Oleh: Jannerson Girsang
Dalam
penerbangan Medan-Jakarta Minggu lalu dengan Lion Air, saya menemukan
sebuah artikel yang cukup menarik di majalah udara perusahaan
penerbangan itu.
Artikel berjudul "Kebenaran dan Pembenaran" yang ditulis oleh Jemy V Confido, seolah membelah dada saya, karena memang sering melakukan PEMBENARAN DIRI. Artikel ini merumuskan dengan jelas tindakan pembenaran yang sering saya lakukan.
Dalam menjalani hidup ini ternyata kita penuh pembenaran diri seolah pegidap penyakit kanker dengan tahapan-tahapan: stadium tahap awal, tahap menengah dan tahap akhir.
Kita selalu mencari kebenaran. Anehnya, ketika kita mendapatkan kebenaran yang kita cari, tidak jarang pula kita mengubahnya menjadi pembenaran.
Bahayanya lagi, perbedaan diantara keduanya sangatlah tipis. Perbedaan yang tipis ini karena keduanya berasal dari satu sumber fakta yang sama.
Masalahnya terletak pada sikap kita apakah menerima fakta sebagai sebuah kebenaran, dan yang satu lagi, apakah kita hanya menerima fakta sebagai kebenaran kalau sesuai dengan keinginan kita, menguntungkan kita.
Penyakitnya adalah: KEBENARAN ITU HARUS SESUAI KEINGINAN KITA. Kalau tidak sesuai dengan keinginan kita, maka dengan segala upaya kita melakukan pembenaran diri, seolah tindakan kita benar.
Padahal, tindakan pembenaran diri hanya memuaskan diri kita, tidak memberi dampak kebahagiaan bagi orang lain. Justru sebaliknya: memunculkan rasa gondok, benci, tidak menghasilkan apapun, selain situasi yang makin kacau. Bagi diri sendiri, tindakan pembenaran diri akan memasung kreativitas, mengganggap diri sempurna dan tidak mau berubah.
Mari sama-sama menyimak penjelasan penulisnya yang saya rangkumkan di bawah ini:
1. Stadium Awal: Blaming.
Pada stadium awal pembenaran yang kita lakukan adalah melakukan blaming atau menyalahkan orang lain atau hal lain.
"Saya sudah berusaha melakukan yang terbaik tetapi tidak ada yang mendukung saya".
Seolah orang yang mengucapkannya sudah benar-benar berusaha melakukan yang terbaik, pada kenyataannya dia belum melakukannya. Sebaliknya dia menutupi dengan menyalahkan orang lain yang tidak mendukungnya.
Pembenaran dalam bentuk blaming bisa diperbaiki dengan bertanya pada diri sendiri:
"Benarkah saya sudah melakukan yang terbaik dan benarkah tidak ada satupun yang mendukung saya?".
2. Stadium Menengah. Excuse.
Dalam hal ini sipelaku seolah-olah menerima bahwa dirinya belum berusaha, namun memaklumi hal tersebut. karena dia tidak memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan usaha tersebut.
"Tentu saja saya belum bisa melakukan usaha yang terbaik, karena saya tidak memiliki biaya, orang dan waktu yang cukup untuk itu"
Pembenaran diri dalam bentuk excuse bisa dikoreksi dengan pertanyaan:
"Bila saya memiliki biaya, waktu dan uang apakah saya akan melakukan usaha yang lebih baik dari pada yang saya lakukan sekarang?".
3. Stadium Akhir. Justify
Pembenaran dalam bentuk Justify, pelaku membenarkan sikap atau tindakan yang dilakukannya, karena belum jelas hasilnya untuk dirinya.
"Saya tidak perlu melakukan usaha terbaik karena belum jelas hasil yang akan dicapai"
Pembenaran dalam bentuk justify lebih sulit dilakukan karena pelaku berlindung di balik argumen yang sepertinya cukup kuat.
Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan:
"Bila hasilnya jelas, apakah saya akan melakukan usaha terbaik?".
Semakin parah pembenaran diri yang dilakukan seseorang, semakin halus bentuknya. Seolah-olah dia melakukan hal yang benar.
Dengan memberikan dalih-dalih yang sepertinya benar, si pelaku berusaha mendapatkan pemakluman dari orang-orang di sekitarnya. Semakin tinggi stadium pembenaran yang dilakukan seseorang, semakin kuat dalih-dalih yang digunakannya.
Akh, ternyata semua kita pernah melakukan pembenaran diri bukan?. Apakah masih terus melanjutkannya?
Mari renungkan sendiri, sikap pembenaran diri tahap apa yang kita lakukan hari ini. Apakah kita mau merubahnya setiap hari?. Selamat beraktivitas.
