Oleh: Jannerson Girsang
Hari ini 14 September 2010, http://www.kompas.com melansir sebuah berita menarik dari belahan bumi Amerika. Pemutihan Buku memberanikan seseorang mengembalikan buku yang sudah dipinjamnya selama 35 tahun.
Kisah di salah satu website terbaik negeri ini, membuka mata kami mengembangkan kisah itu, dan mengajak anda sejenak melirik tempat kisah ini berlangsung, yakni Perpustakaan Umum Winona, AS. Sekaligus mengajak media kita untuk peduli kepada perpustakaan.
Kisahnya begini. Minggu lalu, petugas perpustakaan di Perpustakaan Umum Winona, Minnesotta, AS, Robin DeVires, terkejut ketika seseorang mengembalikan sebuah buku yang dipinjam 35 tahun lalu. Buku berjudul Small Voices: A Grownup’s Treasury of Selections from the Diaries, Journals and Notebooks of Young Children itu berisi kumpulan jurnal beberapa orang terkenal yang ditulis pada masa kanak-kanak mereka. Seseorang meninggalkan buku itu di kotak pengembalian buku, tanpa meninggalkan identitas apapun.
Pustakawan Robin DeVries mengatakan dia senang untuk mendapatkan kembali buku itu.
Perpustakaan mengenakan denda USD 1.400 (seribu empat ratus dollar Amerika) atau sekitar Rp 12,6 juta untuk buku yang terlambat dikembalikan. Tetapi dengan pemutihan itu membuat peminjam yang lalai bebas denda.
Catatan perpustakaan menyarankan peminjaman buku tersebut di atas diperiksa di awal 1970-an. Tetapi karena sistem sirkulasi telah berubah, tidak jelas siapa yang terakhir melakukan pemeriksaan. Perpustakaan telah mengganti sistem peminjaman, sehingga identitas orang yang meminjam buku itu 35 tahun lalu tidak diketahui.
Tak seorangpun mengetahui motif mengapa orang tersebut tidak meninggalkan identitasnya. Yang pasti, kami menilai orang itu berniat baik. Dia memahami bahwa buku adalah sebuah barang berharga dan bila dibagikan kepada yang lain akan memberi manfaat ganda. Meski harus menyembunyikan identitasnya, mungkin karena malu. Terlalu lama mengembalikan buku itu.
Kisah ini menjadi pelajaran bagi para peminjam buku dari perpustakaan agar tidak terlambat mengembalikan buku-buku yang dipinjam melebihi masa peminjaman. Bisa keterusan seperti kisah di atas. Untungnya dia masih mengerti arti sebuah buku. Meski terlambat dia masih rela mengembalikannya. Sebuah simbol pemahaman atas nilai sebuah buku.
Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi pengelola Perpustakaan untuk periode-periode tertentu melakukan pemutihan, agar buku-buku penting yang dipinjam dan lalai dikembalikan bisa dimiliki perpustakaan untuk dibaca lebih banyak orang yang memerlukannya.
Sekilas Perpustakaan Winona
Di balik kisah di atas, alangkah baiknya kita mengetahui sekilas kisah Perpustakaan Winona, sebagai sebuah perbandingan dan motivasi dalam mengembangkan perpustakaan di lingkungan kita. Masyarakat modern memandang perpustakaan sebagai usaha mempertahankan dan mengembangkan peradaban, bukan hanya bangunan fisik belaka, bukan pula hanya melayani peminjaman dan pengembalian buku.
Perpustakaan ini berdiri pada 1857, ketika sekelompok kecil orang lokal membentuk Winone Lyceum, asosiasi perpustakaan paling awal di kota itu. Iuran yang dibayar oleh anggota membiayai pembelian buku baru. Pada tahun 1863 kelompok itu menjadi Young Men's Library Association, yang pada 1870 berkembang menjadi 268 anggota dengan 1.670 buku. Karena sempat dililit hutang, perpustakaan ditutup pada 1875 selama dua tahun.
Pada 1877 Mrs JB McGaughey, Mrs Thomas Wilson, dan Miss Charlotte Prentiss melunasi hutang dan mereorganisasi perpustakaan di bawah nama baru, the Winona Library Association. Pada tanggal 22 Maret 1886, asosiasi menyumbangkan koleksi 3.500 buku untuk Winona, membentuk perpustakaan umum kota pertama yang gratis.
Akhir 1890-an William H. Laird menyumbang $ 50.000 untuk kota untuk rumah permanen untuk perpustakaan, yang mencakup biaya konstruksi untuk bangunan baru. Asosiasi perpustakaan membayar biaya perabot, dan rak. Perpustakaan baru di sudut jalan Fifth Johnson dibuka pada 20 Januari 1899, dan masuk dalam National Register of Historic Places.
