My 500 Words

Rabu, 03 Juli 2013

Haruki Yamamoto: I Miss You!

Oleh: Jannerson Girsang

Akhir 1980an saya kedatangan tamu seorang laki-laki Jepang dari Tenri, University, salah satu universitas di negeri matahari terbit itu. Bertubuh pendek, berkulit kuning, sangat sopan  dan cerdas. 

Selama beberapa hari dia tinggal di Mess Universitas Simalungun. Ketika itu saya menjabat sebagai Pelaksana Rektor Universitas itu, dan bisa mengusahakannya tinggal di mess dosen dengan enam kamar itu.  

Yang mengherankan dia tidak betah, karena katanya para dosen di sana bising. Berbincang keras-keras, dan yang lain memutas kaset dengan suara menembus dinding-dinding kamar, tanpa peduli teman sekitar sedang belajar. Dia  sudah konsentrasi belajar, dan akhirnya dia memilih tinggal di Siantar Hotel. Dia tidak mau gratis kalau suasana belajar tidak nyaman. 

Saya sangat mengagumi kesungguhan dan kegigihannya belajar. Setiap hari dia belajar bahasa Simalungun dari seorang dosen di sana. Dia belajar peninggalan nenek moyang Simalungun dari almarhum Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun. Semua pelajaran digarap dengan tekun dan menurut kedua orang tadi, Haruki Yamamoto sangat cerdas dan tekun. Hingga di akhir jadwal yang ditentukan dia dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. 

Dia sangat menghargai bantuan orang lain. Setelah masa studinya selesai dan hendak pulang ke Jepang, dia menghadiahi saya sebuah kotak kaca unik. Untuk teman-teman yang lain saya kira dia juga memberikan kenang-kenangan yang berkesan. 

Malam terakhir, kami ditraktirnya di Pongkalan Na Bolon—kedai nasi yang menyediakan makanan khas Simalungun, di dekat pajak Parluasan.  Pagi-pagi dia datang ke kantor dan memohon  agar saya menyediakan makanan khas Simalungun.  Saya menawarkan makanan “si pitu dai” (tujuh rasa). Dia setuju saja. Saya kemudian meminta pemilik Pongkalan Na Bolon menyediakan makanan yang saya pesan. Dia mengganti semua biaya untuk itu. Sebagai penghormatan dari kami, sebuah ulos Simalungun diberikan kepadanya. Dia senang sekali, sayang foto dokumentasinya sudah hilang. Yang jelas, dia memiliki kamera dan mengabadikan momen penting itu.

Itulah pertemuan kami yang terakhir dan hingga kini saya tidak pernah bertemu lagi. Saya mencoba searching di internet, dan saya menemukan namanya. Kini, Prof. Yamamoto Haruki, dari Tenri University menjadi  dosen tamu di Universitas Indonesia dengan mata kuliah   Animism and Japanese Culture. http://kwj-ui.com/en/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=30. Tapi, saya belum bisa menghubunginya, karena tidak ada alamat email ataupun telepon.

Semoga tulisan singkat ini dapat mempertemukan saya dengan Haruki Yamamoto. Bagi rekan-rekan, saya ingin sekali bantuannya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun kami tidak pernah bertemu. Ketika kami berpisah, saya baru memiliki satu putri berusia empat tahun, kini sudah berkeluarga. Bahkan putri saya yang keduapun sudah merencanakan pernikahannya tahun ini.

Saya  bisa dihubungi melalui email: girsangjannerson@gmail.com.

Rabu, 19 Juni 2013

Melepas Rindu dengan Pdt Dr Edison Munthe: Mantan Ephorus GKPS (2000-2005)


Terakhir bertemu dengan Pdt Dr Edison Munthe MTh saat adik saya Parker Girsang meninggal 2010. Saya beruntung satu meja dengan beliau dalam sebuah acara di Jakarta 8 Juni 2013 lalu. Perbincangan lebih dari dua jam dengan pendeta yang suka ceplas ceplos ini sungguh sangat mengasyikkan.

"Ija Inang Pa?," ujar penulis membuka pembicaraan. "I Medan pe. Baru marujung bapa, jadi bahat pe urusanni i Sumatera"ujarnya, sambil memperbaiki letak kacamatanya.

Meski rambutnya sudah memutih  langkahnya masih lincah menuju mimbar menyampaikan khotbah pada acara Ulang Tahun St Dr Junimart Girsang, SH, MH, 8 Januari 2013 lalu di lantai 10 Ball Room Hotel, Kemayoran, Jakarta, 8 Juni 2013 lalu.

Suaranya baritonnya yang tegas tetap memukau. Tangannya bergerak lincah di atas mimbar ketika menyampaikan khotbah yang memerlukan penekanan khusus.

Pendeta yang mampu berbahasa Karo, Simalungun, Toba, Pakpak, dan tentunya juga lancar bahasa Inggeris ini adalah Ephorus GKPS periode 2000-2005).

Delapan tahun sudah beliau meninggalkan jabatannya sebagai Ephorus. Mengapa akhirnya memilih tinggal di Jakarta?

“Saya hijrah ke Jakarta, karena sakit. Tidak mampu kalau memeriksa kesehatan bolak-balik Medan-Jakarta,” ujarnya, mengenang peristiwa beberapa tahun lalu, tak lama setelah beliau pensiun.

Hingga di usianya memasuki 68 tahun ini masih aktif melayani di berbagai denominasi gereja di Jakarta dan juga di luar Jakarta. Pertengahan 2012 lalu misalnya, beliau melayani di GKPS Jambi selama beberapa hari. Beliau kadang tampil dalam pelayanan pastoral di Medan, Pematangsiantar.

Dalam khotbah-kotbahnya beliau sering menekankan agar Sekolah Minggu mendapat prioritas, khususnya dalam pengembangan sarana dan prasarana gedung sekolah minggu. Pdt Dr Edison Munthe MTh juga sering menyinggung minimnya peserta pastoral (Majelis dan Jemaat).

Salah satu khotbah beliau yang kami kutip dari sebuah KKR mengatakan: “Hita halak Kristen, ibarat i ‘ranting’ ni sada pohon. Batang ni pohon ai aima Jesus Kristus. Maningon marbuah, janah seng asal marbuah tene, tapi maningon marbuah naramos do hita haganupan. Halani domma ibere Tuhan Jesus Kristus hubanta zat hagoluhan namengalir setiap saat hubagas angkulanta. Janah jadi berkat ma ai homa hubani keluarga pakon hasomanta”

Pdt Edison Munthe adalah mantan Ephorus GKPS satu-satunya yang masih hidup. Pendahulunya semuanya sudah meninggal dunia, yakni Pdt Jenus Purba Siboro (1963-1970), Pdt Lesman Purba (1970-1972), Pdt SP Dasuha (1972-1977)
, Pdt Armencius Munthe (1977-1990), Pdt Jasiman Damanik (1990-2000). Bahkan mantan Ephorus yang menggantikannya, Pdt Belman Purba Dasuha, mantan Ephorus GKPS 2005-2010 sudah meninggal dunia 8 Maret 2013 lalu.

