My 500 Words

Sabtu, 25 Oktober 2014

IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 1)


http://nias-bangkit.com, 23 Oktober 2014.

Oleh Jannerson Girsang  [1]
 
Hikayat Manao memaikan alat musik "feta batu". | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
Hikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Hikayat Manao memaikan alat musik "feta batu". | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
Hikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Hikayat Manao memaikan alat musik "feta batu". | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via FacebookHikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook


NBC — Berita kepergian Hikayat Manaö Minggu, 12 Oktober 2014, sekitar pukul 15.10, mengagetkan banyak pihak. Pria yang dikenal sebagai koreografer, konduktor, pencipta lagu sekaligus penyanyi Nias ini kukenal sangat energik, perkasa, dan tak pernah terdengar sakit.
“Seminggu sebelum dikabarkan meninggal, saya ngobrol lama dengan beliau lewat telepon,”’ujar Apolonius Lase, penulis buku Kamus Li Niha yang sering berbincang dengan Hikayat Manaö.

Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ
Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ

Saat mendengar berita duka itu saya sedang berada di Bekasi, Jawa Barat, mengunjungi saudara saya yang bermukim di sana. Melalui status Facebook Reny (Markom NBC), saya menyaksikan  foto seorang pria yang sangat kukenal. Saya teperanjat, Hikayat Manaö meninggal!
Tentu, sama dengan saya, ribuan penduduk Nias, khususnya Desa Bawömataluo, para sahabatnya, pencinta budaya NIas, para pengamat budaya, kita semua kehilangan pria kelahiran 12 Juli 1958 itu.

Beberapa menit saya termenung dan berdoa bagi keluarga yang ditinggalkannya. Kepergiannya membuatku kehilangan seorang “guru” yang selama ini menjadi sumber informasi dalam menulis budaya dan wisata Nias.
Perpustakaanku terbakar! Tak mungkin lagi saya menggali ribuan file yang tersimpan dalam pikirannya yang belum terpublikasi. Mustahil kugali ungkapan-ungkapan dan emosi khas dari pria yang selama puluhan tahun menggeluti budaya dan menguasai banyak hal tentang budaya Nias.

Kenangan Tiga Tahun Lalu

Memutar memori ke belakang, terkenang kembali suatu hari padaFebruari 2011, pertemuan pertama kami di rumahnya di Bawömataluo, saat NBC mengutus saya dan Reny (Ketjel Zagötö) melakukan wawancara dengan Hikayat untuk sebuah publikasi selama tiga jam lebih.
Sore itu, dari gerbang sebelah Timur,  saya dan Reny menapaki 86 anak tangga menuju puncak Desa Bawömataluo yang terletak 250 meter di atas permukaan laut. Di tangga akhir, saya menyaksikan kehebatan rumah-rumah adat peninggalan era megalitik.

Menyusuri perkampungan peninggalan megalitik ibarat masuk ke ruangan masa lalu yang belum pernah terbayang. Sebelah kiri dan kanan terdapat deretan rumah adat yang dihuni masyarakat (Omo Hada) berjejer rapi. Salah satu rumah di jejeran sebelah kiri berbentuk unik yang dikenal sebagai rumah raja (Omo Sebua).

Reny kemudian menunjukkan sebuah rumah sejajar Omo Sebua, hanya beberapa rumah dari sana. Itulah rumah Hikayat Manaö. Di sanalah budayawan yang kesohor itu menunggu kami. Awalnya, saya membayangkan wajahnya yang seram dan bicaranya agak kasar. Sambutan yang hangat dan tutur katanya yang lembut membuyarkan bayangan. Initoh yang disebut Panglima itu.

Ternyata, dia bukan pria seseram yang saya bayangkan. Kesan pertama saya, Hikayat adalah orang yang cepat akrab, humoris. Meski baru pertama kali bertemu, pria ini mampu menciptakan suasana seolah kami sudah lama saling kenal, menghubungkan orang-orang yang dikenalnya dekat dengan tamunya.

Hikayat dengan rendah hati mengoreksi dengan sabar dan sopan kalau ada kesalahan-kesalahan kata yang saya ucapkan dalam bahasa Nias, kalau ada istilah yang saya kurang mengerti.

Budaya adalah darah dagingnya. Membicarakan budaya adalah salah satu sumber kebahagiaannya. Dia tidak kenal  waktu dan tak mengenal lelah. Kata-kata keluar dari mulutnya bak air mengalir.

Bukan saya sendiri. Jodhi Yudhono, wartawan Kompas.com, dan dua penulis Nias yang saya kenal, Apolonius Lase dan Etis Nehe, juga mengakui hal yang sama. Beliau adalah sumber berita yang hangat tentang budaya Nias. “Dari pembicaraan saya dengan beliau seperti biasa saya menangkap aura dan semangat yang berkobar-kobar tatkala bicara soal budaya dan tradisi-tradisi kami Ono Niha.”
Orangnya enak diajak bicara dan terbuka menjelaskan semua pertanyaan. Jawaban-jawabannya jelas, sekali-sekali dia menikmati  (afo) sirih khas Nias. Sore itu, kami mengakhir pembicaraan yang sudah berlangsung hampir tiga jam karena matahari memerah di ufuk barat Desa Bawomataluo yang juga dikenal sebagai “Bukit Matahari” itu dan harus kembali ke Gunungsitoli.
***
Pertemuan pertama itu menyusul kebersamaan kami selama tiga hari dalam Pagelaran Budaya Nias, 13-15 Maret 2011, memungkinkan saya mengamati kegiatanHikayat dari dekat. Pagi-pagi keluar rumah langsung mengatur puluhan anak buahnya untuk mempersiapkan beberapa pertunjukan tari, serta permainan-pemainan tradisional lainnya. Dia aktif mengoordinasikan semua kegiatan, bahkan ikut sebagai pemain.
Lantas dia dikerumuni wartawan. Dia berperan sebagai humas, menjadi sumber informasi bagi wartawan televisi yang saat itu saya catat hadir, antara lain TVOne dan Trans-7,  serta media nasional lainnya.  Dia menjadi penyuara budaya desanya, Bawömataluo, ke luar Nas sehingga diketahui jutaan orang di luar desanya.

Sesudah acara itu, saya tidak pernah bertemu lagi dan berkomunikasi hanya melalui telepon.
Suatu ketika, saya sudah janji akan bertemu sesudah ia kembali dari sebuah pergelaran budaya di Jakarta.Namun, karena sesuatu hal pertemuan itu urung berlangsung. Janji terakhir dan tidak mungkin terwujud seperti pertemuan di rumahnya tiga tahun lalu.
***
Bertemu dengan Hikayat Manaö seolah masuk ke sebuah perpustakaan besar yang didalamnya semua serba komplet, khususnya budaya Nias. Dia adalah sumber inspirasi tentang seorang pencinta budaya. Kegigihan, ketulusan, tanpa pamrih serta semangatnya mewariskan pentingnya budaya dilestarikan adalah sebuah sikap yang langka di zaman hedonisme sekarang ini.
Kini, bertemu dengan Hikayat Manaö mustahil bagi saya terjadi lagi. Kerinduan menggali informasi tentang budaya Nias dari dirinya hanyalah mimpi di siang bolong. Itulah kesedihan pribadi saya atas kepergiannya, kesedihan para penulis lainnya. Perpustakaanku terbakar, ribuan file turut lenyap bersama kepergiannya.
Kehidupan masa kecil Hikayat Manaö menarik diungkap mengingat saat ini banyak keluhan soal fasilitas dalam mengembangkan budaya. Hikayat Manaö telah membuktikan, dengan fasilitas yang terbatas, tempat yang terisolasi, beliau mampu melakukan pengembangan dan pembaharuan budaya Bawömataluo.

Desa Bawömataluo  yang terkenal dengan nilai budaya tinggi peninggalan era megalitik itu bukan sebuah desa yang mencerminkan kemakmuran kehidupan penduduknya. Tidak sehebat popularitas yang disandangnya.

Pada masa kecil Hikayat, penduduk desa berada di bawah garis kemiskian. Mungkin hingga kini, penduduknya masih terbelakang dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera. Di desa seperti inilah Hikayat dilahirkan dan dibesarkan.
***
Sejak kecil Hikayat sudah terbiasa hidup dengan seni, bahkan ketika duduk di sekolah dasar menjadi dirigen di sekolahnya. Darah seni mengalir di tubuhnya di tengah lingkungannya hidup dalam kemiskinan.

Dia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di desa kelahirannya. Karena SMP belum ada di sekitar desanya, setelah lulus SD Katolik Bawömataluo, Hikayat melanjutkan sekolahnya ke SMP Bintang Laut di Telukdalam dan tinggal di asrama sekolah itu.

