Oleh: Jannerson Girsang
Isu terhangat dua hari terakhir adalah
berita tentang anggota DPRD yang baru dilantik menggadaikan SK, untuk
meminjam uang ke bank. "Ini tidak etis", kata seorang pengamat di Metro
TV.
60 persen anggota DPRD Bandung, misalnya, sudah menggadaikan
SKnya untuk mendapat pinjaman dari bank, dengan nilai antara Rp 100
hingga Rp 250 juta. . "Untuk mencicil per bulannya tinggal memotong gaji
setiap bulannya. Untuk cicilan saya hampir Rp 7 juta per bulan dengan
masa peminjaman sekitar 50 bulan," kata kader Partai Gerindra, seraya
mengaku mendapatkan gaji per bulan sekitar Rp 13 juta.
Artinya,
separuh gajinya selama lima tahun sudah dipotong bayar utang. Aneh juga
yah, kalau dengan gaji Rp 6 juta sisanya, seorang anggota DPRD hafus
membiayai hidupnya yang cukup mewah. Mereka harus menyumbang partainya,
menyumbang konstituen: memasang bunga papan pada pesta-pesta, menyumbang
rumah-rumah ibadah.
Barangkali kita bisa pro dan kontra.
Seseorang memang berhak meminjam uang ke bank sejauh dia memiliki agunan
dan bank itu percaya. Boleh kita katakan tidak etis atau etis.
Kita juga tidak perlu menaruh curiga atas tingkah para anggota
legislatif itu. Barangkai, kita hanya perlu mengingatkan agar mereka
peduli juga nantinya memfasilitas rakyat yang berhak dan layak meminjam
dari bank.
Masih banyak rakyat yang berhak dan layak meminjam
belum difasilitasi dengan baik. Andai rakyat bisa seperti anggota DPRD,
yang seolah secara otomatis memiliki hak memperoleh pinjaman begitu
mereka dilantik. Bahkan pihak bank yang datang kepada mereka. Anggota
DPRDnya tinggal meminta persetujuan Pimpinan, uang cair!.
Selamat buat anggota DPRD yang sudah dilantik dan mendapat pinjaman dari
bank. Semoga kita rakyat ini juga bisa difasilitasi yah!
Medan, 17 September 2014
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Rabu, 17 September 2014
SIMON SARAGIH: Merampungkan Biografi Taralamsyah Saragih
Oleh: Jannerson Girsang
Pagi ini saya mengintip kegiatannya Simon Saragih, seorang wartawan senior harian Kompas.
Setelah berbulan-bulan mengikutinya menulis, dan pernah beberapa kali berdiskusi secara langsung, baik melalui telepon dan chating di FB, pagi ini saya menyaksikan sampul buku Biografi Taralamsyah Saragih, sudah mencapai draft akhir.
Ingat Taralamsyah Saragih, ingat "Eta Mangalop Boru", sebuah lagu Simalungun yang dipopulerkan penyanyi terkenal Eddy Silitonga di era 1970-an.
Tentu, Taralamsyah bukan sekedar mencipta lagu, tetapi dia adalah tokoh besar budaya Simalungun
"Saya terpikir bahwa terbitnya buku ini tidak semata-mata menuliskan kebesaran nama Taralamsyah. Buku ini juga sekaligus mengingatkan secara implisit kesadaran akan identitas Simalungun," demikian komentar Prof Dr Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian RI, dalam pengantar buku seperti dilansir dalam website Berita Simalungun
(http://www.beritasimalungun.com/2014/09/kata-sambutan-prof-dr-bungaran-saragih.html).
Semoga bukunya cepat diluncurkan dan kita semua dapat membaca isinya, sekaligus memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Saya sangat terkesan dengan kegigihan dan kesungguhan penulis buku biografi Taralamsyah. Saya menyaksikan sebuah metode baru penulisan biografi yang memanfaatkan Facebook sebagai sarana diskusi.
Simon secara khusus membuka sebuah akun khusus Penyusunan Buku Ttg Taralamsyah Saragih untuk mendukung informasi yang diperolehnya baik melalui wawancara maupun observasi lapangan dan riset,
Cara ini belum banyak dilakukan para penulis biografi di Indonesia. Simon mungkin salah seorang pelopornya. Tidak mudah melakukan tugas seperti ini, dibutuhkan waktu dan energi melayani diskusi-diskusi yang kadang "panas" hingga memerahkan kuping.
"Lang pala ikkon sempurna, roh sandiri do kin penyempurnaan ai ge" (Nggak usah harus sempurna, penyempurnaan akan datang sendiri")
"Tulis apa yang diketahui, selalu dengan asumsi (ai pe pambotoh sanggah manulis), lanjut ma proses dialektika,' katanya. .
Itulah kelebihannya sebagai seorang penulis yang sudah puluhan tahun bergelut dalam dunia tulis menulis. Mampu menanggapi kritik dengan menahan diri, berfikir positif, mengucapkan terima kasih, dan mengakui kekurangannya. Sesuatu yang hanya dimiliki penulis tangguh seperti Simon. .
Sebelumnya, Simon telah menulis sebuah buku biografi. Buku berjudul: Elpidius Van Duijnhoven: Rasul Dari Simalungun Atas, Sungguh Mati Dia MencintaiNya" mengisahkan seorang pastor yang melayani selama 34 tahun di daerah Saribudolok dan sekitarnya.
Buku setebal 480 halaman itu telah kunikmati dan memberi cakrawala baru tentang tugas dan missi seorang pelayan. Bekerja tanpa pamrih, mengejar sesuatu yang tak terlihat mata, tak teraba tangan, memakai akal budi yang telah diberikan Tuhan.
Simon telah memberi pelajaran baru bagi para penulis biografi. Mengawali pekerjaan dengan sebuah kepedulian, merancangnya dengan matang, melakukannya dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia, dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Terima kasih panggi Simon, telah memberi kami pelajaran baru.
Selamat panggi Simon. Semoga pekerjaannya mendapat berkat dan menjadi berkat bagi kami semua pembacanya.
(Terima kasih kepada Berita Simalungun. Saya kopi sampulnya yah!)
Medan, 17 September 2014.
Sumber foto: (http://www.beritasimalungun.com)
Pagi ini saya mengintip kegiatannya Simon Saragih, seorang wartawan senior harian Kompas.
Setelah berbulan-bulan mengikutinya menulis, dan pernah beberapa kali berdiskusi secara langsung, baik melalui telepon dan chating di FB, pagi ini saya menyaksikan sampul buku Biografi Taralamsyah Saragih, sudah mencapai draft akhir.
