Oleh : Jannerson Girsang
Orang miskin yang memiliki anggota keluarga besar disanjung saat pesta demokrasi, tetapi sesudah itu mereka tetap miskin. Membaca Kompas.com hari ini, kisah seorang ayah yang memiliki 19 anak menggugah saya menuliskan renungan ini.
Dia adalah Asri M (45) yang memiliki 19 orang anak, buah perkawinannya dengan istri satu-satunya Marsiah (43).Sehari-harinya dia bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp 25 ribu sehari, jauh dibawah Upah Minimum. Penghasilan kecil itulah mendukung hidup kehidupan keluarga ini.
Seluruh keluarga tinggal di rumah berukuran 3 meter x 2.5 meter, berlantai tanah. Usia anak pertama pasangan ini sekitar 19 tahun dan yang paling bungsu berusia empat bulan. Anak pertama mereka berstatus janda dan memiliki dua anak yang masih berumur 4 tahun dan 2 tahun. Dari 19 anaknya, tidak ada yang sekolah, karena jarak sekolah dari rumahnya jauh dan ketiadaan biaya.
Kisah ini adalah potret sebuah keluarga yang tinggal di desa Pekon (Desa) Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat, sekitar 330 kilometer dari Bandar Lampung. Mereka hanya berjuang semampunya dan pasrah menunggu janji-jani para pemimpin negeri ini.!.
Ironis sekali. Mereka hidup di abad ke 21, abad internet, era globalisasi. Saat setiap orang dituntut memahami huruf, menulis, mampu mengoperasikan komputer, mampu berbahasa Inggeris. Kisah ini menjadi menarik, karena dari segi ini mereka adalah bagian dari sekitar 9,7 juta penduduk yang buta huruf atau 5,97 persen dari penduduk negeri ini.
Saya teringat kisah yang kontras yang pernah dirilis media yang sama beberapa waktu lalu. Gayus Tambunan yang baru bekerja 5 tahun di Dirjen Pajak mampu meraup uang negara miliaran rupiah.
Bandingkan penghasilan Asri M yang hanya Rp 25 ribu sehari. Sayangnya Gayus membelanjakan uang itu tidak seluruhnya untuk anak istrinya. Sebagian dibagi-bagi kepada pejabat yang digaji dari pajak Asri M untuk pengampunan kesalahannya. Tapi, Gayus lupa membagi Asri M, padahal dia sangat membutuhkannya.
Memang, orang seperti Asri M selalu luput dari perhatian. Mereka hanya diperhitungkan kalau tiba masa pesta demokrasi. Mereka bisa memenangkan anggota DPR, Presiden, Gubernur, Bupati atau Kepala Desa. Keluarga ini menyumbang sedikitnya 5 suara saat pesta demokrasi berlangsung. Dan pemilu mendatang mereka memiliki jumlah suara yang lebih besar. Buruh tani seperti Asri M mewakili jutaan buruh tani lainnya di Indonesia.
Saat seperti itu, Asri M lebih berharga dari Gayus. Karena kontribusi suara yang diberikan Gayus lebih sedikit. Orang-orang seperti Gayus lebih sedikit jumlahnya.
Saat pesta demokrasi, pidato-pidato yang menyanjung Asri M dan teman-temannya berkumandang disertai janji-janji politik yang menggiurkan. Mereka akan diperjuangkan kalau mereka mendukung seseorang. Padahal, kenyataannya, penyuluhan KBpun mereka tidak peroleh, untuk fasilitas pendidikan rendah sekalipun tidak ada yang membantu.
Kisah Asri M adalah mewakili jutaan kisah rakyat kecil yang seharusnya menyadarkan pemerintah, serta lembaga-lembaga yang mengaku dirinya menolong orang miskin.
Sketsa kehidupan Asri M adalah kenyataan yang mungkin juga terdapat di sekitar kita. Di Hari Tani 24 Oktober 2010 ini, saatnya kita refleksi bahwa ketidakpedulian kita atas kehidupan seperti Asri M menjadi sumber ancaman kita di masa mendatang.
Mereka membutuhkan implementasi janji-janji pemerintah. ”Orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Mereka menanti realisasi proposal-proposal LSM, agar hak-haknya sebagai orang miskin dipenuhi. Dari ruang pengap di rumahnya Asri M menuntut janji-jani para politisi yang nenjanjikan mereka perbaikan di saat kampanye lalu.
Asri M tidak butuh banyak uang seperti Gayus. Meski rumahnya jauh dari sederhana, dia tidak butuh biaya US$100 ribu agar rumahnya tidak disita. Dia tidak butuh USD 20 ribu untuk pengacara, tidak butuh duit US$ 500 ribu bagi para penegak hukum agar tidak ditahan, tidak perlu menyediakan US$ 100 ribu agar rekeningnya tidak disidik, karena dia tidak punya rekening.
Asri M tidak cukup menjadi obyek proposal bagi LSM di dalam maupun di luar negeri dan bukan hanya sekedar kisah ”Tragedi Komedi” bagi media.
Menolong mereka dengan tindakan nyata adalah satu-satunya cara meyakinkan bahwa mereka masih merupakan bagian dari bangsa ini.