"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Jumat, 17 April 2009
TD Pardede Foundation Luncurkan Biografi Rudolf
Jumat, 30 Nov 2007
TD Pardede Foundation Luncurkan Biografi Rudolf
Salomo Berharap “Rekam Jejak” Ayahandanya Bermanfaat Bagi Masyarakat Sumut
Salomo Pardede, putra Gubsu Drs Rudolf M Pardede, berharap “rekam jejak” aktivitas orangtuanya yang tertuang dalam biografi Rudolf M Pardede ‘Berkarya di Tengah Gelombang’ bukan hanya berguna bagi keluarga besar DR TD Pardede, melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat Sumut, terutama jadi spirit membina harmonisasi dan meningkatkan etos kerja.
“Saya bersyukur, bangga dan senang sekali atas terbitnya buku biografi ayahanda saya, yang menggambarkan ‘rekam jejak’ seorang tokoh nasional kelahiran Balige, dan sudah malang melintang dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara, baik dalam bidang dunia usaha, maupun dunia politik, sosial kemasyarakatan dan pemerintahan,” ujar Salomo sebagai generasi ketiga tokoh legendaris DR TD Pardede yang dikenal sebagai “Pak Katua”, Kamis (29/11) di Hotel Danau Toba Internasional Medan.
Salomo selaku Ketua Umum Peluncuran Buku Biografi yang dijadwalkan tanggal 3 Desember 2007 di Convention Hall Danau Toba Medan mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh unsur yang telah memprakarsai maupun yang terlibat dalam buku ini, terutama kepada TD Pardede Foundation selaku penerbit, Jannerson Girsang selaku penulis, serta Bersihar Lubis dan J Anto selaku editor.
“Semoga momentum penerbitan buku ini menambah semangat kejuangan kita untuk memberikan darma bakti terbaik kepada bangsa dan negara terutama peduli terhadap sesama, cinta kerukunan dan harmonisasi, sebagaimana tiga prinsip Opung saya (kakek Salomo – DR TD Pardede- red) yakni bersikap bijak dan mengalah untuk mencapai perdamaian, membantu orang susah dengan tidak mengharapkan imbalan, dan tidak mengedepankan jabatan maupun kekuasaan tetapi menunjukkan pengayoman kepada orang lain, sehingga tanpa jabatan dan kekuasaan tetap dihormati,” ujarnya.
Salomo berharap dengan penerbitan buku ini, maka semakin banyaklah khasanah buku biografi dari tokoh-tokoh asal Sumatera Utara yang dapat dibaca masyarakat sebagai pedoman dan bahan suri tauladan, karena dalam buku ini tergambar jelas tentang pengalaman seorang tokoh yang sangat konsisten terhadap semangat pengabdian kepada umat manusia, bangsa dan negara, namun dalam perjalanannya beliau konsisten pula terhadap pemahaman nilai-nilai budaya dan keagamaan.
Isi buku ini, lanjut Salomo, menyadarkan kita bahwa setiap anak bangsa memang dituntut untuk memberikan pemikiran, perjuangan dan pengabdian terbaiknya kepada bangsa dan negara, dan selaku manusia ciptaan Tuhan, semua anugerah yang diberikan-Nya harus kita manfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia.
“Dari buku ini tergambar bahwa Bapak (Rudolf M Pardede – red) memang telah betul-betul memahami hal ini. Dalam perjalanan aktivitas maupun kariernya yang cukup panjang, baik dalam bidang dunia usaha hingga kiprahnya di bidang politik maupun pemerintahan, beliau sangat konsisten terhadap nilai-nilai maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga setelah menjadi Gubsu beliau menempatkan dirinya selaku Gubernurnya semua etnis dan semua umat beragama,” tuturnya.
Menurut Salomo, dari buku ini juga tergambar bahwa ayahandanya juga tetap komit terhadap azas konstitusi dan rasionalitas dengan mengedepankan keseimbangan pemahaman terhadap nilai-nilai iman dan taqwa, sehingga dapat dikatakan, beliau telah tahan uji dan mampu tegar ‘Berkarya di Tengah Gelombang”, apalagi “di angin tenang”.
Itulah sebabnya, saya dan seluruh keluarga besar TD Pardede gembira atas penerbitan buku biografi ini karena dalam buku ini tercermin pengalaman dan kisah hidup seorang tokoh yang tidak saja berjuang untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk masyarakat sekitarnya, bahkan untuk bangsa dan negaranya.
Dari buku ini dapat kita petik suri teladan bagaimana seorang tokoh dengan keteguhan dan keikhlasannya mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara di samping harus menghadapi kenyataan dan realita pada era berjalan.
“Hanya kerja keras dan keyakinan yang tinggilah, Bapak (Rudolf M Pardede – red) mampu melaksanakan tugas-tugas pengabdiannya, sehingga keberadaannya tidak hanya berguna bagi diri maupun keluarganya semata, melainkan bagi masyarakat dan ummat manusia, khususnya masyarakat Sumatera Utara,” ujarnya.
Secara umum, kata Salomo, dalam menuliskan biografi bagi semua orang merupakan tradisi yang patut dikembangkan. Informasi yang terkandung dalam sebuah buku seperti ini, menurutnya, tetap merupakan sebuah dokumen sejarah yang penting dicermati semua pihak ketika kita ingin mempelajari situasi dan kondisi dalam era atau zaman tertentu.
Kita sama memahami, mengambil hikmah dari pengalaman hidup seseorang adalah penting, baik itu pengalaman manis maupun pahit, apalagi bila pengalaman itu dipetik dari seseorang yang dalam hidupnya menurut ukuran masyarakat dianggap sukses.
Hikmah yang dipetik antara lain, sebagai seorang tokoh yang berpuluh tahun mengabdi bagi republik ini tentu saja banyak asam garam, pengalaman pahit dan manis yang dialami beliau ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dalam menjalankan tugas-tugas selama ini.
Artinya, bila buku ini disimak dengan baik maka kita akan memetik hal-hal yang positif sehingga kita bisa bertindak lebih arif dan bijaksana sehingga sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas penerbitan biografi ini. Semoga buku ini dapat dibaca dan bermanfaat bagi kita semua, dan kiranya Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Ridho-Nya kepada kita sekalian.
Sebelum peluncuran buku ini, akan didahului bedah buku yang menghadirkan sebanyak 15 narasumber dari latar belakang politisi, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, birokrat, serta akademisi.
www.pemprovsu.go.id
Rudolf Pardede Luncurkan Buku
Rudolf Pardede Luncurkan Buku
Laporan Wartawan Kompas Budiman Tanuredjo
MEDAN, KOMPAS - Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede Senin (3/12) malam meluncurkan buku biografi berjudul "Berkarya di Tengah Gelombang" di Convention Hall Hotel Danau Toba, Medan.
Buku yang ditulis Jannerson Girsang disunting Bersihar Lubis dan J Anto itu tebalnya 301 halaman. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan kata pengantar. Dalam pengantarnya, Megawati menulis, Rudolf telah memperlihatkan dirinya mampu untuk tidak pamer kekuatan sebagai seorang ketua partai, gubernur atau pengaruh keluarganya untuk melawan protes-protes yang ditimpakan pada dirinya.
Buku Rudolf yang terdiri sebelas bagian ini bercerita tentang Rudolf yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan ini dalam perjalanan karier politik, kewirausahaan, maupun birokrasi. Peluncuran buku Rudolf itu mempunyai makna politik karena diluncurkan menjelang pilkada Sumut, April 2008. Namun sejauh ini belum dipastikan apakah Rudolf akan maju lagi sebagai gubernur lagi atau tidak. PDIP belum memutuskan siapa calon yang diajukan.
Sejumlah tokoh memberikan tanggapan atas buku itu.
Kompas Cyber Media. Senin, 03 Desember 2007 - 21:32 wib
http://64.203.71.11/ver1/Nusantara/0712/03/213207.htm
www.kompas.com
Drs. RUDOLF M. PARDEDE PENGABDIAN TIADA AKHIR
Buku “ Berkarya Di Tengah Gelombang”
Pengabdian tiada akhir, kalimat sederhana penuh makna. Itulah motto Drs. Rudolf M. Pardede, putra terbaik Sumatera Utara yang kini mencurahkan seluruh perhatian dan pengabdiannya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Sumatera Utara.
Senin, 3 Desember 2007, Rudolf M. Pardede, yang sudah teruji kepemimpinannya, meluncurkan buku biografi diawali dengan bedah buku “Berkarya di Tengah Gelombang”. Buku biografi Rudolf M Pardede tersebut merupakan hasil karya tulisan Ir Jannerson Girsang dan kawan-kawan. Peluncuran buku ini diselenggarakan di Convetion Hall Hotel Danau Toba International, Jalan Imam Bonjol, Medan.
Yang menarik dari isi buku tersebut, tidak sedikit pun ditemukan kata-kata yang menyakiti orang lain. Sehingga buku ini menarik untuk dibaca. Perjalanan sekaligus pengalaman hidup dari seorang anak pengusaha kaya, namun tak ingin terlihat kaya, sungguh merupakan contoh yang patut ditiru dan dipedomi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Rudolf Matzuoka Pardede dilahirkan di Sakkar ni Huta, Balige, Sumatera Utara pada tanggal 4 April 1942. Anak ke tiga dari Sembilan bersaudara buah hati perkawinan Prof. DR Tumpal Dorianus Pardede dan Hermina boru Napitupulu. Pasangan ini mewariskan kekayaan yang sangat besar seperti perhotelan, rumah sakit, lembaga pendidikan, serta berbagai bidang usaha kepada keturunannya, termasuk Rudolf M Pardede. Meskipun kemudian orangtuanya menjadi pengusaha yang sangat kaya, masa kecil Rudolf sebenarnya ditandai dengan kejadian seputar penjajahan Jepang dan perang Kemerdekaan antara tentara RI dan Sekutu, yang berdampak pada kesulitan yang dihadapi masyarakat.