Mantan Ketua  Sekolah Tinggi Teologia (STT) Abdi Sabda (1998-200) ini  tinggal di bilangan Cikoko, Jakarta Selatan . Beliau baru saja kehilangan ayah kandungnya Mei 2013 dalam usia lebih dari 90 tahun. Semoga panjang umur mantan Ephorus  nami. SELAMAT MELAYANI.



Selasa, 18 Juni 2013

Tiga Tahun Kepergian Papa, Tujuh Tahun Kehilangan Mama.


Oleh : Jannerson Girsang

“Halo bapatua. Aku hari ini baru selesai sidang tugas akhir. Nilai belum keluar karna masih ada ujian. Nggak kerasa jg hari ini 3 tahun lewat papa meninggal. Sedih juga sih, tapi merasa luar biasa gak kerasa waktu berjalan semua berjalan dengan baik. Tetap semangat untuk kita semua yah”.

Malam ini, saya menerima sms dengan kata-kata mengharukan dari  Yani Christin Girsang, putri tertua adikku almarhum Parker Girsang yang meninggalkan kami untuk selama-lamanya 17 Juni 2010. Rasa haru dan penuh optimis.

Sikap yang membuatku selalu bangga dengan putriku ini. Dia pintar, mampu memaknai hidup dengan luar biasa. Kami terakhir bertemu 8 Juni 2013 yang lalu dalam acara ulang Tahun Junimart Girsang yang ke-50 di Jakarta. Kami jarang bertemu, sebelumnya, enam bulan lalu Christin dan adik-adiknya hadir dalam pernikahan putri saya Clara di Jakarta . Maklum, saya tinggal di Medan, mereka di Jakarta.

Setiap bertemu, saya sedih melihat mereka telah ditinggal papa dan mamanya, saat masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Tetapi menyaksikan pertumbuhan dan optimis mereka menghadapi kehidupan ini, saya merasa bangga.

Memutar memori tiga tahun lalu, 17 Juni 2010. Malam itu, ketika saya baru saja selesai menulis seusatu dan melangkah ke kamar mandi, saya mendapat telepon dari rumah sakit Cikini, Jakarta. Adikku Parker Girsang--ayah Christin telah tiada.

Setelah beberapa bulan dirawat di Rumah Sakit Cikini, dia tidak bisa bertahan dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Beberapa bulan menjelang usianya genap 48 tahun. Dia lahir 16 Agustus 1962.

Sedihnya luar biasa.  Gelap sekali rasanya. Christin kehilangan ayahnya beberapa saat setelah pengumuman dirinya diterima sebagai mahasiswa di Program D3 Sekretaris Universitas Indonesia.

Meninggalnya ayah yang sangat dicintainya, tentu sangat memukul dirinya dan adik-adiknya, serta kami semua. Empat tahun sebelumnya dia kehilangan ibu yang sungguh-sungguh bijaksana.  Andaikan aku Christin, pastilah frustrasi berat. Dua adiknya Hilda Valeria dan Trisha Melani, ketika itu masih duduk di kelas 1 SMA, dan kelas 1 SMP.

Tiga tahun kemudian, tiga putri kami yang cantik-cantik Christin (rencanya kalau lulus meja hijau, Christin akan diwisuda dari Universitas Indonesia, Hilda Valeria (kini kuliah tahun pertama di  Universitas Brawijaya, Malang), Trischa Melani (tahun ini memasuki SMA).

Tuhan memelihara mereka melalui keluarga (terutama ompung, uda, namborunya), dan mereka yang bersimpati. Junimart dan Juniver serta keluarganya sungguh luar biasa memperhatikan mereka.Semoga kebaikan mereka menjadi teladan bagi anak-anak ke depan, pentingnya memperhatikan orang-orang yang lemah.

Sejak adikku meninggal, mereka dititipkan melalui namborunya Masdalinda Girsang di Bekasi. Sekarang tinggal Trisha Melani yang tinggal di sana, sementara Christin di Depok dan Hilda di Malang.

Tiga tahun berlalu setelah kesedihan itu, sesuai tekadnya, Christin akan menyelesaikan studinya. SMSnya malam mini, membuatku percaya bahwa ketiganya suatu ketika akan menjadi orang-orang yang luar biasa.

Terima kasih Tuhan, engkau Maha Kuasa melalui tangan-tangan yang Engkau kasihi memelihara putri-putri kami. Terima kasih, Tuhan telah menyentuh hati semua orang yang membantu mereka.  

Salam salut untuk putriku Christin, Ai dan Icha!. Salam sayang dari bapatua dan inang tua, abang Bernard, Ompung di Medan.  

Gantungkan harapan hanya padaNya!.

Rabu, 05 Juni 2013

Belajar dari Justin Beiber (Rubrik Opini, Harian Analisa, 5 Juni 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Talenta atau sumberdaya  tidak akan bertumbuh dengan baik tanpa pengelolaan yang baik. Mari belajar dari Justin Beiber, yang makin berkibar hingga 2013 ini!.

Justin Beiber, musisi terkenal asal Kanada, muncul melalui youtube, sama seperti Norman Kamaru (Chaiya), Jojo-Sinta (Keong Racun), Bona Paputungan (Aku Gayus Tambunan). Start awalnya sama:  mengunduh video dirinya di youtube. Tapi, hasil akhirnya berbeda. 

Bintang-bintang Indonesia hanya sebentar menikmati buah karya seni mereka. Bahkan di dalam negeri sendiri mereka sudah redup. Sementara Justin  Beiber, musisi asal Kanada, terus melejit dan menikmati prestasi internasionalnya.

2013 ini, Justin Beiber sudah menjadwalkan show internasional dan di negeri Paman Sam dimana dia tinggal saat ini. Dia “melejit bagai meteor”. Beda dangan artis Indonesia yang popular dengan cara awal yang hampir sama. Ibarat judul Lagu Broery Pesoelima, mereka  “Layu Sebelum Berkembang”.

****

Sekedar mengingatkan kekhawatiran bahwa bintang dadakan Indonesia itu hanya mampu bertahan sebentar saja, saya mengumpulkan ramalan teman-teman, dengan memposting teks di bawah ini ke status Facebook pada 15 Maret 2011.

“Justin Bieber bintang dadakan dari Kanada, dan tiga bintang dadakan dari Indonesia: Jojo-Sinta dengan Keong Racun, Bona Paputungan dengan Andai Aku Gayus Tambunan, Briptu Norman dengan video Polisi Gorontalo menggila. Justin Bieber kini sukses dan bahkan membuat demam penggemarnya di Indonesia”.

Pertanyaan saya ketika itu, “Menurut anda, mungkinkah Jojo-Sinta, Bona dan Briptu Norman Go-Internasional?”. Dalam sekejap beberapa jawaban dari belasan teman muncul di status FB saya. “Bertahan di nasional 1 tahun aja..sdh syukur Pak..., soalnya jika dibandingkan Justin, grade kemampuan dan bakat seni mereka jauh di bawah”.

