My 500 Words

Senin, 28 April 2014

Dokter di Penang dan Medan Menyerah

Oleh: Jannerson Girsang

Sang suami menunggu istri yang hanya dibantu alat pernafasan dan infus. Lelah sudah menjalani pengobatan berbulan-bulan, bahkan hingga ke Penang.

Faktanya, tidak ada perubahan. Hingga tadi malam, nafsu makan istri hampir sirna. Susah bernafas, dan bicara. Tidak lagi mengenal orang yang datang menjenguknya.

Keluarga sudah membawanya ke rumah, karena dokter di Penang atau di Medan sudah menyerah,

Saya membayangkan dirinya kalau menerawang akan hal terburuk terjadi terhadap istrinya.

Itulah suasana yang dihadapi teman saya, Sehat Jawak tadi malam, saat menemuinya di rumahnya di daerah Lona, Medan, menjelang tengah malam (31 Maret 2014).

Tapi saya salut melihatnya tetap tegar. Padahal dia masih mengurus anak-anak yang sebagian belum berkeluarga, menjaga keutuhan keluarga yang sudah lelah merawat selama berbulan-bulan.

Yang jelas, uang berobat selama berbulan-bulan sudah menguras tabungan selama ini. Sementara pemasukan tidak seperti sediakala.

Kalau sendirian tidur tengah malam, tentu tidak bisa tidak, pasti kadang muncul suasana ngeri atau susah tidur. Saat waktu makan tiba, mungkin harus menyediakan makan sendiri. Makan tidak teratur.

Tetapi dia tampak tabah. "Saya sudah pasrah lae. Tapi kekuatan doa membuat saya mampu,"ujarnya.

Andaikata saya menghadapi situasi demikian, belum tentu juga sekuat teman saya.

Hidup tidak bisa sendiri, harus saling menopang, saling mendukung. Tuhan juga meminta kita demikian. Itulah pelajaran kita dalam hidup ini. Kita saling membutuhkan.

Saya bersyukur, dia meminta Pendeta dan rekan-reman melakukan Perjamuan Kudus (HBN) untuk istrinya, sekitar pukul 00.00. Menyerahkan istrinya--teman saya bermain di masa kecil, yang sedang sakit parah. Berserah kepada Tuhan, situasi sulit yang sedang di depan mata.

Itulah tindakan yang tepat, saat kita tidak memiliki apa-apa lagi, saat kita buntu melakukan tindakan. Mungkin akan ada inspirasi baru sesudah itu.

Suasana-suasana seperti ini, merupakan pelajaran berharga bagi saya, mungkin juga bagi kita semua, kalau suatu ketika menghadapi masalah yang sama.

Berkali-kali saya menjenguk orang sakit, melihat situasi di sekitarnya, menjadikannya infus rohani yang saling menguatkan.

Setegar-tegarnya kita sekarang ini akan menghadapi masalah yang hampir sama. Kita membutuhkan pertolongan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi perhatian.

Saya salut melihatnya tetap tegar dan anak-anaknya dengan segala kemampuan masing-masing mendukungnya setiap saat.

Salut melihat keluarga muda Sy Enni Jawak--putri tertua mereka yang sejak muda sudah sangat aktif mengajar anak-anak, membina pemuda, dan suaminya Hendra Sipayung yang semasa mudanya adalah aktivis pemuda.

Mereka adalah contoh anak Tuhan yang dengan tulus memberi kasih sayang kepada orang tuanya, memberi kekuatan baru bagi ayahnya yang sedang susah.

Semoga doa-doa kami diterima, keluarga tetap tabah dan senantiasa bersukacita dalam Tuhan.

Ketika semuanya sudah hilang, dokter sudah menyerah, maka jangan takut.

Masih ada kekuatan lain yang setiap saat bersedia menolong kita. Jangan melupakan kekuatan itu ketika kita masih segar bugar, bukan hanya ketika suasana kita lemah.

Latihan rohani diperlukan setiap hari, setiap saat. Karena setiap saat situasi demikian bisa menimpa kita juga.