Di asrama itu dia menjadi pemukul lonceng gereja hanya untuk mendapatkan sepotong ikan kecil. “Pekerjaan saya di asrama adalah membunyikan lonceng. Habis itu saya dikasih hadiah sepotong ikan kecil oleh Zr Lumbertin,”ujarnya suatu ketika.
seusai menamatkan SMP, Hikayat melanjutkan SMA ke Gunungsitoli. Dia pernah bercerita bahwa transportasi saat itu di Nias masih sulit.  “Saat itu, bepergian ke Gunungsitoli, layaknya berangkat ke luar negeri. Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Telukdalam. Kapal itu memuat 60 penumpang dan barang,”ujarnya, dalam sebuah wawancara NBC.

Waktu tempuh dari Telukdalam ke Gunung Sitoli bisa mencapai  9 jam. Bandingkan sekarang jarak itu bisa ditenpuh dalam 2-3 jam dan perjalanan dapat dilakukan setiap saat.

Masa-masa SMA-nya di Gunungsitoli dijalaninya dengan penuh keprihatinan. Hikayat harus memasak sendiri dan kos di rumah sebuah keluarga, hanya berbekal beras dari Bawömataluo. Untuk membeli kecap penyedap nasi putihnya, Hikayat harus bekerja membuat batubata dengan upah Rp 3 per buah. Bahkan, karena hanya memiliki sepasang pakaian seragam, ia jarang ke gereja.
Mungkin pembukaan lapangan terbang Binaka di Gunungsitoli barangkali sebuah kebahagiaannya yang menonjol, di tengah keprihatinan hidupnya.

“Kami pernah cabut (bolos-red) dari sekolah berjalan kaki dari Gunungsitoli hanya untuk melihat pesawat Capung di Bandara Binaka,”ujarnya tertawa, suatu sore di rumahnya.

Menyelesaikan SMA selama tiga tahun Hikayat berpindah-pindah sekolah. Dia pernah putus sekolah dan memburuh ke Balige di Tapanuli, Pulau Sumatera, kemudian menjadi penjual sepatu di Pematangsiantar.
Akhirnya dengan bantuan mantan kepala sekolahnya di Gunungsitoli Hikayat mendapat kesempatan menyelesaikan SMA-nya di Gunungsitoli melalui jalur ekstraner selama enam bulan.

Hombo Batu: Mengubah Nasib

Hombo batu menjadi tonggak perubahan kehidupan Hikayat. Seperti pernah dikisahkannya, para pengunjung yang menonton hombo batu  ternyata tidak hanya melihat olahraga tradisional terkenal Nias itu sebagai hiburan belaka.
Awal 1980-an, tak lama berselang setelah Hikayat lulus dari SMA, Pangdam II Bukit Barisan Soesilo Soedarman ketika itu berkunjung ke Bawömataluo. Dia menunjukkan kehebatannya di depan panglima.

Kehebatan para pria, termasuk Hikayat Manaö, mengundang decak kagum Panglima TNI dan menawarkan anak-anak muda seperti Hikayat dididik menjadi tentara. Panglima mengajak dirinya dan dua temannya.

Meski akhirnya tidak menjadi tentara, ajakan Panglima TNI itu telah mengubah kehidupannya. Niatnya menjadi tentara itu urung terwujud setelah membaca berita tentang nasib para tentara di Timor Timor. “Saya akhirnya memutuskan tidak menjadi tentara,” ujarnya.
Namun, Hikayat tetap dihargai dan seorang pejabat di Kodam I Bukit Barisan memberi ongkosnya  kembali ke Nias. Akan tetapi, Hikayat tidak kembali ke Nias, justru memilih berangkat ke Jakarta.

Di Jakarta, Hikayat mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Pendapatannya cukup lumayan sehingga mampu membelanjai dirinya dan  biaya perkuliahan. Sambil  bekerja, dia kuliah seusai bekerja di Akademi Teknik Komputer di Matraman, Jakarta. Sayangnya, dia tidak sampai menyelesaikan perkuliahannya. Perusahaan tempatnya bekerja juga akhirnya melakukan perampingan pegawai.

“Saya akhirnya keluar karena yang diajarkan cuma teori melulu, tidak pernah memegang computer,” katanya tiga tahun lalu.   [Bersambung]

[1] Jannerson GirsangPenulis Biografi, tinggal di Medan. Dia juga menulis Profil Hikayat Manao yang dimuat di Nias-Bangkit.com, Maret 2011. - See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf

Rabu, 22 Oktober 2014

REVOLUSI MENTAL: Mimpi Merubah Dunia, Awali Perubahan Diri Sendiri

Oleh: Jannerson Girsang

Bermimpi merubah orang lain, merubah negara?.

Jangan kawan, tidak usah mengharapkan orang lain berubah, apalagi memaksakan mereka berubah. Kitalah yang lebih dulu berubah.

Ayat emas kita mengatakan: "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka, sebab itulah hukum tertinggi dari taurat dan hukum para nabi"

Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berubah, berubahlah seperti perubahan yang Anda harapkan.  Kalau Anda ingin orang lain berubah, maka ubahlah diri Anda lebih dahulu. Jadilah teladan!. Sebab yang lain menginginkan teladan, bukan perintah atau kata-kata.

Itulah Jokowi kita. Dia yang merubah diri lebih dahulu, memberi teladan dan orang lain  mengikutinya.

Jokowi tidak meminta Prabowo atau Abu Rizal Bakrie berubah, tetapi Jokowilah yang terlebih dahulu memberi teladan. Memaafkan, merajut kembali luka lama.Menyembuhkan!

Tindakan-tindakan kecil yang  baru menuju kebaikan., kejujuran sekecil apapun yang kita lakukan, akan menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Ingat!. Anda hanya bisa menjadi diri Anda, tidak bisa menjadi orang lain.

Anda bisa mencaplok kata-kata orang lain, perbuatan orang lain menjadi perbuatan Anda, tetapi pada akhirnya Anda akan kecewa. Sebab itu bukan diri Anda, bukan perbuatan Anda. Anda sendiri tidak menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur!

Ketika Anda merasa sudah berhasil, Anda sendiri tidak akan menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur! Kecewa melihat diri sendiri, kecewa melihat orang lain.

Berbuat satu kebaikan yang jujur dengan identitas Anda sendiri, lebih berharga dari seribu kata-kata kebaikan, kejujuran milik orang lain.

Jangan bermimpi merubah orang lain, merubah bangsa, merubah dunia. Lakukan perubahan dari diri sendiri.

Revolusi Mental.

Medan, 22 Oktober 2014

Senin, 20 Oktober 2014

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (9)

Presiden baru Jokowi melepas mantan Presiden SBY. "Semoga Bapak diberi Barokah, kesehatan dan umur yang panjang," katanya. SBY menyambut dengan tepuk tangan dan diikuti para hadirin.

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai Indonesia (8)

Oleh: Jannerson Girsang

"Bubarkan," kata Presiden Baru, Jokowi. Masih terasa kaku. Baru pertama kali mengucapkannya sebagai Presiden yang baru dilantik beberapa jam yang lalu. Upacara penyambutan hanya berlangsung 1-2 menit. Cepat sekali.



Presiden baru Jokowi berbincang dengan mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Tidak terdengar suara apa yang mereka bicarakan.
Saya menyarankan : Pak Jokowi nggak usah tiru deh SBY yang membiarkan pengusutan Soeharto berjalan, padahal hasilnya tidak ada bagi rakyat.

Maafkan semuanya, seperti Anda memaafkan Prabowo yang sudah mengobok-obok Anda di masa lalu. Dendam hanya akan menghasilkan kesusahan bagi diri Bapak dan kami rakyat bapak.

Kalaupun SBY memiliki kesalahan biarlah beliau bertanggungjawab kepada Tuhan. Nggak usah capek deh mengutak-atik kesalahan Presiden lama. Capek, dan pendukungnya kan banyak juga. Lima tahun ke depan kerjakan tugas-tugas yang langsung dirasakan rakyat Indonesia.
Mulai era baru, pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru.


Upacara Pelepasan SBY. Terharu....."..pemimpin itu datang dan pergi" kata SBY.

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (7)

Upacara penyambutan Presiden baru berlangsung di Istana Merdeka
Upacara penyambutan Presiden baru sudah berlangsung

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (6)

Presiden baru Indonesia, Jokowi tiba di istana

Mantan Presiden SBY menyambut Presiden Baru Jokowi di Istana Merdeka

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (5)

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (3)

Oleh: Jannerson Girsang

Presiden baru Republik Indonesia berfoto bersama Ketua MPR RI
































Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (2)

Oleh: Jannerson Girsang 

Joko Widodo menyampaikan pidato pertama sebagai Presiden RI ke-7. Joko Widodo (Jokowi), setelah menyapa dan menyebut nama mantan Presiden dan Wakil Presiden yang sempat memimpin Indonesia, Jokowi tak lupa menyapa Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
"Yang saya hormati rekan dan sahabat saya Bapak Prabowo Subianto," kata Jokowi saat membuka pidato pertamanya di gedung MPR/DPR Jakarta, Senin (20/10/2014). Prabowo langsung berdiri di tempatnya dan memberi hormat dengan tangan kanan di keningnya. Merinding...terharu melihatnya!. 

