Oleh: Jannerson Girsang
"In countries with a properly functioning legal system, the mob continues to exist, but it is rarely called upon to mete out capital punishment. The right to take human life belongs to the state. Not so in societies where weak courts and poor law enforcement are combined with intractable structural injustices" (Teju Cole)
Di negeri ini pemerintah dihadapkan pada banyak persoalan pelik, bak
makan buah simalakama. Tidak dimakan mati ibu, dimakan mati ayah. Itulah
sebuah akibat dari pembiaran, tidak melakukan penegakan hukum.
Setelah bertahun-tahun aman dari pembongkaran, kini masyarakat yang berinvestasi karamba di Waduk Jati luhur, harus menanggung kerugian besar.
Menurut siaran Metro TV tadi malam, meski para pemiliknya banyak disokong "orang-orang kuat", Pemda Purwakarta membongkar paksa karamba di Waduk Jatiluhur. Kapasitas yang diperbolehkan hanya 4000 karamba, kini waduk tersebut diisi kira-kira 26 ribu karamba.
Pembongkaran melibatkan TNI, Polri dan Satpol PP. Tapi jangan salah, pembongkaran ini menimbulkan biaya yang ditanggung pemerintah dan rakyat yang cukup mahal.
Pembongkaran ini mengakibatkan investasi masyarakat hangus, sia-sia dalam jumlah yang cukup besar! Satu karamba dilaporkan bernilai sekitar Rp 7 juta. Pemerintah harus membongkar sekitar 20 ribuan karamba.
Di sisi lain, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia akan menanggung biaya pembongkarannya dari pajak, serta menanggung rusaknya kualitas air waduk Jati luhur yang mengancam kerusakan, mengganggu fungsi waduk yang bernilai triliunan rupiah itu.
Ibarat makan buah simalakama memang. Tidak dibongkar merusak waduk, dibongkar mengakibatkan kerugian besar harus ditanggung masyarakat.
Karamba Waduk Jatiluhur, hanyalah satu contoh pembiaran yang dilakukan "penguasa" atas pelanggaran hukum yang dilakukan rakyatnya sendiri.
Mari kita jadikan pelajaran. Jangan membiarkan masyarakat melakukan pelanggaran hukum, hingga merasa kebal hukum dan merasa benar.
Kalau Pemda serius, karamba bisa kok dibongkar, setelah yakin dan mensosialisasikan tindakannya dengan perhitungan untung-rugi yang akurat, dan mempertimbangkan rasa keadilan!
Soal tindakannya benar, mari kita bertanya kepada rumput yang bergoyang. Kalau benar-benar membela kepentingan yang lebih besar, membahagiakan lebih banyak orang, maka benarlah tindakan itu.
Medan, 3 Maret 2015
Setelah bertahun-tahun aman dari pembongkaran, kini masyarakat yang berinvestasi karamba di Waduk Jati luhur, harus menanggung kerugian besar.
Menurut siaran Metro TV tadi malam, meski para pemiliknya banyak disokong "orang-orang kuat", Pemda Purwakarta membongkar paksa karamba di Waduk Jatiluhur. Kapasitas yang diperbolehkan hanya 4000 karamba, kini waduk tersebut diisi kira-kira 26 ribu karamba.
Pembongkaran melibatkan TNI, Polri dan Satpol PP. Tapi jangan salah, pembongkaran ini menimbulkan biaya yang ditanggung pemerintah dan rakyat yang cukup mahal.
Pembongkaran ini mengakibatkan investasi masyarakat hangus, sia-sia dalam jumlah yang cukup besar! Satu karamba dilaporkan bernilai sekitar Rp 7 juta. Pemerintah harus membongkar sekitar 20 ribuan karamba.
Di sisi lain, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia akan menanggung biaya pembongkarannya dari pajak, serta menanggung rusaknya kualitas air waduk Jati luhur yang mengancam kerusakan, mengganggu fungsi waduk yang bernilai triliunan rupiah itu.
Ibarat makan buah simalakama memang. Tidak dibongkar merusak waduk, dibongkar mengakibatkan kerugian besar harus ditanggung masyarakat.
Karamba Waduk Jatiluhur, hanyalah satu contoh pembiaran yang dilakukan "penguasa" atas pelanggaran hukum yang dilakukan rakyatnya sendiri.
Mari kita jadikan pelajaran. Jangan membiarkan masyarakat melakukan pelanggaran hukum, hingga merasa kebal hukum dan merasa benar.
Kalau Pemda serius, karamba bisa kok dibongkar, setelah yakin dan mensosialisasikan tindakannya dengan perhitungan untung-rugi yang akurat, dan mempertimbangkan rasa keadilan!
Soal tindakannya benar, mari kita bertanya kepada rumput yang bergoyang. Kalau benar-benar membela kepentingan yang lebih besar, membahagiakan lebih banyak orang, maka benarlah tindakan itu.
Medan, 3 Maret 2015