Bangunan tahan api dirancang oleh Warren Powers Laird, dekan sekolah arsitektur dari University of Pennsylvania, dan Edgar V. Seeler, seorang arsitek Philadelphia. Bangunan asli memiliki ketinggian 85 kaki, 65 kaki dengan sayap berlantai tiga. Kubah tembaga setinggi 56 kaki di atas jalan. Dinding bata berhadapan dengan batu Bedford dan pintu masuk, trotoar, tempat jalan kaki, adalah batu kapur Winona. Kolom di pintu masuk adalah marmer Georgia Creole.
Fitur yang unik dari perpustakaan ini adalah lantai kaca dalam tumpukan buku, rak-rak dan tangga berukir wajah dari tembaga, dan mural Kenyon Cox, "The Light of Learning," di bawah kubah perpustakaan.
Sebuah perpustakaan dibangun dan dirancang untuk puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Sebuah tempat yang nyaman untuk belajar peradaban manusia. Selain itu, website perpustakaan ini didesain ssedemikian rupa sehingga menarik untuk dikunjungi.
Bagaimana dengan perpustakaan kita?.Momen ini seharusnya kita gunakan untuk belajar lebih banyak tentang perpustakaan. Perpustakaan tidak hanya tempat meminjam buku, tetapi sekaligus sebuah kebanggaan kota.
Bagaimana dengan media kita?. Saatnya media bercermin sejauh mana mereka telah memberi perhatian dalam meliput perpustakaan. Kisah ini diliput berbagai media terkenal dunia seperti The Associated Press, The New York Times serta media terkemuka dunia lainnya.
Media tanah air jangan sampai melupakan kisah dari ruang perpustakaan-perpustakaan nasional!. Kisah perpustkaan kalau dikemas dengan baik menjadi sebuah berita yang memotivasi bangsa ini mencintai dan mengembangkan peradaban. Jangan hanya larut dengan kisah perselingkuhan, kekerasan, korupsi, perilaku politik yang tidak etis para elit.
Kalau anda berminat melihat sebuah perpustakaan kota yang modern bisa mengunjungi : http://www.cityofwinona-mn.com.
Artikel ini terinspirasi dari berita di http: www.kompas.com. ”Buku Dikembalikan Setelah 35 Tahun, 14 September 2010).
:
Kisah di salah satu website terbaik negeri ini, membuka mata kami mengembangkan kisah itu, dan mengajak anda sejenak melirik tempat kisah ini berlangsung, yakni Perpustakaan Umum Winona, AS. Sekaligus mengajak media kita untuk peduli kepada perpustakaan.
Kisahnya begini. Minggu lalu, petugas perpustakaan di Perpustakaan Umum Winona, Minnesotta, AS, Robin DeVires, terkejut ketika seseorang mengembalikan sebuah buku yang dipinjam 35 tahun lalu. Buku berjudul Small Voices: A Grownup’s Treasury of Selections from the Diaries, Journals and Notebooks of Young Children itu berisi kumpulan jurnal beberapa orang terkenal yang ditulis pada masa kanak-kanak mereka. Seseorang meninggalkan buku itu di kotak pengembalian buku, tanpa meninggalkan identitas apapun.
Pustakawan Robin DeVries mengatakan dia senang untuk mendapatkan kembali buku itu.
Perpustakaan mengenakan denda USD 1.400 (seribu empat ratus dollar Amerika) atau sekitar Rp 12,6 juta untuk buku yang terlambat dikembalikan. Tetapi dengan pemutihan itu membuat peminjam yang lalai bebas denda.
Catatan perpustakaan menyarankan peminjaman buku tersebut di atas diperiksa di awal 1970-an. Tetapi karena sistem sirkulasi telah berubah, tidak jelas siapa yang terakhir melakukan pemeriksaan. Perpustakaan telah mengganti sistem peminjaman, sehingga identitas orang yang meminjam buku itu 35 tahun lalu tidak diketahui.
Tak seorangpun mengetahui motif mengapa orang tersebut tidak meninggalkan identitasnya. Yang pasti, kami menilai orang itu berniat baik. Dia memahami bahwa buku adalah sebuah barang berharga dan bila dibagikan kepada yang lain akan memberi manfaat ganda. Meski harus menyembunyikan identitasnya, mungkin karena malu. Terlalu lama mengembalikan buku itu.
