yang hampir sama. Kita membutuhkan pertolongan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi perhatian.
Saya salut melihatnya tetap tegar dan anak-anaknya dengan segala kemampuan masing-masing mendukungnya setiap saat.
Salut melihat keluarga muda Sy Enni Jawak--putri tertua mereka yang sejak muda sudah sangat aktif mengajar anak-anak, membina pemuda, dan suaminya Hendra Sipayung yang semasa mudanya adalah aktivis pemuda.
Mereka adalah contoh anak Tuhan yang dengan tulus memberi kasih sayang kepada orang tuanya, memberi kekuatan baru bagi ayahnya yang sedang susah.
Semoga doa-doa kami diterima, keluarga tetap tabah dan senantiasa bersukacita dalam Tuhan.
Ketika semuanya sudah hilang, dokter sudah menyerah, maka jangan takut.
Masih ada kekuatan lain yang setiap saat bersedia menolong kita. Jangan melupakan kekuatan itu ketika kita masih segar bugar, bukan hanya ketika suasana kita lemah.
Latihan rohani diperlukan setiap hari, setiap saat. Karena setiap saat situasi demikian bisa menimpa kita juga.
Eni Ramayanti JAwak, Patricia Girsang, Clara Girsang, Devee Girsang, Hendra Tasmanda
Note: Akhirnya Usmirita br Purba, meninggal di Rumah Sakit Adam Malik, 2 April 2014 malam. Selamat jalan boto.
Semoga laeku Sehat Jawak dan semua anak-anak tabah menghadapi situasi sedih ini. Saya hanya sempat menyalami kalian sesudah botoku di Ambulance dan sudah dalam perjalanan keluar dari gerbang RS Adam Malik, pukul 20.45.
Sedih melihat anak-anakmu, menantumu, laeku yang sudah berbulan-bulan tidak tenang menghadapi penyakitmu boto.
Saya belum melihat wajahmu yang sudah tenang, matamu yang tak berkedip, tidak lagi mengeluh kesakitan seperti malam terakhir saya menemuimu. Tidak ada lagi emosimu seperti malam terakhir menyambutku kalau saya datang nanti menemuimu. Ingat wajah lugumu saat kita bermain puluhan tahun yang lalu.
Malam ini kau akhiri semuanya. Kau meninggalkan kami menjelang minggu tenang Pileg 2014. Kau tidak sudi melihat para caleg yang akan kita pilih. Mungkin kau benci karena banyak money politik.
Selamat jalan temanku, selamat meninggalkan dunia yang penuh tipi daya ini. Tenanglah bersama Tuhan sang Penciptamu di tempat terbaik yang diberikanNya.
Rita akhirnya dikebumikan 4 April 2014 di desa Rakutbesi, 110 km sebelah Selatan Medan. Saya bersama teman-teman gereja menghadiri acara penghormatan terakhir temanku itu.
Guru Besar dengan Satu Artikel Per Hari
Oleh: Jannerson Girsang
Seorang guru besar Universitas Islam Negeri Malang, secara disiplin menulis satu artikel ke websitenya, setiap usai sembahyang subuh.
Kini websitenya berisi lebih dari 2000 artikel, dan artikel terakhirnya, 26 Maret 2014 berjudul: Memilih Pemimpin Terbaik.
Atas ketekunannya, Prof Dr Imam Suprayogo, sang profesor itu, dianugerahi Muri Indonesia, karena "Konsistensi Menulis Satu Artikel setiap Hari tanpa Jeda".
Sibuk dengan berjibun tugas sebagai guru besar dan rektor sebuah perguruan tinggi, tidak menjadi alasan bagi sang Professor untuk tidak menulis setiap hari.
Mungkin, setelah menulis beliau merasa damai di hatinya.
Hayo, damaikan hati Anda dengan tulisan sederhana. Bagaimana kita?