Ingat Taralamsyah Saragih, ingat "Eta Mangalop Boru", sebuah lagu Simalungun yang dipopulerkan penyanyi terkenal Eddy Silitonga di era 1970-an.
Tentu, Taralamsyah bukan sekedar mencipta lagu, tetapi dia adalah tokoh besar budaya Simalungun
"Saya terpikir bahwa terbitnya buku ini tidak semata-mata menuliskan kebesaran nama Taralamsyah. Buku ini juga sekaligus mengingatkan secara implisit kesadaran akan identitas Simalungun," demikian komentar Prof Dr Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian RI, dalam pengantar buku seperti dilansir dalam website Berita Simalungun
(http://www.beritasimalungun.com/2014/09/kata-sambutan-prof-dr-bungaran-saragih.html).
Semoga bukunya cepat diluncurkan dan kita semua dapat membaca isinya, sekaligus memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Saya sangat terkesan dengan kegigihan dan kesungguhan penulis buku biografi Taralamsyah. Saya menyaksikan sebuah metode baru penulisan biografi yang memanfaatkan Facebook sebagai sarana diskusi.
Simon secara khusus membuka sebuah akun khusus Penyusunan Buku Ttg Taralamsyah Saragih untuk mendukung informasi yang diperolehnya baik melalui wawancara maupun observasi lapangan dan riset,
Cara ini belum banyak dilakukan para penulis biografi di Indonesia. Simon mungkin salah seorang pelopornya. Tidak mudah melakukan tugas seperti ini, dibutuhkan waktu dan energi melayani diskusi-diskusi yang kadang "panas" hingga memerahkan kuping.
"Lang pala ikkon sempurna, roh sandiri do kin penyempurnaan ai ge" (Nggak usah harus sempurna, penyempurnaan akan datang sendiri")
"Tulis apa yang diketahui, selalu dengan asumsi (ai pe pambotoh sanggah manulis), lanjut ma proses dialektika,' katanya. .
Itulah kelebihannya sebagai seorang penulis yang sudah puluhan tahun bergelut dalam dunia tulis menulis. Mampu menanggapi kritik dengan menahan diri, berfikir positif, mengucapkan terima kasih, dan mengakui kekurangannya. Sesuatu yang hanya dimiliki penulis tangguh seperti Simon. .
Sebelumnya, Simon telah menulis sebuah buku biografi. Buku berjudul: Elpidius Van Duijnhoven: Rasul Dari Simalungun Atas, Sungguh Mati Dia MencintaiNya" mengisahkan seorang pastor yang melayani selama 34 tahun di daerah Saribudolok dan sekitarnya.
Buku setebal 480 halaman itu telah kunikmati dan memberi cakrawala baru tentang tugas dan missi seorang pelayan. Bekerja tanpa pamrih, mengejar sesuatu yang tak terlihat mata, tak teraba tangan, memakai akal budi yang telah diberikan Tuhan.
Simon telah memberi pelajaran baru bagi para penulis biografi. Mengawali pekerjaan dengan sebuah kepedulian, merancangnya dengan matang, melakukannya dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia, dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Terima kasih panggi Simon, telah memberi kami pelajaran baru.
Selamat panggi Simon. Semoga pekerjaannya mendapat berkat dan menjadi berkat bagi kami semua pembacanya.
(Terima kasih kepada Berita Simalungun. Saya kopi sampulnya yah!)
Medan, 17 September 2014.
Sumber foto: (http://www.beritasimalungun.com)
Jumat, 12 September 2014
Berburu Hal Yang Tak Bisa Dibeli dengan Uang
Oleh: Jannerson Girsang
Pagi ini saya menyaksikan video yang begitu menyentuh. Seorang yang melakukan sesuatu bukan untuk dipuji, dihargai, tetapi karena memang dia senang melakukannya. https://www.facebook.com/video.php?v=357419561100541&set=vb.181408008701698&type=2&theater
Melayani orang dengan tulus, tanpa pamrih, seolah-olah tidak mendapat apa-apa.Karena mereka sedang berburu harta paling mahal di dunia, hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, dihargai dengan uang.
Bahkan tak jarang dunia menghinanya, mengejek, bahkan membunuhnya. .
Tapi taukah saudara apa yang diperoleh mereka yang melayani, dan melakukan sesuatu dengan tulus?
Mereka senantiasa memperoleh emosi positif, menyaksikan kebahagiaan, pemahaman yang lebih mendalam tentang hidup, merasakan kasih sayang, MENERIMA HAL YANG TIDAK BISA DIBELI DENGAN UANG, kata-kata dibuat lebih indah, lebih bermakna.
Adakah hal yang lebih indah, lebih baik dari hadiah di atas yang mau Anda kejar dalam hidup ini?
Berbuatlah, bekerjalah dengan tulus, tidak melihat cuaca atau apa kata orang.
Mungkin dalam melakukan pekerjaan pelayanan, Anda sering membuat Anda kecewa, ditertawakan dunia, dan Anda mundur?.
Renungkan kembali. Kita melakukan sesuatu bukan mencari pujian dari orang-orang yang tidak terpuji.
Karena orang-orang yang tidak terpuji, tidak tau memuji, tidak tau menghargai yang baik. Hanya Dia, hanya Dia yang tau memuji, dan Dialah yang pantas dipuji!.
Hanya Dia, hanya Dia yang tau memuji, dan Dialah yang pantas dipuji!.
Manusia hanya memuji berdasarkan cuaca, kepentingan. Hari ini Anda dipuji, besok, Anda dicaci. Hanya Tuhan yang setia mengasihi kita! Bekerjalah, jangan hanya ingin mendapat pujiandari sekitarmu.
Pagi ini saya menyaksikan video yang begitu menyentuh. Seorang yang melakukan sesuatu bukan untuk dipuji, dihargai, tetapi karena memang dia senang melakukannya. https://www.facebook.com/video.php?v=357419561100541&set=vb.181408008701698&type=2&theater
Melayani orang dengan tulus, tanpa pamrih, seolah-olah tidak mendapat apa-apa.Karena mereka sedang berburu harta paling mahal di dunia, hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, dihargai dengan uang.
Bahkan tak jarang dunia menghinanya, mengejek, bahkan membunuhnya. .
Tapi taukah saudara apa yang diperoleh mereka yang melayani, dan melakukan sesuatu dengan tulus?
Mereka senantiasa memperoleh emosi positif, menyaksikan kebahagiaan, pemahaman yang lebih mendalam tentang hidup, merasakan kasih sayang, MENERIMA HAL YANG TIDAK BISA DIBELI DENGAN UANG, kata-kata dibuat lebih indah, lebih bermakna.