Di saat perusahaan keluarga T D Pardede sedang dalam puncak kejayaannya, ayahnya mengirim Rudolf belajar pertekstilan dan ekonomi perdagangan ke University of Kinki di Osaka City, Jepang. Tidak seperti kebanyakan mahasiswa Indonesia saat itu yang mendapatkan beasiswa dari Yayasan Pampasan Perang, sebagai orang kaya – Rudolf kuliah di sana atas biaya orangtuanya. Itu terjadi tahun 1960 saat Rudolf berusia 18 tahun.
Rudolf adalah suami kebanggaan dan penuh perhatian, tempat perlindungan dan meminta nasihat bagi anak-anaknya serta mengayomi saudara-saudaranya. Meskipun wajahnya terlihat keras, di mata Vera, Rudolf adalah orang yang sabar dan tidak suka marah. “Tidak pernah marah, dan kalau marah paling sebentar lagi juga sudah reda”, kata peraih Kartini Award 2007 ini menggambarkan suaminya. Rudolf-Vera adalah pasangan harmonis yang menempatkan keluarga sebagai prioritas hidup. Dalam pengakuan Vera, Rudolf sangat dekat dan selalu ingin berjalan bersama. Pasangan ini dikarunai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka adalah Yohana Pardede, Beby Fedy Camelia Pardede, Salomo Tabah Ronald Pardede, dan Josua Andreas Pardede. Tiga di antaranya sudah berkeluarga, yakni Yohana yang menikah dengan Rahmat Kasih Larosa, Beby menikah dengan Taufan Djuara Partigor Tampubolon, dan Salomo menikah dengan Yohana Ester Priska Simanjuntak. Sedangkan si bungsu, Josua Andreas sudah lebih dari sepuluh tahun bermukim di Australia dan saat ini belum berkeluarga.
Dari ketiga anaknya yang sudah berkeluarga, pasangan Rudolf dan Vera dikaruniai tiga orang cucu, yakni Yekesia, Kevin, dan Manuel Rafael Moses Pardede. Ada satu kebahagiaan tersendiri bagi Rudolf pada tanggal 8 Agustus 2007 lalu. Cucunya yang ketiga, T D Manuel Rafael Moses Pardede, anak pertama Salomo Pardede lahir saat Rudolf menjabat gubernur. Cucu laki-lakinya yang lahir pada tanggal delapan, jam delapan pagi tahun 2007 itu memberikan dia kebahagiaan yang sempurna.
“Dia menjadi generasi ke-4 dari TD Pardede. Saya sudah lama menunggu kelahiran cucu saya. Ini merupakan salah satu anugerah Tuhan yang besar bagi kami selama menjabat gubernur, “ ujar Rudolf Pardede.
Memasuki usianya yang ke-66 tahun, Rudolf Pardede masih tegar dan energik. Tidak ada tanda-tanda kelesuan di wajahnya, setelah menjalankan tugas beratnya dalam memperjuangkan peningkatan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan mengentaskan kemiskinan di Sumatera Utara. Suaranya tetap lantang dan tegar bisa berkelakar, ditengah-tengah tekanan politik maupun tugas-tugasnya yang berat.
Tiada akhir dari pengabdian.!!!
(Dikutip dari www.pustakasumut.com/buku_gubsu.php)
Rabu, 15 April 2009
ASIAN IDOL DAN PEMILU
Senin, 23 Maret 2009
Pengalaman Seorang Writer dan Biographer
Menulis Riwayat Hidup Anda Menceritakan Cerita Keluarga Anda Menyelamatkan Jiwa, Sebuah Cerita pada Suatu Masa
”Proses dari reiview kehidupan merupakan pengobatan alternatif, khususnya pada usia lanjut, dan membuat kisah hidupnya terekam (bagaimanapun sederhananya atau mewahnya paket itu) adalah sebuah hadiah sangat bagus kepada generasi yang berikutnya, dan kepada generasi sesudahnya” (Pat McNees)
MEMULAI
Setiap orang memiliki kisah untuk diceritakan, masalahnya banyak orang tidak mampu menuliskannya dan memerlukan bantuan—atau membutuhkan waktu mengumpulkan dan merekam cerita anggota keluarga yang lain. Saat kita mengatasi perasaan malu atau kesederhanaan, tapi jujur saja, kita semua menikmati sebuah proses mengenang kembali peristiwa masa lalu di dalam sebuah rentang waktu dan ruang. Sekali kita mencapai usia tertentu "review kehidupan", terasa sebuah penghargaan, namun, pada setiap tahap usia bisa menjadi sebuah kesenangan yang luar biasa dan menjadi sebuah sumber pemahaman hidup yang mengagumkan. Jika anda seorang anggota keluarga yang lebih muda, percayalah padaku: Anda mungkin tidak ingin mendengar cerita tersebut sekarang, tetapi akhirnya anda akan mau.
Dapatkan cerita itu sekarang— sebelum memori memudar, dan selagi orang-orang bersangkutan masih hidup. Jika tidak ada cara lain, rekamlah cerita itu— anda dapat memutuskan kemudian apakah anda akan melakukan sesuatu lebih mendalam (padu) dan formal. Dengan memiliki suara dalam rekaman tape,bersama cerita foto yang disimpan di belakangnya, merupakan sebuah warisan yang lebih berarti dalam jangka panjang dibanding semua warisan fisik yang anda miliki. Dan dalam jangka pendek bahan-bahan tersebut dapat memeriahkan peristiwa-peristiwa khusus, seperti hari ulang tahun, hari lahir, kebaktian peringatan peristiwa tertentu. Tentu saja, satu cara untuk meningkatkan kepedulian kepada pasien orang tua berusia lanjut di rumah sakit atau rumah perawatan adalah menuliskan sebuah kisah singkat hidup mereka dan ditempel di pintu, membuat mereka menjadi seseorang dengan sebuah kisah, dan tidak hanya sebagai pasien tua.
Seorang pewawancara yang berpengalaman dengan sebuah tape rekorder yang baik dapat menangkap kenangan keluarga yang akan diteruskan dari generasi ke generasi. (Banyak orang menemukan masa depan penulisan tentang kehidupan nyata mereka. Merekam cerita anda, bisa merupakan sebuah langkah pertama membantu anda menulis cerita sendiri). Jika seseorang di dalam keluarga anda mempunyai kisah untuk diceritakan, dan tidak bisa menceritakannya sendiri, doronglah mereka bekerja dengan dibantu pewawancara. Jika mereka tidak tau mulai dari mana, keluarkan kotak foto keluarga tempo dulu, dan ajak mereka menceritakan cerita tentang tanggal atau hari foto tersebut dibuat. Mulailah dengan sebuah kisah foto keluarga, dengan teks! Buatkan CDnya bagi semua anggota keluarga.
Sebagai wartawan profesional dengan rasa ingin tau yang tinggi tentang kehidupan orang lain, saya telah membantu riset dan menulis beberapa pribadi, keluarga, dan sejarah lembaga. Apa yang bisa anda harapkan ketika mempekerjakan seseorang membantu anda secara keseluruhan atau sebagian dari kisah hidup anda? Secara umum, kita melakukan wawancara, menyusun wawancara ke dalam tulisan, mengorganisir dan mengedit bahan-bahan, yang membantu anda menemukan "suara anda sendiri" (jika anda ingin menceritakan cerita menurut suara anda sendiri), dan biasanya membantu anda menangkap inti sari dari kisah kehidupan anda. Setiap orang memiliki sebuah kisah untuk dijelaskan, tetapi tidak semua orang menyadari bagaimana hidup mereka bisa menarik perhatian orang lain, terutama di dalam keluarga-atau bidangnya sendiri. Saya sering dibayar untuk mengungkap cerita hidup orang yang mereka cintai. Dan tidak perlu orang yang bersangkutan menceritakan kisahnya. Kadang-kadang ketika bintang bintang dalam kisah keluarga bersinar dalam tradisi "jangan pernah sembunyikan terompetmu”, saya mendapatkan orang lain dalam keluarga atau perusahaan, atau bidang lain menceritakan salah satu bagian dari cerita mereka. Lebih membosankan bila semata-mata hanya membual: kamu ingin mengetahui persisnya MENGAPA mereka menjadi yang terbesar, dan anda juga ingin memahami tentang kelemahan mereka, seringkali memberikan hasil terbaik (paling menghibur) kalau diceritakan orang lain. (Sebuah hal yang menarik untuk mendengarkan kisah seorang Kakek, pelaku bisnis yang sukses, yang kebiasaannya mengantongi gula dari restoran, seolah dia berbicara pada perjamuan, dan detil seperti itu membuat potretnya lebih manusiawi).
Proses dari tinjauan (reiview) kehidupan merupakan pengobatan alternatif, khususnya pada usia lanjut, dan membuat kisah hidupnya terekam (bagaimanapun sederhananya atau mewahnya paket itu) adalah sebuah hadiah sangat bagus kepada generasi yang berikutnya, dan kepada generasi sesudahnya. Sebuah kisah kehidupan tidak harus sebuah proyek yang ambisius. Dapat dilakukan secara bertahap. Mulailah dengan wawancara: Buat kenangan (memories) di dalam tape selagi memori masih dapat ditangkap. Biarkan orang yang lebih tua mengidentifikasi dan menceritakan tentang orang-orang dalam foto tua itu. Anda dapat memutuskan kemudian jika anda menginginkan wawancara itu terorganisir, diterbitkan, dan membuatnya ke dalam sebuah naskah tulisan yang lebih dipoles dan kemudian dicetak menjadi sebuah buku.