Eni Ramayanti JAwak, Patricia Girsang, Clara Girsang, Devee Girsang, Hendra Tasmanda

Note: Akhirnya Usmirita br Purba, meninggal di Rumah Sakit Adam Malik, 2 April 2014 malam. Selamat jalan boto.

Semoga laeku Sehat Jawak dan semua anak-anak tabah menghadapi situasi sedih ini. Saya hanya sempat menyalami kalian sesudah botoku di Ambulance dan sudah dalam perjalanan keluar dari gerbang RS Adam Malik, pukul 20.45.

Sedih melihat anak-anakmu, menantumu, laeku yang sudah berbulan-bulan tidak tenang menghadapi penyakitmu boto.

Saya belum melihat wajahmu yang sudah tenang, matamu yang tak berkedip, tidak lagi mengeluh kesakitan seperti malam terakhir saya menemuimu. Tidak ada lagi emosimu seperti malam terakhir menyambutku kalau saya datang nanti menemuimu. Ingat wajah lugumu saat kita bermain puluhan tahun yang lalu.

Malam ini kau akhiri semuanya. Kau meninggalkan kami menjelang minggu tenang Pileg 2014. Kau tidak sudi melihat para caleg yang akan kita pilih. Mungkin kau benci karena banyak money politik.

Selamat jalan temanku, selamat meninggalkan dunia yang penuh tipi daya ini. Tenanglah bersama Tuhan sang Penciptamu di tempat terbaik yang diberikanNya.


Rita akhirnya dikebumikan 4 April 2014 di desa Rakutbesi, 110 km sebelah Selatan Medan. Saya bersama teman-teman gereja menghadiri acara penghormatan terakhir temanku itu.  

Guru Besar dengan Satu Artikel Per Hari

Oleh: Jannerson Girsang

Seorang guru besar Universitas Islam Negeri Malang, secara disiplin menulis satu artikel ke websitenya, setiap usai sembahyang subuh.

Kini websitenya berisi lebih dari 2000 artikel, dan artikel terakhirnya, 26 Maret 2014 berjudul: Memilih Pemimpin Terbaik.

Atas ketekunannya, Prof Dr Imam Suprayogo, sang profesor itu, dianugerahi Muri Indonesia, karena "Konsistensi Menulis Satu Artikel setiap Hari tanpa Jeda".

Sibuk dengan berjibun tugas sebagai guru besar dan rektor sebuah perguruan tinggi, tidak menjadi alasan bagi sang Professor untuk tidak menulis setiap hari.

Mungkin, setelah menulis beliau merasa damai di hatinya.

Hayo, damaikan hati Anda dengan tulisan sederhana. Bagaimana kita?

Rinto Tampubolon, Roy Martin Simamora, Maruntung Sihombing, Rindu Rumapea, Eka Handayani Ginting, Eka Azwin Lubis, Zahrani Rara, Jan Roi Purba, Zudika Manullang, Kartini Zalukhu, Noverlist Chandra, Onlyhu Ndraha, Iman Lase, Irwanto Hulu, Desty Hulu, Yason Hulu, Irma Sally Tampubolon dan teman-teman lainnya.

Salut buat suhu kita Posman Sibuea, Albiner Siagian, guru besar yang sangat sibuk dan tapi tak lupa menulis di media cetak dan menulis buku, Guru Etos Jansen Sinamo yang terus memproduksi buku, di tengah kesibukannya mencerdaskan bangsa ini, dan saat ini sedang memasarkan buku barunya, abang kita Budi Hutasuhut yang menghibur dan membuka mata kita bulan ini dengan cerpennya: Menuju Jalan Bahagia di majalah Horison, Liven Riawaty, Lim Rosni dengan cerpen-cerpen dan buku-bukunya yang menginspirasi kita, Lea Willsen penulis berhati baja, lae Fadmin Malau Malau, penulis artikel yang sangat produktif, Lucya Chriz yang mengasilkan Novel Amang Parsinuan, kisah lokal yang luar biasa.


