Oleh: Jannerson Girsang
Sesak nafas!. Itulah sering dihadapi para pejabat atau manajer sekarang ini.
Anak buah hanya mengetahui setengah-setengah tentang sesuatu persoalan yang menjadi tanggungjawabnya. Sang bos juga kadang tidak sempat memberi bimbingan kepada anak buahnya, sibuk kampanye Pilkada.
Para pegawai banyak menempati posnya karena KKN, kedekatan hubungan dengan bos, sogok menyogok, tanpa memperhatikan kemampuan dan integritas.
Semua terdemotivasi, biaya yang dikeluarkan tidak mencapai sasaran, bahkan banyak proyek tidak dikerjakan, sehingga serapan anggarannya rendah.
Padahal, seorang penanggung jawab sebuah kegiatan mesti menguasai analisa masalah sederhana, dan mampu merencanakan kegiatan untuk mencapai rencana itu.
Pagi itu seorang bos sebuah instansi sedang pusing di meja kerjanya, karena proyek penggalian parit tidak kunjung selesai, padahal deadline pekerjaan sudah lebih dari lima bulan.
Lalu dia memanggil anak buahnya penanggungjawab proyek itu.
Si anak buah datang dengan bundel yang cukup tebal. Dia dipersilakan duduk menghadap bosnya, seraya menundukkan kepala. .Menaruh bundelnya di atas kursi di samping tempat duduknya.
"Bagaimana penyelesaian proyek yang menjadi tanggungjawabmu?" kata bosnya memulai pembicaraan.
"Anu Pak!. Kami sudah bekerja keras siang dan malam, bahkan saya sendiri tidak pulang-pulang ke rumah"
"Kerja keras itu harus punya target. Apakah yang kalian lakukan, sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan?".
"Itulah Pak yang jadi masalah. Anggaran yang kita buat dulu tidak memperkirakan biaya pembebasan tanahnya, lembur untuk pegawai yang mengawasi demo. Jadi kami hanya menunggu dan menunggu"
"Anda ikut rapat kan kemaren, kenapa tidak dilaporkan".
"Itulah Pak, laporannya baru selesai pagi ini, karena saya dipanggil bapak"
"Makanya, kamu harus selalu membuat laporan fakta di lapangan. Bukan asal ngomong. Kemaren kamu asyik mengomentari pekerjaan orang lain. Saya pikir proyekmu tidak ada masalah"
"Soalnya, anak buah saya pada absen semua Pak. Jadi saya hanya kerja sendiri. Kalau boleh, Bapaklah yang menangani proyeknya, Saya sudah tidak sanggup"kata anak buahnya itu.
"Oh Tuhan. Untuk apa saya angkat kamu di sana kalau tokh sayajuga yang harus mengerjakannya?. Sudah, tunggu besok dan kamu akan menerima perintah saya selanjutnya"
Mendengar teguran bosnya si anak buah bukannya mengaku salah.
"Bapakpun terlalu sibuk kampanye, jadi kami susah melapor"
"He. Kau anak buahku. Kamu tidak berhak mengatur. Saya yang berkuasa di sini"
Sang anak buah yang merasa punya kartu as itu meninggalkan ruangan dan membawa bundel tebal yang sebenarnya hanya berkas-berkas pengaduan masyarakat, dan tak ada kaitannya dengan keinginan bosnya.
Sang bos, kemudian memerintahkan personalia mengganti sang anak buah.
Si anak buahpun, sibuk mencari "deking", supaya ditempatkan di proyek yang lebih "basah", karena kemaren dia ikut kampanye bupati di kabupaten lain.
Begitu banyak kasus seperti ini dijumpai di mana-mana. Sang bos juga kurang perhatian karena sibuk dengan pencalonannya menjadi Calon Bupati yang gagal tempo hari. Anak buah yang diberhentikan tadi sibuk cari "deking".
Sayangnya semua hanya mencari salah dan bukan solusi. Pecat memecat, deking mendeking, tanpa bimbingan yang memadai.
Karena kemampuan yang rendah, ketidakjujuran dan ketidakpedulian pada tanggungjawab.
Tak heran kalau Jokowi mengeluh karena serapan anggaran yang rendah!. Mungkin banyak pejabat sibuk kampanye, anak buah cari deking; pekerjaan terbengkalai.
Medan, 21 Mei 2015