Tip: Dengan sebuah batas waktu (timeline), sebuah kronologi. Daftarkan semua hal-hal yang tidak begitu penting, tetapi berkesan (not-so-important-but-memorable) dan terjadi dalam hidup seseorang yang anda sedang tulis. Gunakanlah waktu yang tepat (timelines) seperti itu, saya sudah buat link untuk membantu memicu memori. Memperhatikan foto tua juga membantu memicu memori.
Orang-Orang biasa, Kehidupan yang luar biasa
Sebagai penulis profesional, aku sudah membantu banyak orang-orang biasa mengingat peristiwa hidup yang penting, dan menemukan bentuk cerita kehidupan mereka, yang pada umumnya dipesan orang lain di dalam keluarga itu. Pria pertama yang saya bantu membuat kisah hidupnya adalah seorang pelaku bisnis di Ohio pada usianya menjelang 80-an, Warren Webster.
Webster telah kehilangan kedua kakinya karena kencing manis (diabetes), kehilangan isterinya setelah 70 tahun perkawinan. Dapat dimengerti dia sangat tertekan. Ia telah pensiun dari apa yang ia sebut sebagai sebuah ”karier sederhana” dalam sebuah manufaktur dan bingung mengapa seseorang menginginkan kisah hidupnya, tetapi dengan menceritakannya, cerita itu merubahnya—sinar kembali terbawa ke matanya, membuatnya merasa sepenting itu untuk diketahui keluarga. Ketika saya menulis sebuah cerita atas wawancara dengannya, aku membacakannya keras-keras di hadapannya, saat merasa dirinya gagal. Webster adalah seorang pekerja pabrik yang kemudian menapaki kariernya masuk ke deretan eksekutif. Ketika aku membaca dengan suara keras, “Webster memutuskan bahwa sebuah kehidupan dengan kuku jari tangan yang kotor (dirty fingernails) bukanlah dia,” ia berkata, “Anda dapat berhenti tepat disana. Inilah inti seluruh cerita.” Tetapi ada yang jauh lebih bermakna: Cerita kariernya mencerminkan perubahan di dalam kultur Amerika dan industri transportasi abad ke duapuluh, bab tentang isterinya Mary perjuangan keras puluhan tahun mengatasi kekacauan yang bipolar menawarkan sebuah pandangan sekilas tentang sikap Amerika terhadap penyakit mental di pertengahan abad ke dua puluh, dan cerita itu akhirnya diterbitkan sebagai sebuah buku, An American Biography,dijual di Amazon.Com. Buku itu menjadi sebuah memorial yang mengesankan dalam hidupnya.
Kisah hidup tak perlu begitu ambisius. Saya sedang mengerjakan kisah foto sebuah keluarga yang melarikan diri ke California dari Kansas pada masa depressi di era 30-an. Kebanyakan kisah hidup diciptakan untuk keluarga—untuk generasi mendatang untuk keluarga tertentu — tetapi bisa bermanfaat ke masa depan bagi sejarawan, seperti apa yang kuharapkan nantinya.
Hal yang sama berguna bagi sejarah, saya kira adalah biografi Dr. Thomas Mcnair Scott. Aku meluangkan banyak waktu mewawancarai Tom, dengan maksud membantunya menulis riwayat hidupnya, untuk penerbitan pribadi untuk para teman dan keluarganya. Pria yang menyenangkan dengan rasa ingin tau yang luar biasa itu dan (Saya memelajarinya dari para rekan kerja terdahulunya) sebuah hadiah untuk hasil diagnosa, Tom menjadi ahli penyakit anak-anak awal abad ke duapuluh, ketika ilmu kesehatan anak anak baru saja menjadi sebuah bidang ilmu di Amerika; namun belum menjadi sebuah bidang ilmu di Inggeris. Tom memiliki perjalanan panjang, sebuah karier termasyhur yang mengajar dan mempraktekkannya di Rumah sakit anak-anak di Philadelphia Anak-Anak dan di tempat lain, dan sebuah perkawinan panjang dan bahagia bagi Dwight McNair Scott, yang melakukan riset biomedis (biomedical). Dengan permintaan (dan pertolngan) anak-anaknya Tom menyelesaikan riwayat hidupnya tidak lama sebelum hari ulang tahunnya ke seratus, tidak lama sebelum dia meninggal.
Mengapa anda tunggu, mulailah menulis memoir anda atau minta bantuan kepada teman anda yang sudah berpengalaman!
Medan 23 Maret 2009. Bertepatan dengan Ulang Tahun anakku ke dua Patricia Girsang ke 23. Sumber : Translated from www.patmcnees.com/telling_your_story_29161.htm. Writing Your Memoir Telling Your Family Story Saving Lives, on story at a Time, Pat Mc Nees.
Rabu, 18 Maret 2009
MUSEUM SIMALUNGUN
Menghargai Karya Agung
Oleh Jannerson Girsang
Bertahun-tahun, kami tinggal di Pematangsiantar di akhir 1980-an, dan kemudian pindah ke Medan sekitar 1990-an, tak pernah terpikir untuk sekedar mendalami makna bangunan berbentuk rumah adat yang terletak di pusat kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh penting di Negara ini. Hingga Jasamen Saragih MA, mahasiswa program doktoral di Australia National University bulan Mei 2008 mengajak kami mengunjungi museum itu. Selain itu, ada rasa rindu bertemu S. Lingga, seorang yang sudah mengabdikan dirinya memelihara karya agung para nenek moyang kita selama 26 tahun
Mungkin anda sama seperti saya, kurang peduli karya-karya agung di sekitarnya. (Kami berjanji, akan melengkapi artikel ini dengan foto-foto suatu ketika!). Kalau anda berkunjung ke Pematangsiantar, silakan meluangkan waktu sejenak ke arah ujung jalan Sutomo, kemudian masuk Jalan Sudirman dan belok ke kiri, kira-kira 10 meter dari perempatan depan Kantor Polres Simalungun. Anda akan melihat sebuah kompleks yang diapit dua bangunan besar yakni Gereja GKPS Sudirman dan Kantor Polres Simalungun. Letaknya tidak jauh dari kantor Walikota Pematangsiantar maupun Kebun Binatang Pematangsiantar. Itulah Museum Simalungun.
Berhenti di pinggir Jalan Sudirman, persis di gerbang museum, pandangan mata terpaut pada sebuah bangunan rumah adat Simalungun. Wah, begitu mengagumkan. Memasuki gerbang kita seolah memasuki alam masa lalu, berabad-abad ke belakang. Di kiri kanan beberapa situs peninggalan sejarah masa lalu berbentuk manusia berdiri kokoh dengan pandangan bisu. Namun lukisan kelopak mata patung itu banyak yang terlihat suram karena mulai lapuk telah diterpa panas dan hujan.
Situs Satur ni Raja Nagur (buah catur raja Nagur) misalnya. Berukuran cukup besar, berbentuk catur yang berwujud perempuan. Konon, karena besarnya buah catur ini, sang raja yang memerintah pada masa itu memerlukan bantuan beberapa orang untuk memindahkannya.
Masih di lokasi pekarangan, masih dapat disaksikan situs lainnya yakni Pangulu Balang. Berwujud wajah perempuan yang memangku dua arca, yang menggambarkan bahwa Sang Pencipta selalu melindungi mahkota ciptaanNya. Di sebelah kanan Situs Catur Raja Nagur, berdiri Batu Pangulu Balang, seorang raja yang menunggang gajah yang melambangkan keperkasaan seorang raja. Kedua situs ini dulunya ditemukan di Kerajaan Batang Iou, Tanah Jawa, Simalungun.
Di pekarangan museum juga terlihat situs berwujud bangunan yakni Situs Pales Rumah atau tiang penyangga rumah di zaman dahulu. Situs ini diperkirakan berasal dari abad ke 8. Situs ini disumbangkan ke museum itu pada 1939. Menurut Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun, asal-usul Situs Pales Rumah ini masih dalam proses penelitian. Ada puluhan situs-situs kecil lainnya, yang menarik.
Kemudian kami menelusuri rumah adat, tempat berbagai barang peninggalan nenek moyang lainnya tersimpan. Memandang rumah adat ini kami ingin tau apa arti dari semua bagian bangunan yang unik. Ternyata, masyarakat Simalungun di zaman dahulu kala memberi makna setiap bagian bangunan. Di puncak bangunan terdapat tanduk kerbau yang melambangkan “keberanian dan kebenaran”. Dari puncak rumah, tergantung dua utas tali sepanjang dua sampai tiga meter, yang disebut pinar tanjung bara. Masyarakat Simalungun saat itu meyakini tali ini sebagai penangkal petir.
Masih pada posisi dinding, pada bagian bawah rumah terdapat suleppat, yang melambangkan persatuan. Memasuki rumah, maka tepampang di kiri dan kanan patung bohi-bohi (profil manusia) yang melambangkan keramahan, sekaligus menolak bala. Di bagian lain terdapat pinarbunga bongbong, artinya rezeki tertampung dan tidak bocor. Rumah dibuat bertiang untuk menghindari serangan binatang buas.