Oh Jokowi, oh Prabowo, berdamailah untuk Indonesia Raya!

"Kita tidak bisa besar dalam keterbelahan dan perpecahan. Pemerintahan saya akan memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasalan pelayanan pemerintahan".

"Inilah momen sejarah kita bergerak bersama".
Amin Pak Jokowi!. Kami semua berharap niat bapak akan terwujud lima tahun ke depan. "Revolusi Mental"
Doa untuk Presiden Baru oleh Lukman Hakim Saefuddin, Menteri Agama RI masa Pemerintahan SBY
Doa untuk Presiden Baru oleh Lukman Hakim Saefuddin, Menteri Agama RI masa Pemerintahan SBY

Sidang Parpurna selesai dan ditutup pukul 11.10, Presidenku sekarang Ir H. Joko Widodo. Semua meninggalkan ruang Sidang. Era Baru Indonesia

 Sidang Parpurna selesai dan ditutup pukul 11.10, Presidenku sekarang Ir H. Joko Widodo. Semua meninggalkan ruang Sidang. Era Baru Indonesia

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Indonesia yang Damai (1)

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi hari Senin, 20 Oktober 2014 merupakan hari bersejarah bagi Indonesia. Sebuah acara penting berlangsung di Gedung DPR/MPR RI, Senayan Jakarta.

Bagi saya rakyat Indonesia yang tinggal dengan jarak udara sekitar 1300 km dari Ibu Kota Republik Indonesia, Jakarta, televisi merupakan media yang paling tepat menyaksikan even bersejarah ini secara langsung (real time).

Untuk mengabadikan peristiwa penting ini saya membuat foto-foto  momen-momen yang menurutku penting dari televisi favoritku Metro TV.

Foto-foto kupetik melalui black barry dan kuposting ke FB agar lebih banyak teman-teman setanah air, baik yang berada di Indonesia dan luar negeri yang menyaksikannya.

Foto-foto yang anda nikmati beserta cerita ringkasnya saya ambil dari FB saya untuk dokumentasi ke depan. Hal ini cukup penting, karena saya baru menyaksikan kejadian seperti ini untuk pertama kali sepanjang sejarah Indonesia.

Presiden yang digantikan hadir dan menandatangani berita acara serah terima jabatan Presiden. Ini tidak terjadi di masa pemerintahan mantan Presiden Megawati, maupun mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Inilah transisi pemerintahan yang damai, dan harus menjadi teladan bagi para presiden Indonesia di masa-masa mendatang.

Belum pernah terjadi. Jokowi Presiden Baru dan SBY presiden yang akan menyerahkan jabatan berjalan bersama memasuki ruangan Sidang Paripurna Pelantikan Presiden Baru Indonesia, Joko Widodo (Jokowi)


Ketua MPR RI menilai peristiwa pelantikan Jokowi menjadi Presiden ke 7 Republik Indonesia sebagai sebuah "tinta emas" sejarah bangsa ini "Hari ini kita menorehkan tinta emas perjalanan sejarah bangsa ini. Kita mampu melaksanakan peralihan kekuasaan secara damai dan bermartabat" ujar Zulkifli Hasan, Ketua MPR RI, sesaat setelah membuka Sidang Paripurna Pelantikan Presiden Baru Indonesia, Joko Widodo.
"Hari ini kita menorehkan tinta emas perjalanan sejarah bangsa ini. Kita mampu melaksanakan peralihan kekuasaan secara damai dan bermartabat" ujar Zulkifli Hasan, Ketua MPR RI,  sesaat setelah membuka Sidang Paripurna Pelantikan Presiden Baru Indonesia, Joko Widodo.


SBY dan JOKOWI. Masa lalu dan Masa depan Indonesia! Masa lalu sebagai pelajaran.

Jangan ulangi kesalahan masa lalu, lanjutkan hal-hal yang sudah baik. Mencari-cari kesalahan pemimpin yang lama hanya buang-buang energi.

Bertahun-tahun kita membuang energi, waktu dan dana membuktikan Presiden Soeharto adalah seorang koruptor, tetapi semua sia-sia. Bekerjalah membangun rakyat, jangan buang waktu dan energi mencari-cari kesalahan. Kita bukan manusia yang sempurna, mari kita maafkan kesalahan menatap masa depan yang baru.   

Hilangkan kebiasaan mencaci maki pemimpin lama dan memuja-muja pemimpin baru. SBY adalah mantan Presiden yang harus dihormat.  

Sabtu, 04 Oktober 2014

KECEWA DENGAN DPR-RI?

Oleh: Jannerson Girsang

Kalau sangat kecewa melihat tingkah DPR-RI kita sekarang ini, Anda masih normal. Kalau Anda senang, berarti Anda sudah abnormal. Mari kita sama-sama belajar dari pengalaman pahit ini.


Siang ini saya membaca sebuah Media lokal dengan Tajuk berjudul: "Tak Perlu Takut dengan 
Anggota DPR".

Begitu seramkah rakyat Indonesia sekarang, memilih wakilnya yang seram, dan membuat dirinya takut dengan wakil-wakilnya sendiri?.

Anggota DPR-RI model begini kerjanya cuma menakut-nakuti, menghalang-halangi pekerjaan pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan kelompoknya, memaksakan kehendak, "asbun"

Kita juga punya DPR-RI yang belum "ngeh" jadi anggota DPR. Saya tadi sangat kecewa ketika sebuah stasiun televisi mewawancarai dua orang artis yang terpilih menjadi anggota DPR-RI. Untuk memahami apa hak dan kewajiban DPR saja tidak tau.

"Hak dan Kewajiban DPR?. Oh ya ada tertulis di buku panduan DPR yang kami pelajari di Lemhanas. Ada..ada," katanya tertawa, tanpa merasa malu. Anang Hermansyah, pencipta lagu dan penyanyi terkenal, ketika ditanya hak dan kewajibannya sebagai anggota DPR, cuma mampu menjawab: "Maksudnya apa?"

Saya kahwatir, anggota DPR begini nantinya akan jadi pengarang lagu, penyanyi dan berbisnis hiburan. Stress pekerjaan, stress jadi anggota DPR, akhirnya keanggotaan DPRnya hanya "sampingan".

Pengamatan saya, pernah ada seorang pembawa acara yang jadi anggota DPR-RI periode (2009-2014), kerjanya terus aja menjadi MC dimana-mana. Tak sadar dia sudah menduduki jabatan terhormat. Tak ada satu katapun keluar dari mulutnya tentang suara rakyat. Untungnya dia tidak terpilih lagi. Dia terhindar dari stress.


Lainnya, ada anggota DPR-RI yang membuat keanggotaannya menjadi alat, status, alat korupsi.
Ada pula anggota DPR-RI yang ngomong, setelah koalisinya gagal menempatkan anggotanya merebut pimpinan. "Kita serahkan rakyat untuk protes".

Wah, udah rakyat susah memilihnya, susah pula lagi setelah terpilih. Apa kerjanya di Senayan, kalau tugasnya gagal, suruh rakyat yang menyelesaikan?

Kecewa!. Kata pendetaku, Rajinlah Beribadah. Hikmah sebuah kesalahan bersama. Mari perbaiki bersama, jangan jatuh ke lobang yang sama!.

Lima tahun ke depan menjadi pelajaran penting bagi rakyat Indonesia dalam memilih wakil-wakilnya. Jangan sampai memilih Monster-monster yang menakutkan, orang menjadi anggota DPR sebagai sampingan, atau mereka yang tidak mengerti tugasnya!

Medan, 4 Oktober 2014

Sabtu, 27 September 2014

Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumatera Utara Tahun 2014 Menciptakan Masyarakat Pembaca (Reading Society) Menuju Masyarakat Pembelajar (Learning Society)

Oleh: Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd

Pada hari Kamis, 25 September 2014 kemarin, telah diselenggarakan sebuah acara yang bertajuk Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara tahun 2014. Acara yang bertempat di hotel Soechi Medan ini, diprakarsai oleh Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) provinsi Sumatera Utara. Sekitar lima puluh undangan yang berasal dari kalangan penulis dan pembaca di wilayah Sumut memenuhi sebuah ruang pertemuan di lantai dua hotel yang terletak di jalan Cirebon tersebut. Baik penulis yang sudah terbilang cukup senior dan penulis pemula, bergabung tanpa ada sekat yang memisahkan. Sekedar sharing info atau pengalaman di bidang tulis menulis.