26 Maret 2014

Membungkus Tubuh dengan Plastik, Menghancurkan Lemak

Oleh: Jannerson Girsang

Beberapa ratus meter menjelang tiba di rumah, sepulang dari jalan pagi, hari ini, saya bertemu seorang pria berusia mungkin sekitar 55-60 tahun. Dia duduk di atas dinding jembatan.

"Kenapa badannya dibungkus Pak?" ujar saya heran. Badannya dibungkus dengan jaket plastik, hingga kepala.

"Supaya keringat dan lemak di badan hancur,"katanya senyum dan yakin akan apa yang dilakukannya.

"Buka aja Pak, biar dapat sinar matahari pagi,"saran saya.

Kebetulan sinar matahari pagi sedang terik-teriknya, dan menurut pelajaran IPA di SD dulu, guru saya bilang itu bagus untuk menguatkan tulang.

Saya berlalu dengan heran, meninggalkan bapak itu berkeringat, menikmati bungkusan jaket plastiknya.

Keringat yang keluar dengan membungkus badan dengan plastik dapat menghancurkan lemak (?).

Saya bukan ahli kesehatan. Mudah-mudahan orang tua itu benar. Jangan-jangan inilah filosofi OUKUP yang marak di Medan.

Tapi saya tetap yakin, melakukan jalan kaki 4.3 kilometer (sekitar 1 jam) sehari lebih sehat.

Medan 28 April 2014

Jalan Hidup

Oleh: Jannerson Girsang

Kemanakah Anda hari Minggu?.

Orang Kristen diwajibkan ke gereja pada hari Minggu. Itulah jalan yang harus dijalaninya hari ini.

Orang yang melaksanakannya berarti tau jalan yang harus ditempuhnya. Dia paham bahwa di sana ada sukacita berlimpah-limpah. Karena itulah janji bagi orang yang melakukannya.

Banyak orang yang menjalani jalan yang dipilihnya, tetapi tidak bersuka cita. Padahal, jalan itu menjanjikan sukacita.

Seringkali kita lupa rambu-rambunya. Tidak asal berjalan, tidak asal ke gereja.

Ke gereja memakai perhiasan yang "menyolok" akan membuat perasaan orang lain iri dan tidak nyaman.

Anda memarkir kenderaan di jalan di depan gereja membuat macet dan mengganggu orang lain lewat, itu bukan cara yang benar.

Anda ribut ketika pendeta menyampaikan khotbah itu bukan cara yang benar.

Mengikuti kebaktian hanya melihat kesalahan jalannya kebaktian, model pakaian orang, cara berpakaian orang yang salah, akan memberi Anda "dukacita", bukan suka cita.

Tampil melayani hanya supaya mendapat pujian, bukan juga cara yang benar.

Itu hanya sebagian kecil contoh rambu-rambu yang dipatuhi ketika orang melakukan kebaktian di gereja.

Salah satu contoh kecil sebuah jalan hidup. Di sana ada rambu-rambu, mana yang ditempuh, mana rambu-rambu yang harus dipatuhi.

Semua dimaksudkan untuk membahagiakan Anda yang melakukannya dan orang lain yang menyaksikannya. Kehadiran kita memberi manfaat bagi orang lain. Pergi tampak punggung, datang tampak muka. Anda bukan hanya "penerima", tetapi juga "pemberi". Anda menjadi bagian yang diperhitungkan, dirindukan.

Kenalilah kebiasaan yang membuat Anda merasa dibutuhkan dan pupuklah kebiasaan itu. Gunakan dan latihlah cara itu, sehingga Anda semakin bersuka cita dan banyak orang merasakan sukacita Anda.

"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, dihadapanMu ada suka cita berlimpah-limpah, di tangan kananMu ada nikmat senantiasa. Mazmur 16:11".

Anda bebas memilih jalan yang Anda tempuh hari ini. Hanya dua kemungkinan hasilnya: mendapatkan suka cita baru yang berlimpah atau menuai tambahan duka cita lama yang berkepanjangan.


27 April 2014

Malam Minggu Memasuki Usia 54

Oleh: Jannerson Girsang

Malam Minggu!
.
Istriku baru saja lewat mejaku menuju tempat cuci membawa piring kotor bekas makanan kami barusan. Terdengar suara air dan gesekan busa cuci-piring-sabun Sun Light. Sekali-sekali terdengar bunyi kertakan, karena ada piring jatuh, atau bergesek.