Memasuki rumah adat harus melewati beberapa anak tangga, dengan berpegangan pada seutas rotan sejajar tangga. Aku teringat akan rumah bolon di kampung kami, Nagasaribu. Menaiki rumah bolon di masa kecil. Sayangnya, empat rumah bolon di kampung kami sudah hancur dan tidak berbekas lagi.
Di dalam rumah adat seperti ini umumnya terdapat delapan dapur atau delapan rumah tangga atau lebih. Tetapi di dalam rumah adat Museum Simalungun, kami tidak menemukan ruangan-ruangan seperti biasanya. ”Ruangan ini memang hanya diperuntukkan bagi penyimpanan barang-barang peninggalan nenek moyang,”ujar Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun.
Perasaan takjub dan miris muncul saat kita berada di dalam rumah. Berbagai macam bukti kehidupan masa lalu masyarakat Simalungun terdapat di ruangan ini. Kami menyaksikan kemajuan ilmu pengetahuan masa lalu berupa lak-lak atau naskah kuno Simalungun. Laklak adalah buku yang ditulis dalam aksara Simalungun, yang berisikan tentang kehidupan masyarakat Simalungun di masa lalu seperti perbintangan, ramuan obat dan lain-lain. Lak-lak terbuat dari bambu dan ditulis dengan alat tulis khusus di atasnya. Masih di dalam rumah, kami menemukan peralatan rumah tangga (gusi, pinggan, tumbuan dll), permainan kuno (sappak hotang, catur, congklak, papan margajah, onja-onja). Onja-onja adalah sejenis perlombaan cerdas tangkas di zaman sekarang ini. Permainan nenek moyang kita dahulu sangat kreatif dan berasal dari alamnya sendiri, mengapa permainan itu tidak dikembangkan, sehingga alam sekitar kita bisa berguna dan kita tidak hanya menjadi buangan sampah mainan plastik produk luar nergeri? Terdapat juga alat-alat musik/kesenian seperti gondrang, husapi, sulim, sarune serta perlatan tari diantaranya toping huda-huda, hasil kerajinan dan lain-lain. Mata uang yang dipergunakan dari masa lalu dapat juga disaksikan di ruangan ini.
Masyarakat Simalungun memiliki ciri khas kehidupan, yang berbeda dari suku lainnya di Tanah Air tercinta ini. Barang-barang peninggalan di museum ini adalah bukti nyata.
Keluar dari ruangan muncul renungan di benak kami, kalau nenek moyang kita bisa menulis buku dengan alat yang sederhana, mengapa kini dengan peralatan serba canggih, kita tidak mampu menghasilkan karya-karya yang unggul dan dikagumi orang?
***
Museum ini merupakan salah satu yang tertua diantara 13 museum yang kini beroperasi dan terdaftar pada Direktori Pemerintah Indonesia. Mulai dibangun pada 10 April 1939 oleh Raja-raja Simalungun bekerja sama dengan tenaga-tenaga ahli dari negeri Belanda diantaranya Dr Voorhoeve, dan A.H. Doormik. Setahun kemudian, persisnya 30 April 1940, museum ini resmi beroperasi (Yayasan Museum Simalungun, 1983).
Selain Museum Simalungun, di Sumatera Utara terdapat Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Rumah Bolon Pematang Purba, Zoologi Pematangsiantar, Dairi Sidikalang, Hutabolon Simanindo, Balai Budaya Batak Arjuna, Karo Lingga, Niat Lima Laras di Tanjung Tiram, Pusaka Nias di Gunung Sitoli, Museum Juang 45 Sumatera Utara di Medan, Museum Perjuangan ABRI.
Di kala krisis belum melanda negara ini, dan kondisi kepariwisataan masih baik, Museum Simalungun adalah salah satu objek wisata yang tinggi peminatnya. Pada 1993 misalnya, museum ini menarik tidak kurang dari 43.000 lebih pengunjung asing, belum termasuk pengunjung domestik. Jauh lebih besar dari pengunjung Perpustakaan terbesar di Propinsi ini, yang hanya mampu menggaet kurang dari 1000 orang per bulannya.
Walau kemudian dari data statistik yang terpampang di papan Museum Simalungun menunjukkan jumlah pengunjung yang terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 1995, jumlah pengunjung asing tercatat sebesar 37.166 orang dan pengunjung dalam negeri 3.724 orang, tahun-tahun berikutnya terus menurun, hanya sekitar 5000-an (1997) dan menurun terus hingga hanya ratusan per tahun. “Dulu, bus-bus pariwisata berjejer parkir sepanjang jalan itu,”ujar Andreas.
Museum ini juga dipergunakan sebagai laboratorium penelitian. Puluhan peneliti dalam dan luar negeri menjadikannya sebagai objek penelitian dan referensi yang menghasilkan buku-buku budaya yang bernilai tinggi.
***
Kala kami mengitari bagian belakang museum, muncul rasa prihatin. Di sana terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari. Gedung Tari ini, dulunya ramai dengan para penari dan bahkan pengelolanyapun tinggal di sana. Sayang sekali. Bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang pembangunannya terbengkalai.
Puing-puing juga terdapat di sebelah Gedung Tari. Mengitari bagian belakang museum, terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari dan di sebelah kiri terdapat ruang kantor. Gedung Tari ini, dulunya ramai dan bahkan dijadikan sebagai tempat tinggal pengelola museum. Sayangnya, bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang terbengkalai.
Di sebelah Gedung Tari terdapat puing-puing di bekas bangunan tempat jaga malam. Bangunan itu terbakar beberapa waktu yang lalu. Ajaib!. Jarak api yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran tidak sempat “menjilat” atap museum yang terbuat dari ijuk. Andaikata api sempat menjilat museum dan menghanguskannya, bisa dibayangkan apa nasib barang-barang pusaka yang ada didalamnya. Meski sudah luput dari bahaya, tokh puing-puing kebakaran itu hanya dibiarkan begitu saja, sudah beberapa bulan tak mendapat perbaikan sama sekali. Sebuah bukti penghargaan kita yang rendah pada sebuah nilai masa lalu kita yang justru dihargai tinggi oleh orang asing. Ingat, puluhan ribu wisatawan asing mampir beberapa tahun lalu.
Begitu banyak bangunan bersejarah yang bernilai tinggi, yang gagal diberi makna, tergusur dan bahkan lenyap dikalahkan oleh pertimbangan bisnis semata. Mudah-mudahan Museum Simalungun tidak mengalami nasib yang sama dengan bangunan-bangunan bernilai sejarah yang tergusur di tempat lain. “Inilah salah satu keprihatinan para pengelola museum seperti kami,”ujar Andreas. Dia masih berharap kelak Museum Simalungun, demikian juga museum-museum yang lain masih berpotensi dikelola dengan baik.
Tulisan ini mengingatkan seluruh lapisan masyarakat agar mengingat petuah-petuah pendiri bangsa ini. ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah masa lalu”.. Masa lalu bermanfaat untuk memaknai kondisi masa kini. Pemaknaan kisah masa lalu yang sebagian tersimpan di museum, terletak sejauh mana masyarakat kita—khususnya generasi muda memahaminya dan merasa hal itu penting dan relevan sebagai sebuah tolok ukur kondisi masa kini.
Mengamati bangunan dan membaca sejarah museum ini, kami memiliki rasa kagum. Ide mulia puluhan tahun yang lalu--disponsori Pemerintah Belanda dan tokoh-tokoh lokal di tahun 1930-an, masih dapat disaksikan dan bermanfaat sampai sekarang. Para pendahulu kita menyadari pentingnya sebuah nilai yang baik diwariskan kepada generasi berikutnya, melalui museum. Bisakah kita mempertahankan dan melanjutkan cita-cita pendirinya? Sebuah tantangan bersama generasi penerus bangsa ini!.
Tulisan ini sedikit mengalami edit dari artikel yang dimuat di Rubrik Nusantara Hal 31 dengan 12 Gambar, Harian Analisa tanggal 14 Mei 2008.
Selasa, 17 Maret 2009
SELAMAT ULANG TAHUN KE-75 Pendeta Dr Armencius Munthe
“Aku Bersyukur Karena Masih Bisa Melayani”
Oleh Jannerson Girsang
75 pohon untuk usia 75 tahun!. Pdt Armencius Munthe, Mantan Ephorus GKPS kali ini merayakan Ulang Tahunnya sedikit unik. 15 Februari lalu, dalam acara khusus di kampung halamannya Pangambatan, Kabupaten Karo—daerah tangkapan air terjun Sipiso-sipiso, bersama-sama dengan penduduk kampung, dia menanam 75 pohon, pertanda usianya. "Saya ingin agar penduduk sadar pentingnya hutan untuk menjaga persediaan air,”ujarnya, 17 Maret lalu rumahnya, di bilangan Tanjung Sari Medan. Penulis Buku ”Firman Hidup 45” ini kemudian menjamu sekitar 900 warga dan mengadakan pengobatan gratis kepada masyarakat yang memerlukan.
Sebagai ungkapan rasa syukur, masyarakat Pangambatan menganugerahkannya sebuah Salib Emas atas kesehatan dan kontribusi Dr Armencius Munthe memberi pencerahan iman bagi warga kampung kelahirannya dan bagi dunia ini. ”Saya begitu terharu. Begitu besar penghargaan mereka. Bukan dari besar nilai materinya, tetapi ketulusan mereka,”ujarnya.
Memaknai Peringatan Ulang Tahunnya ke-75 tahun ini, suami Floriana Tobing ini mengatakan : ”Aku bersyukur, karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melayani hingga usia ujur ini,” katanya. Bahkan beberapa bulan sebelum perayaan itu, ayah tiga putra dan satu puti ini menjalani perawatan jantung di salah satu rumah sakit di Singapura.
Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga memang dirasakan sang pendeta sampai usia tuanya. Sebuah pemaknaan hidup yang kemudian menjadi judul buku biografinya ”Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga”, yang ditulis oleh saya sendiri dan J.Anto (2004), sebagai hadiah Ulangtahunnya ke 70 ketika itu. Buku ini menjelaskan hal-hal yang pernah dilihat, dialami dan dimaknainya selama kurun waktu tersebut.
Menapaki usianya di atas 70, karya-karyanya masih terus meluncur. Bukunya "Tema-tema Perjanjian Baru" yang diterbitkan 2005, laris manis. Kini sudah memasuki cetakan ke tiga. Bukunya yang lain "Jalan Ke Tahta" diterbitkan 2006. Buku ini adalah terjemahan dari bahasa Inggeris. Di usianya melewati 75 tahun ini, ayah tiga putra dan satu putri ini masih aktif dan sedang mempersiapkan sebuah buku : ”Back to the Bible”. ”Sekarang sedang di percetakan,”ujarnya. Belasan buku bertema teologia dan kemasyarakatan sudah pula diterbitkan dan beberapa diantaranya mengalami cetak ulang beberapa kali.
Pendeta Dr Armencius Munthe MTh dilahirkan pada 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, kurang lebih 100 kilometer sebelah Selatan kota Medan, ibu kota Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Masa kecilnya ditandai dengan kegiatan missionaris Lutheran dari Jerman dan masa-masa perang revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Jalan hidupnya, memang diakuinya penuh dengan Anugerah. Di usia 13 tahun, pria berkacamata minus ini kehilangan ayah tercinta Jalias Munthe, yang tewas ditembak Belanda. Bersama ibundanya Honim br Girsang (meninggal sekitar tiga tahun lalu) dan lima orang adik-adiknya mereka berjuang menapaki hidup. Bahkan kemudian dia berhasil menyelesaikan Master Theologi dari Universitas Hamburg Jerman pada 1965 dan bahkan kemudian selama puluhan tahun memimpin GKPS--gereja yang beranggotakan sekitar 200 ribu jiwa lebih itu.
Memaknai semuanya itu, lima kata penting: Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga, merupakan refleksi hidupnya. "Memaknai segala peristiwa kehidupan sebagai Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga merupakan kunci semua sukses yang saya raih," ujar pria yang menikah dengan Florentina Lumbantobing 15 Juni 1966 ini.
Menoleh kebelakang, kehidupannya memang penuh liku. Sebuah titik balik kehidupannya terjadi saat memasuki usia 16 tahun. Saat itu dia menjadi siswa Sekolah Rakyat di Saribudolok—13 kilometer dari desa kelahirannya, dan menumpang di sebuah rumah Pendeta Petrus Purba. Saat itu dia dibabtis tanpa sepengetahuan orang tuanya. Belum ada dari antara keluarganya yang menganut agama Kristen saat itu. ”Mereka menganut animisme,”ujarnya.
Dalam buku biografinya, diungkapkan bahwa anak-anaknya sering berhubungan dengan para pendeta-pendeta Barat. Ketika itu, para pendeta itu sering berkunjung ke kampungnya dan terlihat gagah memakai topi putih dan memakai tongkat. Itulah yang mengilhaminya bercita-cita menjadi pendeta.Sebuah pertimbangan rasional oleh pria seusianya.
Pada 1954, selepas Sekolah Lanjutan Pertamanya di Pematangsiantar--70 kilometer dari desanya, A Munthe mendaftar ke sekolah seminari di Sipoholon. Sekolah itu adalah sekolah calon pendeta yang dikelola oleh Huria Kristen Batak Protestan--gereja dengan jemaat terbesar di Asia Tenggara. Pilihan itu sebenarnya tidak disukai orang tuanya. Kebanggaan keluarga pada masa itu adalah bekerja sebagai pegawai pemerintah atau militer. Namun niatnya bulat memasuki sekolah itu dan berhasil lulus Sarjana Muda Theologia pada 1958, dengan prestasi yang ”sangat memuaskan”.
Memulai kariernya sebagai pendeta, Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS)—1964 berubah menjadi Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), mengangkatnya menjadi pendeta di Hang Tuah Medan—ibu kota provinsi Sumatera Utara, salah satu dari 33 provinsi di Indonesia.
Setelah melayani beberapa tahun di wilayah kota Medan, A Munthe memperoleh kesempatan tugas belajar ke Fakultas Theologia, Universitas Hamburg, Jerman dengan bea siswa dari Reinische Mission Gesellschaft (RMG). Pada 1965 dia lulus dan kembali ke Indonesia.
Sekembalinya dari Jerman, GKPS menugaskannya melayani beberapa tahun di Pulau Nias--pulau yang diterjang oleh Gempa Bumi terbesar dunia dengan 8.5 skala Richter pada Maret 2005, dan dua bulan sebelumnya diterjang tsunami. Selama 3 tahun Dr A Munthe mengajar di sebuah Seminari di pulau paling miskin di propinsi Sumatera Utara itu, sekaligus melakukan pelayanan ke pedalaman.
Kesempatan menapak ke tampuk pimpinan gereja terbuka saat GKPS kembali menugaskannya ke Sondiraya, Kabupaten Simalungun untuk memimpin lembaga pendidikan milik gereja tersebut. Dari desa--yang saat itu merupakan pusat pendidikan "terbaik" di Simalungun ketika itu, cahaya kepemimpinannya mulai bersinar. Dalam Synode Bolon GKPS 1970, dia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Kristen Protestan Simalungun--kini jumlah jemaatnya lebih dari 200 ribu jemaat tersebar di 615 jemaat di seluruh Indoinesia. Saat itu usianya baru menginjak 34 tahun. Sejak itu, Dr A Munthe memegang jabatan Pimpinan Pusat GKPS selama 25 tahun ; 13 tahun sebagai Sekjen dan 10 tahun menjadi Ephorus (Bishop).
Setelah meninggalkan tampuk pimpinan puncak GKPS pada 1995, Dr A Munthe aktif sebagai dosen Sekolah Tinggi Theologia Abdi Sabda--sebuah sekolah Theologia yang dikelola beberapa gereja Lutheran di Sumatera Utara. Selain itu dia juga aktif dalam menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia sehari-hari, sehingga mudah dibaca umat.
Meski sudah menjalani pensiun, Dr A Munthe masih memiliki jadwal khotbah yang padat, tidak saja di GKPS, tetapi juga gereja-gereja lainnya seperti HKBP, GKPI, Methodis dan lain-lain. Undangan khotbah oleh instansi dan kantor-kantor perusahaan masih terus berdatangan.
"Aku bersyukur kalau masih bisa melayani," demikian motto Dr A Munthe yang pintar berkhotbah dan telah menulis puluhan buku tentang teologia dan kemasyarakatan ini.
Atas karya-karya dan pengabdiannya, Universitas Chennai, India menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada A Munthe 1997. Sayangnya, lelaki yang belajar komputer setelah pensiun pada 1995 ini, tidak bisa menghadiri penganugerahan gelar doktor tersebut. Sesaat sebelum berangkat dari Bandara Polonia Medan, tiba-tiba petugas mengumumkan semua penerbangan ditutup karena asap tebal melanda lapangan terbang tersebut selama beberapa hari akibat kebakaran hutan.
Pidatonya sendiri hanya dibacakan saat penanugerahan itu. Judul pidato pengukuhan gelar doktor tersebut adalah "Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga", sebuah refleksi kehidupan pribadinya. "Itulah refleksi kehidupan saya," katanya.
Selamat Ulang Tahun ke-75 untuk pak Munthe sukses dan terus berkarya di tengah-tengah jemaat. .
Tulisan ini adalah Hadiah Ulang Tahunku bagi seorang yang aku agumi!.
Selamat Jalan SK Trimurti
Dunia jurnalis Indonesia berkabung!. SK Trimurti yang nama lengkapnya Surastri Karma Trimurti, seorang tokoh pers nasional meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta dalam usia 96 tahun. Wanita kelahiran Boyolali 11 Mei 1912 menghadap khalikNya, sembilan hari setelah Ulang Tahunnya ke 96, tepatnya 20 Mei 2008 sekitar pukul 18.30 WIB. Saat itu bertepatan dengan saat berlangsungnya puncak perayaan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang dirayakan di Senayan, Jakarta.
Dua buku yakni “SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa”, yang ditulis Soebagio IN (1982) dan "Jagat Wartawan Indonesia" yang juga ditulis Soebagio IN (1980) menjadi sumber utama penulisan artikel ini, disamping beberapa sumber lain.
Meninggalkan Guru Memasuk Dunia Pergerakan dan Wartawan
Perjalanan hidup SK Trimurti, pantas dijadikan sebagai salah seorang teladan pers Indonesia, khususnya pemahamannya akan kondisi bangsanya, semangat dan keberanian menyatakan sikapnya sebagai seorang wartawati dan sekaligus pejuang.
Setelah berjuang melalui media dan aktif di masa pergerakan memperjuangkan Indonesia Merdeka, ia bergerak bersama suaminya, Sayuti Melik di malam-malam terakhir persiapan pembacaan Proklamasi. Sayuti Melik adalah juru ketik naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Trimurti ikut hadir saat pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Dialah seorang perempuan saksi pembacaan Proklamasi.
