Pengantar dari Admin.
Bagi masyarakat Batak, orang yang menikah mendahului kakak atau abangnya wajib membayar "uang pelangkah". Cerpen ini mengisahkan nasib seorang perempuan yang sudah tiga kali menerima "uang pelangkah". Artinya, sudah tiga kali adiknya menikah melangkahinya, sementara dirinya yang sudah berusia 33 tahun belum mau menikah. Dia tidak peduli dengan kondisi yang tidak membanggakan orang tuanya itu. Dengan sedikit imaginasi penulisnya, cerpen ini begitu menyentuh, ketika dirinya harus berbuat nekat. Kisahnya sangat menarik. Penulisnya Lucya Chriz berhasil meangkhiri cerita klimaksnya dengan imaginasi yang menyentuh. Silakan menikmatinya!
Oleh : Lucya Chriz
Entah sudah berapa menit waktu yang dibuang Martha hanya untuk mengamati ponsel di tangannya. Benda pintar itu telah terdiam sejak tadi, namun ucapan Mamaknya terasa masih berhamburan di sekelilingnya. Mamak memintanya untuk pulang lebih cepat hari ini. Hari ini saja.
Sudah tiga tahun belakangan Martha memang selalu pulang larut malam. Dokter berpostur tubuh mungil itu, lebih memilih untuk menunggui tempat praktek daripada harus menceburkan diri di tengah keluarganya. Tempat prakteknya hanya melayani pasien hingga pukul 21.00WIB, tapi Martha selalu punya alasan untuk pulang ke rumah ketika jarum jam telah beranjak dari angka tertinggi.
Telinga Martha sudah terlalu tebal untuk mendengarkan teriakan Mamaknya yang menohok, pun saat tetangga-tetangga mulai melihatnya dengan sorot mata penuh tuduhan. Mereka terang-terangan menyiratkan tanya "Dokter apa yang buka praktek hingga subuh?" Martha tak pernah perduli dengan penilaian orang lain. Dia lebih mengerti dengan dirinya sendiri.
Kebiasaan Martha yang selalu pulang larut malam sesungguhnya bukan tanpa alasan. Tidak ada yang gratis di muka bumi ini dan dia pun menyadarinya. Mau tidak mau dia harus berkorban. Membayar mahal demi sekelumit kebahagiaan, sekalipun kebahagiaan yang diperolehnya itu semu.
Malam ini, Mamak memintanya untuk pulang lebih awal. Menghindar selama tiga tahun, ternyata tak ada gunanya. Sekarang, dia harus berhadapan dengan kenyataan yang seolah menyongsongnya pulang untuk segera dipasung dan dikungkung dalam sebuah penjara bernama: adat-istiadat.
Martha melangkah gontai memasuki rumah. Seperti sudah diduganya sejak tadi, di ruang keluarga telah didapatinya Mamak, Ros adik perempuannya yang duduk berdempetan bersama suaminya, serta ito-nya, adik laki-lakinya yang bernama Ranto. Tanpa berucap sepatah kata pun Martha menghempaskan tubuh ringkihnya di atas sofa tepat di samping Mamak. Samar, diliriknya keempat wajah yang tengah mengamatinya.
"Martha, si Ranto mau kawin," tanpa basa-basi Mamak membuka pembicaraan. "Rencananya bulan depan," Martha tak menjawab. "Bagaimana denganmu?" tanya Mamak lagi karena Martha tak kunjung bersuara.
"Apa hubungannya denganku? Yang mau kawin itu, kan Ranto," suara Martha acuh.
"Apa hubungannya denganmu? Martha, si Ranto itu mau kawin bulan depan. Kau mau dilangkahi untuk kedua kalinya?" suara Mamak meninggi, marah. Tiga tahun yang lalu kejadian seperti ini telah pernah berlangsung. Ros menikah lebih dulu, melangkahi Martha kakaknya yang usianya lebih tua dua tahun.
"Enggak ada salahnya. Kalau Ranto memang mau kawin, ya kawin saja. Aku enggak ada masalah kok," Marta bersikukuh.