Saya sendiri hadir sekitar pukul 14.00 WIB. Setengah jam lebih cepat sebelum acara pembukaan dimulai. Begitu memasuki ruangan, saya langsung menemukan tiga orang pria berbagai usia sedang berbincang serius. Tanpa malu-malu saya mendekati mereka dan berlagak ‘Sok Kenal Sok Dekat’, mendengarkan perbincangan dengan seksama. Ikut nimbrung sekali-sekali tanpa diminta. Dari curi-dengar pembicaraan tersebut, saya ketahui bahwa salah satu dari tiga pria yang mengaku telah berusia tujuh puluh tahun itu adalah penulis. Saya tidak menanyakan banyak mengenai tulisan-tulisannya, sebab saya takut, jangan-jangan ia orang hebat di Medan. Sehingga, tidak mengetahui siapa dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka daripada malu, saya hanya mendengarkan ceritanya saja.
Beliau mengatakan bahwa Medan dulu, sarangnya penulis hebat. Saya tak menyangkal sebab memang pernah membaca nama-nama penulis tersohor dengan karya melegenda, banyak yang berasal dari Medan atau wilayah Sumatera Utara. Sebut saja Chairil Anwar, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana (pelopor pujangga baru), Merari Siregar serta segudang nama-nama lain yang akrab di telinga masyarakat bahkan dalam skala nasional dan internasional. Karya-karya mereka yang bombastis telah mampu mewarnai bahkan sebagian memutar-mutar ‘kompas’ dunia sastra.

Bapak berumur tujuh puluh yang tak saya ketahui namanya tersebut—karena terlalu segan untuk bertanya—menyayangkan betapa prestasi itu sekarang hampir sirna. Banyak yang beranggapan, penulis merupakan kalangan marginal yang hanya dilakukan orang-orang tak punya pekerjaan. Atau yang lebih menyedihkan lagi ada yang menganggap bahwa penulis BUKAN pekerjaan—kecuali kalau anda sudah punya sebuah buku bestseller tentunya. Dan betapa ia menginginkan bahwa penulis-penulis lokal nun jauh di pelosok Sumut turut jua dihadirkan dalam acara serupa ini untuk membagikan pengalamannya. Sebab katanya ia kenal dengan banyak penulis hebat yang ‘tenggelam’ dalam dunianya sendiri dan tak diberi kesempatan untuk berbagi.

Perbincangan kami lerai saat undangan yang datang semakin ramai. Bapak yang bahkan hingga detik terakhir tak saya ketahui namanya tersebut—terkutuklah saya—bergabung dengan para penulis ‘senior’ lainnya. Sedangkan saya duduk dengan ‘teman baru’, beberapa mahasiswa IAIN yang juga merupakan peserta pertemuan.

Acara pun dimulai. Jangan ditanya, molor dari waktu yang tertera di undangan itu sudah pasti. Kata sambutan dari ketua panitia mengawali semuanya dengan beberapa laporan mengenai kegiatan tersebut. Segera saja acara dibuka secara resmi oleh yang mewakili Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumatera Utara. Ibu Suryanti, S. E, Kabag Layanan dan Teknologi BPAD Sumut selaku perwakilan memulai dengan pesan-pesan yang amat jelas. Bahwa penulis sebagai agent of knowledge adalah mitra perpustakaan. Ia mengajak agar penulis menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Baginya, tak ada penulis, maka tak ada perpustakaan.

Setelah rehat sejenak untuk sholat ashar dan coffee break, sesi pertama pun dimulai. Sesi ini memaparkan tema Peran Perpustakaan Daerah Sebagai Pusat Deposit. Yang menjadi pembicaranya tak lain tak bukan adalah Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumut, Bapak Hasangapan Tambunan, S. Pd, M. Si. Beliau mensosialisasikan Undang-undang nomor 4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Salah satu butir dari undang-undang itu adalah ‘Setiap penerbit yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia, wajib menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Daerah di ibukota provinsi yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga bulan setelah diterbitkan.’ Selain untuk menambah koleksi dan khasanah perpustakaan juga untuk barang bukti jika di belakangan hari terjadi plagiasi pada karya tersebut. Bapak Tambunan menambahkan bahwa dalam hal ini penerbit lah yang berkewajiban menyerahkan karya cetak tersebut, akan tetapi ia meminta agar penulis mengerti akan adanya UU tersebut dan membantu mensosialisasikannya. Karena tujuan sebenarnya adalah melindungi ‘karya’ para penulis itu sendiri.

Sesi pertama berakhir setelah pembicara menjawab pertanyaan dari beberapa peserta. Tanpa jeda, tepat pada pukul 17.30 WIB, sesi kedua pun dimulai. Dan pada hari itu juga saya baru tahu, bahwa Medan memiliki seorang penulis khusus biografi yang cukup produktif. Mulai tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menulis setidaknya lima belas buku biografi tentang beberapa tokoh-tokoh nasional maupun lokal. Artikelnya juga sudah sering bertengger di koran-koran lokal Medan, salah satunya koran Analisa. Mungkin namanya sudah tak asing bagi pembaca Analisa, beliau bernama Bapak Ir. Jannerson Girsang. Pria berusia 53 tahun ini, bercita-cita akan menggenapkan buku biografinya menjadi dua puluh. Dan buku ke-dua puluh yang ingin ditulisnya adalah tentang perjalanan hidupnya sendiri sebagai seorang penulis biografi. Beliau memiliki sebuah quote yang menarik “Jika seseorang meninggal, dan kisahnya belum dituliskan, maka itu artinya sebuah perpustakaan telah terbakar.” Ia mengatakan bahwa semua orang harus menulis dan pasti bisa menulis. Beliau tidak percaya bahwa menulis itu bakat, menulis itu keterampilan yang bisa diasah. Kuncinya hanya tekun dan fokus. Setidaknya pasti bisa menuliskan tentang kejadian dalam hidupnya sendiri. Jika ternyata tulisan kita bisa menginspirasi kehidupan orang lain, tentu itu menjadi sebuah nilai tambah yang positif.

Tepat saat adzan maghrib berkumandang, pertanyaan terakhir dari peserta tuntas dijawab pembicara yang baru saya sadari blog-nya pernah saya buka sehari sebelumnya. Ketika itu saya ingin mencari informasi tentang Pertemuan Pembaca dan Penulis yang akan saya ikuti. Saya membaca artikel tentang pengalamannya bertemu penulis senior di ajang serupa empat tahun yang lalu. Di akhir sesi, saya mengikat banyak inspirasi dari orang hebat yang rendah hati ini. Salah satunya, pekerjaan yang tak pernah bisa dipecat dan tak memiliki masa pensiun adalah PENULIS. Maka, menulislah.

Selepas maghrib dan makan malam, sesi ketiga pun dimulai. Tanpa terlihat lelah dan tetap bersemangat para peserta antusias menyambut pembicara yang akan menyampaikan tema Gemar Membaca: Cikal Bakal Hasrat Menulis. Moderator memperkenalkannya dengan nama DR. Azhari Akmal Tarigan, M. A. Dan kembali saya tertegun, bahwa banyak penulis lokal yang namanya bahkan baru saya dengar hari ini. Tidak sefamiliar nama Andrea Hirata atau J. K. Rowling nun jauh di England sana memang. Akan tetapi kemampuannya dalam menulis mungkin bisa jadi sekaliber penulis-penulis terkenal itu, bahkan mungkin melampaui. Dengan rendah hati ia memperkenalkan buku-buku yang pernah ditulisnya. Hampir semua diterbitkan oleh penerbit lokal dan kebanyakan adalah buku mengenai Ekonomi Islam yang menjadi subjeknya saat mengajar mahasiswanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan. Namun ada juga buku-buku bertema lain yang masih tak jauh dari dunianya. Yakni dunia pendidikan.

Sambil berkelakar pria berkumis yang tulisannya sering wara-wiri di koran Waspada ini menyampaikan, bahwa salah satu bukunya sudah ada yang terjual sebanyak empat ribu eksamplar lebih tapi tak jua menuai cap ‘bestseller’. Itu terjadi karena buku tersebut 'wajib' dibeli untuk pegangan santri di sebuah Pondok Pesantren. Semua orang tertawa. Dan saya berpikir, bahwa beginilah seyogianya pendidik itu. Bisa menulis buku sendiri sebagai buah pikirannya untuk dijadikan bahan mengajar.

Beliau menyampaikan banyak motivasi-motivasi agar menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya orang Indonesia. Meski perut t’lah kekenyangan dan malam semakin menua, namun tak ada peserta yang mengantuk. Semuanya larut dalam suasana penuh motivasi yang dikemas apik dalam canda oleh Pak Tarigan. Banyak hal kecil yang bisa dilakukan untuk membuat Negara dengan budaya ‘oral’ ini menjadi Negara berbudaya membaca dan menulis. Salah satunya, jangan malu untuk membaca di tempat-tempat umum. Dalam sebuah antrian di negara-negara maju, orang-orang akan menghabiskan waktunya dengan membaca. Di Indonesia orang lebih senang mengobrol ngalor ngidul atau mungkin memainkan gadget-nya daripada membaca. Mulailah dari orang-orang yang ngakunya komunitas pembaca atau penulis, kutipnya dari salah seorang peneliti.