Setelah Indonesia merdeka SK Trimurti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia dan atas nama partainya menjadi Menteri Buruh Indonesia yang pertama. Selain itu, ia menjadi anggota Dewan Nasional Angkatan 45, Anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia serta memperoleh beberapa bintang tanda jasa. Ia diminta berperan, bukan merengek-rengek minta peran, apalagi menyogok untuk diberi jabatan!. SK Trimurti pernah menjadi utusan negara ke berbagai pertemuan di luar negeri seperti Yugoslavia (1962) sebagai anggota dewan Perancang Nasional, ke Kongres Wanita Internasional di Moskow (1963), serta Jerman Timur (1964). Semasa Orde Baru SK Trimurti aktif menghadiri seminar, upaca-upaca peringatan hari-hari bersejarah, berdialog dengan para pemimpin bangsa
Alkisah, di masa 1930-an, dalam sebuah kesempatan, Bung Karno pernah mengajak SK Trimurti menulis di media yang dipimpinnya. “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakyat,” ujar Bung Karno kepada SK Trimurti, seperti ditulis Soebagio I.N dalam buku “Jagat Wartawan Indonesia” (1980). Kala itu Bung Karno adalah pemimpin Fikiran Rakyat di Bandung.
Dalam buku itu, disebutkan SK Trimurti merasa tertantang sekaligus bingung, karena saat itu dia belum pernah menulis dalam majalah ataupun koran. Singkat cerita, Trimurti akhirnya mengirimkan tulisannya ke Fikiran Rakyat. Tulisannya benar-benar dimuat!. Trimurti bersemangat. Ia menjadi jurnalis yang ditempa masanya, dengan semangat membebaskan bangsanya dari cengkeraman bangsa asing. “Sayangnya, baru sekali mengirim tulisan, kemudian Soekarno ditahan Belanda,” kisah Soebagio dalam bukunya. Tantangan ini tidak serta merta menurunkan semangat juangnya.
Kehilangan pekerjaan sebagai guru dan ditutupnya Pikiran Rakyat, SK Trimurti meninggalkan Bandung dan pulang ke kampungnya di Klaten. Di kampungnya, ia tidak tinggal diam. Kebiasaannya di Bandung berlanjut di sana. Mengisi kekosongan waktu selama di kampung ia mengirimkan tulisannya ke harian Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo di Surabaya.
Atas ajakan rekan-rekannya, Trimurti kemudian memimpin majalah Bedoeg yang berbahasa Jawa. Siar majalah Bedoeg dianggab kurang luas, karena soal bahasa yang digunakan. Kemudian nama majalah tersebut diganti menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia.
Di kemudian hari ia bergabung dengan temannya seorang wanita bernama Sri Panggihan, menerbitkan majalah Marhaeni. Isinya berupa pendidikan-pendidikan yang ditujukan kepada kaum wanita agar ikut serta dalam perjuangan rakyat untuk pembebasan tanah air. Semboyan Persatuan Marhaeni sendiri jelas. “Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui Indonesia Merdeka”.
SK Trimurti, tidak puas hanya sebagai seorang wartawati atau redaktris. Dari uang hadiah tulisannya, ia mendirikan sebuah majalah, yakni Suluh Kita, yang pengelolaannya diserahkan kepada orang lain. Trimurti kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai redaktris pada majalah Sinar Selatan, sebuah harian yang diterbitkan seorang keturunan Jepang.
Menghadapi Risiko Sebagai Wartawan
SK Trimurti menjalani kehidupan jurnalis dan pejuang kemerdekaan dengan segala risiko dan kondisi kehidupan yang dialaminya. “Dia lebih dikenal sebagai seorang wartawati, yang keluar masuk bui karena tulisannya yang terkenal tajam. Banyak karangannya waktu itu dimuat dalam harian Sinar Selatan, kemudian di mingguan Pesat yang terbit di Semarang”, demikian diungkapkan Soabagio IN dalam biografinya berjudul SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa (1982).
Salah satu contoh kejelian dan keberaniannya adalah ketika ia menjadi redaktris di Sinar Selatan. Suatu saat SK Trimurti menerima sebuah tulisan berjudul “Pertikaian Jepang-Tiongkok, Sikap yang Patut Diambil Bangsa Indonesia terhadap Pertikaian Tiongkok-Jepang”. Isinya, “Rakyat Indonesia tidak usah membela Belanda. Sebab Belanda Imperialis. Juga tidak perlu membela Jepang sebab Jepang kemungkinan juga imperialis. Yang baik, sikap bangsa Indonesia ialah memperkuat diri sendiri, untuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri”. Ia meloloskan tulisan yang menyatakan sikap yang seharusnya ditempuh oleh pemimpin bangsa. Tulisan ini menyebabkan penguasa ketika itu naik pitam. Trimurti diganjar 6 bulan penjara.
SK Trimurti mengambil peran penting melalui dunia wartawan, sekaligus berperan dalam perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari kedua buku tentang SK Trimurti kami melihat bahwa ia memahami kondisi bangsanya, merumuskan visi dengan jelas dan dapat dimengerti orang lain, serta memiliki sikap yang konsisten dengan perjuangan bangsanya.
Selain sebagai seorang penulis, SK Trimurti aktif dalam pergerakan. Seperti telah disebut di atas, ia menjadi anggota Partindo dan pernah menjadi Ketua PB Marhaeni Indonesia. Karena ketahuan menyebarkan pamflet yang berbau anti penjajah, Trimurti dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.
Penjara, ternyata tidak bisa menghentikan suara dan karya seorang wartawan. Selepas dari penjara, Trimurti justru memperoleh hadiah sejumlah uang dari surat kabar “Penebar Semangat” karena memenangkan penulisan cerita sandiwara.
Media dan Apresiasi Pejuang Perempuan!
Kalau anda jeli menonton televisi atau membaca media cetak, sebuah rasa keprihatinan muncul atas sikap mereka dalam pemberitaan kedua tokoh nasional itu. Salah satu harian terbesar di Indonesia, menempatkan peristiwa meninggalnya SK Trimurti dibelakang berita Ali Sadikin. Kalau Ali Sadikin mendapat porsi 3 kolom penuh di halaman muka dan bersambung dua kolom di halaman 15 dan dengan penjelasan yang lebih lengkap, maka pemberitaan tentang meninggalnya SK Trimurti hanya diapresiasi dengan sub-judul : “Berpulang dalam sepi” dan hanya dua kolom yang tidak penuh. Kesan pembaca, Ali Sadikin jauh lebih populer dan lebih berjasa dari SK Trimurti.
Detik.com menampilkan peristiwa itu dengan judul : “Ali Sadikin dan SK Trimurti Wafat”. Walau hanya berita singkat, keduanya diberi porsi berita dan penjelasan yang seimbang. Memang, seharusnya keduanya mendapat porsi pemberitaan yang proporsional.
Ada sebuah keprihatinan dalam benak kami : kalau media saja tidak memberi apresiasi yang besar atas seorang tokoh media, lalu siapa?. Wanita besar seperti apa yang menarik media untuk diapresiasi?. Sikap media atas tokoh pejuang perempuan perlu terus digaungkan. Himbauan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta baru-baru ini untuk lebih mengapresiasi prestasi para pejuang perempuan perlu direnungkan.
Berikan Akses Media
Bercermin ke belakang, memang cerita tokoh pers perempuan masih sangat minim diungkap di media maupun buku-buku. Buku “Jagad Wartawan Indonesia” (1980), mengungkapkan bahwa dari 111 biografi singkat tokoh wartawan Indonesia, hanya tercantum dua wartawati yakni Rasuna Said (halaman 502-506) dan Surastri Karma Trimurti (hal 397-402). Tidak jelas mengapa demikian. Barangkali, tidak tampilnya karya-karya dan tokoh pers perempuan bisa jadi merupakan gambaran minimnya peran perempuan dalam dunia jurnalistik kita di masa itu. Tetapi bisa jadi, sama seperti kejadian yang menimpa SK Trimurti, media kita masih lebih berpihak pada tokoh laki-laki.
Dampak dari situasi ini jelas. Cerita perjuangan dan sukses perempuan secara individual boleh dikata masih sangat minim. Popularitas perempuan jauh dibawah laki-laki!. Di alam demokrasi sekarang ini, hal ini berakibat pada akses perempuan di pentas politik dan berbagai jabatan strategis lainnya di masa mendatang. Jangan heran, kalau apresiasi media atas peran perempuan seperti kondisi ini, maka untuk mengejar target 30% perempuan mengambil peran dalam kepengurusan Partai maupun anggota Parlemen dan juga jabatan-jabatan strategis lainnya, akan berjalan tertatih-tatih.
Sejarah menunjukkan, media adalah salah satu cara efektif masuknya orang ke dalam kancah politik Posisi yang tidak hanya membutuhkan kemampuan (skill), tetapi juga popularitas dan dukungan masyarakat. Tanpa memfasilitasi akses media kepada perempuan, maka kesetaraan gender akan terus menjadi wacana, tanpa sesuatu perubahan yang signifikan.
Kepergiaan SK Trimurti merupakan momen penting untuk menghimbau media agar memberikan porsi yang lebih besar untuk suara perempuan dan karya-karya mereka serta juga berikan kesempatan bagi mereka menciptakan dan menilai berita yang layak bagi bangsa ini. Keputusan menetapkan berita pada sebagian besar harian umum, majalah umum mingguan yang besar, stasion televisi, radio masih perlu ditata agar memberikan porsi yang benar bagi apresiasi karya perempuan.