"Iya, kau enggak ada masalah. Tapi pernah kau pikirkan perasaan Mamakmu ini? Kau itu boru panggoaran, anak Mamak yang sulung. Apa kata orang melihat kau enggak kawin-kawin sampai umur 33 tahun, sampai-sampai dilangkahi dua orang adikmu?"
"Mamak jangan dengar semua apa kata inang-inang itu. Paling mengerti tentang diriku itu aku, bukan orang lain," Martha terus membantah.
"Kau itu boru panggoaran, Martha. Kau jangan egois cuma mikirin perasaanmu aja. Sesekali kau pikirkan jugalah rasa malu yang Mamak derita. Kalau bisa jangan sampai si Ranto melangkahimu. Kawinlah kau secepatnya."
"Mamak pikir kawin itu gampang? Ini menyangkut prinsip, Mak. Lagipula aku belum punya pacar."
"Jadi maksudmu harus berapa tahun lagi Mamak tunggu biar kau kawin?"
"Kalau mau, besok pun aku bisa kawin sama laki-laki yang pertama kutemui di jalan raya sana. Apa Mamak bisa kasih garansi kalau suamiku itu laki-laki yang baik? Banyak yang harus dipertimbangkan, Mak. Bukan cuma sekedar beranak-pinak saja," Suara Martha ikut meninggi. Dirasakannya darah mulai bermuara ke ubun-ubunnya.
"Aku enggak mau salah pilih suami kayak Mamak," Mendengar kalimat terakhir Martha, airmata mulai menetes dari pelupuk Mamak. Sebelum anak-anaknya sadar, wanita berusia 60 tahun itu berlari ke dalam kamar tidurnya.
"Apa-apaan kakak membuat Mamak menangis?" Ros mulai berang. "Kalau memang kakak enggak mau kawin, terserah. Jangan sakiti Mamak dengan mengungkit-ungkit perkawinannya." Ros beranjak dan menyelinap ke dalam kamar tidur Mamak.
"Martha ito-ku, lama-lama aku jadi curiga jangan-jangan ito enggak suka laki-laki ya?" kali ini Ranto bersuara. Martha terkesiap. Ditusuknya bola mata adik bungsunya itu dengan pandangan dingin. Tanpa berucap apa-apa lagi, Martha menghela langkah menuju kamar tidurnya.
Jarum jam menunjukkan pukul lima pagi, Martha belum bisa memicingkan mata sedetikpun. Kejadian malam tadi masih berputar jelas di benaknya, layaknya video disc yang tak memiliki tombol off.
Gadis manis berkulit putih bersih itu bolak-balik gelisah di atas kasurnya. Mungkin Ros memang benar, dia terlalu kasar pada Mamak dan tak sepantasnya mengungkit tentang perkawinan wanita itu. Mamak sudah cukup sakit dan terluka dengan sikap Bapak yang mudah meninggalkan Mamak dan ketiga anak-anaknya yang masih kecil-kecil, untuk pindah ke dalam kehidupan seorang janda kaya raya. Sejak itu Mamak harus banting tulang untuk bisa menghidupi anak-anaknya dan menyekolahkan mereka bertiga hingga ke jenjang yang paling tinggi.
Martha sebenarnya sama sekali tak berniat untuk membuat Mamak menangis. Sikapnya kemarin, wujud dari kekesalannya. Rasa marah yang telah membukit sejak tiga tahun, tepatnya ketika Ros memutuskan untuk menikah dan melangkahinya. Sebuah prosesi pelangkah diselenggarakan sebelum acara pemberkatan pernikahan. Martha diulosi sebelum kemudian sebuah cincin seberat 5 gram disematkan Ros di jarinya sebagai tanda melangkahi, permisi karena dirinya lebih dulu menikah dari sang kakak.