“No... Seorang superstar lahir bukan secara instan.. :)”

“Mungkin”, satu kata, tanpa argumentasi.

Yang lain mengatakan: “Mungkin lae tapi khusus Briptu Norman aja ya klo di lirik ama Sharul Khan, hehe”

“Bahasa kita belum go Internasional Pak, dan penetrasi Internet masih kurang. Jadi saya ragu kalau mereka bakal mendekati ketenaran artis internasional. Kemungkinan besar hanya jadi 1 time wonders saja”.

Ternyata ramalan-ramalan mereka benar. Artis yang saya sebut di atas hanya muncul sekejap, bahkan tidak mampu mempertahankan diri di level nasional. “Norman tidak dilirik Sahrul Khan,” adalah mungkin salah satu penyebabnya. 

Tapi perlu dicatat, respon-respon cepat itu memperlihatkan betapa besar perhatian masyarakat kita atas talenta-talenta dan prestasi anak-anak bangsanya. Sayang seribu kali sayang, ada yang salah dalam pengelolaanya, sehingga bintang-bintang di atas kini sudah hampir tak terdengar lagi. 


****

Mari belajar dari rahasia di balik sukses Justin Bebiber!

Bintang remaja ini tenar di youtube—hampir sama dengan bintang Indonesia di atas.  Justin Beiber yang kini berusia 19 tahun saat itu bukanlah siapa-siapa. Pada usia 12 tahun, Justin mengikuti kontes menyanyi di kotanya, Stratford, dan memenangkan juara kedua. Sejak itu dia mendokumentasikan penampilannya dan mengunggahnya di Youtube.

Sama seperti bintang yang muncul di atas, tujuan Beiber muncul di youtube tidak muluk-muluk. Hanya ingin agar teman-teman yang tak sempat melihatnya tampil, mampu mengaksesnya lewat youtube.

Pada beberapa videonya, Justin menyanyikan lagu-lagu beberapa penyanyi ternama seperti Usher, Justin Timberlake, Ne-Yo, Chris Brown, dan Stevie Wonder dengan versinya sendiri.

Dalam sekejap, Beiber mampu menyihir mata dan telinga banyak orang, hingga mendadak menjadi seterkenal Barrack Obama, bahkan bintang-bintang di Holywood sekalipun.

Youtube telah melahirkan Justin Beiber, yang kemudian melejit menjadi salah seorang artis terlaris di dunia. Bedanya, Beiber digaet pengusaha musik berpengalaman. Bintang Indonesia di atas tak jelas pengelolaannya. Pengacara, pemusik yang baru muncul tiba-tiba jadi manajer bintang. Bintangnya dadakan, manajernya dadakan, yah hancur berantakan!

Pemunculan Beiber tercium oleh Scooter Braun seorang Marketing Eksekutif dari So So Def  yang tanpa sengaja menyaksikan penampilannya di Youtube. Scooter Braun adalah seorang professional di bidang dunia musik. Scooter tertarik dan mengontak Bieber. Lantas Sccoter menerbangkannya ke Atlanta, Georgia untuk bertemu Usher—seorang penyanyi terkenal di Amerika untuk audisi. Usher yang terpesona dengan penampilan JustinLantas  L.A. Reid, Ketua Island Def Jam menawarkan kontrak rekaman melalui label rekaman Island Record. Standar-standar produksi dan marketing dipenuhi.

Produksi singel pertamanya yang berjudul "One Time", dirilis secara serentak diseluruh dunia di tahun 2009. Kaset ini kemudian menduduki peringkat 30 besar di lebih dari 10 negara. Kemudian diikuti albumnya "My World" dan menerima penghargaan platinum di Amerika Serikat.

Justin Beiber dalam waktu singkat menjadi penyanyi pertama yang memiliki tujuh lagu dari album pertama yang keseluruhannya berhasil mendapat peringkat di Billboard Hot 100--daftar lagu-lagu terkemuka di dunia.

Para penggemarnya terobsesi berlebihan terhadap Beiber dan menjuluki kepopulerannya sebagai "Bieber Fever" (Demam Bieber). Bahkan artis sekaliber Jeniifer Love Hewitt, Beyonce turut mengalami "Demam Bieber".

Justin Bieber tidak hanya popular di Amerika tetapi di seluruh Dunia. Bahkan di Indonesia, penggemarnya luar biasa antusias. Januari dua tahun lalu, ribuan pengemar Justin Beiber di Jakarta antri untuk mendapatkan tiket konser Justin Bieber, yang diselenggarakan  23 April 2011 di Sentul dengan harga tiket bervariasi mulai dari Rp 500,000 (US $55) hingga Rp 1 juta.

2013, Justin Beiber masih berkibar. Dia akan muncul   22 Juni 2013 (Valley View Casino Center, San Diego, United States), 24 Juni 2013 (Staples Center, Los Angeles, United States) dan puluhan show sudah dijawalkan untuknya hingga  Agustus 2013. Semester ini dia telah tampil puluhan kali di berbagai Negara.

****

Ini hanya sebuah contoh kecil saja. Masih banyak bidang lain dengan nasib yang sama. Persoalan utama adalah manajerialnya. Menangani seorang bintang memerlukan seorang manajer professional di bidangnya--“king maker” di belakangnya. Beiber ditangani  manajer yang memiliki visi yang jelas di bidang bisnis hiburan. Bukan bintang dadakan dan ditangani manajer dadakan.

Indonesia saatnya mengembangkan talenta-talenta anak-anak bangsa untuk bisa go-internasional dan mengelolanya dengan professional. Jangan biarkan talenta itu redup ditelan angin.

Mungkin sebelum belajar dari Justin Beiber, ada baiknya kita belajar dari pengalaman Anggun C Sasmi, Agnes Monica contoh artis Indonesia yang ditangani para manajer professional.

Artikel ini bisa juga di akses di:  http://analisadaily.com/news/21223/belajar-dari-justin-beiber/

Sabtu, 01 Juni 2013

Menghormati Pemenang (Rubrik Wacana, Harian Medan Bisnis 1 Juni 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Menghormati pemenang! Kita prihatin terhadap kemampuan bangsa ini menghargai pemenang. Bukan hanya terjadi dalam Pemilu, Pilkada, Pilpres, tetapi juga kemenangan Fatin Shidqia Lubis yang terpilih jadi pemenang X-Factor Indonesia berdasarkan jumlah short message service (SMS) terbanyak. Dia mengalahkan Novita Sari Marpaung. Kita perlu banyak belajar dalam menghormati pemenang.

MENARIK sekali komentar Novita Dewi—pesaing Fatin ketika saya mengikuti sebagian wawancara Novita Dewi dan Fatin yang dipandu Dedy Kombuzer, di acara Hitam Putih Trans-7, 28 Juni 2013. Kedua perempuan berdarah Batak itu tampil bersama-sama di televisi swasta itu. Mereka tampak kompak dan bersahabat. Dalam wawancara itu, terjadi dialog yang cukup menarik, di tengah kontroversi soal kejuaraan yang diraih Fatin.