Kisah ini menjadi pelajaran bagi para peminjam buku dari perpustakaan agar tidak terlambat mengembalikan buku-buku yang dipinjam melebihi masa peminjaman. Bisa keterusan seperti kisah di atas. Untungnya dia masih mengerti arti sebuah buku. Meski terlambat dia masih rela mengembalikannya. Sebuah simbol pemahaman atas nilai sebuah buku.
Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi pengelola Perpustakaan untuk periode-periode tertentu melakukan pemutihan, agar buku-buku penting yang dipinjam dan lalai dikembalikan bisa dimiliki perpustakaan untuk dibaca lebih banyak orang yang memerlukannya.
Sekilas Perpustakaan Winona
Di balik kisah di atas, alangkah baiknya kita mengetahui sekilas kisah Perpustakaan Winona, sebagai sebuah perbandingan dan motivasi dalam mengembangkan perpustakaan di lingkungan kita. Masyarakat modern memandang perpustakaan sebagai usaha mempertahankan dan mengembangkan peradaban, bukan hanya bangunan fisik belaka, bukan pula hanya melayani peminjaman dan pengembalian buku.
Perpustakaan ini berdiri pada 1857, ketika sekelompok kecil orang lokal membentuk Winone Lyceum, asosiasi perpustakaan paling awal di kota itu. Iuran yang dibayar oleh anggota membiayai pembelian buku baru. Pada tahun 1863 kelompok itu menjadi Young Men's Library Association, yang pada 1870 berkembang menjadi 268 anggota dengan 1.670 buku. Karena sempat dililit hutang, perpustakaan ditutup pada 1875 selama dua tahun.
Pada 1877 Mrs JB McGaughey, Mrs Thomas Wilson, dan Miss Charlotte Prentiss melunasi hutang dan mereorganisasi perpustakaan di bawah nama baru, the Winona Library Association. Pada tanggal 22 Maret 1886, asosiasi menyumbangkan koleksi 3.500 buku untuk Winona, membentuk perpustakaan umum kota pertama yang gratis.
Akhir 1890-an William H. Laird menyumbang $ 50.000 untuk kota untuk rumah permanen untuk perpustakaan, yang mencakup biaya konstruksi untuk bangunan baru. Asosiasi perpustakaan membayar biaya perabot, dan rak. Perpustakaan baru di sudut jalan Fifth Johnson dibuka pada 20 Januari 1899, dan masuk dalam National Register of Historic Places.
Bangunan tahan api dirancang oleh Warren Powers Laird, dekan sekolah arsitektur dari University of Pennsylvania, dan Edgar V. Seeler, seorang arsitek Philadelphia. Bangunan asli memiliki ketinggian 85 kaki, 65 kaki dengan sayap berlantai tiga. Kubah tembaga setinggi 56 kaki di atas jalan. Dinding bata berhadapan dengan batu Bedford dan pintu masuk, trotoar, tempat jalan kaki, adalah batu kapur Winona. Kolom di pintu masuk adalah marmer Georgia Creole.
Fitur yang unik dari perpustakaan ini adalah lantai kaca dalam tumpukan buku, rak-rak dan tangga berukir wajah dari tembaga, dan mural Kenyon Cox, "The Light of Learning," di bawah kubah perpustakaan.
Sebuah perpustakaan dibangun dan dirancang untuk puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Sebuah tempat yang nyaman untuk belajar peradaban manusia. Selain itu, website perpustakaan ini didesain ssedemikian rupa sehingga menarik untuk dikunjungi.
Bagaimana dengan perpustakaan kita?.Momen ini seharusnya kita gunakan untuk belajar lebih banyak tentang perpustakaan. Perpustakaan tidak hanya tempat meminjam buku, tetapi sekaligus sebuah kebanggaan kota.
Bagaimana dengan media kita?. Saatnya media bercermin sejauh mana mereka telah memberi perhatian dalam meliput perpustakaan. Kisah ini diliput berbagai media terkenal dunia seperti The Associated Press, The New York Times serta media terkemuka dunia lainnya.
Media tanah air jangan sampai melupakan kisah dari ruang perpustakaan-perpustakaan nasional!. Kisah perpustkaan kalau dikemas dengan baik menjadi sebuah berita yang memotivasi bangsa ini mencintai dan mengembangkan peradaban. Jangan hanya larut dengan kisah perselingkuhan, kekerasan, korupsi, perilaku politik yang tidak etis para elit.
Kalau anda berminat melihat sebuah perpustakaan kota yang modern bisa mengunjungi : http://www.cityofwinona-mn.com.
Artikel ini terinspirasi dari berita di http: www.kompas.com. ”Buku Dikembalikan Setelah 35 Tahun, 14 September 2010).
: