Oleh : Jannerson Girsang
Empat tahun yang lalu, adikku kehilangan istrinya di usia 43 tahun. Kini adikku pergi di usia 48 tahun, meninggalkan 3 putrinya yang masih memerlukan perhatian. Kepergian mereka menorehkan garis kesedihan yang mendalam, sekaligus memberi pemahaman baru akan makna sebuah kematian.
Kamis, 17 Juni 2010 sekitar pukul 22.50. Saat itu saya selesai melakukan kegiatan hingga malam. Saatnya saya bersiap-siap memasuki peraduan mencari tenaga baru untuk bekerja esok harinya. Telepon di meja kerja di rumah saya di Medan berdering. Dengan berat, di saat kelelahan ingin beristrahat, saya mengangkat gagang telepon. Rasa was-was muncul, karena beberapa jam sebelumnya, saya sudah mendengar kondisi terakhir adik saya.
”Parker sudah meninggal dunia dan persiapkan keberangkatanmu ke Jakarta besok,” demikian pesan singkat ayah saya yang sudah dua minggu berada di Jakarta, sambil menangis. Aku menangis sekuat tenaga, dan kemudian duduk di kursi karena rasanya badan tidak kuat berdiri. Berita kematian seseorang yang disayangi bisa datang di saat anda sedang susah, atau badan anda sedang capek. Pagi, siang atau malam!
”Oh Tuhan, begitu cepat proses adikku pergi,” demikian ungkapan yang tak pernah terucap, dan selama ini hanya saya pendam dalam hati. Adik saya Parker Girsang yang dilahirkan 16 Agustus 1962 meninggal karena gagal berjuang melawan kanker yang dideritanya. Penyakit yang baru persis diketahuinya pada Februari 2010 yang lalu, dengan ganasnya merongrong ketahanan tubuh adik saya, hingga akhirnya, kami mendengar peristiwa yang memilukan itu.
Peristiwa ini membuat kami sangat sedih dan sempat mengundang rasa khawatir. Masih segar dalam ingatan saya peristiwa yang sangat menyedihkan empat tahun yang lalu di saat istri adikku meninggalkan kami untuk selama-lamanya, 5 Februari 2006. Waktunya hampir sama, malam hari sekitar jam 21.00. Ketika itu, kami khawatir kepada adikku, bagaimana dia sendirian mengurus tiga orang putri yang masih kecil-kecil. Saat itu, Icha (Trisha Melani) yang bungsu masih duduk di kelas 2 SD dan yang tertua Yani Christin baru duduk di kelas II SMP. Kini adikku menyusul, meninggalkan tiga putrinya!.
Parker pergi di saat putrinya masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah yang tulus. Dia pergi di saat salah seorang putrinya tidak berada di rumah sakit, tempatnya menghembuskan nafas terakhir. ”Manusia meninggal seperti datangnya pencuri malam hari”. Tidak ada yang bisa memprediksinya.
Dalam suasana seperti ini, tidak banyak yang bisa dilakukan, kecuali menangis, kemudian berdoa meminta kekuatan dari Tuhan. Merencanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebiasaan adat Simalungun dan orang Kristen. Memang, berita kepergian Parker menggoreskan kesedihan yang luar biasa bagi saya, serta memberi makna baru atas sebuah kematian.
***
Saya mendapat berita dari adik-adik saya yang berada di Jakarta bahwa Parker mengidap kanker Februari 2010. Sebulan kemudian, dia berkunjung ke rumah saya di Medan awal Maret, untuk sebuah rencana pengobatan alternatif. Tetapi tidak membuahkan hasil. Hingga keluarga kemudian mengikuti nasehat dokter. Dia harus menjalani kemo.
Saya mendampinginya selama tiga minggu menjalani kemo di Rumah Sakit Cikini. Sebulan kami berpisah tanpa pesan dan tanda-tanda akan berpisah selamanya. Malam itu, dia pergi untuk selama-lamanya.
Kepergiannya begitu cepat dan tak terduga. Parker pergi di luar rencana semua orang. ”Ketika saya hendak ke luar membuang sampah, dia masih melarang saya pergi. Tetapi ketika saya berada di luar, saya mendengar orang ribut-ribut. Pasti sesuatu terjadi sama abang. Aku menyaksikan beberapa orang suster berlari menuju kamarnya. Ternyata abang sudah pergi,”kata Dasma br Saragih beberapa hari setelah acara pemakaman, salah seorang kerabat kami yang menjaganya beberapa hari terakhir di rumah sakit.