Menurut adat Batak, pelangkah itu merupakan usaha untuk manyonggoti tondi, yaitu membuang hangalan. Dimaksudkan dengan mangulosi seseorang yang dilangkahi, dirinya akan terbuang dari segala hangalan dan rintangan, sehingga ke depannya akan ringan dalam mendapatkan jodoh. Berhubung Martha perempuan, pada saat prosesi pelangkah, harus dihadiri dan disaksikan langsung oleh Tulang-saudara laki-laki Ibunya, Namboru-saudara perempuan Ayahnya, juga pariban-yaitu anak laki-laki dari Namboru. Kehadiran pariban ini bertujuan, apabila mereka saling suka, mereka bisa segera dinikahkan.
Bagi Martha, ini merupakan bara menyulut rasa malu. Bagaimana tidak? Ketika prosesi itu, Martha bisa merasakan dan mendengar kasak-kusuk tetangga dan kerabat yang berpendapat semaunya saja. Mulai dari orang memandangnya dengan penuh rasa iba karena mengganggapnya perawan tua tak laku-laku, hingga tatapan penuh tuduhan yang dilapisi dengan tawa cemooh.
Dalam hati Martha menghujat habis-habisan adat-istiadat. Kenapa harus ada prosesi pemberian pelangkah dalam etnik Batak? Tidak ada tujuan di baliknya selain untuk mempermalukan orang yang dilangkahi. Setelah mencoba menyembuhkan luka hati selama tiga tahun, bulan depan dirinya harus siap dipermalukan untuk kedua kalinya. Ini pasti akan jauh lebih menyakitkan dan memuakkan, karena Martha berusia 33 tahun. Hujatan orang-orang pasti lebih tak berperikemanusiaan. Ranto, ito-nya sendiri pun mencap dia sebagai seseorang yang tidak menyukai laki-laki.
Martha mengusap wajahnya yang kusut masai. Siapa yang harus disalahkan dalam situasi ini? Apakah sikap Bapaknya yang tak terpuji, menumbuhkan rasa sakit dan memberinya gambaran sosok tidak ideal dari seorang suami? Ataukah Martha harus menyalahkan Parlin, kekasih yang didampinginya merajut hari-hari indah selama tujuh tahun, tanpa aba-aba mengangsurkan ke depan hidung Martha sehelai kartu undangan pernikahannya dengan mantan kekasihnya yang tiba-tiba muncul? Dua lelaki yang sangat dicintai sekaligus sangat dibencinya itu, menabur benih kemarahan di dalam hatinya, membiarkan akar pahit tumbuh, hingga kemudian tersemai buah-buah traumatik yang ranum.
Rasa kecewa berhasil membekukan hati Martha yang lembut. Memaksa wanita itu harus pura-pura kuat dan bisa berdiri sendiri tanpa membutuhkan uluran lengan dan bahu kokoh untuk tempatnya menyandarkan lelah. Sosok baru Martha menjelma menjadi wanita berhati baja, ternyata hanya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dia tak pernah lagi merasakan jatuh cinta. Pintu hatinya terkunci rapat dan anak kuncinya ditelan dan dibiarkan berkarat di dalam perutnya. Sudah terkikis segala angannya untuk memiliki pendamping hidup.
Merasa belum cukup, Martha harus membayar lebih mahal lagi. Demi menghindari tanya Mamak yang tak kunjung ada habisnya mengenai status lajangnya, Martha rela menghabiskan hari-harinya di tempat praktek. Acap kali Martha merasa sedih dan kesepian karena tak lagi mendengar canda tawa maupun gosip-gosip terhangat tentang tetangga yang mengalir dari bibir tipis Mamak. Martha menguatkan hati, demi memperoleh sekelumit ketenangan bathin. Dia tak ingin membiarkan daun telinganya semakin menebal mendengar tanya orang-orang kapan dirinya akan menikah. Kalau saja dirinya tidak dilahirkan dalam keluarga Batak yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat, mungkin semua akan jauh lebih mudah.
"Kau mau dikasih pelangkah apa?" suara Mamak lirih, bertanya pada Martha tanpa memandang wajahnya.
"Terserah," jawab Martha cepat. "Kalau enggak dikasih, justru lebih bagus."