Kembali berdua, meski sudah punya empat orang anak. Semua anak-anak tinggal di luar kota Medan. Sudah tiga tahun rumah sepi dengan anak-anak.

Saya membayangkan malam minggu anak-anak yang sudah menikah, yang lajang. Pasti berbeda-beda. Malam minggu kami sebelum menikah dulu juga berbeda.

Malam ini kami baru saja selesai makan kecil (karena sebentar lagi ada undangan makan dari teman).

KDI baru saja dinikmati. Kini tidak ada musik, tidak ada suara di rumah. TV sudah dimatikan barusan. Saya menulis dan istri mencuci piring.

Rumah senyap......sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Kita keluar yuk," kata saya barusan.

"Akh bentar lagi aja, satu jam lagi kita berangkat," ujar istri.

Menunggu satu jam, aku buat aja artikel ini, mana tau suatu ketika berguna.

Membayangkan malam Minggu di masa muda, rasanya Malam Minggu di masa tua ini kurang gregetnya. Tak banyak sensasi.

Kegiatan kebanyakan pergi berdua ke rumah keluarga atau teman, ke gereja atau menghadiri rapat, atau menulis saja.

Memutar memori malam minggu ke era 80-an. Sore hari, sepulang praktikum, saya berangkat dari Bogor ke Jakarta. Menumpang bus lewat Jagorawi dengan tiket langganan.

Macet menjelang Jakarta. Merambat hingga terminal Cililitan (Sekarang PGCC).

Sampai di rumah "mantan pacar" di Kramat Jati, Jakarta, istirahat sebentar, langsung menuju Ancol. Naik bus juga!. Tak ada AC, penuh sesak, tapi nyaman, karena CINTA.

Ancol, pantai indah dengan jejeran pohon kelapa dan lampu-lampu yang redup dan membuat suasana sedikit remang.

Deburan ombak Teluk Jakarta serta angin laut yang terasa asin di pipi, membuat kenangan tak terlupakan. Dingin, tapi terasa hangat, miskin tapi terasa kaya.

Menikmati suasana malam Minggu yang sangat romantis selama berjam-jam.

Pulang tengah malam. Almarhum mertua batuk-batuk!

Bogor juga merupakan tempat yang sangat indah dan sejuk dan romantis untuk pasangan kami dulu.

Malam Minggu di masa muda, memang sungguh indah. Rasanya seminggu berlangsung begitu lambat. Kini, malam minggu seperti itu tak akan terulang lagi.

Satu hal yang tidak berubah, aku dan mantan pacarku (istri) tetap bersama di Malam Minggu malam ini.

Bercanda dengan teman-teman, dan mempersiapkan diri untuk kebaktian Minggu esok pagi, dan tugas-tugas gereja di siang hingga sore hari.

Tak ada sensasi, tetapi tetap bahagia. Hampa kemewahan tetapi tetap bersahaja.

Bentar lagi, kami akan keluar berdua.....kembali berdua. Tanpa anak-anak.

Mudah-mudahan Malam Minggu kali ini berkesan. Selamat Malam Minggu teman-teman. Apapun keluhan Anda tadi siang, buatlah malam ini bahagia bersama pasangan, teman Anda!

Medan 26 April 2014.

Wisuda, Kasih Sayang, Syukuran dan Tamasya

Oleh: Jannerson Girsang

Pulang dari menghadiri wisuda Universitas HKBP Nommensen (UHN) di Gedung Serba Guna Pemprovsu, Jalan Pancing Medan, sebuah gedung baru milik Pemprovsu yang mampu menampung 15-20 ribu pengunjung.

Saya sangat terkesan dengan pemandangan menarik usai wisuda gelombang pertama UHN yang melepas 647 orang terdiri dari S2. S1 dan D3 dan dihadiri Sekjen HKBP, Pdt Mori Sihombing dan para undangan lainnya.