Bahkan, saya baru berencana menjenguknya ke rumah sakit, besoknya, 18 Juli 2010. Bahkan Dokter yang sudah memprediksi berdasarkan ilmu yang dipelajarinya, ternyata juga meleset, lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Tidak sampai satu setengah tahun, bahkan hanya empat bulan, setelah prediksi itu.
Para pembaca sekalian, hidup adalah kuasa Allah—sang Pencipta dan Maha Kuasa. Hanya dia yang tahu persis, tahun, bulan, hari, jam dan detik, seseorang akan kembali kepadaNya.
Kehidupan berasal dari Tuhan dan setiap saat akan kembali kepadaNya. Masa hidup di dunia adalah sebuah implementasi missi Tuhan untuk dunia ini. Tuhan tidak pernah secara jelas mengatakan kkapan perjalanan seseorang akan berakhir.
Soal kematian, manusia hanya bisa berserah kepadaNya, manusia hanya bisa memaknai masa lalunya. Tidak ada orang yang bisa memperkirakan apa yang akan dialaminya besok, bahkan satu menit yang akan datang.
Bahkan, Parker sendiri tidak pernah merasa dia akan pergi secepat itu. Dia tidak berpesan apa-apa bakan kepada 3 putrinya, kecuali ”Jangan Takut,” yang diucapkannya kepada salah seorang putrinya saat dirawat di rumah sakit.
Parker tidak sempat memberitahukan dimana surat-surat rumahnya, bagimana status rumahnya, berapa tagihan yang masih ada di perusahaan-perusahaan partnernya, berapa utangnya. Dia tidak menerbitkan sebuah surat wasiatpun, sebagai pedoman bagi anak-anak dan putri yang ditinggalkannya. Dia tidak memiliki asuransi kecuali asuransi rumahnya, serta sebuah polis asuransi Bumi Putra yang sudah berhenti dibayar sejak 1998.
Andaikata Parker tau akan meninggal pada 17 Juni 2010, maka satu tahun sebelumnya dia sudah membayar beberapa polis asuransi, dan meninggalkan sekian miliar bagi ketiga putrinya. Dia sudah meninjam puluhan atau ratusan juta dari bank, dan utangnya lunas saat dia meninggal.
***
Di saat orang yang anda kasihi menderita, lakukan yang terbaik. Jangan sampai anda menyesal, karena kehidupan seseorang tidak bisa diduga.
Di bulan April, saya mendengar Adik saya Parker akan menjalani kemo. Setelah dokter mengumumkan hasil pemeriksaan atas kesehatannya dia divonnis kanker nasoparing—saya tidak begitu mengerti penyakit itu. Yang jelas, dia harus menjalani kemoterapi beberapa tahap, kemudian disinar dan bebeapa rencana tindakan yang akan dilaksanakan mengatasi penyakitnya.
Saya kadang diliputi rasa sedih, khawatir dan kadang mengutuk!. Saat vonis dokter berdasarkan analisa dari fakta/observasi mereka sampai ke telingaku. ”Seandainyapun kemo berjalan baik, secara medis usia adik saya bisa bertahan sekitar 1,5 tahun lagi,”.
Mungkin hal seperti ini bisa menimpa anda. Anda bisa membayangkan, kita mengeluarkan uang, tenaga, capek, hanya mengejar usia demikian singkat. Saya hanya berserah pada kekuatanNya dan menyerahkan pengobatannya melalui keahlian dokter.
Saya memutuskan mendampinginya. Meninggalkan anak dan istri saya di Medan dan menjaganya selama tiga minggu di Rumah Sakit Cikini. Sebuah keputusan yang menurut saya bukan secara kebetulan. Orang yang sedang dalam kehidupan seperti adik saya, perlu pendampingan tidak hanya sekedar pelayanan medis dari rumah sakit.
Setiap hari saya membacakan ayat-ayat dari kitab suci yang sudah disusun dalam Susukkara GKPS—sebuah agenda yang membimbing seseorang membaca renungan setiap hari.
Selain itu, dengan dibantu seorang perempuan penjual juice di depan Rumah Sakit Cikini, saya menyiapkan juice sirsak dan air daun sirsak untuk diminumnya dua kali sehari. Konon juice dan minuman daun sirsak bagus untuk mencegah penyakit kanker. Mencatat jumlah air yang masuk dan keluar dari tubuhnya. Menurut dokter air masuk dan keluar harus seimbang. Kelebihan atau kekurangan pemasukan bisa berdampak pada paru-paru atau ginjal, demikian nasehat dokter.
Saya kira Parkerpun sudah mengetahui keadaan penyakit kanker yang dideritanya dan resiko yang akan dihadapinya. Tetapi dia tetap tegar. “Saya tidak takut, saya tidak merasa sakit,” katanya.