"Enggak mungkinlah enggak dikasih. Nanti apa kata natua-tua ni huta?" sela Mamak. Martha menghela nafas. Lagi-lagi harus memikirkan apa kata natua-tua ni huta, para tetua adat. Apa urusannya masalah ini dengan mereka? Mereka hanya sekumpulan orang yang bersekongkol untuk menertawakannya yang berat jodoh.
"Kau kasih cincin sajalah, Ranto. Sama seperti Ros dulu," kata Mamak.
"Wah, harga emas lagi mahal, Mak. Aku kasih tiga gram saja ya?" Ranto memandang Mamak, meminta pendapat. Martha pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ekor matanya sempat menangkap Mamak yang melotot pada Ranto.
"Lima gram," Mamak bertitah.
"Pengeluaran untuk pesta perkawinan banyak, Mak. Nanti uangnya enggak cukup. Tiga gram saja ya? Atau gimana kalau bukan cincin? Hmm, mungkin sesuatu yang lebih murah?" Ranto menatap Martha, mencoba melakukan penawaran. Melihat Martha yang terus diam, Ranto tiba-tiba menghela nafas. "Coba kalau ito sudah kawin, enggak perlu aku mengeluarkan uang untuk beli pelangkah lagi."
"Siapa yang butuh pelangkah darimu? Kalau mau kawin, kawin saja sana," Martha meradang mendengar ucapan Ranto. Dengan penuh kemarahan Martha beranjak ke dalam kamar tidur dan membanting pintu hingga bergetar.
* * *
Ada sebaris senyum samar tergantung di bibir Martha yang ranum. Senyuman entah ditujukannya buat siapa. Pastinya, dia tengah merasakan kebahagiaan dan kelegaan. Bertahun-tahun tak pernah lagi hinggap di hatinya. Seusai prosesi hari ini, dirinya akan aman dari teror ‘pelangkah.’
Gaunnya yang hitam berkibar tertiup angin sepoi yang berhembus dari jendela. Dengan langkah anggun dan tenang, dihampirinya Ranto. Ito-nya yang terlihat tampan dalam balutan jas berwarna hitam, lengkap dengan dasi beraksen garis. Martha mengamati tiap inchi wajah Ranto. Tampak bersih, terlihat matang dan dewasa dengan segaris kumis tipis yang baru tumbuh dan semakin tampan dengan sebuah senyum yang tak lupa dihadiahkannya. Di sampingnya, Mamak dan Ros menitikkan airmata.
Martha terjaga dari lamunan ketika telinganya diterpa suara pendeta yang lembut dan berwibawa. Setelah dengan khusuk menyanyikan sebuah lagu yang dipimpin seorang penatua, Martha melihat beberapa pemuda berjalan ke arah Ranto membawa sesuatu yang sejak tadi disandarkan di dinding. Sekali lagi, Martha menyentuh bibir Ranto yang dingin sebelum dia beringsut dan memberikan ruang kepada sekelompok pemuda itu untuk menutup peti jenazah Ranto.
Martha memeluk Mamak dan Ros yang masih menangis histeris. Peti tempat peristirahatan Ranto aman di bawah tanah. Martha masih berdiri di ujung pusara Ranto ketika Mamak dan Ros dituntun para kerabat menuju mobil. Perlahan, Martha merogoh tas tangannya dan jemarinya mengelus lembut sebuah botol kecil yang telah kosong. Botol itu dibawanya dari tempat prakteknya beberapa hari lalu. Semua cairan arsenik di dalamnya telah habis dituangkan Martha ke dalam mangkuk soto yang dilahap Ranto hingga tandas kemarin sore.
"Selamat beristirahat, ito-ku. Mulai sekarang kau tak perlu pusing lagi memikirkan pelangkah untukku," Martha tersenyum, sembari melangkah ringan menyusul Mamak dan Ros yang berada di dalam mobil. Tak lupa, Martha melemparkan botol kosong itu ke dalam sebuah tong sampah yang menganga.
Medan, 03 Mei 2011
Sumber: Harian Analisa, 31 Juli 2011