Rinto Tampubolon, Roy Martin Simamora, Maruntung Sihombing, Rindu Rumapea, Eka Handayani Ginting, Eka Azwin Lubis, Zahrani Rara, Jan Roi Purba, Zudika Manullang, Kartini Zalukhu, Noverlist Chandra, Onlyhu Ndraha, Iman Lase, Irwanto Hulu, Desty Hulu, Yason Hulu, Irma Sally Tampubolon dan teman-teman lainnya.
Salut buat suhu kita Posman Sibuea, Albiner Siagian, guru besar yang sangat sibuk dan tapi tak lupa menulis di media cetak dan menulis buku, Guru Etos Jansen Sinamo yang terus memproduksi buku, di tengah kesibukannya mencerdaskan bangsa ini, dan saat ini sedang memasarkan buku barunya, abang kita Budi Hutasuhut yang menghibur dan membuka mata kita bulan ini dengan cerpennya: Menuju Jalan Bahagia di majalah Horison, Liven Riawaty, Lim Rosni dengan cerpen-cerpen dan buku-bukunya yang menginspirasi kita, Lea Willsen penulis berhati baja, lae Fadmin Malau Malau, penulis artikel yang sangat produktif, Lucya Chriz yang mengasilkan Novel Amang Parsinuan, kisah lokal yang luar biasa.
26 Maret 2014
Seorang guru besar Universitas Islam Negeri Malang, secara disiplin menulis satu artikel ke websitenya, setiap usai sembahyang subuh.
Kini websitenya berisi lebih dari 2000 artikel, dan artikel terakhirnya, 26 Maret 2014 berjudul: Memilih Pemimpin Terbaik.
Atas ketekunannya, Prof Dr Imam Suprayogo, sang profesor itu, dianugerahi Muri Indonesia, karena "Konsistensi Menulis Satu Artikel setiap Hari tanpa Jeda".
Sibuk dengan berjibun tugas sebagai guru besar dan rektor sebuah perguruan tinggi, tidak menjadi alasan bagi sang Professor untuk tidak menulis setiap hari.
Mungkin, setelah menulis beliau merasa damai di hatinya.
Hayo, damaikan hati Anda dengan tulisan sederhana. Bagaimana kita?
Rinto Tampubolon, Roy Martin Simamora, Maruntung Sihombing, Rindu Rumapea, Eka Handayani Ginting, Eka Azwin Lubis, Zahrani Rara, Jan Roi Purba, Zudika Manullang, Kartini Zalukhu, Noverlist Chandra, Onlyhu Ndraha, Iman Lase, Irwanto Hulu, Desty Hulu, Yason Hulu, Irma Sally Tampubolon dan teman-teman lainnya.
Salut buat suhu kita Posman Sibuea, Albiner Siagian, guru besar yang sangat sibuk dan tapi tak lupa menulis di media cetak dan menulis buku, Guru Etos Jansen Sinamo yang terus memproduksi buku, di tengah kesibukannya mencerdaskan bangsa ini, dan saat ini sedang memasarkan buku barunya, abang kita Budi Hutasuhut yang menghibur dan membuka mata kita bulan ini dengan cerpennya: Menuju Jalan Bahagia di majalah Horison, Liven Riawaty, Lim Rosni dengan cerpen-cerpen dan buku-bukunya yang menginspirasi kita, Lea Willsen penulis berhati baja, lae Fadmin Malau Malau, penulis artikel yang sangat produktif, Lucya Chriz yang mengasilkan Novel Amang Parsinuan, kisah lokal yang luar biasa.
26 Maret 2014
Membungkus Tubuh dengan Plastik, Menghancurkan Lemak
Oleh: Jannerson Girsang
Beberapa ratus meter menjelang tiba di rumah, sepulang dari jalan pagi, hari ini, saya bertemu seorang pria berusia mungkin sekitar 55-60 tahun. Dia duduk di atas dinding jembatan.
"Kenapa badannya dibungkus Pak?" ujar saya heran. Badannya dibungkus dengan jaket plastik, hingga kepala.
"Supaya keringat dan lemak di badan hancur,"katanya senyum dan yakin akan apa yang dilakukannya.
"Buka aja Pak, biar dapat sinar matahari pagi,"saran saya.