Adakah hal yang lebih indah, lebih baik dari hadiah di atas yang mau Anda kejar dalam hidup ini?
Berbuatlah, bekerjalah dengan tulus, tidak melihat cuaca atau apa kata orang.
Mungkin dalam melakukan pekerjaan pelayanan, Anda sering membuat Anda kecewa, ditertawakan dunia, dan Anda mundur?.
Renungkan kembali. Kita melakukan sesuatu bukan mencari pujian dari orang-orang yang tidak terpuji.
Karena orang-orang yang tidak terpuji, tidak tau memuji, tidak tau menghargai yang baik. Hanya Dia, hanya Dia yang tau memuji, dan Dialah yang pantas dipuji!.
Hanya Dia, hanya Dia yang tau memuji, dan Dialah yang pantas dipuji!.
Manusia hanya memuji berdasarkan cuaca, kepentingan. Hari ini Anda dipuji, besok, Anda dicaci. Hanya Tuhan yang setia mengasihi kita! Bekerjalah, jangan hanya ingin mendapat pujiandari sekitarmu.
Banyak Perkara yang Tak Dapat Kumengerti (2)
Oleh: Jannerson Girsang
Tadi, di partonggoan kami mendengar berita duka cita. Romi Sipayung (34) meninggal dunia di RS Adam Malik, sekitar pukul 20.00. Kami, anggota sektor V dan beberapa teman dari Sektor IV melayatnya di ruang mayat sesudah partonggoan.
Romi adalah adik kandung Benny Sipayung anggota GKPS Simalingkar. Abangnya baru saja mendirikan perusahaan dan Romi sebagai direkturnya. "Saya baru saja mendirikan sebuah perusahaan dan Romi sebagai direkturnya" ujar Benny dalam tangisnya.
Romi meninggalkan seorang istri br Sinaga, baru setahun berkeluarga dan belum memiliki anak. Sedih melihatnya, karena selama ini Romi sehat-sehat saja. Di masa kampanye kemaren kami sering ketemu.
Perasaan tambah sedih melihat istrinya yang terus menerus menangis dan menumpahkan kesedihannya. Tak tega menyaksikan mertuanya perempuan yang kurang sehat, serta kedua orang tua Romi menangisi anak kesayangan mereka.
Kaya Sipayung, orang tua Benny Sipayung, memiliki tiga orang putra. Putra tertuanya meninggal setahun yang lalu. Benny, anak kedua kini tinggal sebatangkara dari sebelumnya tiga bersaudara.
Banyak perkara, yang tak dapat kumengerti, tapi aku yakin "Tiada sesuatupun terjadi, tanpa Allah peduli!". Demikian suara Agnes Monika yang merdu melantunkan pujian menyejukkan pagi ini.
Seraya saya merenungkan beberapa kejadian beberapa bulan terakhir ini. Dukacita karena ditinggal seorang yang kita kasihi, sungguh sulit dimengerti, khususnya seperti yang dialami beberapa keluarga, sahabat-sahabat saya yang mengalami dukacita.
Ada yang meninggal karena kecelakaan, sakit, atau apapun sebabnya. Terlebih-lebih mereka yang meninggal masih muda, atau meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.
Pengalaman duka, ditinggal karena kematian, apalagi tiba-tiba, hanya dapat dimengerti, kalau kita percaya, bahwa ada sang Pencipta, campur tangan atas semua kehidupan kita.
Bagi saya sebagai orang Kristen, Jeremia 33:3 adalah sebuah ayat yang sangat menguatkan. Ayat itu yang berulang-ulang saya baca, ketika adik saya, meninggal 2010, meninggalkan 3 putri kami.
Berjuanglah membunuh waktu duka, karena "Berbahagialah orang yang berduka, karena mereka akan dihibur"
Manusia tidak bisa menjawab semua persoalan orang-orang yang mengalami dukacita.
Berkomunikasi dengan Sang Pencipta akan memberikan pemahaman atas sesuatu yang tidak sapat dipahami manusia. Pengetahuan membunuh waktu duka, hanya diketahui oleh Dia yang menciptakan dunia ini
"Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui". (Jeremia 33:3)
"Call to me and I will answer you and tell you great and unsearchable things you do not know" (Jeremia 33:3).
Medan, 12 September 2014
Sate Super
Oleh: Jannerson Girsang
Saya teringat sebuah peristiwa, atau disingkat "sate super". Saya kira penceramahnya mau menjelaskan "sate" Madura, ternyata sebuah teknik sosialiasi dalam dua menit.
Saya pertama kali mendengar istilah itu ketika menikmati presentasi motivasi dari motivator Triyono Sigit di Tuktuk Samosir, 31 Agustus 2014 lalu.
Apa pula itu Sate Super?. Ternyata sebuah teknik bercerita untuk mensosialisasikan sesuatu. Awalnya seorang peserta disuruh bercerita untuk memperkenalkan sebuah produk dalam dua menit.
Peserta yang belum pernah mendengar istilah "sate super", langsung berbicara. "Kami dari lembaga .... akan memperkenalkan produk ini. Bla...bla...bla". Membosankan!. Karena tidak mengandung sedikitpun emosi di dalamnya.
Ketika Mas Sigit menggantikan peserta tadi, beliau memulai dengan sebuah cerita yang dimulai dengan "Saya teringat sebuah peristiwa".
Kita yang mendengarnya terpana seolah turut dalam kisah tersebut, serta mendapat penjelasan yang menarik tentang produk yang diperkenalkan.
Sebuah kisah atau peristiwa yang menyentuh emosi langsung menarik perhatian pendengar.
Sayapun langsung membuat sebuah kisah untuk memperkenalkan proyek penerjemahan Alkitab bahasa Nias (contoh lho, karena di sana sudah ada Alkitab bahasa Nias.
"Saya teringat sebuah peristiwa. Beberapa tahun yang lalu, saya masuk ke pedalaman sebuah desa terpencil, yang berjarak kira-kira 10 kilometer dari jalan besar. Untuk dapat berkomunikasi, saya membutuhkan seorang penerjemah, karena tidak ada dari mereka yang mampu berbahasa Indonesia.
Saat saya menjelaskan sesuatu kepada penduduk desa itu, sebelum diterjemahkan mereka ketawa-ketawa aja. Suatu ketika, karena ingin tau apakah mereka benar-benar tidak tau berbahasa Indonesia, maka saya mencoba menyapa mereka, secara diam-diam, tanpa membawa penerjemah.
"Dimana rumahnya, Pak?,". Si bapak yang berusia 30 tahun itu tertawa malu. Lalu pergi menanyakan penerjemah saya. Dalam bahasa daerahnya, mungkin dia bertanya, "apa yang dikatakannya?".