Saat mau pulang, di samping gedung, seorang ibu sedang menyuapi putrinya--yang masih berpakaian wisuda. Bersama anggota keluarga yang lain, mereka duduk santai di atas tikar, tak peduli orang lalu lalang di samping mereka.

Sang ibu menyuapi putrinya dan sang putri menikmati betul kasih sayang ibunya, seperti seorang bayi kecil. Sebuah pemandangan wujud kasih sayang yang tulus, ungkapan kebahagiaan sang ibu di hari bersejarah. Mereka telah menyelesaikan tanggungjawabnya setahap.

Mungkin selama ini dia kos, dan melepas rindu suapan sang ibu, khususnya di hari bersejarah ini. "Ibu, oh ibu,kasihmu sungguh tak tergantikan. Meskipun aku sudah sarjana, aku rindu suapan tangan lembutmu yang tak tergantikan oleh siapapun"

Mereka, keluarga yang berasal dari luar kota Medan, menggelar tikar bersama keluarga, beberapa adik dan kakak sang wisudawan turut serta. Semuanya pada senang, makan ala kadarnya, serasa dunia seluas tikar itu milik mereka.

Keluarga ini adalah keluarga sederhana. Mereka membawa makanan dalam rantang dari kampung. Hanya pindah makan siang di tempat yang gratis pula. Tidak usah melakukan syukuran ke restoran yang mahal.

Wisuda sambil tamasya, dan menikmati kebahagiaan. Adik-adik dan saudaranya, mungkin selama ini tidak pernah melihat gedung megah dan kota metropolitan Medan, hari ini mereka menikmatinya.

"Ma, nanti kita singgah ke Carfour ya. Kan dari kampung sudah janji" ujar seorang adiknya, dengan mulut penuh makanan. Mungkin sesudah makan mereka akan jalan-jalan, melihat kota.


Bahagianya mereka. Tidak seperti Caleg yang namanya timbul tenggelam di koran. Jantungan!. Hari ini diberitakan lolos, besoknya tidak muncul lagi! Padahal, sudah merayakannya di keluarga.

Keluarga ini mensyukuri berkat dengan kesederhanaan Merayakan hasil yang sudah pasti, menikmati keberadaannya, dan melakoninya dengan hati yang tulus.

Semoga sang putri cepat dapat pekerjaan dan bisa memberi kebahagiaan baru bagi keluarga sederhana ini. 


26 April 2014 

Orang Termiskin di Dunia

Oleh: Jannerson Girsang

Suatu ketika di sebuah kedai kopi di daerah Perumnas Simalingkar seorang Bapak dari kampung terlibat pembicaraan dengan seorang tukang becak yang baik hati.

Ternyata, mereka sudah pernah bertemu. Tukang becak itulah yang mengantarkannya ke rumah anaknya.

"Bapak kaya sekali ya,"ujar si Bapak berkelakar, dan membuat tukang becak itu terkejut.

"Bapak ini kok ngeledek saya. Saya cuma punya satu becak. Tahun depan sudah masuk kandang dan minta ganti" ujar tukang becak balik bertanya.

"Ya, tapi bapak sudah melayani banyak orang. bapak baik hati. Ribuan orang sudah menikmatinya"

"Yang kaya itu adalah mereka bagi-bagi duit waktu Caleg. Mobilnya banyak, uangnya banyak, rumah dan tanah punya dimana-mana".

"Mereka hanya punya uang, mobil, punya banyak rumah. Tapi selain itu mereka tidak punya apa-apa".

"Oh...begitu ya...". Tukang becak terdiam.

"Kalau sebelum mencaleg mereka ramah, suka memberi uang, setelah itu, datang ke kedai inipun tak mau lagi".

"Akh....saya narik dulu lae" kata tukang becak sambil mengambil handuk penyapu keringatnya menuju becak yang diparkir di depan kedai.

Dia merenungkan kembali percakapan mereka barusan.

"Orang termiskin itu, hanya punya uang, tanah, rumah, mobil. Selain itu dia tidak punya apa-apa". 


"Apa semua Caleg seperti itu?. Tidak juga akh!."