(Disadur dari Lionmag. The inflight Magazine of Lion Air)
Medan, 15 Oktober 2014
Artikel berjudul "Kebenaran dan Pembenaran" yang ditulis oleh Jemy V Confido, seolah membelah dada saya, karena memang sering melakukan PEMBENARAN DIRI. Artikel ini merumuskan dengan jelas tindakan pembenaran yang sering saya lakukan.
Dalam menjalani hidup ini ternyata kita penuh pembenaran diri seolah pegidap penyakit kanker dengan tahapan-tahapan: stadium tahap awal, tahap menengah dan tahap akhir.
Kita selalu mencari kebenaran. Anehnya, ketika kita mendapatkan kebenaran yang kita cari, tidak jarang pula kita mengubahnya menjadi pembenaran.
Bahayanya lagi, perbedaan diantara keduanya sangatlah tipis. Perbedaan yang tipis ini karena keduanya berasal dari satu sumber fakta yang sama.
Masalahnya terletak pada sikap kita apakah menerima fakta sebagai sebuah kebenaran, dan yang satu lagi, apakah kita hanya menerima fakta sebagai kebenaran kalau sesuai dengan keinginan kita, menguntungkan kita.
Penyakitnya adalah: KEBENARAN ITU HARUS SESUAI KEINGINAN KITA. Kalau tidak sesuai dengan keinginan kita, maka dengan segala upaya kita melakukan pembenaran diri, seolah tindakan kita benar.
Padahal, tindakan pembenaran diri hanya memuaskan diri kita, tidak memberi dampak kebahagiaan bagi orang lain. Justru sebaliknya: memunculkan rasa gondok, benci, tidak menghasilkan apapun, selain situasi yang makin kacau. Bagi diri sendiri, tindakan pembenaran diri akan memasung kreativitas, mengganggap diri sempurna dan tidak mau berubah.
Mari sama-sama menyimak penjelasan penulisnya yang saya rangkumkan di bawah ini:
1. Stadium Awal: Blaming.
Pada stadium awal pembenaran yang kita lakukan adalah melakukan blaming atau menyalahkan orang lain atau hal lain.
"Saya sudah berusaha melakukan yang terbaik tetapi tidak ada yang mendukung saya".
Seolah orang yang mengucapkannya sudah benar-benar berusaha melakukan yang terbaik, pada kenyataannya dia belum melakukannya. Sebaliknya dia menutupi dengan menyalahkan orang lain yang tidak mendukungnya.
Pembenaran dalam bentuk blaming bisa diperbaiki dengan bertanya pada diri sendiri:
"Benarkah saya sudah melakukan yang terbaik dan benarkah tidak ada satupun yang mendukung saya?".
2. Stadium Menengah. Excuse.
Dalam hal ini sipelaku seolah-olah menerima bahwa dirinya belum berusaha, namun memaklumi hal tersebut. karena dia tidak memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan usaha tersebut.
"Tentu saja saya belum bisa melakukan usaha yang terbaik, karena saya tidak memiliki biaya, orang dan waktu yang cukup untuk itu"
Pembenaran diri dalam bentuk excuse bisa dikoreksi dengan pertanyaan:
"Bila saya memiliki biaya, waktu dan uang apakah saya akan melakukan usaha yang lebih baik dari pada yang saya lakukan sekarang?".
3. Stadium Akhir. Justify
Pembenaran dalam bentuk Justify, pelaku membenarkan sikap atau tindakan yang dilakukannya, karena belum jelas hasilnya untuk dirinya.
"Saya tidak perlu melakukan usaha terbaik karena belum jelas hasil yang akan dicapai"
Pembenaran dalam bentuk justify lebih sulit dilakukan karena pelaku berlindung di balik argumen yang sepertinya cukup kuat.
Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan:
"Bila hasilnya jelas, apakah saya akan melakukan usaha terbaik?".
Semakin parah pembenaran diri yang dilakukan seseorang, semakin halus bentuknya. Seolah-olah dia melakukan hal yang benar.
Dengan memberikan dalih-dalih yang sepertinya benar, si pelaku berusaha mendapatkan pemakluman dari orang-orang di sekitarnya. Semakin tinggi stadium pembenaran yang dilakukan seseorang, semakin kuat dalih-dalih yang digunakannya.
Akh, ternyata semua kita pernah melakukan pembenaran diri bukan?. Apakah masih terus melanjutkannya?
Mari renungkan sendiri, sikap pembenaran diri tahap apa yang kita lakukan hari ini. Apakah kita mau merubahnya setiap hari?. Selamat beraktivitas.
(Disadur dari Lionmag. The inflight Magazine of Lion Air)
Medan, 15 Oktober 2014