Apakah bapak-bapak tidak kasihan melihat saudara-saudara kita seperti itu. Sedih sekali ya, bapak-bapak dan ibu-ibu?.
Pesan yang menggugah emosi, penting mengawali sebuah sosialisasi.Hingga mereka tertarik mendengar, tergugah untuk mengatahui, lalu sadar dan mau bertindak, sesuai dengan harapan sosialisasi!
Dua menit saya bercerita di depan orang-orang kaya dan mendengar kisah sedih saudara-saudaranya, pasti dong mereka mau membantu.
Sate Super, sebuah teknik, dua menit memperkenalkan produk, sosialisasi.
Sayangnya Pak Sigit hanya mengajarkannya 10 menit. Kita belum tau banyak. Masih banyak pertanyaan sebenarnya, tapi waktu sudah habis.
Jadi maklum aja, sayapun masih perlu belajar lagi Mas Sigit!. Bantu ya. Dimana saya bisa memperlajarinya lebih mendalam lagi!
Medan, Dinihari, 11 September 2014
Saya teringat sebuah peristiwa, atau disingkat "sate super". Saya kira penceramahnya mau menjelaskan "sate" Madura, ternyata sebuah teknik sosialiasi dalam dua menit.
Saya pertama kali mendengar istilah itu ketika menikmati presentasi motivasi dari motivator Triyono Sigit di Tuktuk Samosir, 31 Agustus 2014 lalu.
Apa pula itu Sate Super?. Ternyata sebuah teknik bercerita untuk mensosialisasikan sesuatu. Awalnya seorang peserta disuruh bercerita untuk memperkenalkan sebuah produk dalam dua menit.
Peserta yang belum pernah mendengar istilah "sate super", langsung berbicara. "Kami dari lembaga .... akan memperkenalkan produk ini. Bla...bla...bla". Membosankan!. Karena tidak mengandung sedikitpun emosi di dalamnya.
Ketika Mas Sigit menggantikan peserta tadi, beliau memulai dengan sebuah cerita yang dimulai dengan "Saya teringat sebuah peristiwa".
Kita yang mendengarnya terpana seolah turut dalam kisah tersebut, serta mendapat penjelasan yang menarik tentang produk yang diperkenalkan.
Sebuah kisah atau peristiwa yang menyentuh emosi langsung menarik perhatian pendengar.
Sayapun langsung membuat sebuah kisah untuk memperkenalkan proyek penerjemahan Alkitab bahasa Nias (contoh lho, karena di sana sudah ada Alkitab bahasa Nias.
"Saya teringat sebuah peristiwa. Beberapa tahun yang lalu, saya masuk ke pedalaman sebuah desa terpencil, yang berjarak kira-kira 10 kilometer dari jalan besar. Untuk dapat berkomunikasi, saya membutuhkan seorang penerjemah, karena tidak ada dari mereka yang mampu berbahasa Indonesia.
Saat saya menjelaskan sesuatu kepada penduduk desa itu, sebelum diterjemahkan mereka ketawa-ketawa aja. Suatu ketika, karena ingin tau apakah mereka benar-benar tidak tau berbahasa Indonesia, maka saya mencoba menyapa mereka, secara diam-diam, tanpa membawa penerjemah.
"Dimana rumahnya, Pak?,". Si bapak yang berusia 30 tahun itu tertawa malu. Lalu pergi menanyakan penerjemah saya. Dalam bahasa daerahnya, mungkin dia bertanya, "apa yang dikatakannya?".
Apakah bapak-bapak tidak kasihan melihat saudara-saudara kita seperti itu. Sedih sekali ya, bapak-bapak dan ibu-ibu?.
Pesan yang menggugah emosi, penting mengawali sebuah sosialisasi.Hingga mereka tertarik mendengar, tergugah untuk mengatahui, lalu sadar dan mau bertindak, sesuai dengan harapan sosialisasi!
Dua menit saya bercerita di depan orang-orang kaya dan mendengar kisah sedih saudara-saudaranya, pasti dong mereka mau membantu.
Sate Super, sebuah teknik, dua menit memperkenalkan produk, sosialisasi.
Sayangnya Pak Sigit hanya mengajarkannya 10 menit. Kita belum tau banyak. Masih banyak pertanyaan sebenarnya, tapi waktu sudah habis.
Jadi maklum aja, sayapun masih perlu belajar lagi Mas Sigit!. Bantu ya. Dimana saya bisa memperlajarinya lebih mendalam lagi!
Medan, Dinihari, 11 September 2014
Kamis, 11 September 2014
Papan Tulis Kenangan 2005-2006: Tuliskan Cita-citamu, Laksanakan Sepenuh Hati
Oleh: Jannerson Girsang
Menuliskan mimpi dan kegiatan di papan tulis menjadi kenangan yang sangat menginspirasi. Itulah yang dilakukan putri saya kedua, Patricia Girsang, sembilan tahun yang lalu (2005-2006), saat mempersipakan diri menuju UMPTN 2006.
Karya kecilnnya itu setiap hari menjadi inspirasiku, karena kugantung di dinding ruang kerjaku di rumah. Yesus is my Way, yang terpampang di sebelah kiri atas membuatku kagum. Putriku begitu yakin akan kuasaNya, sejak muda. Mungkin, sayapun belum seyakin dia! Di dinding papantulis sebelah kanan: tertulis target yang harus dicapainya: HI: UI 65%, Pertambangan ITB 60%, Hukum UI: 55%.
Malam ini di tengah kesendirianku, aku terkesan dengan papan tulis yang kupajang di ruang kerjaku, sejak putriku berangkat ke Jakarta 2006.
Seiring usianya, tulisannya sebagian sudah terhapus terhapus, dan kertas yang ditempel sebagai catatan sudah kumal.
Papantulis itu adalah saksi sejarah bagaimana dia menyusun rencana kerja dan kegiatannya, sejak Oktober 2005- April 2006. Jadwalnya dibuat di papan tulis dengan pencapaian yang ketat. Semua tanggal di coret, tanda sudah dilintasi.
Saya tak pernah menghapusnya, dan setiap hari kuperhatikan betapa putriku merencanakan semua kegiatan meraih cita-citanya dengan sempurna. Sebuah saksi sejarah keseriusan seorang anak belajar.
Saya teringat, bahwa selama dua setengah tahun di SMA, aktivistas sosialnya memang membanggakan. Dia mampu membawa teman-temannya Paduan Suara Sola Gratia menjuarai beberapa even baik di Bandung, maupun Medan.