Medan 25 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Rumah dalam Sengketa

Oleh: Jannerson Girsang

“Peace begins with a smile..” (Mother Teresa)

Pagi ini, saat jalan pagi menempuh jarak 4.3 kilometer di Perumnas Simalingkar, di depan dua atau tiga rumah saya membaca "spanduk" yang terbuat dari kayu atau karton: 'RUMAH INI DALAM SENGKETA".

Artinya, pemiliknya sedang "tidak damai". Saya sudah melihatnya beberapa hari sebelumnya. Tetapi, hingga pagi ini, keadaannya tidak berubah. Pemiliknya semua larut dalam kebenciannya masing-masing.

Kata Mother Theresia damai dimulai dari senyum. Mengeluarkan senyum kepada orang yang dibenci, memang bukan pekerjaan mudah. Padahal, itulah pintu masuk perdamaian.

“Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.” (Martin Luther King Jr).

Orang yang hidup dalam kegelapan, tidak bisa membebaskan orang dari kegelapan, hanya "terang" yang dapat melakukannya. Orang yang memilki rasa kebencian tidak bisa membebaskan  orang dari kebencian. Hanya kasih yang dapat melakukannya.

Kasih, cinta, itulah yang dapat menciptakan damai, membebaskan orang dari sengketa.Pengadilan?. Kalau boleh dihindari. Karena hasilnya, "Yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu"

Semoga malam ini semuanya sadar dan memandang manfaat yang lebih besar. Berdamai itu datang dari hati yang tulus, saling memaafkan.

Semoga para pemilik rumah-rumah sengketa itu mampu memulai senyum di pagi hari esok, dan spanduk bertuliskan "RUMAH INI DALAM SENGKETA" tidak kutemui lagi.  .

Perlu waktu (tapi jangan lama-lama) bagi setiap orang untuk menemukan damai di hati. Perenungan, aksi, perenungan aksi. “Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding.” (Albert Einstein). Perdamaian tidak bisa dipaksakan, karena perdamaian hanya dapat dicapai melalui saling pengertian.

Medan, 23 April 2014

Perempuan di Abad 21: Bersama Suami Mempersiapkan Anak

Oleh: Jannerson Girsang

Sehari setelah Peringatan Hari Kartini, saya bertanya kepada istri saya.

"Menurutmu sebagai ibu rumah tangga, apa yang kau harapkan dalam hidup bersama dengan suami dan anak-anak, dan hidup bermasyarakat?"

"Bisa mengikuti acara di gereja, menjenguk orang sakit, melayat orang yang meninggal, sekali-sekali cuci mata ke mall, kalau tidak ada uang (kalau punya uang bisa beli barang baru yang diinginkan), mengikuti acara keluarga, bisa membimbing anak-anak, suatu ketika bisa berkumpul (karena 3 putri dan satu putra saya sudah jauh dari rumah), bisa memasak makanan untuk suami, bisa jalan-jalan sekali-sekali. Aku bahagia melihat anak-anakku mampu mandiri dan bisa mewariskan kebaikan yang kami peroleh dari orang tua, senang banyak kegiatan bersama dengan suami, bangga dengan suami."

Mungkin istri saya hanya seorang perempuan yang berfikiran sederhana saja. Tetapi tanpa dia, rumah tangga akan hampa. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa. Hati yang tulus, melayani keluarga, mempersiapkan keluarga baru masa depan, serta berbuat hal-hal yang sederhana bagi keluarganya dan masyarakat sekelilingnya.

Mungkin dia tidak seperti Kartini, Helen Keler atau Ibu Theresia. Tapi dia tetap perempuan yang beremansipasi.

Anak-anak lebih suka bertemu dengan ibunya dari ayahnya. Saya kadang iri juga!. "Ini untuk mama!. Untuk bapak apa. Bapak kan udah punya"...

"Kok mama nggak ikut Pak?", serta pertanyaan-pertanyaan lain yang menunjukkan betapa ibunya segalanya bagi anak-anak.

Dia setara dengan laki-laki, sama-sama melayani sesama dengan baik. Memperoleh penghargaan dari sesamanya, menerima kasih yang sempurna dari anak-anaknya, perlindungan dan kenyamanan dari suaminya.