Kebetulan sinar matahari pagi sedang terik-teriknya, dan menurut pelajaran IPA di SD dulu, guru saya bilang itu bagus untuk menguatkan tulang.
Saya berlalu dengan heran, meninggalkan bapak itu berkeringat, menikmati bungkusan jaket plastiknya.
Keringat yang keluar dengan membungkus badan dengan plastik dapat menghancurkan lemak (?).
Saya bukan ahli kesehatan. Mudah-mudahan orang tua itu benar. Jangan-jangan inilah filosofi OUKUP yang marak di Medan.
Tapi saya tetap yakin, melakukan jalan kaki 4.3 kilometer (sekitar 1 jam) sehari lebih sehat.
Medan 28 April 2014
Beberapa ratus meter menjelang tiba di rumah, sepulang dari jalan pagi, hari ini, saya bertemu seorang pria berusia mungkin sekitar 55-60 tahun. Dia duduk di atas dinding jembatan.
"Kenapa badannya dibungkus Pak?" ujar saya heran. Badannya dibungkus dengan jaket plastik, hingga kepala.
"Supaya keringat dan lemak di badan hancur,"katanya senyum dan yakin akan apa yang dilakukannya.
"Buka aja Pak, biar dapat sinar matahari pagi,"saran saya.
Kebetulan sinar matahari pagi sedang terik-teriknya, dan menurut pelajaran IPA di SD dulu, guru saya bilang itu bagus untuk menguatkan tulang.
Saya berlalu dengan heran, meninggalkan bapak itu berkeringat, menikmati bungkusan jaket plastiknya.
Keringat yang keluar dengan membungkus badan dengan plastik dapat menghancurkan lemak (?).
Saya bukan ahli kesehatan. Mudah-mudahan orang tua itu benar. Jangan-jangan inilah filosofi OUKUP yang marak di Medan.
Tapi saya tetap yakin, melakukan jalan kaki 4.3 kilometer (sekitar 1 jam) sehari lebih sehat.
Medan 28 April 2014
Jalan Hidup
Oleh: Jannerson Girsang
Kemanakah Anda hari Minggu?.
Orang Kristen diwajibkan ke gereja pada hari Minggu. Itulah jalan yang harus dijalaninya hari ini.
Orang yang melaksanakannya berarti tau jalan yang harus ditempuhnya. Dia paham bahwa di sana ada sukacita berlimpah-limpah. Karena itulah janji bagi orang yang melakukannya.
Banyak orang yang menjalani jalan yang dipilihnya, tetapi tidak bersuka cita. Padahal, jalan itu menjanjikan sukacita.
Seringkali kita lupa rambu-rambunya. Tidak asal berjalan, tidak asal ke gereja.
Ke gereja memakai perhiasan yang "menyolok" akan membuat perasaan orang lain iri dan tidak nyaman.
Anda memarkir kenderaan di jalan di depan gereja membuat macet dan mengganggu orang lain lewat, itu bukan cara yang benar.
Anda ribut ketika pendeta menyampaikan khotbah itu bukan cara yang benar.
Mengikuti kebaktian hanya melihat kesalahan jalannya kebaktian, model pakaian orang, cara berpakaian orang yang salah, akan memberi Anda "dukacita", bukan suka cita.
Tampil melayani hanya supaya mendapat pujian, bukan juga cara yang benar.
Itu hanya sebagian kecil contoh rambu-rambu yang dipatuhi ketika orang melakukan kebaktian di gereja.
Salah satu contoh kecil sebuah jalan hidup. Di sana ada rambu-rambu, mana yang ditempuh, mana rambu-rambu yang harus dipatuhi.
Semua dimaksudkan untuk membahagiakan Anda yang melakukannya dan orang lain yang menyaksikannya. Kehadiran kita memberi manfaat bagi orang lain. Pergi tampak punggung, datang tampak muka. Anda bukan hanya "penerima", tetapi juga "pemberi". Anda menjadi bagian yang diperhitungkan, dirindukan.