Saya dan istri tetap mendukungnya meski nilainya memang drop. Kita terus memotivasinya. Ibunya bilang, "Hebat kau ya Nak, punya dua ranking 3". Dia hanya senyum-senyum saja. "Tenang saja mama" katanya.
Saya sangat bersyukur dan cukup bangga, karena di semester 5-6, sejak Oktober 2005, dia benar-benar belajar. Setiap hari dia buat target sendiri, tanpa campur tangan orang tua.
Setelah lulus SMA, dia berangkat ke Bandung dan testing UMPTN di sana.
Patricia dengan nilai pas-pasan di SMA, akhirnya masuk Fakultas Hukum UI. Selama kuliah dia harus bekerja di Perpustakaan UI, paruh waktu dan mendapat beberapa bea siswa, membantu orang tuanya yang sedang kesulitan.
Dengan segala keterbatasan, melakukan sesuatu dengan suka cita, Patricia akhirnya lulus S1 dari FH UI, Agustus 2010.
Begitu lulus, dia langsung bekerja. Terakhir, dia bekerja sebagai Asisten Manager, Divisi Hukum, PT Gajah Tunggal, kemudian menikah dengan Frederick Simanjuntak, Nopember 2013.
Namun, Juli 2014 lalu, dia meminta persetujuanku. Sesuatu yang mengagetkan. Saat dia berada pada posisi jabatan yang cukup baik di perusahaan, dia meminta mengundurkan diri. Alasannya, menunggu kelahiran bayinya. Dia ingin merawat bayi dan suaminya penuh waktu. Alasannya cukup rasional dan saya menerimanya dengan senang hati.
Anak adalah prioritas pertama dan utama. Sebuah pilihan yang ditirunya dari ibunya. "Mama dulu merawat kami penuh weaktu, aku juga akan merawat bayiku penuh waktu. Suamiku juga menginginkan aku penuh waktu nantinya merawat anak" katanya.
Terima kasih untuk Patricia, terima kasih Tuhan. Begitu besar berkatMu kepada kami selama 30 Tahun Perkawinanku. Patricia adalah salah satunya.
Semoga papantulis ini tetap kau kenang dan menjadi warisan untuk anakmu nanti, betapa mimpi yang direncakan dan dilaksanakan sepenuh hati akan menjadi kenyataan!
Medan, 9 September 2014
Gambar. Papan tulis dimana putriku Patricia Girsang menuliskan seluruh impian dan melaksanakannya dengan disiplin dan semangat yang luar biasa. Tulisan ini dibuatnya antara Oktober 2005-April 2006.
Kita Semua Salah, Semua Jahat, Jangan Membenarkan Diri
Oleh; Jannerson Girsang
Dua sikap yang sama salahnya, sama jahatnya. Yang satu menyombongkan diri, yang satu seolah-olah merendah. Dua-duanya merasa benar, sama-sama membenarkan diri..
Sikap yang pertama, selalu merasa benar sama seperti orang Farisi-penatua-penatua agama Jahudi dalam kisah Perjanjian Lama, yang hanya melihat dirinya benar, kerjanya menghakimi, menyalahkan yang lain. "Terima kasih Tuhan, kami sudah berbuat baik, tidak sama dengan mereka yang lain".
Sikap yang kedua, merasa berdosa, mengaku dirinya berdosa, tapi hanya untuk membenarkan tindakannya yang terus menerus salah dan tidak mau berubah.. "Aku banyak dosa, tidak pantas jadi "orang baik". Biarlah mereka yang baik-baik itu melakukan yang benar. Biarlah aku korupsi terus, jangan munafiklah".
Sama sombongnya!
”We can't be as good as we'd want to, so the question then becomes, how do we cope with our own badness?. (Nick Hornby).
Kita tidak mampu sebaik yang kita inginkan (apalagi yang diinginkan Tuhan), lalu pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita mengatasi keburukan atau kejahatan kita sendiri?.
Kata para ahli, kita baru menggunakan otak kita 2-5% dari kapasitasnya, kita belum mau, dan tidak mampu terus menerus menyalakan lampu kita, tidak bersinar sebagaimana kemampuan kita.Tapi kita sudah merasa menggunakannya 100%, merasa sudah bersinar setiap saat.
Kita semua jahat, semua bersalah, karena setiap hari melakukan kesalahan, melakukan dosa.
Mari semua berubah ke arah yang lebih baik, mari semua memperbaiki diri, memaksimalkan otak yang banyak nganggur, menyalakan lampu kita lebih lama dari yang sekarang.
Tugas utama kita adalah saling mengasihi dan saling melayani. Saling mengampuni, menasehati dengan lembut dan saling mendukung, mendorong percaya diri, memotivasi, supaya setiap orang sadar kesalahannya, dan berubah memaksimalkan talentanya!
Dua sikap yang sama salahnya, sama jahatnya. Yang satu menyombongkan diri, yang satu seolah-olah merendah. Dua-duanya merasa benar, sama-sama membenarkan diri..
Sikap yang pertama, selalu merasa benar sama seperti orang Farisi-penatua-penatua agama Jahudi dalam kisah Perjanjian Lama, yang hanya melihat dirinya benar, kerjanya menghakimi, menyalahkan yang lain. "Terima kasih Tuhan, kami sudah berbuat baik, tidak sama dengan mereka yang lain".
Sikap yang kedua, merasa berdosa, mengaku dirinya berdosa, tapi hanya untuk membenarkan tindakannya yang terus menerus salah dan tidak mau berubah.. "Aku banyak dosa, tidak pantas jadi "orang baik". Biarlah mereka yang baik-baik itu melakukan yang benar. Biarlah aku korupsi terus, jangan munafiklah".
Sama sombongnya!
”We can't be as good as we'd want to, so the question then becomes, how do we cope with our own badness?. (Nick Hornby).
Kita tidak mampu sebaik yang kita inginkan (apalagi yang diinginkan Tuhan), lalu pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita mengatasi keburukan atau kejahatan kita sendiri?.
Kata para ahli, kita baru menggunakan otak kita 2-5% dari kapasitasnya, kita belum mau, dan tidak mampu terus menerus menyalakan lampu kita, tidak bersinar sebagaimana kemampuan kita.Tapi kita sudah merasa menggunakannya 100%, merasa sudah bersinar setiap saat.
Kita semua jahat, semua bersalah, karena setiap hari melakukan kesalahan, melakukan dosa.
Mari semua berubah ke arah yang lebih baik, mari semua memperbaiki diri, memaksimalkan otak yang banyak nganggur, menyalakan lampu kita lebih lama dari yang sekarang.
Tugas utama kita adalah saling mengasihi dan saling melayani. Saling mengampuni, menasehati dengan lembut dan saling mendukung, mendorong percaya diri, memotivasi, supaya setiap orang sadar kesalahannya, dan berubah memaksimalkan talentanya!