Dia bahagia dengan posisinya seperti itu. Bukankah itu ideal bagi dirinya, dan mungkin juga bagi sebagian wanita lain?

Bagaimana seharusnya seorang wanita yang ideal?. Menurut saya: wanita ideal adalah bersama suami, bisa mewariskan hal-hal yang baik bagi keturunannya, menciptakan suasana damai di dalam rumah tangga, berbuat hal-hal yang mampu kepada lingkungannya, serta menciptakan kenyamanan dengan lingkungannya. (Saya hanya membahas wanita yang memiliki suami, karena saya memiliki istri)

Mudah-mudahan pembahasan tentang perempuan tidak semakin rumit di abad 21 ini. Emansipasi wanita meningkat, hasinya mestinya: perceraian menurun, anak-anak makin berkualitas, rumah tangga dan lingkungan makin nyaman dan damai. Emansipasi bukan hanya enak diucapkan, tetapi orang yang mendengungkannya bisa mempraktekannya dan menciptakan suasana rumah tangganya yang semakin baik.

No gain without pain!. Tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan masing-masing pasangan. Bahagia dinikmati bersama, kesulitan dihadapi bersama. 


Jangan hanya memandang enaknya saja, apalagi saling menghakimi. Salah sedikit cerai, masalah ekonomi, cerai. 

Medan, 22 April 2014 

Sabtu, 19 April 2014

RENUNGAN PASKAH: BERDOA

Oleh: Jannerson Girsang

Di hari-hari Passion ini, saya mengingat hari-hari sedih dan pahit, ketika adikku Parker menuju maut, empat tahun lalu.

Maret 2010 lalu, adikku sakit parah. Dokter memvonis dia mengidap kanker nasoparing dan memperkirakan usianya hanya tinggal 15 bulan lagi. Mendengar itu, saya menelepon dia sambil menangis. 


Kenapa Tuhan?. Rasa kemanusian, pengalaman saya lebih dominan membawa saya dalam pikiran dan tindakan sendiri.

Kemudian dia dirawat di Rumah Sakit Cikini Jakarta. Saya mendampinginya sekitar dua minggu. Ratusan teman, keluarga dekat yang mengunjungi dia, semua berdoa. Ada yang berdoa sambil menangis, bersujud.

Inti doa-doa kami: "Tuhan kasihanilah kami, sembuhkanlah saudara kami".

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Dia kemudian meninggalkan kami untuk selama-lamanya, hanya 3 bulan setelah vonis dokter itu, 16 Juni 2010.

Sedihnya tak terlukiskan. Saat itu usianya memasuki 49 tahun dan menyusul istrinya yang meninggal 4 tahun sebelumnya.

Semua hati tertuju, trenyuh pada nasib tiga putrinya yang cantik-cantik dan pintar-pintar. Saat itu yang tertua baru berusia 19 tahun dan memasuki semester I di FISIP UI, putri keduanya memasuki Kelas I SMA, dan si bungsu baru SMP Kelas I.

Kenapa Tuhan begitu kejam? Itulah respon kemanusiaan saya paling pertama muncul.

Waktu kemudian menguatkan putri-putri kami yang ditinggal kedua orang tuanya. Tuhan tidak pernah memberikan beban lebih besar dari apa yang mampu kita tanggung.

Saya mengumpulkan ketiganya beberapa hari sepeninggal adikku. Kita berdiskusi soal harapan. Semua menetapkan cita-citanya, harapannya dan melupakan semua kepahitan.

Di akhir diskusi, yang tertua dengan tangkas berkata: "Adik-adikku, kita harus kuat, kita harus menatap ke depan".

Keluarga (keluarga istri adikku, keluarga kami dan beberapa teman yang mau membantu) berembuk untuk pembiayaan mereka bertiga. Semua suka cita dan memberikan apa yang dapat diberikan semampunya.

Empat tahun peristiwa itu sudah berlalu. Semua berjalan dengan baik, ketiga putri almarhum tumbuh dan yakin sepenuhnya mereka tidak dipelihara uang, gaji, atau orang tuanya, tetapi mereka dilindungi dan dipelihara Tuhan.

