"Pola pendidikan di Indonesia bersifat menekan, sehingga menimbulkan stress. Relasi kuasa yang tidak seimbang juga mengikis budaya apresiatif" (PM Laksono, antropolog Universitas Gajah Mada, Kompas 4 Mei 2016).
Di tengah suasana Hari Pendidikan Nasional, warga Medan dikejutkan sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan.
Mahasiswa membunuh dosennya sendiri.
RS (21) mahasiswa semester VI Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah, Medan diduga membunuh dosennya sendiri Nur Ain Lubis.
Sesak rasanya membaca berita sedih itu sejak kemaren. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang sulit dicari jawabnya.
Kok bisa, mahasiswa calon pendidik, calon guru membunuh dosennya. Bukankah seharusnya mereka menghormati dosennya?
Kok bisa, dosen yang mendidik calon guru tewas terbunuh di tangan mahasiswanya sendiri. Ah, ini yang lebih sulit dijawab!
Kompas hari ini mengungkapkan bahwa interaksi kurang harmonis antara pengajar dan mahasiswa di ruang kelas diduga menjadi pemicu pembunuhan.
Tentu kesimpulan itu hanya sementara, karena kasus ini masih dalam penyelidikan pihak kepolisian.
Peristiwa memilukan ini kembali mengajak kita merenungkan, apa yang salah dalam pendidikan kita.
Seseorang mahasiswa--jurusan pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, orang yang terdidik, sampai berniat dan melakukan pembunuhan! Prosesnya tentu bukan "instan", terjadi begitu saja.
Mungkin ini hanya secuil di atas gunung es besar persoalan pendidikan kita!.
Kompas hari ini menekankan pentingnya pendidikan karakter, dosen dan mahasiswa membangun relasi yang baik, melakukan pelayanan yang baik, bahkan mampu memahami mahasiswa yang berbeda-beda.
Kita tunggu saja hasil penyelidikan kepolisian, seraya mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya untuk keluarga almparhum Nur Ain Lubis.
Kami semua turut prihatin dan mendukung dalam doa. Semoga kasus ini menjadikan pelajaran berharga bagi bangsa ini untuk kesekian kalinya diuji sejauh mana pendidikan karakter kita berhasil diterapkan!.
Semoga keluarga Nur Ain Lubis tabah dan kuat menghadapi musibah ini.
RS (21) mahasiswa semester VI Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah, Medan diduga membunuh dosennya sendiri Nur Ain Lubis.
Sesak rasanya membaca berita sedih itu sejak kemaren. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang sulit dicari jawabnya.
Kok bisa, mahasiswa calon pendidik, calon guru membunuh dosennya. Bukankah seharusnya mereka menghormati dosennya?
Kok bisa, dosen yang mendidik calon guru tewas terbunuh di tangan mahasiswanya sendiri. Ah, ini yang lebih sulit dijawab!
Kompas hari ini mengungkapkan bahwa interaksi kurang harmonis antara pengajar dan mahasiswa di ruang kelas diduga menjadi pemicu pembunuhan.
Tentu kesimpulan itu hanya sementara, karena kasus ini masih dalam penyelidikan pihak kepolisian.
Peristiwa memilukan ini kembali mengajak kita merenungkan, apa yang salah dalam pendidikan kita.
Seseorang mahasiswa--jurusan pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, orang yang terdidik, sampai berniat dan melakukan pembunuhan! Prosesnya tentu bukan "instan", terjadi begitu saja.
Mungkin ini hanya secuil di atas gunung es besar persoalan pendidikan kita!.
Kompas hari ini menekankan pentingnya pendidikan karakter, dosen dan mahasiswa membangun relasi yang baik, melakukan pelayanan yang baik, bahkan mampu memahami mahasiswa yang berbeda-beda.
Kita tunggu saja hasil penyelidikan kepolisian, seraya mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya untuk keluarga almparhum Nur Ain Lubis.
Kami semua turut prihatin dan mendukung dalam doa. Semoga kasus ini menjadikan pelajaran berharga bagi bangsa ini untuk kesekian kalinya diuji sejauh mana pendidikan karakter kita berhasil diterapkan!.
Semoga keluarga Nur Ain Lubis tabah dan kuat menghadapi musibah ini.