Kenalilah kebiasaan yang membuat Anda merasa dibutuhkan dan pupuklah kebiasaan itu. Gunakan dan latihlah cara itu, sehingga Anda semakin bersuka cita dan banyak orang merasakan sukacita Anda.
"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, dihadapanMu ada suka cita berlimpah-limpah, di tangan kananMu ada nikmat senantiasa. Mazmur 16:11".
Anda bebas memilih jalan yang Anda tempuh hari ini. Hanya dua kemungkinan hasilnya: mendapatkan suka cita baru yang berlimpah atau menuai tambahan duka cita lama yang berkepanjangan.
27 April 2014
Kemanakah Anda hari Minggu?.
Orang Kristen diwajibkan ke gereja pada hari Minggu. Itulah jalan yang harus dijalaninya hari ini.
Orang yang melaksanakannya berarti tau jalan yang harus ditempuhnya. Dia paham bahwa di sana ada sukacita berlimpah-limpah. Karena itulah janji bagi orang yang melakukannya.
Banyak orang yang menjalani jalan yang dipilihnya, tetapi tidak bersuka cita. Padahal, jalan itu menjanjikan sukacita.
Seringkali kita lupa rambu-rambunya. Tidak asal berjalan, tidak asal ke gereja.
Ke gereja memakai perhiasan yang "menyolok" akan membuat perasaan orang lain iri dan tidak nyaman.
Anda memarkir kenderaan di jalan di depan gereja membuat macet dan mengganggu orang lain lewat, itu bukan cara yang benar.
Anda ribut ketika pendeta menyampaikan khotbah itu bukan cara yang benar.
Mengikuti kebaktian hanya melihat kesalahan jalannya kebaktian, model pakaian orang, cara berpakaian orang yang salah, akan memberi Anda "dukacita", bukan suka cita.
Tampil melayani hanya supaya mendapat pujian, bukan juga cara yang benar.
Itu hanya sebagian kecil contoh rambu-rambu yang dipatuhi ketika orang melakukan kebaktian di gereja.
Salah satu contoh kecil sebuah jalan hidup. Di sana ada rambu-rambu, mana yang ditempuh, mana rambu-rambu yang harus dipatuhi.
Semua dimaksudkan untuk membahagiakan Anda yang melakukannya dan orang lain yang menyaksikannya. Kehadiran kita memberi manfaat bagi orang lain. Pergi tampak punggung, datang tampak muka. Anda bukan hanya "penerima", tetapi juga "pemberi". Anda menjadi bagian yang diperhitungkan, dirindukan.
Kenalilah kebiasaan yang membuat Anda merasa dibutuhkan dan pupuklah kebiasaan itu. Gunakan dan latihlah cara itu, sehingga Anda semakin bersuka cita dan banyak orang merasakan sukacita Anda.
"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, dihadapanMu ada suka cita berlimpah-limpah, di tangan kananMu ada nikmat senantiasa. Mazmur 16:11".
Anda bebas memilih jalan yang Anda tempuh hari ini. Hanya dua kemungkinan hasilnya: mendapatkan suka cita baru yang berlimpah atau menuai tambahan duka cita lama yang berkepanjangan.
27 April 2014
Malam Minggu Memasuki Usia 54
Oleh: Jannerson Girsang
Malam Minggu!
.
Istriku baru saja lewat mejaku menuju tempat cuci membawa piring kotor bekas makanan kami barusan. Terdengar suara air dan gesekan busa cuci-piring-sabun Sun Light. Sekali-sekali terdengar bunyi kertakan, karena ada piring jatuh, atau bergesek.
Kembali berdua, meski sudah punya empat orang anak. Semua anak-anak tinggal di luar kota Medan. Sudah tiga tahun rumah sepi dengan anak-anak.
Saya membayangkan malam minggu anak-anak yang sudah menikah, yang lajang. Pasti berbeda-beda. Malam minggu kami sebelum menikah dulu juga berbeda.
Malam ini kami baru saja selesai makan kecil (karena sebentar lagi ada undangan makan dari teman).
KDI baru saja dinikmati. Kini tidak ada musik, tidak ada suara di rumah. TV sudah dimatikan barusan. Saya menulis dan istri mencuci piring.