SK Trimurti-SK Trimurti Baru
Momen ini juga sekaligus menghimbau agar kaum perempuan Indonesia lebih banyak menyuarakan ide atau keluhannya melalui media. SK Trimurti menyadarkan kita bahwa gagasan-gagasan perempuan bisa diketahui publik kalau disampaikan kepada masyarakat melalui media. Jangan biarkan karya-karya, buah pikiran tersimpan di benak hati, di dalam laptop atau hard disk komputer. Belajar dari pengalaman SK Trimurti, menuangkan opini atau berita di media adalah alat penting bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan sekaligus nasib bangsanya sendiri. Sentuhan hati dan nurani perempuan yang lembut namun “berpengaruh”.
Polesan kalimat mereka dibutuhkan untuk menjelaskan dan menyadarkan kita semua atas kondisi faktual saat ini seperti : “korupsi berjamaah” yang kian hari semakin merasuk masyarakat kita, harga-harga kebutuhan yang terus meroket akibat rencana kenaikan BBM, lapangan kerja sulit, praktek percaloan pegawai, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Lihatlah Kabinet dibawah SBY sekarang!. Beberapa hari terakhir menampilkan Sri Mulyani dan Mari Pangestu sebagai “alat pendingin” pemerintah soal kenaikan BBM. Mungkin mereka sadar bahwa Hawa berhasil membujuk Adam untuk memakan “buah terlarang”. Tentunya perempuan juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi “masyarakat” memahami “tindakan pemerintah”-terlepas apakah tindakan itu benar atau salah.
Bangsa ini sedang menunggu “SK Trimurti-SK Trimurti baru” menyuarakan karya-karya perempuan dan bangsanya sendiri. Assosiasi Jurnalis Perempuan yang muncul belakangan ini memiliki beban besar yakni memberi warna yang berbeda dari assosiasi jurnalis lainnya. Selamat jalan SK Trimurti, keteladananmu sebagai wartawati akan menjadi pendorong semangat para wartawan Indonesia, khususnya wartawati Indonesia lebih mengapresiasi karya-karya dan tokoh-tokoh perempuan!. Dimuat di Harian Analisa Mei 2008.
Keterangan Foto : (JAKARTA, 27/8 - TUTUP USIA. SK Trimurti seorang wartawati, penulis, pengajar, dan istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi dan pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, tutup usia pada saat bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Foto diambil pada acara temu generasi dalam rangka Proklamasi RI, di Gedung Joang 45, Jakarta, Jumat (27/8), SK.Trimurti bersalaman dengan Benny Wenas, disaksikan Ketua Dewan Harian Daerah 45 DKI Jakarta, HR Soeprapto. FOTO ANTARA/Audy Alwi/hm/hp/08diselenggarakan di Senayan, Jakarta dan dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia).
Senin, 16 Maret 2009
Marengge-Rengge Masa Krisis
Pengantar : Seorang wartawan senior, Bersihar Lubis, menulis tiga artikel selama tiga hari berturut-turut (3, 4, 5 Nopember 2008) di harian Medan Bisnis menggunakan buku ”Haholongan” sebagai referensi menghadapi masa krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, serta masyarakat Internasional pada umumnya. Haholongon adalah buku Biografi yang ke 9 yang kami tulis enam tahun terakhir ini. (Jannerson Girsang, 2008. Haholongon, Kasih Perempuan Sejati. Biografi Yohanna br Mabun Banjarnahor)
Marengge-Rengge Masa Krisis
Medan Bisnis Senin, 03-11-2008
*Bersihar Lubis
SIBORONG-borong di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut masih berselimut kabut. Ketika orang-orang tertidur lena, perempuan itu sudah bergegas membawa barang dagangannya ke onan (pasar mingguan) di kota-kota kecil di Tapanuli Utara. Orang Batak menyebutnya parengge-rengge, atau pedagang pasar.
Kala itu, sekitar 1960-an. Perempuan itu sedang menghadapi pergulatan ekonomi keluarga. Mungkin, seperti yang kini banyak mendera keluarga Amerika Serikat yang dilibas oleh krisis keuangan. Namun perempuan itu tak mau menyerah.
Maklum, ia dan suaminya menanggung delapan orang anak, serta tiga orang lagi, lahir kemudian. Peliknya, biaya hidup, uang sekolah anak-anaknya dan kontrakan rumah tidak bisa ditunda. Mengandalkan gaji suaminya saja sebagai seorang pegawai Kantor Camat, jelas tidak mencukupi.
Statusnya sebagai putri bangsawan, menantu mantan saudagar kaya, bahkan ia pun berpendidikan lumayan, tak membuat ia malu.
Perempuan itu, tentu saja tidak tahu teori Rostow dan Mc Cleland tentang Need for Achievement. Tapi motivasinya untuk tetap eksis, luar biasa. Saban hari, ia bergiliran menyusuri onan di Tapanuli Utara. Setiap hari, berpuluh-puluh kilometer ia tempuh di atas truk bersama parengge-rengge lainnya.
Ketika bulan sudah terbenam di angkasa, dan langit gelap, ia baru tiba di rumah. Namun ia lega menatap putra-putrinya yang sudah tidur nyenyak bak dipeluk mimpi-mimpi indah.
Perempuan itu nyaris bekerja antara 12-18 jam sehari. Jika ia pulang lebih dini, waktu tersisa dimanfaatkannya dengan menjahit. Maklum, kain sarung yang dibeli para pedagang di Pematangsiantar dan Medan masih berupa lembaran biasa. Ia lalu menjahitnya agar menjadi kain sarung dan dijual di onan.
Kadang ia juga menyulam di malam hari. Di saat sepasang kakinya “menari” di pedal mesin jahit, ia pun menyenandungkan lagu Batak mengusir rasa sepi. Tanpa sadar kadang bola matanya basah.
Empat hari dalam semingu, ia ”berayun-ayun” di atas mobil truk. Banyak jalanan yang berlobang, dan jika hujan mengguyur berubah menjadi kubangan lumpur, dan waktu tempuh semakin lama.
Dari Siborong-borong ke Sipahutar sejauh 22 kilometer ditempuh 3 - 4 jam. Padahal jika jalanan mulus, cukup 30 menit. Itu sebabnya ia mesti bangun sebelum fajar menyingsing.
Perempuan itu pulang ke rumah, rata-rata pukul 7 atau 8 malam. Ia hanya tidur 2-3 jam, dan dinihari kembali bergegas ke pasar Pangaribuan sejauh 44 kilometer dalam perjalanan 5-6 jam. Agaknya, etos Calvinis yang merasuk ke sukmanya, membuat ia tetap tegar.
Setiap kali truk melewati Bukit Rau, di antara Sipahutar dan Siborongborong, mereka waswas. Truk tak bisa lewat karena rodanya terbenam dalam lumpur tebal. Terpaksa bermalam di lokasi. Terpaksa pula tidur di atas bak truk beralaskan barang-barang jualan, seraya menahan dinginnya hawa malam dan serangan nyamuk-nyamuk yang berdengung-dengung.
Pernah pula truk mereka terbalik. Kala itu, ia sedang menggendong si bungsunya yang masih kecil. Perempuan itu kaget ketika tahu-tahu sudah berada di dalam jurang. Ajaib, si kecil ia lihat sudah di pangku sopir truk.
Suatu hari di suatu kampung ada tanjakan terjal. Di sebelah kiri tebing, dan jurang di kanan. Tiba-tiba mesin truk mati, dan truk merosot ke belakang. Para penumpang menjerit panik, karena roda belakang sudah tergantung di mulut jurang. Puji Tuhan, sebuah pohon besar menghempang truk terjun ke jurang.
Duduk berjam-jam di atas bak mobil truk sembari diguncang-guncang roda mobil, tidaklah nyaman. Bau muntahan makanan teman mereka yang perutnya serasa diaduk-aduk, adalah rutinitas mereka. Belum lagi sengatan matahari yang terik.
Untunglah, barang dagangan mereka diminati pembeli. Rejeki lagi ramah. Tapi terkadang rugi karena tak semua pelanggan membayar tunai. Ada juga pembeli yang mencicil. Dan sering macet ketika ditagih.
Jika sial seperti itu, pada saat pulang di atas truk, mereka akan menghibur diri dengan lagu bernada kocak.
Parrengge-rengge inangda simatuakku
Rengge-renggena inangda anak ni asu
Dihallung-hallung inangda tu Doloksanggul
Mulak balging da inang da ala so lakku
Namun kala usianya makin senja, perempuan itu “kalah” juga. Ketika satu persatu putra-putrinya sukses di tanah rantauan, mereka meminta sang ibu tak lagi berjualan. Tapi, siapa gerangan perempuan yang “perkasa” itu? (Bersambung).
Non Finansial & Bunga Tulip
Selasa, 04-11-2008
*Bersihar Lubis
SOSOK perempuan yang dikisahkan MedanBisnis edisi kemarin di kolom ini dicuplik dari sebuah memoar berjudul “Haholongan” (2008) sebuah kisah hidup Johanna boru Marbun Banjarnahor, 87 tahun. Ditulis oleh Jannerson Girsang dan J Anto, dan saya sendiri sebagai editornya.
Mengutip penelitian Puslitbank FE USU Medan berjudul “Model Pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) dari Aspek Non-Finansial di Sumut” yang digelar 29 Oktober 2008 lalu di gedung BI Medan, saya kira Johanna terkategori memiliki aspek non-finansial meskipun dalam gaya tahun 1960-an.
Johanna disiplin soal waktu, peka permintaan pasar dan memiliki elan vital yang luar biasa. Ia tekuni diversifikasi usaha, sehingga hari-harinya menjadi produktif.