Supir "Gareta Horbo"
Oleh: Jannerson Girsang
Kemajauan, bisa dilihat, kalau peristiwa masa lalu terekam.
Beginilah saya dulu ketika masih anak-anak hingga remaja di desa, di era 60-an hingga akhir 70-an. Supir "Gareta Horbo".
Sedikit rodanya sudah berubah. Kini memakai ban karet untuk ban mobil. Dulu terbuat dari kayu dan luarnya dilapisi besi, ukurannya lebih besar dan memakai jari-jari.
Subuh berangkat dari desa Nagasaribu ke Saribudolok, Kabupaten Simalungun, berjarak 7 kilometer. Kami menahan cuaca dingin daerah di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut, selama satu jam perjalanan dengan membawa beban sekitar 400 kg.
Tiba di Jalan Kartini, ibu kota kecamatan Silimakuta itu, pagi sebelum matahari terbit.
Satu hal yang saya tidak lupa: upahnya adalah minum teh susu dan pulut serikaya, di sebuah kedai di Jalan Kartini, tempat membongkar barang. Karena keretanya milik sendiri, dan yang bayar ayah saya...he..he.
Saat ini, angkutan seperti ini hanya digunakan ke ladang dekat desa kami. Mungkin beberapa tahun lagi, dengan membaiknya jalan ke ladang-ladang penduduk, alat seperti ini tidak diperlukan lagi. Pick up, truk akan menggantikannya.
Namun kisahku jadi Supir Gareta Horbo, tidak akan pernah hapus dari dunia ini. Salah satu pengukur kemajuan yang kita capai sekarang. Kalau sejarah masa lalu, yang kuno itu tidak terekam, maka dari mana pula kita bisa mengukur kalau kita sudah modern.
Kemajauan, bisa dilihat, kalau peristiwa masa lalu terekam.
Beginilah saya dulu ketika masih anak-anak hingga remaja di desa, di era 60-an hingga akhir 70-an. Supir "Gareta Horbo".
Sedikit rodanya sudah berubah. Kini memakai ban karet untuk ban mobil. Dulu terbuat dari kayu dan luarnya dilapisi besi, ukurannya lebih besar dan memakai jari-jari.
Subuh berangkat dari desa Nagasaribu ke Saribudolok, Kabupaten Simalungun, berjarak 7 kilometer. Kami menahan cuaca dingin daerah di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut, selama satu jam perjalanan dengan membawa beban sekitar 400 kg.
Tiba di Jalan Kartini, ibu kota kecamatan Silimakuta itu, pagi sebelum matahari terbit.
Satu hal yang saya tidak lupa: upahnya adalah minum teh susu dan pulut serikaya, di sebuah kedai di Jalan Kartini, tempat membongkar barang. Karena keretanya milik sendiri, dan yang bayar ayah saya...he..he.
Saat ini, angkutan seperti ini hanya digunakan ke ladang dekat desa kami. Mungkin beberapa tahun lagi, dengan membaiknya jalan ke ladang-ladang penduduk, alat seperti ini tidak diperlukan lagi. Pick up, truk akan menggantikannya.
Namun kisahku jadi Supir Gareta Horbo, tidak akan pernah hapus dari dunia ini. Salah satu pengukur kemajuan yang kita capai sekarang. Kalau sejarah masa lalu, yang kuno itu tidak terekam, maka dari mana pula kita bisa mengukur kalau kita sudah modern.
Selasa, 09 September 2014
Bercerminlah dari Penulis-penulis Hebat
Oleh: Jannerson Girsang
Para penulis perlu bercermin, melihat dan memaknai prestasi para penulis besar, supaya mampu merendahkan diri.
Para penulis berkewajiban menciptakan suasana saling menghargai, saling menyemangati, saling mendukung.
Di atas langit masih ada langit!.
Mari bercermin kepada lima penulis novel terlaris di Indonesia: Andrea Hirata (Lasykar Pelangi), Dee, Dewi Lestari (Perahu Kertas), Dhony Digantoro (5 cm), Gita Sesa Wanda Cantika, Keke (Surat Kecil Kepada Tuhan) dan Habiburrahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta).
Mereka berkarya dengan ciri khas masing-masing. Tidak ada waktu untuk menyindir atau meremehkan karya-karya temannya.
Setiap penulis memiliki ciri khas (mungkin juga sedang mencari identitas meniru yang lain) , memiliki kekurangan dan keterbatasan.
Mungkin karena jam terbangnya masih rendah, atau pengetahuannya yang belum mendalam tentang hal yang ditulisnya, mungkin juga sedang menciptakan gaya penulisan yang baru. Waktu, waktu akan melengkapinya dan membuktikan usahanya.
Ingat, semua penulis (kecuali copy paste, atau menjiplak karya orang lain) , sekecil apapun karyanya, adalah pencipta peradaban.
Memberi teladan, jauh lebih baik dari sekedar mengkritik. Mari terus berkarya, tanpa menganggap yang lain lebih rendah atau lebih tinggi.
Andrea Hirata juga dulu tidak ada apa-apanya. Dia besar karena ketekunan dan kegigihannya. Dia tidak pernah membuang waktu diskusi yang tidak produktif, bahkan meluangkan waktunya mengajar motivasi kepada para penulis-penulis baru, sehingga nanti tercipta Andrea Hirata yang baru.
Menjadi penulis hebat, adalah menulis kepeduliannya atas masalah sekitarnya dan menyentuh kebutuhan besar dunia ini sehingga cara berfikir, bertindak dan memaknai mereka atas sesuatu lebih baik, mengajar, memotivasi lebih banyak lagi orang menjadi penulis hebat.
Bukan sebaliknya, membuat orang lain jadi takut menulis, apalagi sampai membunuh karakter teman sesama penulis!.
Meskipun ada penulis yang merasa sudah hebat di daerah kita, tokh belum bisa menyaingi mereka!. Apalagi dibanding dengan nama-nama di bawah ini.
Coba simak perjuangan dan semangat menulis dari para penulis-penulis dunia lainnya seperti William Shakespeare, George Orwell, J.K. Rowling, Kurt Vonnegut, Virginia Woolf, Ernest Hemingway, William Faulkner, Ayn Rand, James Joyce dan J.D. Salinger.
Setiap saya membaca karya mereka, saya sangat merasa kecil, dan tidak ada alasan bermegah diri.
Kita di Indonesia belum ada apa-apanya dalam prestasi menulis. Gunakan waktu meneladani semangat para penulis besar, diskusikan karya-karya mereka, ciptakan karya yang baru, ketimbang asyik berdiskusi siapa yang terbesar!.