Rumah senyap......sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Kita keluar yuk," kata saya barusan.
"Akh bentar lagi aja, satu jam lagi kita berangkat," ujar istri.
Menunggu satu jam, aku buat aja artikel ini, mana tau suatu ketika berguna.
Membayangkan malam Minggu di masa muda, rasanya Malam Minggu di masa tua ini kurang gregetnya. Tak banyak sensasi.
Kegiatan kebanyakan pergi berdua ke rumah keluarga atau teman, ke gereja atau menghadiri rapat, atau menulis saja.
Memutar memori malam minggu ke era 80-an. Sore hari, sepulang praktikum, saya berangkat dari Bogor ke Jakarta. Menumpang bus lewat Jagorawi dengan tiket langganan.
Macet menjelang Jakarta. Merambat hingga terminal Cililitan (Sekarang PGCC).
Sampai di rumah "mantan pacar" di Kramat Jati, Jakarta, istirahat sebentar, langsung menuju Ancol. Naik bus juga!. Tak ada AC, penuh sesak, tapi nyaman, karena CINTA.
Ancol, pantai indah dengan jejeran pohon kelapa dan lampu-lampu yang redup dan membuat suasana sedikit remang.
Deburan ombak Teluk Jakarta serta angin laut yang terasa asin di pipi, membuat kenangan tak terlupakan. Dingin, tapi terasa hangat, miskin tapi terasa kaya.
Menikmati suasana malam Minggu yang sangat romantis selama berjam-jam.
Pulang tengah malam. Almarhum mertua batuk-batuk!
Bogor juga merupakan tempat yang sangat indah dan sejuk dan romantis untuk pasangan kami dulu.
Malam Minggu di masa muda, memang sungguh indah. Rasanya seminggu berlangsung begitu lambat. Kini, malam minggu seperti itu tak akan terulang lagi.
Satu hal yang tidak berubah, aku dan mantan pacarku (istri) tetap bersama di Malam Minggu malam ini.
Bercanda dengan teman-teman, dan mempersiapkan diri untuk kebaktian Minggu esok pagi, dan tugas-tugas gereja di siang hingga sore hari.
Tak ada sensasi, tetapi tetap bahagia. Hampa kemewahan tetapi tetap bersahaja.
Bentar lagi, kami akan keluar berdua.....kembali berdua. Tanpa anak-anak.
Mudah-mudahan Malam Minggu kali ini berkesan. Selamat Malam Minggu teman-teman. Apapun keluhan Anda tadi siang, buatlah malam ini bahagia bersama pasangan, teman Anda!
Medan 26 April 2014.
Malam Minggu!
.
Istriku baru saja lewat mejaku menuju tempat cuci membawa piring kotor bekas makanan kami barusan. Terdengar suara air dan gesekan busa cuci-piring-sabun Sun Light. Sekali-sekali terdengar bunyi kertakan, karena ada piring jatuh, atau bergesek.
Kembali berdua, meski sudah punya empat orang anak. Semua anak-anak tinggal di luar kota Medan. Sudah tiga tahun rumah sepi dengan anak-anak.
Saya membayangkan malam minggu anak-anak yang sudah menikah, yang lajang. Pasti berbeda-beda. Malam minggu kami sebelum menikah dulu juga berbeda.
Malam ini kami baru saja selesai makan kecil (karena sebentar lagi ada undangan makan dari teman).
KDI baru saja dinikmati. Kini tidak ada musik, tidak ada suara di rumah. TV sudah dimatikan barusan. Saya menulis dan istri mencuci piring.
Rumah senyap......sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Kita keluar yuk," kata saya barusan.
"Akh bentar lagi aja, satu jam lagi kita berangkat," ujar istri.
Menunggu satu jam, aku buat aja artikel ini, mana tau suatu ketika berguna.
Membayangkan malam Minggu di masa muda, rasanya Malam Minggu di masa tua ini kurang gregetnya. Tak banyak sensasi.
Kegiatan kebanyakan pergi berdua ke rumah keluarga atau teman, ke gereja atau menghadiri rapat, atau menulis saja.