Di akhir sesi tak ada lagi yang bisa beliau katakan selain membaca lalu menulis lah! Membaca lalu menulis lah! Jika anda datang ke toko buku, mulailah buat perhitungan. Seperti yang telah dilakukannya. Misalnya saat menemukan buku bagus seharga enam puluh ribu rupiah, mulailah membuat perhitungan. Dari buku ini kita bisa menuliskan review-nya, itu bernilai sekian. Dari buku ini kita bisa menuliskan sebuah artikel, itu bernilai sekian. Jika balik modal bahkan untung, maka beli! Itulah enaknya jadi PENULIS, tandasnya sambil tertawa. Memang kata-kata itu terlihat ringan dan bagi sebagian pandangan tendensius terkesan materialistik. Tapi ini bermakna sangat dalam bagi jiwa yang berpikir. Bahwa membaca itu bukan hanya menakluklan ejaan-ejaan aksara lalu memahami makna. Membaca itu adalah proses berpikir yang darinya kita bisa menemukan pemikiran-pemikiran baru. Budayakanlah Membaca dan Menulis, hai orang Medan pada khususnya dan orang Indonesia pada umumnya. Jadikan masyarakat kita ini menjadi Reading Society, masyarakat pembaca untuk menuju Learning Society, masyarakat pembelajar. HORAS.

Medan, 26 September 2014
Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd
Peserta Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumut ‘14

Sumber:  http://m.kompasiana.com/post/read/676614/3/pertemuan-pembaca-dan-penulis-sumatera-utara-tahun-2014-menciptakan-masyarakat-pembaca-reading-society-menuju-masyarakat-pembelajar-learning-society.html,

Rabu, 24 September 2014

"Kaulah Hartaku Paling Berharga, Aku Tak Tega Membungkusmu"

Oleh: Jannerson Girsang

Malam itu adalah puncak dari segala kesabaran seorang istri, karena permainan judi suaminya sudah sangat menjengkelkan. Sang suami tidak peduli lagi dengan keadaan rumah tangganya. Bahkan malam Natal atau Tahun Barupun dia semalaman di tempat judi.

Menjelang tengah malam, suatu malam Tahun Baru, sang istri sedang menunggu di rumah. Karena berkali-kali di malam Tahun Baru suaminya tidak pernah lagi bersama keluarga. Malam itu, meski sudah dihubungi beberapa kali melalui handphone, suaminya tidak muncul-muncul.

Kebiasaan buruk ini sudah berlangsung tahun demi tahun selama mereka berkeluarga.

Suaminya merasa lebih asyik di meja judi, ketimbang merayakan perpisahan tahun dengan istri dan anak-anaknya.

Menunggu sang suami pulang, sang istri memegang sebilah  pisau parang yang sudah diasahnya sejak beberapa jam sebelumnya, dan ingin menghabisi suaminya, saking kesabaran sudah hilang. .

Begitu si suami tiba di rumah, lewat tengah malam dan acara kebaktian perpisahan tahun sudah selesai, pisau yang sudah dipersiapkannya langsung diarahkan menebas leher suaminya.

"Saik........" terdengar bunyi pisau yang sudah mengkilap itu.

Untungnya di masa mudanya sang suami  adalah jago karate, sehingga dengan sigap, dia bisa mengelak, dan hanya tergores sedikit, dan tentunya sang istri juga mulai menurun emosinya.

Tapi, emosi si istri tidak langsung padam. Tapi,amarahnya ditumpahkan dengan mengusir suaminya.   .

"Malam ini juga, bawa semua barang-barang berharga milikmu dan keluar dari rumah ini," katanya sambil menjatuhkan pisaunya.

Karena takut di "pisau" lagi dan tidak ingin ribut didengar tetangga si suami menurut saja perintah istrinya . Dia memasukkan ke goni besar, semua pakaiannya. Semua barang-barang berharga miliknya.

"Hayo cepat. Jijik aku melihat kelakukanmu, jijik aku melihat tampangmu, cepat keluar?"kata istri, sambil bertolak pinggang.

Si Bapak menunduk saja sambil mengangkat goninya ke depan pintu. Kemudian dia berdiri memandang istrinya.

"Hei, apa lagi. Kalau semua barang berhargamu sudah dimasukkan, silakan angkat kaki dari rumah ini!," perintah keras istrinya.

Si suami dengan muka memelas menghampiri istrinya.

"Satu lagi barang berharga yang kumiliki belum masuk dalam goni ini Ma," katanya
Sang istri langsung berteriak mengungkapkan kemarahannya.

"Jangan buat alasan macam-macam. Kalau ada, masukkan cepaaa....at!" balas istrinya dengan suara meninggi bercampur emosi.

Si suami dengan suara memelas, mengeluarkan kata-kata yang tak pernah diduga sebelumnya oleh istrinya.

Dari hatinya yang terdalam dia sangat menyesali perbuatannya. Kesabaran istrinya disalah artikannya. Ternyata perbuatannya yang jahat menimbulkan kebencian di hati istrinya yang makin hari makin membatu.

Dengan berlinang air mata, dia lalu mendekati istrinya dan berkata:

"Kaulah sayangku, istriku. Kaulah hartaku paling berharga di dunia ini. Aku tidak tega membukusmu di dalam goni ini," katanya.

Anda tebak...kisahnya kemudian! Kalau Anda menjasdi seorang istri, apa yang Anda lakukan?

Medan, Menjelang Tengah Malam, 24 September 2014

(Dimodifikasi dari khotbah Syamas br Purba, dalam partonggoan malam ini di Sektor 1. Tentu saja kami berterima kasih kepada Pdt Masniari Damanik, yang mengajarkan kami sermon dengan contoh-contoh yang menginspirasi untuk berubah)

Suami Mau Dicintai Anak, Cintailah Istri

Oleh: Jannerson Girsang


"Kalau para bapak mau dicintai anak-anak, maka cintailah ibunya,"

Demikian kata Prof Dr Belferik Manullang, seorang pakar pendidikan karakter dari Unimed Medan, dalam ceramahnya berjudul "Membentuk Karakter Bangsa" Sabtu lalu, di Pardede Hotel.

Barusan saya membaca status FB putri tertua saya, Clara, tentang ibunya pagi ini.

"Emang paling enak kalo bareng mamak.. Subuh ini diberangkatin mamak, semua barang dicek.. Trus dimasukin barang2 yg sekiranya perlu untuk anaknya.. Dibuatin teh manis hangat".

Lantas, ibunya diminta menjaga anaknya, cucu pertama kami Andra. Clara akan bertugas ke luar kota seminggu. Buat pembantu tugas seperti itu pasti sebuah beban. Tapi buat neneknya itu pasti suka cita. Istri saya pasti menjaganya dengan penuh kasih sayang.

Kapan seorang bapak bisa melakukan hal seperti ini?

Kecil, sepele, tetapi sangat mendasar, dilakukan dengan hati, penuh kasih sayang.


Ibunya sudah berada di Jakarta beberapa minggu, dipesan tiga putri kami untuk tinggal sementara,  "melepas rindu", menjaga cucu dan mendampingi putri saya kedua yang sudah hamil empat bulan.

Tentu berat bagi saya di Medan, tapi ini semua demi anak-anak. Kasih sayang tidak cukup diberikan tanpa tatap muka, mengalami bersama keseharian, menciptakan kehangatan yang tak bisa diganti dengan apapun. Sulit melukiskannya. Kerinduan masa kecil  mereka yang tidak bisa dibayar dengan apapun. .

Dulu semasa masih kecil, dan masih tinggal bersama-sama di Medan, mereka selalu mencari mamanya. Kalau mamanya tidak ada dua jam aja, mereka akan sangat kehilangan.
"Mana Mama?". "Mana Mama?".

Itulah ungkapan anak-anak setibanya di rumah pulang sekolah atau dari tempat lain. Padahal, bapaknya sudah ada di rumah.

Anak laki-laki saya Bernard, setiap pulang dari Pangkalan Susu, selalu bertanya: "Kapan Mama Pulang, Pak".

Kadang saya iri juga padahal kita ada dan cari duit buat mamanya...he..he.

Memang, fakta sehari-hari, ibu sangat dekat dengan kebutuhan dasar anak-anak.

"Kalau para bapak mau dicintai anak-anak, maka cintailah ibunya," kata Professor Belferik. Main-main atau setengah hati mengasihi istri!. Risikonya: Anda tidak akan dicintai anak-anak. Suami akan selalu disalahkan anak-anak!.