Ingat, kesombongan, keangkuhan akan menghancurkan diri sendiri dan menghambat munculnya karya-karya baru yang kreatif.
Roy Martin Simamora, Rinto Tampubolon, Anthony Limtan, Eka Azwin Lubis, Lea Willsen, Liven Riawaty
Medan 9 September 2014
Para penulis perlu bercermin, melihat dan memaknai prestasi para penulis besar, supaya mampu merendahkan diri.
Para penulis berkewajiban menciptakan suasana saling menghargai, saling menyemangati, saling mendukung.
Di atas langit masih ada langit!.
Mari bercermin kepada lima penulis novel terlaris di Indonesia: Andrea Hirata (Lasykar Pelangi), Dee, Dewi Lestari (Perahu Kertas), Dhony Digantoro (5 cm), Gita Sesa Wanda Cantika, Keke (Surat Kecil Kepada Tuhan) dan Habiburrahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta).
Mereka berkarya dengan ciri khas masing-masing. Tidak ada waktu untuk menyindir atau meremehkan karya-karya temannya.
Setiap penulis memiliki ciri khas (mungkin juga sedang mencari identitas meniru yang lain) , memiliki kekurangan dan keterbatasan.
Mungkin karena jam terbangnya masih rendah, atau pengetahuannya yang belum mendalam tentang hal yang ditulisnya, mungkin juga sedang menciptakan gaya penulisan yang baru. Waktu, waktu akan melengkapinya dan membuktikan usahanya.
Ingat, semua penulis (kecuali copy paste, atau menjiplak karya orang lain) , sekecil apapun karyanya, adalah pencipta peradaban.
Memberi teladan, jauh lebih baik dari sekedar mengkritik. Mari terus berkarya, tanpa menganggap yang lain lebih rendah atau lebih tinggi.
Andrea Hirata juga dulu tidak ada apa-apanya. Dia besar karena ketekunan dan kegigihannya. Dia tidak pernah membuang waktu diskusi yang tidak produktif, bahkan meluangkan waktunya mengajar motivasi kepada para penulis-penulis baru, sehingga nanti tercipta Andrea Hirata yang baru.
Menjadi penulis hebat, adalah menulis kepeduliannya atas masalah sekitarnya dan menyentuh kebutuhan besar dunia ini sehingga cara berfikir, bertindak dan memaknai mereka atas sesuatu lebih baik, mengajar, memotivasi lebih banyak lagi orang menjadi penulis hebat.
Bukan sebaliknya, membuat orang lain jadi takut menulis, apalagi sampai membunuh karakter teman sesama penulis!.
Meskipun ada penulis yang merasa sudah hebat di daerah kita, tokh belum bisa menyaingi mereka!. Apalagi dibanding dengan nama-nama di bawah ini.
Coba simak perjuangan dan semangat menulis dari para penulis-penulis dunia lainnya seperti William Shakespeare, George Orwell, J.K. Rowling, Kurt Vonnegut, Virginia Woolf, Ernest Hemingway, William Faulkner, Ayn Rand, James Joyce dan J.D. Salinger.
Setiap saya membaca karya mereka, saya sangat merasa kecil, dan tidak ada alasan bermegah diri.
Kita di Indonesia belum ada apa-apanya dalam prestasi menulis. Gunakan waktu meneladani semangat para penulis besar, diskusikan karya-karya mereka, ciptakan karya yang baru, ketimbang asyik berdiskusi siapa yang terbesar!.
Ingat, kesombongan, keangkuhan akan menghancurkan diri sendiri dan menghambat munculnya karya-karya baru yang kreatif.
Roy Martin Simamora, Rinto Tampubolon, Anthony Limtan, Eka Azwin Lubis, Lea Willsen, Liven Riawaty
Medan 9 September 2014
Senin, 08 September 2014
Menulis, Mempengaruhi Dunia (Rubrik, Analisa Cetak, 8 September 2014)
Oleh: Jannerson Girsang.
Buah pikiran seorang penulis yang dipublikasi mampu mempengaruhi dunia, bahkan secara tidak langsung memimpin perubahan dunia.
Buah pikiran seorang penulis yang dipublikasi mampu mempengaruhi dunia, bahkan secara tidak langsung memimpin perubahan dunia.
Karya tulis, baik dalam bentuk artikel dan buku yang memberi makna atas
peristiwa, mengangkat nilai-nilai yang sudah terkubur, menjadi sumber
pengetahuan, dan inspirasi bagi masyarakat umum, para pengambil keputusan atau
para pemimpin.
Nilai sebuah artikel atau buku adalah sebuah pengalaman baru, hidup
baru, pengetahuan baru. Christopher Morley (1890 – 1957), seorang wartawan dan
penulis novel berkebangsaan Amerika, mengatakan: “Ketika anda menjual sebuah
buku kepada seseorang Anda tidak hanya menjual 12 ons kertas, tinta dan lem.
Anda menjual hidup baru. When you sell a man a book you don't just sell him 12
ounces of paper and ink and glue. You sell him a whole new life".
Mempengaruhi Pemikiran, Mendorong Tindakan
Karya tulis mempengaruhi pemikiran dan mendorong pembaca bertindak ke
arah yang lebih baik. Membaca tulisan
akan membuat orang menikmati hidup baru, cara-cara baru yang lebih baik dari
sebelumnya.
Buku terkenal Seven Habits yang terbit 1989, karya Stephen R.Covey
sudah terjual lebih dari 20 juta dan dibaca lebih dari jumlah buku yang
terjual.
Menjadi pedoman atau referensi para pemimpin atau manajer, dan
banyak mempengaruhi karakter para
pemimpin dunia, termasuk Indonesia.
Penulisnya sendiri, Covey sangat berpengaruh di kalangan pemimpin dunia.
Bahkan ditunggu kedatangannya di pertemuan-pertemuan para pemimpin dunia,
termasuk dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, ketika buku lanjutan Seven
Habits, yakni Eight Habit terbit pada 2005.
George Soros,seorang pengusaha yang menuliskan pengalamannya dalam
bentuk buku dan publikasi, turut memberi warna pandangan manusia tentang
keuangan dan filsafat. Pradigma Baru Pasar Financial, salah satu buku George
Soros yang diterbitkan Oktober 2008, merupakan pikiran-pikirannya yang
memberikan inspirasi kepada pengambil keputusan meski tidak pernah bertemu
dengan George Soros.
Penulis lainnya, Robert Tyosaki penulis buku Rich Dad, Poor Dad juga memberi motivasi banyak pengembil
keputusan di seantero dunia ini.