Memutar memori malam minggu ke era 80-an. Sore hari, sepulang praktikum, saya berangkat dari Bogor ke Jakarta. Menumpang bus lewat Jagorawi dengan tiket langganan.
Macet menjelang Jakarta. Merambat hingga terminal Cililitan (Sekarang PGCC).
Sampai di rumah "mantan pacar" di Kramat Jati, Jakarta, istirahat sebentar, langsung menuju Ancol. Naik bus juga!. Tak ada AC, penuh sesak, tapi nyaman, karena CINTA.
Ancol, pantai indah dengan jejeran pohon kelapa dan lampu-lampu yang redup dan membuat suasana sedikit remang.
Deburan ombak Teluk Jakarta serta angin laut yang terasa asin di pipi, membuat kenangan tak terlupakan. Dingin, tapi terasa hangat, miskin tapi terasa kaya.
Menikmati suasana malam Minggu yang sangat romantis selama berjam-jam.
Pulang tengah malam. Almarhum mertua batuk-batuk!
Bogor juga merupakan tempat yang sangat indah dan sejuk dan romantis untuk pasangan kami dulu.
Malam Minggu di masa muda, memang sungguh indah. Rasanya seminggu berlangsung begitu lambat. Kini, malam minggu seperti itu tak akan terulang lagi.
Satu hal yang tidak berubah, aku dan mantan pacarku (istri) tetap bersama di Malam Minggu malam ini.
Bercanda dengan teman-teman, dan mempersiapkan diri untuk kebaktian Minggu esok pagi, dan tugas-tugas gereja di siang hingga sore hari.
Tak ada sensasi, tetapi tetap bahagia. Hampa kemewahan tetapi tetap bersahaja.
Bentar lagi, kami akan keluar berdua.....kembali berdua. Tanpa anak-anak.
Mudah-mudahan Malam Minggu kali ini berkesan. Selamat Malam Minggu teman-teman. Apapun keluhan Anda tadi siang, buatlah malam ini bahagia bersama pasangan, teman Anda!
Medan 26 April 2014.
Wisuda, Kasih Sayang, Syukuran dan Tamasya
Oleh: Jannerson Girsang
Pulang dari menghadiri wisuda Universitas HKBP Nommensen (UHN) di Gedung Serba Guna Pemprovsu, Jalan Pancing Medan, sebuah gedung baru milik Pemprovsu yang mampu menampung 15-20 ribu pengunjung.
Saya sangat terkesan dengan pemandangan menarik usai wisuda gelombang pertama UHN yang melepas 647 orang terdiri dari S2. S1 dan D3 dan dihadiri Sekjen HKBP, Pdt Mori Sihombing dan para undangan lainnya.
Saat mau pulang, di samping gedung, seorang ibu sedang menyuapi putrinya--yang masih berpakaian wisuda. Bersama anggota keluarga yang lain, mereka duduk santai di atas tikar, tak peduli orang lalu lalang di samping mereka.
Sang ibu menyuapi putrinya dan sang putri menikmati betul kasih sayang ibunya, seperti seorang bayi kecil. Sebuah pemandangan wujud kasih sayang yang tulus, ungkapan kebahagiaan sang ibu di hari bersejarah. Mereka telah menyelesaikan tanggungjawabnya setahap.
Mungkin selama ini dia kos, dan melepas rindu suapan sang ibu, khususnya di hari bersejarah ini. "Ibu, oh ibu,kasihmu sungguh tak tergantikan. Meskipun aku sudah sarjana, aku rindu suapan tangan lembutmu yang tak tergantikan oleh siapapun"
Mereka, keluarga yang berasal dari luar kota Medan, menggelar tikar bersama keluarga, beberapa adik dan kakak sang wisudawan turut serta. Semuanya pada senang, makan ala kadarnya, serasa dunia seluas tikar itu milik mereka.
Keluarga ini adalah keluarga sederhana. Mereka membawa makanan dalam rantang dari kampung. Hanya pindah makan siang di tempat yang gratis pula. Tidak usah melakukan syukuran ke restoran yang mahal.