Itu pengalaman saya juga. Mudah-mudahan jadi pelajaran buat teman-temanku para suami.Mari kita belajar dan belajar terus. Tidak ada suami yang sempurna, hingga ajal menjemput kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah memperbaiki kesalahan menuju kesempurnaan.

Percaya atau tidak, silakan buktikan sendiri.

Clara Girsang, selamat bertugas ke Sumbawa ya nang, Patricia Girsang, jaga mama baik-baik, Devee Girsang, target..target, target!, Bernard Patralison Girsang: keep good relation with your boss and partners, Yani Christin Girsang: semua akan indah pada waktunya, Hilda Valeria Girsang: keep quality, Trisha Melanie Girsang: I am proud of you. Frederick Simanjuntak: selamat bertugas di Riau, semoga bisa bertemu keluarga di sana dan titip salam buat semuanya. Anja Novalianto: bersyukur dengan apa yang sudah dicapai.

Tuhan memberkati kita semua. .

Medan, 24 September 2014

Selasa, 23 September 2014

Pisang Ambon, Kenangan Masa Kecilku

Oleh: Jannerson Girsang

Makanan "enak" di masa kecil tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Pisang Ambon, itulah salah satu makanan paling enak di masa kecilku, dan hingga kini menjadi buah yang selalu kurindukan. Rasanya, baunya dan suasana ketika memakannya di masa lalu, menjadi kenangan yang khas.

Suatu ketika, dalam perjalanan menuju Sibolga, rombingan kami makan di sebuah kedai nasi di Prapat. Saya melihat pisang Ambon dijual di sebelah kedai yang persis di pertigaan jalan ke Hotel Niagara.

Siang itu, saya membeli sesiir karena teringat masa kecilku. Tidak sempurna rasanya habis makan siang tidak makan pisang ukuran "jumbo" itu.

Pisang itu jadi sarapan sore di mobil, ketika melintasi kelokan-kelokan tajam Tarutung-Sibolga. Saya benar-benar puas makan pisang itu, entah hingga beberapa buah,.

Waktu saya masih anak-anak di kampung, pisang ini hanya bisa kumakan sekali seminggu, saat hari Pekan di Saribudolok, hari Rabu.

Menunggu ibu saya pulang dari pekan, rasanya sangat lama. Kadang orang tua temanku sudah datang, tapi ibu belum muncul. Sedih dan ngiler rasanya membayangkan teman-teman makan pisang Ambon.

Pemberhentian bus kebetulan tidak jauh dari rumah kami. Dari pintu rumah, saya dan adik-adikku semua mengamati apakah ibu kami sudah ada di dalam bus.

Kalau ibu datang, semua bersorak kegirangan dan langsung menjemputnya, membantu mengangkat barang bawaannya.

Bayangkan, berjam-jam menunggu di rumah merindukan pisang Ambon. Buahnya besar, manis dan bagi kami penduduk desa, tak terkatakan enaknya.

Di kampung kami di dataran tinggi 1400 meter di atas permukaan laut, pisang Ambon pernah dicoba ditanam, tapi tidak berbuah. Pisang Ambon cocok ditanam di pinggiran pantai Danau Toba, seperti Haranggaol, Tongging, dan daerah peisir pantai lainnya di Danau terbesar di Asia Tenggara itu.

Sayangnya, karena kami keluarga besar, setiap prang paling bisa dapat satu buah. Begitu ibu sampai, setiap orang mendapat satu. Pastilah kurang, Kadang kalau kebetulan tidak ada orang di rumah, saya sering mencuri, dari para-para tempat ibu menyimpannya.

Selain Pisang Ambon, mama saya juga membawa "rondang jagung" dan kembang gula. Kembang gula menjadi makanan favorit, selain Pisang Ambon.

Rabu malam merupakan malam "lezat" karena ada ikan mujahir yang diarsik, sehingga nasinyapun 3 piring. Sehabis makan malam kami mendapat pisang Ambon, satu seorang. Habis makan, dilanjut dengan makan pisang Ambon

Anak-anak makan tiga piring nasi "sigambiri", ditambah lagi pisang Ambon, perut jadi buncit, dan susah bermanfaat.

Sekarang saja, saya hanya mampu menghabiskan satu piring, untuk ukuran dulu.


Waktu kecil saya memang jago makan, karena pulang sekolah, harus ke ladang. Apalagi hari libur, pukul enam sudah berangkat dan bawa bekal seukuran tiga piring nasi merah "sigambiri". Kalau hari-hari biasa tidak akan ada lagi pisang Ambon, karena saat malam Rabu itu semua sudah habis.

Sedih juga ya kalau diingat-ingat. Sulitnya kehidupan masa lalu.

Puluhan tahun kemudian, ketika kami tinggal di Pematangsiantar, putri tertua saya Clara Girsangg, waktu kecil diberi pisang Ambon. Setelah dikuliti, dagingnya dikikis dengan sendok.
Ternyata pisang Ambon sangat cocok untuk bayi. Apalagi buburnya nasi "sigambiri:. Mungkin itu sebabnya Clara jadi gemuk, he..he..he

Pisang Ambon, kenangan manis masa kecilku.

Hayo, silakan dimakan!

Pagi yang Bersemangat

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini sekitar pukul 05.30, saya dan anak laki-laki saya Bernard berdoa berdua di kamar sebelum dia berangkat ke Pangkalan Susu, tempatnya bekerja.

Terima kasih Tuhan, betapa Tuhan sangat berkuasa dan memberi kami kekuatan dalam mengarungi kehidupan ini.

"Saya berangkat ya Pak,sendiri lagi nih" katanya.

Saya terharu mendengarnya, karena kebersamaan kami selama dua hari ini berdua di rumah, harus kembali lagi ke kesendirian masing-masing.

"Selamat jalan ya Pa, Bernard. Hati-hati di jalan," kataku dan memeluknya, melepasnya pergi dengan sepeda motornya yang akan menempuh jarak 120 kilometer.

"Semangat ya Pak. Nanti kalau saya udah sampai, langsung sms." katanya.

Ucapan yang sudah puluhan kali membesarkan hatiku, setiap memberangkatkannya sekali seminggu ke tempat kerjanya.

Saya memang beruntung, karena meski sendiri, saya merasa rame dengan kesibukan sehari-hari, di luar kantor. Banyak teman-teman yang bekerja sama sepanjang hari bahkan sepanjang Minggu,".

Pulang kantor, latihan koor dua kali seminggu, sermon, kebaktian di rumah-rumah kadang saya hadiri dua kali seminggu, menghadiri pertemuan-pertemuan, pesta atau kadang memberi pembekalan bagi para penulis, seperti yang kulakukan minggu lalu dan minggu ini..

Kembali ke rumah sebagai istanaku, mencicil pekerjaan menulis yang sudah menanti. Rumah sebagai tempat bekerja, sekaligus berteduh, mencari kekuatan baru untuk hari berikutnya.

Pagi-pagi membuat sarapan sendiri, makan siang dan malam selalu di luar dan kadang di rumah jemaat.
Semoga semua anak-anak, putriku bersuka cita di manapun mereka berada.

Salam buat istri tercinta, yang menemani anak-anak di Depok, dan semua anak-anakku, . Clara Girsang, Patricia Girsang, Devee Girsang, Bernard Patralison Girsang, Yani Christin Girsang, Hilda Valeria Girsang, Trisha Melanie Girsang. Menantu-menantuku yang baik : Anja Novalianto dan Frederick Simanjuntak.

Have a nice day. Clara, selamat menjalankan tugas besok ke Sumbawa, menantuku Erick, selamat bertugas hari ini ke Duri. Hadapi semua tugas dengan suka cita.

Medan, 23 September 2014

Senin, 22 September 2014

Cucuku Andra


Oleh: Jannerson Girsang


Cucu!. Terbayang sesuatu yang indah, suka cita, dan penuh harapan,
membuat impian jadi kenyataan, tersenyum lebih banyak dari sebelumnya.

Melihat foto Andra, cucu pertamaku berusia satu tahun  di tengah tante, ompungnya, udanya dan mama papanya, membuatku sukacita di pagi ini.

Benarlah kutipan yang kubaca, "No joy on earth brings greater pleasure than a grandchild to love and treasure".

Saya teringat ketika Ayah saya dulu suka memukul saya dan melarang banyak hal yang saya lakukan. Tetapi kepada cucunya--anak-anak dan putriku, dia tidak pernah memukul, bahkan kalau saya memarahi anak saya saja, dia pasti marah.

Kini saya paham!. Sikap kita berbeda kepada anak dan kepada cucu. Cucu adalah segalanya. Mereka adala cinta dan harta paling berharga. Sesuatu yang indah, suka cita, dan penuh harapan!