Fatin sendiri mengakui begitu banyak komentar tak sedap yang diarahkan pada dirinya. Padahal, Fatin sendiri tentu tidak kuasa untuk membuat dirinya sebagai pemenang. Pemenang kok jadi korban?

Jawaban-jawaban positif dan bijak dari Novita Dewi bisa kita jadikan pelajaran bagaimana menghormati seorang pemenang. Dedy Combuzer mengarahkan pertanyaan pada Novita. "Sebenarnya Anda yang layak menang!," pancing Dedy Combuzer. "Ini kan sesuai SMS dari pemirsa. Semuanya punya potensi untuk jadi juara," kata Novita Dewi bijak. 

"Kalau itu tidak berdasar SMS, menang nggak Fatin?," cecar Dedy. "Kalau kompetisi di luar dari X Factor Indonesia, (lupa lirik) itu memang kesalahan fatal. Ini kembali kepada pemirsa. Biarpun dia salah lirik, not, kalau sudah jadi pilihan bagi pemilihnya nggak masalah. Dia punya pesona tersendiri menarik dukungan penggemar. Itu kelebihan Fatin. Suara dia asyik banget," puji Novita lagi.

Novita Dewi paham betul kriteria yang ditetapkan dalam X-Factor Indonesia. Dirinya menerima dengan ikhlas kemenangan Fatin. Mengenai kemenangan yang telah diraih Fatin meski sempat lupa lirik beberapa kali, Novita menyerahkan penilaian itu pada masyarakat.

Soal selera penggemar tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas suara. Dulu, ketika masih sekolah di Pematangsiantar hingga akhir 1978, saya tidak suka suara Ebiet G Ade.

Saya menyukai Koes Plus, Panbers, Eddy Silitonga, Bob Tutupoly. Saya malah tak pernah mengetahui seorang penyanyi bernama Ebiet G Ade.

Padahal, di Jakarta Ebiet sedang ngetop. Setelah pindah SMA ke Jakarta, saya mulai mendengar lagu Ebiet. Awalnya sangat aneh dan asing di telinga. Kalau disuruh memilih saat itu, pasti saya tidak memilih Ebiet. Lagunya yang aneh di telinga saya, Camelia, Berita Kepada Kawan, tak pernah saya dengar sebelumnya.

Tapi, teman-teman di sekolah, radio dan televise setiap hari menyiarkan lagu itu. Syair-syairnya yang memiliki pesan kuat tentang alam, kehidupan dan cinta, menambah pesona Ebiet G Ade dan menjadi salah satu penyanyi idola. Suaranya yang aneh itu, lama kelamaan jadi terbiasa. Telinga saya makin akrab dengan lagu Ebiet dan menyukai lagu-lagunya hingga sekarang.  

Kalau Ebiet diadu pada perlombaan Lagu Pop, barangkali tidak akan pernah mampu menyaingi kemampuan suara Eddy Silitonga apalagi Bob Tutupoly yang sering menjuarai lomba menyanyi. Pilihan seorang pemirsa kepada Fatin, tentu tidak serta merta mengharuskan kualitas suaranya mirip atau melebihi kualitas suara Novita Dewi.

Bahkan Ahmad Dhani beberapa menit sebelum pengumuman, ketika diminta ramalannya mengatakan: “Pemenangnya adalah Fatin”. Sementara Anggun C Sasmi mengatakan: “Pemenangnya adalah Novita”. Dua juri yang sama-sama mengenal penampilan seorang penyanyi dan prestasi luar biasa dalam tarik suara saja berbeda penilaian.

Komentar Novita Dewi di acara Hitam Putih Trans-7 mengajarkan kita untuk menghargai pilihan orang lain. Kita tidak bisa memaksakan selera pemirsa yang mendorong mereka memilih sesuai selera kita. Kita harus menghormati pemenangnya, walau menurut kita tidak pantas. Menurut orang lain itu pantas-pantas saja.  

Sekali lagi, kita harus menghormati pemenang. Dewi sendiri menilai Fatin memiliki pesona dan suaranya asyik banget. Dhani bilang: “Saya belum pernah melihat penyanyi seperti Fatin”. Artinya, Fatin punya daya tarik yang khas dan menarik bagi pemilih Indonesia, dan Novita kalah dalam hal ini. Bisa jadi dia memiliki suara yang bagus, tetapi penggemarnya lebih sedikit. 

Fatin memiliki pesona bagi pemilihnya dan menjadi kekuatan dirinya menggerakkan pemirsa untuk memilihnya.

Soal ke depannya, di luar panggung, mungkin Fatin lebih disukai, atau nantinya tidak sesukses Novita, itu masalah  lain. Mungkin juga Novita tidak sesukses Fatin. Siapa yang bisa meramalkan Ebiet G Ade yang dulunya bersuara aneh di telinga saya, bisa menyamai bahkan melebihi sukses Eddy Silitonga yang memenangi berbagai kejuaraan?

Di atas panggung X-Faktor, Fatin sudah menjadi pemenang, karena meraih jumlah SMS yang masuk lebih besar dari Novita. Hak para penggemar Novita protes. Tapi, satu hal yang mereka sering tidak sadar, dan tak mau paham adalah dasar pemilihan. Kebanyakan melancarkan cercaan karena menilai kualitas suara Novitas lebih baik dari Fatin.

Padahal X-Faktor, tidak menilai pemenang dari kualitas suara, tetapi keberhasilan seseoang membuat pemirsa terpesona, tergerak untuk mengirim SMS.

Itulah X-Factor Indonesia. Menyerahkan penilaian pada pemilih bebas. Suka atau tidak suka, itulah perlombaan yang banyak menyedot penonton. Mungkin para penggemar Novita, sama seperti saya dulu menilai Ebiet G Ade. Saya awalnya tidak mempertimbangkan Ebiet G Ade. Selera saya dan selera daerah lain juga berbeda. Di daerah lain dia begitu digemari.

Menghormati pemenang akan membuat diri kita makin dewasa. Pemenangnya memiliki rasa kebanggaan dan menambah percaya diri. Selain itu, penyelenggaranya tidak merasa terlecehkan.

Bukan hanya dalam tarik suara, menuju Pemilu dan Pilpres 2014, bangsa ini perlu memahami pentingnya menghormati pemenang!. Tak guna kita membuang-buang waktu mendiskusikan hal-hal di luar kriteria yang telah ditetapkan. Siapapun pemenangnya, kita harus hormati!.  

Penulis adalah kolumnis, tinggal di Medan.

Kamis, 30 Mei 2013

Pohon Beringin: Menahan Longsoran Tanah di Tepi Sungai (Analisa, 30 Mei 2013)

Oleh: Jannerson Girsang. 