Pembaca mungkin masih ingat Ramos Horta, ketika pada masa-masa
perjuangan Timor Timur yang selain sebagai pelobi, dia juga rajin
mempublikasikan opininya di media-media internasional.
Yang lebih luar biasa lagi, kekuatan seorang penulis handal lebih dari
kekuatan seorang presiden. Dua wartawan muda Amerika, Bernstein dan Woodward.
Laporan jurnalistik investigasi mereka yang dibukukan dalam buku All the
President Men, mengungkap kasus Watergate.
Kasus yang mampu mengundang reaksi orang untuk menjatuhkan Presiden
Amerika Serikat Richard Nixon di era
tujuh puluhan.
Mengangkat Kisah yang Dilupakan
Karya seorang penulis menghiasi dunia dengan kisah yang mungkin sudah
dilupakan orang menjadi karya luar biasa.
Misalnya sosok Shoe Hok Gie yang kurang dikenal oleh para anak muda era
2000-an, kemudian biografinya ditulis oleh Dr John Maxwell, ”Pergulatan
Intelektual Muda Melawan Tirani”. Buku itu mampu mengangkat kembali nilai-nilai
kejuangan seorang mahasiswa enampuluhan bagi generasi muda abad 21. Para anak
muda semakin mengenalnya setelah hasil karya tulis itu kemudian menjadi sebuah
film dan digandrungi generasi muda bangsa ini.
Penulis lainnya banyak mengangkat hal-hal yang terlupakan menjadi
inspirasi baru. Misalnya kisah tenggelamnya Titanic.
Kisah yang menjadi pembicaraan hangat, karena karya tulis itu kemudian
dapat menghasilkan cerita yang dinikmati penduduk dunia melalui film My Heart
will Go on.
Sebuah artikel tentang kehidupan pengusaha kemenyan di era 1930-an di
harian ini beberapa tahun lalu berjudul ”Melongok Pengusaha Kemenyan Era 30-an”
mengisahkan kembali seorang pengusaha kemenyan di daerah Humbang. Saat itu dia
sudah memiliki mobil. Rumahnya yang mewah masih dapat disaksikan di sebuah desa
pedalaman di Kabupaten itu.
Artikel itu mencerahkan pembaca bagaimana kehidupan seorang pengusaha
kemenyan, bagaimana kemenyan diproduksi dan bagaimana Humbang telah menjadi
pusat produksi kemenyan sejak lama, dan kini masih terus berlanjut.
Mengangkat Martabat Bangsa
Para penulis mampu mengangkat harkat martabat bangsanya melalui
tulisan. Mungkin Anda pernah mendengar kisah tentang novel : Cantik itu Luka,
sebuah novel berkelas dunia, yang ditulis Eka Kurniawan, pengarang Indonesia
kelahiran 1975 dan alumnus Filsafat UGM.
Para novelis luar negeri menempatkan Eka Kurniawan pada posisi yang
setara novelis international. Novel ini ternyata sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jepang Bi wa Kizu oleh Ribeka Ota dan diterbitkan Shinpusha di Jepang.
Menyusul Novel Lasykar Pelangi yang memberikan kontribusi besar bagi
dunia sastra Indonesia, serta memperkenalkan mindset Indonesia ke dunia luar.
Puluhan juta buku Lasykar pelangi yang berkisah tentang mimpi seorang penduduk
desa di Belitung menginspirasi jutaan penduduk dunia.
Menurut harian Indonesia berbahasa Inggeris, The Jakarta Post (29
Oktober 2013), sudah diterbitkan di 100 negara dan diterjemahkan ke dalam 30
bahasa yang berbeda. Sebuah prestasi yang memunculkan kebanggaan bahwa penulis
Indonesia juga mampu menghasilkan karya-karya novel yang mendunia.
Menulis Fakta Memberi Makna
Menulis fakta menjadi bermakna dan dibaca khalayak bukan proses yang
mudah. Proses diawali dari sebuah ide, pengumpulan data (wawancara, observasi
atau riset), menulis dan mempublikasikan kepada umum baik melalui media cetak,
online atau buku sehingga bisa dibaca oleh lebih banyak manusia.
Penulis harus memiliki kemampuan kejelian memilih issu, kesabaran, dan idealisme. Hal yang
belakangan tidak banyak dimiliki para penulis generasi muda kita sekarang kita.
Mereka membutuhkan pembelajaran baik secara formal dan informal.
Kita saat ini berada dalam arus generasi internet, dimana media tulis
akan semakin terbuka lebar. Artinya,
sebuah tulisan tidak lagi menunggu media cetak yang jumlahnya terbats dan harus
antri. Penulis memiliki alternatif lain dengan hadirnya media online, bahkan artikel-artikel atau
buku bisa dipublikasikan melalui website atau blog pribadi.
Generasi internet dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi dengan
bahasa tulisan. Jika tidak, maka negeri ini akan diluberi informasi hasil
tulisan orang asing dengan sudut pandang yang berbeda, namun belum tentu
memberi manfaat sesuai dengan kebutuhan kita.
Jangan Hanya Menyimpan di Laptop
Sebuah kisah yang disimpan di lemari atau di dalam komputer, tidak akan
berarti apa-apa. Dia hanya pajangan atau kenangan yang bisa hilang seiring
meninggalnya pemilik cerita.
Sebaliknya, tulisan hanya menjadi kenangan dan tak punya kekuatan
apa-apa, kecuali bagi penulisnya sendiri dan kemungkinan akan hilang dengan
berjalannya waktu!.
Novel Lasykar Pelangi jika hanya tersimpan di laptop penulisnya Andrea
Hirata, tidak mungkin bisa dibaca jutaan penduduk dunia, tidak mungkin
mempengaruhi dunia, tidak mungkin mengangkat martabat bangsa.
Marilah mendorong para penulis-penulis kita, berikan apresiasi bagi
penulis sekecil apapun karyanya, karena itu akan membuat kekuatan besar
mepengaruhi dunia!. Bacalah karya-karya anak bangsa. Belilah buku-buku mereka!
Para anak muda teruslah melanjutkan menulis dengan sungguh-sungguh.
Perkembangan media yang pesat akan menjadikan kegiatan menulis menjadi alternatif
pekerjaan baru bagi kita semua.
Harapan masih terbuka lebar. Dengan makin berkembangnya teknologi
informasi, maka para penulis memiliki kesempatan luas mempublikasi
tulisan-tulisan dari perenungan lokal menurut jalan pikiran bangsa ini menuju
dunia yang lebih makin berkembang dan mempengaruhi dunia. ***
Penulis adalah penulis biografi berdomisili di Medan
Langganan:
Postingan (Atom)