Sebuah renungan di hari Passion ini : untuk apa kita berdoa?. Jesus mengajarkan: "Berdoalah agar kamu tidak jatuh ke dalam pencobaan".

Kita tidak berdoa untuk sesuatu yang kita cita-citakan harus tercapai, tetapi berdoa agar Tuhan menguatkan kita menuju rencana Tuhan yang terbaik bagi kita. Berdoa adalah menguatkan kita menghadapi peristiwa apa saja dalam hidup kita agar kita mampu bersyukur atas apapun yang terjadi.

Jesus tidak berdoa agar Dia diberikan harta, kekuasaan dll yang bersifat duniawi. Tetapi Dia meminta kekuatan menghadapi maut. Maut yang telah direncanakan bagiNya. Jesus sendiri, secara kedagingan, tidak menginginkan kematian atas dirinya.

Katanya: "Ya Abba, Ya Bapa-Ku, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."

Beda Jesus yang berdoa dan murid-muridnya yang tertidur adalah sikap mereka menghadapi maut. Jesus mampu menjalaninya, sementara murid-muridnya lari tunggang langgang. Malah Petrus ketakutan dan menyangkal mengenal Jesus sampai tiga kali.

Menyambut Hari Raya Paskah ini, melalui khotbah-khotbah pendeta, Pdt Enida Girsang (Kamis Putih) dan Pdt CHE Purba (Jumat Agung), saya bersyukur karena kemudian diberi pemahaman yang lebih dalam memaknai soal berdoa.

Sekali lagi, berdoa adalah agar kita diberi kekuatan menghadapi semua persoalan hidup. Bukan "memaksa" Tuhan memenuhi keinginan kita. Rencana Tuhan jauh lebih indah dan lebih baik dari keinginan, cita-cita dan harapan kita.

Ketiga putri kami dari almarhum Parker sedang merajut masa depan mereka menjalani rencana Tuhan yang terbaik bagi mereka : Yani Christin Girsang (kini kuliah di extension UI, S1 melanjutkan studinya, setelah memperoleh D3 Sekretaris, sambil bekerja), Hilda Valeria Girsang (kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Trisha Melanie Girsang, (Siswa SMA Negeri 1 Bekasi). I love you all!.

Mereka mengarungi kehidupan dengan harapan yang cerah. Jauh dari kekhawatiran kami sebelumnya. Jauh lebih baik dari apa yang kami pikirkan dan doakan

Doaku setiap hari: Tuhan kuatkan ketiga putriku agar mereka mampu menjalani dan menerima hari-hari yang telah Tuhan rencanakan dengan rasa syukur.

Anak-anak dan menantuku Clara Girsang, Anja Novalianto Saragih, Patricia GirsangFrederick Simanjuntak, Bernard Patralison Girsang, Devee Girsang. Berdoalah agar kita mampu menghadapi maut sekalipun!

Semoga pengalaman ini bisa menjadi renungan bagi teman-teman. Selamat Paskah!.

Semoga teman-teman yang sedang merawat saudara-saudaranya tetap dikuatkan. Kemaren, saya dan teman-teman mengunjungi teman-teman se gereja, St Wilmar Saragih yang sedang menunggui istrinya Sy Asima Lubis yang sedang sakit di RS Adam Malik, Mama Heru yang sedang menunggui anaknya, Heru yang sakit, di RS Adam Malik, Saudaraku Hadomuan Sinaga dan Br Tarigan yang baru kehilangan bayi mereka. Juga buat Rodear Stp, yang sedang menjaga suaminya (bpk Ronald) yang masuk rumah sakit Mitra Sejati kemaren.

Juga buat Eni Ramayanti JAwak, yang baru kehilangan mamanya, temanku semasa kecil, beberapa waktu yang lalu dalam usia 54 tahun. Juga saudaraku Jon Parman yang baru beberapa minggu lalu kehilangan ayah tercinta di usia 61 tahun.

Semoga kalian membaca artikel ini
.