Kodrat seorang ibu adalah hamil. Bila suami menderita karena istrinya belum mendapat karunia seorang anak, tentu si istri justru lebih menderita lagi--merasa lebih tertekan batinnya saat ia mendapati para wanita sebayanya atau bahkan yang lebih muda darinya sudah bercanda dengan si kecil yang berceloteh digendongannya.
Penderitaan makin parah, karena hingga saat ini, lingkungan, tetangga sekitar, teman dan yang lainnya memandang sebelah mata terhadap sosok wanita mandul yang tak bisa memberi keturunan.
Syukur masih ada yang memandangnya dengan empati lantaran mereka belum juga dikaruniai keturunan.
Kesehariannya sering mengalami kesepian dan kerinduan, karena momongan belum kunjung tiba. Sore hari, menyambut suami yang tampak murung karena baru saja melihat tetangganya menggendong anak dan bercanda di halaman rumah.
Setelah bertahun-tahun dalam penderitaan berat, penderitaan berikutnya menimpa seorang wanita mandul, manakala suami memutuskan menikah lagi dengan wanita lain.
Itulah kira-kira penderitaan yang dialami Hanna, seorang perempuan mandul yang dikisahkan dalam Kitab Samuel, Perjanjian Lama.
Setelah menikah dalam waktu yang cukup lama, suaminya Elkana, karena alasan keturunan, menikah lagi dengan seorang wanita bernama Penina.
Hanna yang sudah bertahun-tahun merindukan anak, tapi hasilnya nihil, justru madunya Penina yang menikah belakangan dengan suaminya sendiri mampu melahirkan beberapa orang anak.
Hanna masih sedikit bersyukur karena Elkana tetap mengasihinya, meski Hanna tidak memiliki anak.
Sebaliknya, madunya, Penina memperlihatkan sikap yang bertolak belakang. Mengetahui suaminya masih menyayangi Hanna, Penina berusaha membuat hati Hanna gusar dan menyakiti hatinya.
Suasana yang paling disenangi Penina adalah saat ziarah tahunan ke Syilo. Di sana mereka memberikan persembahan kepada Tuhan.
Bagian-bagian korban yang dipersembahkan kepada Tuhan adalah berdasarkan jumlah orang yang ikut ziarah.
Penina yang memiliki anak yang jumlahnya banyak itu—’semua putra-putrinya’—Elkana memberikan bagian dari korban-korban yang dipersembahkan kepada Tuhan. Sementara Hana, yang tidak punya anak, hanya menerima bagiannya sendiri.
Penina begitu merendahkan Hana dan mengungkit-ungkit kemandulannya sampai-sampai wanita yang malang ini menangis dan bahkan kehilangan selera makan.
Lengkaplah sudah penderitaan Hanna.
Setiap kali disakiti Hana menangis dan tidak mau makan. Elkana hanya bisa menghibur dengan mengatakan:
"Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?".
Dukungan dari manusia, termasuk suaminya tidak mampu menghibur hati Hanna. Kehebatan Hanna, disebutkan bahwa dia menghadapi kepedihan dengan sabar, keyakinan penuh kepada Tuhan dan tidak membalas dendam kepada Penina yang menyakitinya.
Kisah Perjanjian Lama memaparkan bahwa Hana menyampaikan keputusasaannya kepada Tuhan melalui doanya yang khusuk.
Suatu ketika Hanna bernazar, "TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya."
Ketika Hana terus-menerus berdoa di hadapan TUHAN, maka Eli mengamat-amati mulut perempuan itu; karena Hana berkata-kata dalam hatinya dan hanya bibirnya saja bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak kedengaran, maka Eli menyangka perempuan itu mabuk.
Meminta pertolongan kepada Tuhan dalam keputusasaan seringkali terlihat aneh dan ini pula yang diperlihatkan Imam Eli dengan menegur dan menasehati Hana supaya melepaskan diri dari mabuk-mabukan.
Hanna sesungguhnya tidak mabuk. Meski dituduh demikian, Hanna tidak marah dan tersinggung atas sikap Imam Eli.
Dia menjawabnya seadanya dengan polos. "Bukan, tuanku, aku seorang perempuan yang sangat bersusah hati; anggur ataupun minuman yang memabukkan tidak kuminum, melainkan aku mencurahkan isi hatiku di hadapan TUHAN".
Eli menerima penjelasan ini dan akhirnya memberkatinya: ""Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta dari pada-Nya"
Hanna lega dan mukanya tidak bersedih lagi.
Tuhan mengabulkan permintaan Hanna. Segera setelah peristiwa itu, Hana hamil dan melahirkan, Samuel, artinya anak yang "Diminta dari TUHAN".
Ketika tiba waktunya Elkana pergi ke Silo melakukan ziarah tahunan, Hana meminta agar dia dan Samuel diizinkan tidak pergi sampai anak itu disapih. Setelah perempuan itu menyapih anaknya, Elkana membawa Samuel dengan seekor lembu jantan yang berumur 3 tahun, satu efa tepung dan sebuyung anggur, lalu diantarkannya ke dalam rumah TUHAN di Silo.
Hanna menepati nazarnya. Samuel yang masih masih kecil dipersembahkan untuk melayani. Dia tinggal dan melayani di bait suci TUHAN. Samuel adalah tokoh besar terakhir bangsa Israel pada masa kepemimpinan para pahlawan.
Hana tidak hanya melahirkan Samuel tetapi juga tiga orang anak laki-laki serta dua anak perempuan yang lain.
Hanna datang kepada Tuhan tidak dengan tangan hampa. Dia datang dengan persembahan puji-pujian. Ketika doanya dijawab Tuhan, dia mengucap syukur dengan persembahan terbaik, dan tak lupa menaikkan puji-pujian kepada Tuhan atas kebaikan Tuhan.
Hanna tidak membalas hinaan Penina, tidak mencari pertolongan manusia, Hanna berjanji, kalau Tuhan membalas doanya akan dipergunakan memuliakan Tuhan, berdoa dengan Tekun (sampai dikira mabuk), dan Hanna adalah orang yang mampu berterima kasih, mengucap syukur.
Medan 26 Agustus 2014