 Pohon beringin (ficus benjamina) dalam literatur-literatur kuno sering kali dianggap suci dan melindungi penduduk setempat. Puluhan tahun yang lalu, saat masih anak-anak, kami sering menemukan sesaji di bawah pohon beringin yang telah tua dan berukuran besar. Katanya pohon seperti itu dianggap sebagai tempat kekuatan magis berkumpul. 

Tak heran kalau anak-anak takut berada dekat pohon beringin karena orang-orang tua mengisahkan bahwa tempat di sekitar pohon beringin adalah tempat yang “angker” dan perlu dijauhi. 

Belakangan manusia lebih berfikir secara ilmiah dan banyak orang menjadikannya sebagai tumbuhan pekarangan dan tumbuhan hias pot. Bahkan pemulia tanaman telah mengembangkan beringin berdaun loreng (variegata) yang populer sebagai tanaman hias ruangan, bonsai dan lain-lain. Akarnya yang kuat, ternyata juga mampu menjaga pinggiran sungai tidak longsor. 

****

Saat menyusuri Sungai Bah Bolon Mei 2013 lalu, saya mengamati tiga pohon beringin yang ditanam di pinggir sungai Bah Bolon. Tentunya, setelah belajar ilmu pertanian selama beberapa tahun di Institut Pertanian Bogor di era 80-an, pandangan saya tentang pohon ini sudah berubah. 

Bahkan pohon ini merupakan penyelamat longsoran di pinggir sungai. Di sepanjang sungai itu saya menemukan penduduk menanami pohon beringin untuk menahan longsoran tanah ke sungai. Selain itu, sama seperti yang pernah saya pelajari, pohon dapat melindungi penduduk dari abu, asap serta kotoran yang ditimbukan industri, rumah tangga dan proses pembangunan lainnya. 

Sangat mengesankan!. Di satu lokasi, saya mengamati sebuah pohon beringin yang tumbuh di beton penahan longsor di pinggir sungai. Akarnya tumbuh menempel di beton, melebar di sepanjang tepi sungai. Pohon ini ibarat perekat dan memperkuat beton, tanah aman dari lonsor dan pinggiran sungai terbebas dari pendangkalan akibat erosi tanah.

 

Di satu lokasi saya melihat sebuah pohon sawit yang tumbuh di pinggir sungai dan hanyut oleh kikiran arus sungai. Akar-akar pohon seperti sawit tidak cukup kuat untuk bertahan dari hempasan arus sungai. Pohon sawit tidak cocok untuk menahan longsoran tanah di pinggir sungai. Setelah pohon sawitnya hanyut, maka tanah akan masuk ke sungai dan sawit yang hanyut akan mengurangi kapasitas sungai menampung air. 

Arus air Bah Bolon yang deras menghanyutkan pohon kelapa sawit, karena akar-akarnya tidak cukup kuat untuk menahan kikisan air (Photo Jannerson Girsang).JPG

** 

Pohon beringin, sebagaimana pohon lainnya, mempunyai banyak manfaat yaitu menahan laju air sehingga akan lebih banyak air yang terserap ke dalam tanah. Selain itu akar pohonnya akan menahan tanah yang terkikis agar tidak masuk ke aliran sungai/saluran air yang akan menimbulkan endapan. 

Beringin mampu memasok kebutuhan oksigen (O2), menyaring kotoran (debu jalanan, abu pabrik/rumah tangga), mereduksi beberapa zat pencemar udara dan meningkatkan kenyamanan lingkungan. 

Pohon beringin mempunyai banyak manfaat yaitu menahan laju air sehingga akan lebih banyak air yang terserap ke dalam tanah. Selain itu akarnya akan menahan tanah yang terkikis agar tidak masuk ke aliran sungai/saluran air yang akan menimbulkan endapan. 

Pohon ini juga bermanfaat memasok kebutuhan oksigen (O2), menyaring kotoran (debu jalanan, abu pabrik/rumah tangga), mereduksi beberapa zat pencemar udara dan meningkatkan kenyamanan lingkungan.

**

Daerah di sekitar Bah Bolon telah tumbuh bangunan-bangunan dan sudah sering mengalami banjir, karena berkurangnya pohon. Beringin dengan akar-akarnya yang mampu menahan laju air sehingga akan lebih banyak air yang terserap ke dalam tanah. Pohon ini dapat mengimbangi pengurangan resapan air karena bangunan-bangunan tinggi. 

Di sepanjang Sungai Bah Bolon banyak terjadi erosi air yang menghanyutkan pohon-pohon kelapa sawit. Pohon-pohon yang tidak memiliki akar yang kuat tidak dapat menahan struktur tanah. Sehingga, jangankan menahan, pohonnya sendiri akan hanyut oleh air. 

Sungai Bah Bolon juga dikelilingi oleh industri yang mengeluarkan asap, debu. Pohon ini mampu menyaring debu, abu pabrik maupun rumah tangga. Daun-daunnya mampu menampung debu dan zat-zat pengotor tersebut dan akan tersaring dengan menempel pada daun-daun dari pohon. Pada saat musim hujan maka kotoran yang menempel tadi akan meluruh seolah-olah dicuci oleh air hujan. Polusi ini sangat berpengaruh pada kesehatan tubuh.***

Penulis adalah alumni Institut Pertanian Bogor (1985)


Rabu, 29 Mei 2013

Hari ini Pageview 51.000 dan Pengunjung 31.000

Hari ini 29 Mei 2013, blog Biografi: Menulis Fakta Memberi Makna memiliki 31.000 pengunjung dan 51.000 Pageview. Pengunjungnya berasalah dari 87 negara di dunia.

Terima kasih untuk pada pengunjung dan saya tetap setia melayani Anda dengan artikel-artikel baru.

Today, May 29, 2013, blog Biography: Writing Facts Giving Meaning had 31,000 visitors and 51,000 Pageviews. Visitors came from 87 countries in the world.

Thank you to the visitors and I commit to serve you with new articles.
 

Senin, 27 Mei 2013

Syamas Inah Br Sembiring: Empat Belas Tahun Merawat Suami dan Menjadi Tiang Ekonomi Keluarga



Oleh: Jannerson Girsang

Bagi seorang ibu muda, empat belas tahun merawat suami yang sakit, dan menjadi tiang ekonomi keluarga beranak dua, bukan hal yang mudah.Membutuhkan kesabaran, ketekunan, pengharapan dan pemaknaan hidup yang positif.

Kisah dibalik meninggalnya Daulat Sitopu—salah seorang jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Simalingkar, Medan,  menjadi teladan berharga bagi para jemaat yang menghadiri acara pangapohon (penghiburan) malam ini.

Rumahnya  tipe 21 di Jalan Jahe, Perumnas Simalingkar malam ini menjadi saksi betapa Tuhan senantiasa menguatkan dan memberkati umatNya yang setia di jalannya dan mengerjakan pekerjaan secara benar.

Disaksikan kedua putra putrinya, serta sekitar 30-an jemaat, Inang berkisah dengan bersemangat, walau sesekali tak dapat menahan harunya dan meneteskan air mata.

“Saya ketika itu sudah pergi ke pajak membeli sarapan suami saya. Tetapi, setibanya di rumah, saya menemukan suami saya tidak bernyawa lagi. Saya menangis sejadi-jadinya dan kemudian memanggil teman-teman saya,” ujarnya.  

Suasana duka akhirnya melingkupi seluruh keluarga dan jemaat Simalingkar 15 Mei 2013, lalu. Setelah sakit sekian lama, suami Inah br Sembiring, akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, di usia 49 tahun, tanpa disaksikan anak-anaknya. Beberapa tahun terakhir kedua anaknya tinggal terpisah dengan keluarga karena mengikut suami dan putranya yang tinggal dan bekerja di  Jakarta.   

Pengalaman pahit selama empat belas tahun begitu menyentuh dan mengharukan. “Saya menerima keadaan suami saya apa adanya. Kesulitan saya hadapi dengan tetap berdoa, meminta pertolongan Tuhan dan bekerja dengan benar”  

Suaminya  mulai sakit di usia 35 tahun, dan bahkan terkena stroke pada 2006. Dulunya, suaminya adalah supir angkot milik sendiri. Selama empat belas tahun itu, Inah br Sembiring menghadapi pergumulan yang berat. Mulai dari kesulitan ekonomi—karena harus mencari nafkah, merawat suami, serta membelanjai anak-anaknya yang sekolah dan kuliah.

Berbagai pekerjaan dilaluinya, mulai dari berdagang sayuran yang dibelinya di gunung dan dijual di Sambu, menjual buah di Simpang Simalingkar, bekerja sebagai juru masak di sebuah perusahaan catering. Dalam keadaan suaminya sakit, bahkan Inah br Sembiring, bersama seorang temannya membuka catering sendiri.

“Praktis, sejak 2006, aku yang harus mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak-anak dan biaya perawatan suamiku. Tuhan begitu baik,” katanya.

Kesulitan keuangan memang bisa diatasinya dan mampu memberinya kebutuhan keluarga. Tetapi bukan itu saja masalah terberat yang dihadapinya.

“Saat suami saya mulai sakit, usia saya masih muda. Setiap pagi saya selalu meminta pertolongan dari Tuhan agar  terhindar dari godaan yang bias merusak rumah tanggaku, anak-anakku  Aku selalu berdoa agar Tuhan, jangan sampai karena kemiskinan keluargaku aku  jatuh ke dalam dosa”.

Nama baik keluarga, masa depan anak-anaknya menjadi motivasi baginya untuk selalu hidup di jalan yang benar. “Sebagai seorang ibu bagi anak-anakku, aku tidak mau mereka malu. Aku tidak mau anakku tidak laku, karena kelakuan mamanya tidak baik”.

Inah tidak lupa mar ari Selasa (kebaktian ibu-ibu) dan menghadiri pesta-pesta atau ke tempat orang yang kemalangan. 

Dalam penderitaan yang demikian berat, Inah  justru mampu menikahkan Putrinya Melda. Menantunya adalah seorang polisi yang kini bertugas di Tarutung, dan sudah dikaruniai seorang cucu. Sementara anaknya laki-laki kini bekerja dan tinggal di Jakarta.

Tiga hari sebelum suaminya meninggal, Inah br Sembiring, terpilih sebagai Syamas di gereja GKPS Simalingkat. Syamas adalah jabatan pelayan di gereja. Syamas dipilih oleh anggota jemaat, yang berarti dia dikenal betul oleh jemaat GKPS Simalingkar yang berjumlah 180 KK tersebut.

“Pada periode sebelumnya, saya sudah mengajukan inang boru Sembiring, sebagai syamas, tetapi dia menolak dengan alasan masih mengurus suami yang sakit dan anak-anak. Tetapi, inilah mungkin saatnya. Ketika saya calonkan, dia menerima,”ujar St Weldy Saragih, SP Ketua Sektor III GKPS Simalingkar.

Para jemaat yang hadir malam ini menghiburnya, “Kalau dulu inang boru Sembiring hanya melayani suami dan anak-anak, sekarang harus melayani banyak orang. Semoga inang sehat dan tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa Tuhan senantiasa melindungi dan menguatkan inang”.

Khotbah yang dibawakan Wakil Pengantar Jemaat GKPS Simalingkar, St Japorman Saragih, SE yang diambil dari Nas: Jeremia 31:13b: ".....Aku akan mengubah perkabungan mereka menjadi kegirangan, akan menghibur mereka dan menyukakan mereka sesudah kedukaan mereka,"menutup acara penghiburan malam ini .

Kami semua berdoa, kiranya Tuhan menjadikanmu sebagai teladan seorang ibu di gereja dan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang banyak kawin cerai, bahkan hanya karena masalah sepele.

Inah telah membuktikan, setia sampai akhir. Yang dipertemukan Tuhan hanya dapat dipisahkan kematian!.  

 "Just do what must be done. This may not be happiness, but it is greatness". George Bernard Shaw

Sabtu, 18 Mei 2013

Dari Ide ke Artikel di Media Cetak (Rubrik Opini, Harian Analisa, 18 Mei 2013)

Oleh: Jannerson Girsang
Proses menulis sebuah artikel yang dimuat di media cetak tidaklah semudah mengatakan "menulis itu mudah".Mulai dari munculnya ide, hingga penulis mampu menuangkan artikel yang menarik bagi pembaca. 
Penulis yang berhasil menulis di media cetak telah melintasi perjalanan yang cukup panjang dan pantas diberi penghargaan. Bagi kebanyakan mereka, menulis adalah memenuhi tanggung jawab sosial dan rasa syukur ketimbang mencari popularitas atau mendapat penghasilan. 

Memang sangat mudah menulis, kalau seorang penulis hanya melakukan copy paste dari karya orang lain. Penulis seperti ini bisa malu seumur hidup, karena akan dituduh sebagai plagiat!

Penulis memiliki pengalaman menulis yang berbeda-beda di media cetak.Inilah salah satunya yang mungkin mampu memberi inspirasi bagi pembaca.

**

Menulis di media cetak, semua berawal dari sebuah ide yang dikembangkan menjadi sebuah tulisan: aktual, relevan dan bermanfaat bagi pembaca. Enak dibaca dan perlu, seperti semboyan Tempo.
Ide bisa datang dari mana saja (pengamatan dari lingkungan sekitar, membaca, mendengar, merasa dan lainnya) dan bisa muncul tanpa melihat waktu (pagi, siang, sore, malam, dinihari).

Misalnya, sore hari, dua tahun yang lalu saya mengunjungi Bawomataluo. Memandang kebelakang dari tangga terakhir ke arah pantai Sorake, saya menyaksikan keindahan. Menatap kedepan muncul rasa ingin tau atas sebuah misteri. Maklum, saya belum pernah mengunjungi kompleks perumahan era megalitik itu sebelumnya.

Perjalanan itu memunculkan ide menulis dan mengembangkan ide tentang pengalaman dan kekaguman dari orang yang baru pertama kali mengunjungi Bawomataluo.

Dengan proses yang panjang, akhirnya, saya menghasilkan artikel berjudul: Bawomataluo: Keindahan dan Misteri yang dimuat di mediaonline Nias Bangkit, dan kemudian dimuat pula oleh media lokal Jarak Pantau, detiktravel.com. Selain terhibur, artikel ini juga mengharapkan pembacanya mendapatkan informasi tentang keindahan sebuah desa di Nias.

Suatu malam saya menonton televisi saat berlangsungnya kompetisi artis-artis ASEAN Idol. Saya kagum melihat sportivitas para peserta saat pengumuman juara digelar. Para bintang menerima kemenangan dengan rendah hati, dan peserta yang kalah menerima kekalahannya dengan ikhlas.

Dari aktivitas ini muncul ide menulis perbandingan antara pemenang ASEAN Idol dan Pemilu di Indonesia yang sering ricuh saat kalah dari pesaingnya. Ide itu menghasilkan artikel berjudul: ASEAN Idol dan Pemilu. Artikel ini berguna bagi pembaca agar meniru sebuah kompetisi yang baik dan benar.

**
Ide-ide awal yang belum diperkaya dengan informasi tambahan, dan tidak ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar biasanya masih kering dan kurang menarik. 

Setelah memperoleh ide, saya mencoba mengolahnya, mengaitkannya dengan informasi yang sudah saya miliki dan merenungkannya berkali-kali.Lantas, merasa ide itu cukup menarik dan mampu menulisnya, saya merumuskan topiknya, temanya.

Misalnya, topik tentang perjalanan saya ke Desa Bawomataluo dan temanya adalah kekaguman seorang yang pertama kali mengunjungi desa yang memiliki 260 lebih rumah yang dibangun di era megalitik itu.

Setelah melakukan semuanya itu, saya mencoba meringkasnya dengan paragraf yang menarik, membuat pembaca memiliki rasa ingin tau dan mendapat penjelasan dari artikel itu.

"Akhir Maret 2011, saya mengunjungi Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, desa yang penuh dengan karya megalitik suku Nias.Desa yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nias Selatan ini memberi rasa kagum yang tidak kalah unik dibanding dengan kawasan wisata budaya lainnya, misalnya Borobudur dan kawasan wisata budaya lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi".

Ingat, menulis adalah menjelaskan sesuatu kepada pembaca, bukan untuk dinikmati penulisnya sendiri.Jadi Anda menulis adalah memberi jawaban kepada pembaca.Saya berharap pembacanya akan bertanya: macam manapula Bawomataluo ini, katanya asing, dikaitkan pula dengan Borobudur. Coba kubacaya!.

Lantas, saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyan yang mungkin muncul di benak pembaca dengan dan memetakannya dalam sebuah outline agar uraian-uraian pertanyaan mereka dalam artikel tidak terlalu meluas. 

Saya harus membatasi isi artikel dengan pokok-pokok yang menarik. Membagi ide menjadi beberapa bagian. Misalnya, kesan memasuki wilayah itu, perasaan saya ketika berhasil mencapai tangga terakhir dari 86 tangga yang sudah saya lalui, dan rasa ingin tau tentang desa Bawomataluo ketika memasuki desa itu. 

Saya menarik perhatian pembaca dan mengajak pembaca seolah bersama sama melakukan perjalanan itu. Kata "misteri" saya pilih untuk menarik perhatian pembaca. Saya menyadari dibatasi oleh jumlah kata yang harus ditulis dan mampu menarik perhatian pembaca.(Media cetak, seperti Analisa misalnya: hanya memerlukan artikel sepanjang 6000-7000 karakater. 

Beberapa kali editor mengembalikan tulisan saya untuk diperpendek karena terlalu panjang. Harap maklum, media juga memiliki visi bisnis dan juga menjaga kebosanan pembaca!).

Pekerjaan saya kemudian adalah secara tahap demi tahap, perlahan-lahan menuangkan dan memperkaya ide menjadi tulisan melalui tuts ke layar komputer. Pembaca yang belum pernah menulis di media cetak mungkin berfikir: menulis itu sekali jalan langsung jadi. 

**

Pengalaman saya, berkali-kali menulis, berkali-kali pula muncul kesalahan dan rasa ingin agar artikel lebih baik, kadang tak mengenal waktu . Berkali-kali harus melakukan pengayaan informasi dan koreksi. Mulai dari kalimat-kalimat yang masih kosong, bahkan saya sendiri awalnya membaca artikel sambil tertawa.

Di awal penulisan sering muncul susunan kalimat yang tidak logis, pemakaian kata-kata yang tidak tepat menggambarkan sesuatu (suasana, gambaran tempat yang kurang lengkap), kesalahan penulisan kata (kurang huruf, huruf yang ganda, misalnya pagi jadi paggi).

Saya hampir selalu mengalami salah ejaan (didalam,ke dalam—seharusnya di dalam dan ke dalam), salah nama tempat atau orang, salah tanggal dan banyak lagi yang harus dikoreksi.

Membaca kembali, membaca kembali, kemudian mengedit!. Itulah pekerjaan selanjutnya.

Sepintar apapun Anda menulis, memperkaya isi tulisan, editing menjadi sebuah proses penting.
Setelah menulis ratusan artikel dan beberapa buah buku,saya hampir tidak pernah mampu menulis dengan sempurna. Bahkan setelah artikel dimuat di media cetakpun masih mungkin terjadi kesalahan.
Filter terakhir seharusnya kita sendiri, karena banyak media tidak memiliki editor bahasa. Pedoman paling baik adalah jadikan tulisan Anda "enak dibaca dan perlu", seperti semboyan Majalah Tempo.

Ingat, menulis adalah mendokumentasikan peradaban yang akan dibaca puluhan tahun kedepan, menawarkan seseorang menikmati informasi baru dan sebisa mungkin mengajak pembaca bertindak kearah yang positif. 

Kesalahan sekecil apapun akan membuat malu diri sendiri. Saya merasa menyesal dan malu ketika membaca artikel saya dimuat di media cetak, tetapi masih terdapat salah penulisan. Sudah begitu, tak jera-jera juga membuat kesalahan!.

Tapi saya menghibur diri dengan kata-kata Einstein "Orang yang tak pernah membuat kesalahan, tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baru".Tentu bukan berarti harus salah karena kemalasan membaca atau tidak mengikuti aturan.

Wah, ternyata cukup panjang juga proses menulis artikel dimedia cetak. Cukup panjang dan melelahkan bukan?.Sudah capek, seorang penulis pernah menggerutu dan berkata: "Saya sudah menghabiskan waktu berhari-hari menulis, tetapi tidak juga dimuat". Bayangkan! 

Jadi, berilah penghargaan kepada mereka yang karya-karyanya sudah dimuat di media cetak. Mereka sudah lulus melintasi berbagai proses yang melelahkan. 

Bacalah tulisan mereka dan berilah komentar dan tuliskan kesan Anda melalui sms atau facebook. Atau setidaknya singgunglah artikel mereka ketika Anda bertemu! ***

Penulis adalah kolomnis, berdomisili di Medan.