Namun, sebuah pelajaran penting bagi saya atas ketabahan adik saya menghadapi masalah. Dalam suasana seperti itu, Parker masih menunjukkan perilaku mengagumkan. Daya juang hidupnya, kemampuannya mengerjakan sesuatu dengan fokus sungguh luar biasa. Selama saya dampingi, dia setiap hari layaknya bekerja seperti biasa. Dia mengendalikan bisnis ekspedisinya melalui telepon genggamnya.
”Nanti ada dua truk yang harus dikirimkan ke Surabaya, tolong diurus semua yang diperlukan ya,” demikian perintahnya kepada salah seorang karyawan yang sudah bekerja selama beberapa tahun. Suatu ketika, dia merenung tanpa mengucap sepatah katapun. Kalau ada tamu, dia bercerita bahwa dia sudah mengalami perubahan yang besar. ”Saya sehat dan tidak merasakan apa-apa,”katanya.
Tanpa didampingi seorang istri, dia tidak hanya mengurusi bisnisnya, tetapi juga memberi kasih sayang pada ketiga putrinya. Dari rumah sakit setiap hari dia menyapa ketiga putrinya. ”Kalian sudah makan sayang. Bagaimana sekolahnya, apa sudah bayar uang sekolah belum?”. Sapaan kasih sayang di akhir-akhir hidupnya yang begitu mengharukan. Sapaan yang sulit tergantikan oleh siapapun. .
Menyaksikan hal-hal seperti ini, hati saya terhibur, sekaligus terharu dan khawatir. Berharap agar tangan-tangan Tuhan memberinya kesembuhan dan dapat membimbng ketiga putrinya yang masih belum dewasa.
Sebagai manusia biasa, kadang timbul rasa capek, kecewa, serta mengutuk. ”Mengapa ini terjadi Tuhan?”. Doa,penyerahan total kepada Tuhan adalah kunci utama.
***
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama!.
Semasa hidupnya dan hidup istrinya, pasangan keluarga ini adalah teman utama saya membicarakan sesuatu yang penting di dalam keluarga. Rumah mereka di Permata, Bekasi menjadi tempat singgah saya yang utama kalau saya ke Jakarta. Di rumah itu, berbagai keputusan penting keluarga diambil. Berbagai peristiwa mengesankan berlangsung. Saat wisuda anak saya yang tertua Agustus 2008 lalu, rumahnya menjadi tempat kami berkumpul.
Jarak memang membatasi kami, saya tinggal di Medan dan adikku Parker di Jakarta. Saya tidak mengalami kontak fisik seintensif ketiga adik saya yang lain, yang tinggal di Bekasi, Tambun dan Pesona Anggrek. Secara fisik, ketiga adik saya lebih dekat dengan dia. Kami kebanyakan berkomunikasi lewat telepon.
Saya terkenang pertemuan kami di rumahnya, April 2009. Saat itu kami berbicara selama satu hari di rumahnya ketika saya berkunjung ke Jakarta. Kami berdiskusi soal pengalamannya menjadi single parent dan pentingnya seorang pendamping untuk menjalani hidup ke depan, yang sampai akhir hidupnya tidak terlaksana.
Pertemuan bersejarah itu meninggalkan kesan yang luar biasa bagiku, ketika dia menjelaskan fungsi seorang istri bagi suami seperti dia.
”Keberadaan istri di rumah memberi keleluasaan bagi suami untuk melakukan kreasinya. Setelah kepergian istri saya, maka kebebasan itu sudah hilang. Saya tidak bisa berada di luar rumah sama seperti dulu. Anak-anak saya membutuhkan saya di rumah. Kau bisa bebas datang ke Jakarta karena kakak ada di rumah. Meskipun istri hanya mampu berbaring di rumah, fungsi mereka sangat penting. Sayangilah istrimu, karena mereka tidak bisa tergantikan oleh siapapun,” katanya.
Kata-kata ini selalu saya ingat dan merupakan kenangan berharga dari adik saya Parker.
Parker meninggal sama seperti orang-orang yang lain. Dia telah beristirahat di Taman Pemakaman Umum Perwira, Bekasi, terletak hanya beberapa ratus meter dari makam istrinya yang meninggal empat tahun lalu.
Tetapi rencana Tuhan baginya adalah sesuatu yang membedakannya dari yang lain.
Sepanjang hidupnya Parker tidaklah memiliki prestasi yang menonjol dan berbagai bidang yang digelutinya. Lulus paspasan dari Akademi Pimpinan Perusahaan di tahun 1987, bekerja di Bank Pacific, selama beberapa tahun, dan terakhir di Jhon Hancook, sebuah perusahaan asuransi, dan kemudian terjun ke dalam bisnis transportasi/ekspedisi.