Pagi ini saya melihat gambarnya yang ceria dan serasa hadir dalam gambar itu, berada di sampingnya. Rinduku tak terhankan. Ingin menggendongnya, membawanya jalan-jalan di lapangan dekat rumahnya.

Sebuah berkat Tuhan bagi saya, meski saat ini sendiri di rumah. Wajah cucuku, setiap pagi memberiku kesejukan. Video dan gambar-gambarnya senantiasa menghibur, lebih dari suka cita yang lain.

Selamat pagi cucuku, Andra sampai jumpa!.

Terima kasih untuk menantuku Anja Novalianto, yang tela memberiku Andra dan Frederick Simanjuntak yang sedang menunggu kelahiran cucuku. You are great son in law!. Keep peace!

Salam untuk mama yang makin cantik..bersama cucunya .he..he. Tante kecilnya Andra, putri bungsuku Devi yang sedang mempersiapkan skripsinya..God Bless All.






Foto kiriman putriku Clara Girsang pagi ini.  Andra sedang makan malam bersama mama, papanya, udanya Frederick Simanjuntak, istriku, dan Devi (Putri bungsuku), di daerah Depok, Jakarta, 21 September 2014

Minggu, 21 September 2014

Sapangambei Manoktok Hite (1)

Oleh: Jannerson Girsang

Rumor (kabar burung), sms gelap akan mendatangkan kecurigaan, keresahan, bahkan berujung pada permusuhan.

Nilai-nilai yang baik mungkin akan terkubur. Orang yang menangguk di air keruh akan diuntungkan untuk sementara. .

Ujung-ujungnya tak ada yang bernilai, sebab semua akan hancur berantakan.Semua jadi hitam.

Rumor biasanya muncul karena kepentingan sesaat yang ingin dipaksakan oleh individu atau kelompok, bukan kepentingan bersama.

Marilah memberitakan yang benar untuk kepentingan bersama, jangan tebar kabar burung, apalagi pencitraan yang jelek bagi sesama untuk mencapai kemenangan sesaat. .

Menanam kebencian akan menuai kehancuran, menanam kebaikan akan menuai kedamaian, suka cita.

Marilah, "Sapangambei manoktok hitei: marsiurupan (saling bertolongtolongan), marsitogu-toguan (saling menopang), marsiarahan (saling mengajak ke kebaikan), sapangahapan (seperasaan)".

Terima kasih untuk Pdt YR Saragih yang telah menciptakan lagu yang sangat indah bagi kami.

Selamat Pagi! .

SUKSES: Haruskah Menghilangkan Hal yang Paling Hakiki?


Sebuah keluarga mendapat pujian di sebuah kampung karena ke delapan anaknya sukses. Ada yang menjadi doktor, master dan sedikitnya sarjana.

Pekerjaannyapun relatif bagus dan semua menghasilkan pendapatan yang memungkinkan mereka berwisata kemana saja di seantero dunia ini. Semua tinggal dengan jarak minimal dua jam, atau ada yang lebih dari 10 jam pesawat, dan lima jam perjalanan darat dari rumah orang tuanya.

Di masa tuanya, bertahun-tahun orang tua mereka di kampung hanya hidup berdua, setelah sekian tahun menyekolahkan, menikahkan dan juga mengunjungi cucu-cucunya baik yang berada di ibu kota maupun di luar negeri. Meski anak-anak sudah sukses, tetapi orang tua ini selalu memilih hidup di desanya.

Kalau dilihat dari kemampuan financial orang tuanya dulu, tidak ada orang di kampung itu yang menduga keadaan mereka seperti sekarang ini. Orang tua ini hanyalah seorang petani. Memang berada di atas rata-rata yang dicapai penduduk desa itu. Tapi sehebat-hebat orang kampung, bisa dihitung kemampuannya kalau kemudian mereka bisa berlibur ke Amerika. Semua karena "sukses" tadi.

Suatu ketika, sang ayah sakit keras. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan dan merindukan anak-anaknya bisa kumpul, layaknya Yakub yang ingin memberikan petuah-petuah dan ingin petuah terakhirnya itu disaksikan semua anak-anaknya.

"Saya rindu seperti kalian anak-anak dulu. Kita makan dan berdoa bersama saat makan malam. Itulah kerinduanku yang terakhir," demikian sang ayah berpesan kepada semua anak-anaknya.

Saat itu, hanya dua dari delapan orang anaknya yang bisa memenuhi keinginan sang ayah. Berbagai macam alasan mengejar sukses itu, menyebabkan mereka tidak bisa hadir. Kalau soal uang, semua anak-anaknya mampu menyediakan berapapun yang dibutuhkan ayahnya yang sedang sakit itu.

Ayahnya tidak membutuhkan materi. Semua sudah dia miliki. Dia hanya membutuhkan kehadiran anak-anaknya, dia ingin menumpahkan kasih sayangnya yang terakhir yang tak bisa dinilai dengan apapun. .

Sayangnya, untuk memenuhi permintaan sang ayah, keenam anak yang berada di luar negeri dan memiliki jadwal yang cukup padat itu, tidak bisa hadir.

Sang ayah kemudian meninggal dunia. Dengan terpaksa semua anak-anak datang dan menghadiri pemakaman sang ayah yang dilaksanakan secara besar-besaran. Maklum, mereka adalah orang yang terpandang.

Seorang anaknya menangis. "Ayah, ketika kami meminta belanja kuliah dahulu, ayah tidak pernah memiliki alasan untuk tidak memenuhi belanjaku. Ketika aku sakit waktu kuliah, ayah langsung meminjam uang untuk ongkos Tapi, cuma satu permintaanmu hadir beberapa hari sebelum ayah meninggal, saya tidak bisa. Ayaah..untuk apa semua ini kulakukan?. Maafkan aku ayah,"

Setelah ayahnya meninggal dunia, ibunya juga tidak mau meninggalkan kampungnya. Rasa sedihnya ditinggal suami membuatnya kadang sekali seminggu harus berziarah. Alasan yang masuk akal.

Usianya yang makin tua, dalam kesendiriannya di kampung, meski didampingi seorang baby sitter perawat, tak mampu menahan ketuaan dan daya tahan tubu yang makin melemah. Akhirnya suatu hari, dia jatuh sakit, dan sakitnya sangat serius

Mungkin instict seorang yang sudah uzur, seolah dia mengetahui ajalnya sudah dekat, dia kembali berpesan agar anak-anaknya kumpul. Sama seperti permintaan suaminya yang beberapa tahun sudah mendahuluinya, permintaan ibu inipun tidak dapat dipenuhi anak-anaknya.

Sibuk, dan tidak memiliki waktu kembali ke kampung adalah alasan dari anak-anaknya yang tidak bisa hadir. Ibunya ingin mengingat masa lalu mereka dimana makan malam adalah sebuah suasana paling indah. Dima kecil anak-anaknya, sang ibu sudah menyiapkan semua makanan dan minuman dan semuanya makan dan berdoa bersama.

Akhirnya sang ibu meninggal dunia. Dengan "terpaksa", semua harus hadir, termasuk cucu-cucunya. Putri bungsunya yang bekerja di Amerika menangis dan sedih bukan main.

"Mama.....aku tidak bisa memenuhi permintaanmu yang terakhir. Padahal Mama selalu siap sedia, bahkan ketika cucumu lahir, Mama kupaksa tinggal di rumahku sebulan lebih, sampai aku sehat betul. Semua permintaanku dipenuhi Mama. Untuk apa semua ini Mama. Maafkan aku mama, maafkan aku"

Semua pelayat yang disampingnya terharu dan tak sadar harus menghapus air matanya dengan Ulos Batak Berwarna Hitam itu.

Salah seorang pelayat berkata: "Sebenarnya apa yang kita cari di dunia ini yah?".

Sukses, apakah harus mengorbankan hal yang lebih penting?

Orang tua selalu memegang prinsip: Kasih sayangku jangan kau sangsikan!

Tapi, alasan-alasan sibuk, tidak bisa meninggalkan tugas, mengejar sukses, untuk memenuhi permintaan terakhir orang tua, sering dimaafkan.

(Terinspirasi dari Ceramah Prof Dr Belferik Manullang hari ini).

Medan, Malam Minggu 20 September 2014

Jumat, 19 September 2014

KARAKTER: Berapa Orang yang Merindukan Kita?

Oleh: Jannerson Girsang

“Character cannot be developed in ease and quiet. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.” (Helen Keller)

Ketika saya menulis biografi atau otobiografi, karakter tokoh sangat penting. Nilai seseorang terletak pada karakternya.

Salah satu cara menentukan karakter adalah dengan mengamati dan mencatat ucapan-ucapannya, ketika merespons sesuatu: tantangan, keberhasilannya, tanggapan orang lain terhadapnya.