Artikel ini bisa juga diakses ke:  http://www.analisadaily.com/news/17146/dari-ide-ke-artikel-di-media-cetak/

Kamis, 16 Mei 2013

Andai Masih Hidup, Soekarno-Hatta Menangis (Rubrik Wacana, Medan Bisnis, 16 Mei 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Seandainya Soekarno dan Hatta masih hidup, pastilah mereka sedih melihat perilaku sebagian pemimpin sekarang ini. Mereka yang orientasi hidupnya korup, mendewakan kekuasaan, dan mengancam generasi mendatang menjadi hamba uang dan kekuasaan. Presiden India, APJ Abdul Kalam mengingatkan kita, pentingnya tiga pilar untuk membebaskan kita dari lingkaran setan korupsi. Ayah, ibu dan guru-guru kita.
Korupsi sudah menjalar ke mana-mana. Dalam cita-citanya memerdekakan Indonesia, Soekarno dan Hatta tidak pernah membayangkan kasus Century, Hambalang, suap impor sapi. Abdi masyarakat berubah menjadi ”pengisap” masyarakat.

Generasi muda semakin banyak terimbas, terlibat bahkan masuk penjara karena korupsi. Sebut saja Gayus Tambunan, Nazaruddin, Angelina Sondakh, Luthfi Hasan Ishaaq, dan banyak lagi yang menjabat bupati, gubernur, menteri dari kalangan generasi muda. Mereka justru larut dalam kemewahan, sehingga harus melakukan tindakan tak terpuji.

Andai Soekarno dan Hatta masih hidup, tentu makin sedih lagi mereka melihat keadaan negeri yang carut marut, terjebak dalam lingkaran setan korupsi. Soekarno dan Hatta hingga akhir khayatnya tak mengenal kekuasaan untuk harta, atau mengejar harta untuk meraih kekuasaan.

Mereka tidak mewariskan harta yang berlimpah kepada anak-anaknya. Soekarno dan Hatta menggunakan kekuasannya dengan mengedepankan kepentingan bangsa di atas segala kepentingan yang lain. Selain itu, keduanya meluangkan waktunya merenungkan hal yang terbaik bagi bangsanya.

Hasil-hasil pemikiran dan tindakan mereka berupa keteladanan dan generasi sesudahnya mendapat inspirasi nasionalisme dan kejuangan. Bukan hanya bangsa ini, tetapi nama mereka menjadi icon teladan yang menginspirasi dunia ini.

Pikiran-pikiran mereka dibicarakan di kampus-kampus sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, pedoman berbangsa dan bernegara. Keduanya disegani tidak hanya di negerinya sendiri. Kepala-kepala pemerintahan kagum kepada keduanya.

Bung Karno dan Bung Hatta meninggalkan negeri ini dengan setumpuk hasil pemikirannya dalam bentuk buku yang mereka tulis dan secara luas diketahui masyarakat, bukan hanya oleh bangsa ini tetapi juga oleh bangsa-bangsa di dunia ini.

Buku ”Dibawah Bendera Revolusi—yang ditulis Bung Karno sejak 1926 hingga pidato terakhirnya di Sidang MPRS menjadi warisan luar biasa dan dibaca serta dibahas secara meluas. Buku-buku karangan Bung Hatta menjadi pedoman dalam filsafat, koperasi, ekonomi dan lain-lani.

Pancasila sebagai dasar negara adalah pergulatan Soekarno beserta teman-temannya para ahli hukum. Buah pikiran Bung Hatta yang ahli koperasi tercermin daalam UUD 45 dalam pasal 33 yang menjamin orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Soekarno yang berlatar belakang sarjana teknik mampu menginspirasi para ahli membangun bangunan monumental yang kini masih berdiri megah, Mesjid Istiqlal, Monas, Tugu Tani, serta berbagai monumen yang masih dapat kita saksikan sekarang. Hotel-hotel seperti Hotel Indonesia, Sarinah, nama-nama yang diabadikan dari Indonesia.

Keduanya dikenal sebagai pejuang, proklamator dan pemersatu bangsa. Mereka memiliki nama dan penghargaan. Nama mereka diabadikan di Tugu Proklamasi, Bandara Soekarno Hatta, serta jalan-jalan yang ada di kota-kota di Indonesia, tanpa penolakan dari siapapun. Mungkinlah koruptor dianugerahi nama jalan seperti mereka?

Soekarno dan Hatta akan geram menyaksikan pemimpin bangsa ini semakin hari semakin rakus harta yang akan lapuk oleh masa ini. Mengapa demi uang, demi kekuasan, mata para koruptor buta akan teladan yang mereka wariskan?

Mereka akan terheran-heran menyaksikan para penguasa korup yang rela membayar ”biaya kekuasaan” dengan ”uang rakyat”, hanya mengejar harta dan kekuasaan, bukan untuk melayani rakyat. Pasalnya, para pemimpin yang korup tidak akan, sekali lagi, tidak akan mewariskan nilai baik apapun terhadap bangsanya. Sebaliknya, mereka merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemerintahan yang korup tidak akan menghasilkan pemimpin-pemimpin besar seperti Soekarno-Hatta, orang-orang bijak yang hidupnya secara terang benderang memancarkan nilai-nilai keteladanan, tidak hanya bagi bangsanya, tetapi juga bagi dunia ini.

Jutaan rakyat Indonesia prihatin melihat negeri ini, sama seperti Soekarno Hatta. Mereka merindukan pemimpin yang berjiwa seperti Soekarno dan Hatta serta pejuang-pejuang kemerdekaan dulu. Pemimpin yang bijak, bukan pemimpin yang berani tampil karena harta dan materi semata, tetapi pemimpin yang tampil karena pemikiran, karya-karyanya di masyarakat dan dampak positif yang dinikmati bangsanya.

Rakyat Indonesia harus bangkit. Mereka harus jeli memilih pemimpin. Pelajari rekam jejak mereka, kehebatan tokoh yang sudah Anda nikmati baik perbuatan dan teladan, serta konsistensinya dengan visi dan misinya ke depan. Jangan pernah tertarik dengan pemimpin yang suka menggunakan kata-kata suci, membagi-bagi duit menutup perbuatan jahatnya di belakang panggung.

APJ Abdul Kalam, seorang ilmuwan yang kemudian terpilih menjadi Presiden India pada 2012 mengatakan: ”If a country is to be corruption free and become a nation of beautiful minds, I strongly feel there are three key societal members who can make a difference. They are the father, the mother and the teacher”.

Tidak cukup hanya menangisi keadaan, tetapi bangkitlah!. Mari mulai bangkit dari keluarga kecil kita—para ayah, ibu dan guru-guru kita. Mampukan seorang ayah dan ibu perilaku bebas korupsi, mampukan guru-guru yang mampu mengajarkan dan menciptakan anak didik yang bebas korupsi.

Penulis adalah kolumnis, tinggal di Medan