Dia bukan Nehemia—yang diutus Tuhan menyelamatkan bangsa Israel, bukan pula sebesar Gandhi yang menelorkan prinsip-prinsip hidup bagi dunia ini. Tetapi, bagi keluarga, Parker adalah seorang pemimpin yang mempersatukan kami, memberi prinsip-prinsip kasih melalui keluarganya (para putrinya). .
”Parker adalah seorang yang ramah, suka menghibur sesama, peduli kepada sesama dan memiliki rasa tanggungjawab kepada anak-anak dan keluarga, pekerja keras, konsisten dan keyakinan tinggi atas cita-cita dan target-targetnya bisa dicapai,” demikian orang-orang menggambarkannya dalam kata-kata pengiburan. Sesuatu yang membanggakan dan menambah semangat kami.
Empat tahun terakhir, bahkan kehidupannya begitu keras. Memperjuangkan ketiga putrinya, setelah ditinggal istrinya pada 2006. Kepergian Parker terjadi justru di saat perjuangannya selama empat tahun baru saja memperlihatkan hasil. Usahanya mulai bangkit dan anak-anaknya mulai menunjukkan prestasi. Christin berhasil masuk ke FISIP UI Jurusan Sekretatis Perkantoan. Yang bungsu memasuki SMP dan yang nomor dua masuk naik kelas II SMA.
Sepeninggalnya, tiga putri kami menyandang status yatim piatu, sebuah status yang tidak menyenangkan bagi siapapun!. Sesuatu yang berat dan tidak bisa dipahami dengan cara-cara yang normal. Anak-anak akan mampu memahaminya dengan berserah kepada Tuhan.
Di awal peristiwa, umumnya perpisahan oleh kematian senantiasa mengundang pertanyaan yang sulit dicari jawabnya.
Ibu saya menangis sedih. ”Kenapa bukan saya lebih dahulu dipanggil Tuhan. Kamu masih muda, anak-anakmu masih membutuhkan kasih sayang,”ujar ibu saya yang sudah berusia 73 tahun dalam tangisnya. Lantas, suatu ketika, beberapa lama sesudah peristiwa itu, dia berkata : ”itulah jalan terbaik bagi anak dan cucu-cucu saya”.
Anak tertua Parker, dengan pengalaman sebelumnya atas kepergian ibunya, begitu tegar dan memahami apa yang terjadi atas dirinya dan dua adiknya. Dalam sebuah kesempatan dia mengungkapkan pernyataan yang begitu membanggakan dan membesarkan hati.
”Tuhan telah memberikan rancangan yang terbaik bagi kita. Kita harus siap menjalaninya dengan kehidupan baru dan tidak terus menerus menangisinya,”ujar Yani Christin, putri tertua adikku. Saat ayahnya sakit Christin membesarkan hati ayahnya yang sempat membaca pengumuman dirinya diterima sebagai mahasiswa FISIP UI, program D3 Sektretaris dan Perkantoran.
Christin akan menjalani kehidupannya sebagai anak kost di Depok, berjuang beberapa tahun ke depan hingga cita-citanya tercapai menjadi seorang sekretaris. Hilda Valeria yang saat ini sedang sekolah di kelas II SMA memiliki cita-cita menjadi seorang psikolog, serta si bungsu Trisha Melani yang kini duduk di kelas I SMA, bercita-cita menjadi seorang dokter. Keduanya tinggak di rumah adik saya perempuan.
Kalau setiap hari mereka berdoa, berseru kepada Tuhan, serta menekuni sekolahnya, saya yakin, mereka akan melihat keajaiban-keajaban yang tak terpikirkan sebelumnya.
Tiga putri adik saya, oleh keputusan keluarga menjadi tanggungjawab saya, disamping empat putra dan putri enugerah Tuhan. ”Tuhan, kenapa ini harus terjadi di saaat saya dalam kesulitan?,” keluh saya ketika hal itu terjadi. Kami keluarga besar--orang-orang yang mencintainya merasakan kesedihan, kekhawatiran, dan kemudian berseru kepada Tuhan untuk memaknainya.Menangis, membantu hal-hal yang diperlukan, melakukan acara penghormatan kepada almarhum, serta memuji Tuhan dan Berdoa.
Saya bisa memahami sekarang ini bahwa kepergian adikku adalah rancangan yang terbaik. Saya dikuatkan oleh sebuah ayat yang pernah saya bacakan kepada Parker ketika masih dirawat di Rumah Sakit Cikini. Yeremia 33: 3. ”Berserulah kepadaKu, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui”.