Wisuda sambil tamasya, dan menikmati kebahagiaan. Adik-adik dan saudaranya, mungkin selama ini tidak pernah melihat gedung megah dan kota metropolitan Medan, hari ini mereka menikmatinya.
"Ma, nanti kita singgah ke Carfour ya. Kan dari kampung sudah janji" ujar seorang adiknya, dengan mulut penuh makanan. Mungkin sesudah makan mereka akan jalan-jalan, melihat kota.
Bahagianya mereka. Tidak seperti Caleg yang namanya timbul tenggelam di koran. Jantungan!. Hari ini diberitakan lolos, besoknya tidak muncul lagi! Padahal, sudah merayakannya di keluarga.
Keluarga ini mensyukuri berkat dengan kesederhanaan Merayakan hasil yang sudah pasti, menikmati keberadaannya, dan melakoninya dengan hati yang tulus.
Semoga sang putri cepat dapat pekerjaan dan bisa memberi kebahagiaan baru bagi keluarga sederhana ini.
26 April 2014
Pulang dari menghadiri wisuda Universitas HKBP Nommensen (UHN) di Gedung Serba Guna Pemprovsu, Jalan Pancing Medan, sebuah gedung baru milik Pemprovsu yang mampu menampung 15-20 ribu pengunjung.
Saya sangat terkesan dengan pemandangan menarik usai wisuda gelombang pertama UHN yang melepas 647 orang terdiri dari S2. S1 dan D3 dan dihadiri Sekjen HKBP, Pdt Mori Sihombing dan para undangan lainnya.
Saat mau pulang, di samping gedung, seorang ibu sedang menyuapi putrinya--yang masih berpakaian wisuda. Bersama anggota keluarga yang lain, mereka duduk santai di atas tikar, tak peduli orang lalu lalang di samping mereka.
Sang ibu menyuapi putrinya dan sang putri menikmati betul kasih sayang ibunya, seperti seorang bayi kecil. Sebuah pemandangan wujud kasih sayang yang tulus, ungkapan kebahagiaan sang ibu di hari bersejarah. Mereka telah menyelesaikan tanggungjawabnya setahap.
Mungkin selama ini dia kos, dan melepas rindu suapan sang ibu, khususnya di hari bersejarah ini. "Ibu, oh ibu,kasihmu sungguh tak tergantikan. Meskipun aku sudah sarjana, aku rindu suapan tangan lembutmu yang tak tergantikan oleh siapapun"
Mereka, keluarga yang berasal dari luar kota Medan, menggelar tikar bersama keluarga, beberapa adik dan kakak sang wisudawan turut serta. Semuanya pada senang, makan ala kadarnya, serasa dunia seluas tikar itu milik mereka.
Keluarga ini adalah keluarga sederhana. Mereka membawa makanan dalam rantang dari kampung. Hanya pindah makan siang di tempat yang gratis pula. Tidak usah melakukan syukuran ke restoran yang mahal.
Wisuda sambil tamasya, dan menikmati kebahagiaan. Adik-adik dan saudaranya, mungkin selama ini tidak pernah melihat gedung megah dan kota metropolitan Medan, hari ini mereka menikmatinya.
"Ma, nanti kita singgah ke Carfour ya. Kan dari kampung sudah janji" ujar seorang adiknya, dengan mulut penuh makanan. Mungkin sesudah makan mereka akan jalan-jalan, melihat kota.
Bahagianya mereka. Tidak seperti Caleg yang namanya timbul tenggelam di koran. Jantungan!. Hari ini diberitakan lolos, besoknya tidak muncul lagi! Padahal, sudah merayakannya di keluarga.
Keluarga ini mensyukuri berkat dengan kesederhanaan Merayakan hasil yang sudah pasti, menikmati keberadaannya, dan melakoninya dengan hati yang tulus.
Semoga sang putri cepat dapat pekerjaan dan bisa memberi kebahagiaan baru bagi keluarga sederhana ini.
26 April 2014
Langganan:
Postingan (Atom)