Dukungan finansial, karena ia berasal dari keluarga terpandang, tak membuatnya sukses. Johanna kelahiran 1921 di Onan Ganjang, Tapanuli Utara ini bersuamikan Gerhard Nainggolan, ayah RE Nainggolan, kini Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Utara.
Ayahnya, Raja Herman Marbun adalah pengatur irigasi yang pada 1931 diangkat pemerintahan Hindia Belanda menjadi Kepala Negeri. Ia sering rapat di Tarutung, Siborongborong, Sidikalang dan Medan, atas undangan pemerintah.
Johanna pun seorang terpelajar. Lulus Sekolah Dasar Zending pada 1932, dan Meisje School sehingga ia paham bahasa Belanda, serta lulus pada 1935. Ia masih studi ke Huishoud School (SMKA, sekarang) di Laguboti.
Johanna menikah dengan Gerhard pada 1938. Gerhard berpendidikan MULO di Medan, meski tidak tamat. Gerhard Nainggolan adalah putra Julius Nainggolan, saudagar kemenyan yang sukses hingga 1950-an. Sekali sebulan ia mengirimkan 8 ton kemenyan ke Sibolga, Pematangsiantar, Pulau Jawa dan luar negeri.
Jika semula Johanna guru di sekolah Zending, dan Gerhard mengajar Bahasa Belanda, sang mertua meminta menantunya cukup di rumah saja, dan anaknya ikut berbisnis kemenyan.
Belakangan pasangan ini “berdikari” membuka usaha toko kelontong. Namun zaman Jepang datang, dan segenap penduduk menangis karena seluruh hasil bumi harus disetorkan ke Jepang. Penduduk menjalani kerja paksa romusha dan tanpa upah. Usaha kelontong Johanna pun bangkrut.
Derita lebih getir muncul ketika Belanda kembali masuk ke Indonesia. Status ayahnya semasa menjadi Kepala Negeri di masa lalu ternyata menjadi bumerang. Raja Herman menjadi sasaran laskar rakyat yang anti Belanda.
Sejarawan menulis kisah ini sebagai “revolusi sosial.” Kita teringat terbunuhnya penyair Amir Hamzah, putra Raja Langkat, yang ketika studi di Solo dikenal sebagai Ketua Indonesia Muda, sebuah organisasi yang sangat nasionalis.
Pasangan Johanna-Gerhard, setelah cease fire pada 1948, eksodus ke Pematangsiantar. Namun meski menyewa rumah kecil, kios dan modal berjualan, tapi setelah dua tahun, bisnis Gerhard gulung tikar.
Tak pelak, mereka kembali ke Dolok Sanggul pada 1950. Namun lagi-lagi bisnis bukanlah pentas Gerhard meski disangga kapital yang cukup dari sang ayah. Singkat cerita, Gerhard menjadi pegawai negeri pada 1952 dan ditempatkan di Barus, dan kemudian ke Sibolga.
Tak disangka-sangka, meletuslah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sehingga kelurga Gerhard pindah ke Tarutung. Cobaan datang silih ganti. Raja Herman dan Julius Nainggolan, meninggal pada 1960.
Namun Johanna tegar. Ia terjuni dunia marengge-rengge yang penuh pergumulan, sehingga putra-putrinya sukses merenggut masa depan. Cucu-cucunya pun rata-rata meraih sarjana dari kampus dalam negeri maupun luar negeri seperti Perancis, Swiss dan Amerika Serikat.
Habis gelap terbitlah terang. Johanna diberangkatkan putra-putrinya ke Jerusalem pada 1996 silam. Ia bernapaktilas ke Tel Aviv, Golgota, menyeberangi Danau Tiberias, Laut Mati, Bukit Musa, menjenguk Tembok Ratapan dan Masjid Al Aqsa. Juga mampir di Roma dan Belanda, seraya menikmati bunga tulip yang indah berwarna warni.
Ternyata, kunci sukses tak selalu karena faktor finansial. Faktor non finansial, seperti diungkapkan oleh Puslitbank FE USU Medan, jauh lebih penting. (Bersambung)
Non Finansial & Ekonomi Politik
Rabu, 05-11-2008
*Bersihar Lubis
DUIT tidak segala-galanya, Saudara! Meskipun kredit UMKM (usaha mikro kecil dan menengah), termasuk kredit BPR (bank perkreditan rakyat) pada 2007 sebesar Rp 523,3 triliun, namun sumbangannya dalam pembentukan PDB (produk domestik bruto) hanya sebanyak 37,8% dari total PDB nasional.
Padahal, UMK merupakan sumber utama kehidupan rakyat dengan daya serap tenaga kerja mencapai 92,3%. Jumlah terbesar dari pelaku usaha di negeri ini pun adalah UMK yang mencapai 99,7%. Banyak secara kuantitas, tak berdaya secara kualitas.
Fakta yang diungkapkan oleh Jhon Tafbu Ritonga dkk dari Lembaga Penelitian dan Perbankan FE USU Medan sekaligus melukiskan hanya sekelumit kecil pelaku usaha di pucuk piramida bangunan sosial ekonomi yang menentukan PDB secara nasional. Nurani kita tergugah, ternyata kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih menjadi masalah yang tak kunjung usai.
Namun berkeluh kesah melulu bukanlah solusi. Puslitbang FE USU kemudian mewawancarai 300 pelaku UMK secara acak di Sumatera Utara. Ternyata dukungan aspek non finansial sangat berperan penting dalam mendongkrak martabat UMK di daerah ini.
Adapun aspek non finansial itu adalah manajerial, legalitas, produksi, pemasaran dan ketenaga-kerjaan. Prihatinnya, umumnya responden kurang menyadarinya, dan menganggap faktor finansial lah yang membuat mereka kurang atau tidak sukses.
Padahal, agar uang bisa memanen uang, money to money, kata orang, mestilah digerakkan oleh faktor non finansial. Uang hanya sekadar alat. Bahkan dalam skala besar pun, sebuah pabrik yang mempunyai modal besar tidak akan sukses jika tak didukung oleh buruh, manajemen marketing dan produksi yang berkualitas.
Kita mengurut dada karena hanya 12,2% pelaku UMK yang mengaku telah mendapat pelatihan non finansial. Itu pun baru menyangkut keterampilan produksi. Sementara bidang pemasaran, tata kelola perusahaan dan keterampilan tenaga kerja masih sangat terbatas.
Tapi misalkan pada suatu hari pelaku UMK kita telah “naik kelas” dari usaha yang tidak berlokasi permanen menjadi permanen, dari usaha informal menjadi legal-formal serta usaha mikro menjadi industri kecil, masih ada faktor non finansial lainnya yang menghadang.
Contohnya, industri makanan dan minuman, baik kecil, menengah dan besar sekalipun akan kalah bersaing jika produk sejenis menyerbu dari luar negeri. Industri otomotif kita bahkan hanya menjadi “pelayan” industri mobil luar negeri untuk sekadar membuat spare part. Tak seperti Proton Saga, mobil Malaysia yang kompetitif dengan mobil asing.
Tidak heran jika pelaku UMK yang berkutat di pasar tradisional selalu kalah bersaing dengan pasar modern dan formal yang membanjir di negeri ini. Bukankah, restoran Mc Donald dan KFC lebih digemari dibanding ayam goreng Suharti dan kedai nasi Padang?
Faktor non finansial dalam tataran kebijakan pemerintah dalam mengembangkan UMK dengan demikian telah memasuki paradoks wilayah ekonomi politik atau ideologi ekonomi. Jika liberalisasi perdagangan yang tanpa kendali membuat industri kita kalah bersaing, apalagi pelaku UMK yang rapuh akan semakin tidak berkutik.
Apa daya, dalam “dual society” dan “dual economies” selalu saja sektor modern yang berkibar-kibar. Sektor tradisional tetap saja terkapar.
Ketika kita memrioritaskan yang satu, sekaligus kita sedang mengorbankan yang lain. Alangkah tragisnya, jika pelaku UMK yang jumlahnya lebih banyak diminta berkorban demi yang sedikit (Habis).Wartawan MedanBisnis.
Dapat juga diakses ke : http://www.medanbisnisonline.com
MELONGOK PENGUSAHA KEMENYAN ERA 30-AN
Selain sebagai pengumpul kemenyan, Julius juga memiliki lebih dari 10 hektar tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, sekitar 5 kilometer dari rumahnya. Bahkan ladang dan sawah. Julius sebenarnya bukan penduduk asli kampung Huta Julu, dia berasal dari Bonan Dolok tidak jauh dari desa Huta Julu. Konon setelah Julius menapaki sukses, dia bisa memiliki sebidang tanah di Batuara dan kemudian memiliki tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, kira-kira lima kilometer dari rumahnya. Julius kemudian mengajak saudara-saudaranya pindah dari desa lain ke huta Julu bahkan membentuk huta Batuara. ”Ketika itu amanguda, amangboru, adikku, anak amangtua, amangtua membantu dia untuk mengerjakan tombaknya” ujar Jakin Nainggolan, salah seorang bekas sijama bajut (bendahara Julius) menggambarkan kiat Julius untuk membesarkan usahanya, sekaligus membantu keluarganya. Semua keluarga Julius bekerja di tombak atau sawahnya. Julius memperoleh kemenyan (si jama polang) dari lahan miliknya sendiri. Dia juga pemilik sawah yang dikerjakan penduduk desa. Setiap tahun Julius mengumpulkan hasil kemenyan dan hasil-hasil ladang lainnya yang hasilnya dibagi dua dengan para pekerjanya.