Di FB semua orang yang memiliki akun, menuliskan responnya terhadap keadaan sekelilingnya, responsnya terhadap teman, dan responnya terhadap dirinya sendiri. Mereka menunjukkan karakternya masing-masing dan tentunya menerima upah dari karakternya sendiri, karena karakter itu berkekuatan mempengaruhi dan menimbulkan respon dari orang lain.

Ada yang merespon positif, karena dia merasa terinspirasi, termotivasi dll, atau ada juga merespon negatif karena merasa tersakiti, terlecehkan dll.

Karakter bisa menimbulkan dampak orang lain merasa senang, terinspirasi, mendapat pelajaran, tertawa karena lucu. Hidupnya menjadi lebih berharga, termotivasi.

Karakter yang muncul bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman, tersakiti, terlecehkan atau bahkan menangis karena sedih. Hidupnya menjadi demotivasi.

Pengalaman saya dari sekian banyak tokoh yang saya amati, menunjukkan bahwa seseorang berkarakter baik mampu : "menangis dengan orang yang menangis, tertawa dengan orang yang tertawa".

Dia memaknai orang lain sebagai penolong bagi dirinya dan memahami cara bertindak bagaimana orang lain merasa agar hidupnya LEBIH berharga.

Tugas kita adalah mencari dan menjadikan sebanyak mungkin manusia dimana kita bisa sama-sama tertawa dalam kebahagiaan dan sama-sama menangis dalam kedukaan menuju "Long Life Friendship", bukan persahabatan hanya karena kepentingan sesaat, b
ukan, "kalau menguntungkan lanjut besahabat, kalau tidak pisah saja"

Sudah berapa orangkah kita memiliki teman yang bisa berbagi seperti itu?. Sebab hidup di dunia ini adalah menjadi berbuah bagi orang lain. 

Buahnya, "Berapa orangkah yang kita doakan, dan sebaliknya mendoakan kita setiap hari". Berapa orang yang merindukan kita, atau lebih jauh, seorang ahli motivasi berkata:  "How many people will cry when you die?"

Sesuatu yang perlu menjadi perenungan setiapsaat, tidak mudah, karena harus melintasi berbagai pengalaman ujian dan penderitaan.

Pengalaman Helen Keller, buta dan tuli sejak usia 19 bulan, tapi mampu menjadi pembicara, politisi dan 18 orang berpengaruh dunia, perlu kita simak.

"Karakter tidak dapat dikembangkan dengan mudah dan suasana tenang. Hanya melalui pengalaman ujian dan penderitaan jiwa karakter dapat semakin diperkuat, visi dibersihkan, ambisi diilhami, dan keberhasilan dicapai"

Karakter dapat dibentuk, tapi ada prosesnya!  Mari kita bersama-sama berproses. Kita semua tidak sempuna. Proses perjalanan hidup akan menyempurnakannya.

Selamat Pagi!


Medan, 19 September 2014 

Kamis, 18 September 2014

Pengalaman Bahasa Oral dan Tulisan

Oleh: Jannerson Girsang


Pengalaman menggunakan bahasa Indonesia, menulis dalam bahasa Indonesia saya cukup unik.
Sampai usia 16 tahun saya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara oral, karena tinggal di desa dan hampir tidak ada lawan bicara.

Kalau sekali-sekali orang-orang kota datang, kami hanya diam-diam saja. Pernah saudara saya datang, selama tiga hari, tidak berkomunikasi. Bersama tapi tidak bicara. Baru dua hari, dia belajar bahasa di kampung dan kami berkomunikasi dalam bahasa kampung kami .

Kadang kami pergi kalau disapa dengan bahasa Indonesia. Mungkin malu

Kadang pakai bahasa tubuh, atau sekali-sekali menggunakan bahasa Indonesia yang "menggelikan". "Sudah rata semua", maksudnya, "Sudah hijau semua". Bahasa Simalungun "rata" artinya hijau.

Mirip, ketika saya berkunjung ke desa di pedalaman Nias pada 2005-2006, bahkan 2011. Lucu sekali kalau mengingatnya.

"Berapa anaknya Ibu," saya sapa seorang ibu di desa padalaman Nias.

"Ha..ha..ha..," katanya sambil memilin-milin sirihnya dan tidak ada jawaban atas pertanyaan saya. .

Saya baru menggunakan bahasa Indonesia saat sekolah di SMA. Setahun lebih, saya bergaul dengan teman-teman SMA di SMA 2 Pematangsiantar. Bahasa Indonesianya masih "berpasir-pasir".

Dengan bermodalkan kemampuan berbahasa seperti itu, belum fasih benar berbahasa Indonesia, kemudian tahun kedua saya hijrah ke SMA 22 Jakarta.

Pasti kang Ahmad Hilmi, teman satu kelas saya di SMA tersebut ketawa-ketawa kalau mengingat saat ketika pertama kali saya sapa di SMA 22 Jakarta..he..he.

Seorang siswa perempuan orang yang pertama saya temui dalam perjalanan dari halte Bea Cukai ke SMA 22 di Utankayu, langsung mengejek saya: "Orang Medan ya". Walau kemudian dia sangat suka menyapa saya di hari-hari berikutnya dan menjadi teman akrab selama SMA .

Awalnya sekolah di Jakarta, saya seringkali bingung mendengar teman-teman yang bicaranya cepat sekali. Layaknya saya mendengar percakapan bahasa Inggeris seorang Amerika sedang berbincang.

Lama-lama, telinga terbiasa dan otomatis memahaminya.

Belajar bahasa Inggeris juga saya peroleh dengan bekerja dan berpartner dengan orang asing. Saya pernah menjadi kontributor media asing, pernah bekerja di perusahaan-perusahaan asing.
Saya punya pengalaman berbicara dan menulis dalam bahasa Inggeris meski hanya untuk dimuat di mediaonline asing atau lembaga asing saja(dengan sedikit edit tentunya). Belum media cetak terkenal.

Belajar bahasa itu harus terjun dan berenang di kolam. Harus mengalami bagaimana rasanya tenggelam, kemasukan air (diejek, khususnya ketika SMA di Jakarta--dibilang BTL), baru kemudian memperbaikinya terus menerus.

Belajar bahasa Sunda saya memperolehnya ketika tinggal di rumah seorang Sunda di Bogor dan tinggal tiga bulan di desa Jasinga, dan selama dua tahun bertugas di Ciamis.

Bahasa Batak Toba juga saya kuasai ketika duduk di bangku SMA di Pematangsiantar, Jakarta dan ketika kuliah di IPB, dari teman-teman Batak Toba.

Belajar bahasa melalui teori tidak banyak menyelesaikan kemampuan berbahasa, juga kemampuan menulis. Belajar bahasa, menulis adalah sebuah ketrampilan, hanya bisa dikuasai dengan praktek, banyak latihan.

Sama dengan menulis biografi atau otobiografi, atau artikel. Saya belajar dengan metode "terjun ke kolam".

Tulis, tulis, tulis dulu, kemudian perbaiki di buku kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya.
Sekarang saya mau tanya, apakah bahasa Indonesia saya sudah cukup baik, secara oral dan tulisan?


Mari sharing pengalaman berbahasa oral dan lisan kita, mungkin ada gunanya buat anak cucu kita.

Medan, 18 September 2014

Menulis di FB

Oleh: Jannerson Girsang

Menulis di FB berarti kita "HADIR DIMANA-MANA, DIBACA SIAPA SAJA, DAN TEREKAM DALAM WAKTU YANG LAMA"

Menulis adalah pekerjaan merangkai kata-kata menjadi kalimat, merangkai kalimat menjadi paragraf, membuatnya menjadi pesan yang bermakna, berguna bagi pembacanya.

Tau nggak kalau Anda menulis di Facebook?.

Tulisan Anda dibaca di mana-mana, oleh siapa saja, dan akan terekam lama oleh dunia ini. Sebab FB adalah jejaring sosial yang memiliki anggota miliaran orang.

Kalau Anda marah, mengumpat, mencaci maki di FB, seluruh dunia akan tau karakter Anda.
Ingat, dunia tidak suka orang yang marah-marah, mencaci maki, melecehkan. Anda juga sama dengan dunia ini, tidak suka juga kan dilecehkan, disakiti.

Sama dengan mahluk hidup yang lain, kita semua suka kebaikan, saling menghargai dan saling menyenangkan satu dengan yang lain.

Karena menulis di FB membuat kita hadir dimana-mana, kapan saja, maka mulailah belajar menuliskan hal-hal yang menyenangkan teman-teman yang lain, membuat hidup mereka terasa lebih hidup. Bukan membuat mereka yang sudah merasa hidup, terus terasa seolah terbunuh (karakternya).

Buahnya, Anda juga akan mendapatkan kesenangan dari mereka. Dengan demikian dunia ini akan semakin damai, hidup kita semakin bermakna.

Kitab Perjanjian Baru berkata: “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”

Selamat pagi semua!.

Medan 18 September 2014